Part #15 : PERCAYAKAN PADAKU

Saya bisa sukses hari ini karena ada teman yang percaya kepada saya,
dan saya tidak sampai hati untuk mengecewakannya.
– Abraham Lincoln

Pertarungan antara Deka dan Amar Barok akan digelar di tengah lapangan.

Tapi pandangan mata bukan mengarah ke mereka, hampir semua orang justru menatap ke pinggir lapangan tempat Nanto dan Sulaiman Seno berhadapan. Pimpinan Aliansi dan Lima Jari berhadapan dengan salah satu punggawa JXG. Kapan lagi ada pemandangan seperti ini?

Tapi Sang Jagal menyadari keberadaannya justru akan membuat suasana menjadi kacau dan kisruh seandainya ia tidak segera meluruskan tujuannya datang kemari. Selain itu dia juga akan menjadi sasaran dua kelompok sekaligus – hal yang tidak ia butuhkan hari ini.

Bahkan Amar Barok yang menyadari kehadiran sang punggawa JXG pun mengerutkan kening, ia tahu pasti kehadiran Jagal bisa membuat kekacauan di tengah Tarung Antar Wakil yang seharusnya netral di hari ini. Apakah dia harus turun tangan untuk menghadapi sang Jagal terlebih dahulu? Tapi itu bisa mengacaukan rencananya.

Seno menatap Amar Barok dan menurunkan kadar Ki-nya, menandakan bahwa dia sedang tidak ingin mencari keributan. Ia lalu menatap si Bengal. “Aku tidak senekat ini datang ke Tarung Antar Wakil jika tidak ada hal penting yang harus kita bicarakan. Ikut denganku, waktu kita tidak banyak. Ini masalah keselamatan seorang gadis.” Jagal melesat pergi meninggalkan arena menuju ke sebuah sudut yang jauh di bawah pohon rindang.

“Hrmph.” Nanto melirik ke arah Hageng yang lantas dibalas dengan anggukan kepala oleh sang T-Rex. Si Bengal akhirnya mengejar arah kepergian sang Jagal sembari mengaktifkan gerbang kedua.

Hanya dalam waktu singkat si Bengal sudah berada di hadapan Sulaiman Seno.

“Oke, terima kasih sudah menyediakan waktu untuk berbicara denganku. Aku akan langsung saja menceritakan apa yang terjadi…” Jagal tidak mau berbasa-basi terlalu lama.

Si Bengal tersenyum, ia menatap pria gagah di hadapannya dengan mata nyalang. Nanto membisikkan beberapa kata dan menghentakkan tangannya ke depan dengan kecepatan tinggi.

Jagal tertegun saat sadar apa yang sedang terjadi. Ia bahkan tak sempat mengucapkan sepatah kata pun. “Hrrmph!”

Bmphf!

Brrrddddkgh!

Bagaikan dihempas angin kencang, tubuh Jagal terlempar hampir dua meter ke belakang, sebenarnya bisa lebih jauh lagi, namun satu pohon rambutan besar berhasil menahannya laju tubuhnya. Jagal berpegangan kencang pada batang pohon agar tak terlampau jauh terlontar dengan menggunakan gerbang tangan baja yang mencengkeram erat batang pohon kokoh itu.

Saat deraan Ki dari si Bengal selesai, Sulaiman Seno ambruk dalam pelukan pohon yang telah menyelamatkannya.

Nanto berjalan pelan mendekati dan berdiri tegap tak jauh darinya.

Dahan, ranting, dan dedaunan luruh di sekitar mereka.

Jagal mendengus, antara kesal juga gondok. Tapi sesaat kemudian ia tersenyum kecut – yang dulu ia semai, kini ia panen. Ini namanya karma. Sembari perlahan berdiri ia menepuk-nepuk celana dan bajunya yang kotor. Pria berkacamata dan berpakaian serba hitam itu mengangguk-anggukkan kepala. Seakan-akan menyadari dan memaklumi apa yang baru saja terjadi. “Bagus sekali… bagus sekali… kemampuanmu sudah berkembang dengan pesat. Ki-mu juga tidak sama seperti saat kita pertama kali berjumpa dulu. Dengan begini yang dulu sudah terbalaskan.”

“Tidak ada lagi cerita kamu menerbangkan aku dengan sekali sentak.”

Jagal terkekeh, “Kalau yang itu belum tahu sampai kita benar-benar mengeluarkan seluruh kemampuan. Tapi setidaknya dengan ini kita satu-satu, kedudukan seimbang.”

Nanto masih bersiaga, tapi menyadari kalau sang Jagal menurunkan Ki-nya hingga batas bawah. Pertanda ia serius memang benar-benar ingin berbicara dengannya. “Tenang saja… aku tidak akan membalas perlakuanmu yang barusan karena aku butuh bantuanmu.”

Membaca Ki sang Jagal mulai mengendur, Nanto juga melunak. Ia melepas kuda-kudanya meski tetap bersiaga. “Apa maumu?”

“Kamu kenal dengan non Nada, kan?”

Nanto mengerutkan kening, benar juga – dulu orang ini menemuinya saat menjemput Nada di cafe. Ada masalah apalagi sekarang?

“Kenal.”

“Non Nada sedang dalam bahaya besar. Dia diculik oleh orang-orang RKZ dan hanya kamu yang bisa menyelamatkannya.”

Mata si Bengal terbelalak. Dia melirik ke belakang, di sana ada Hageng yang juga mendengarkan percakapan antara Nanto dan Jagal. Tangannya bergerak untuk meredam gerakan Hageng yang sudah siaga dan siap menyerang sang Jagal seandainya dibutuhkan. Karena komando dari Nanto, Hageng mengangguk dan mundur sedikit demi sedikit, ia masih terus mendengarkan percakapan kedua orang itu.

“Kenapa mereka menculik Nada?”

Jagal mengerutkan kening, dia menatap ke arah Nanto dengan pandangan heran. Tapi sesaat kemudian ia memakluminya, barangkali pemuda ini memang sudah mengenal Nada tapi tidak mengetahui latar belakangnya. “Sepertinya kamu belum tahu… kalau Nada adalah putri bungsu dari Pak Zein. Dia adalah putri dari pimpinan tertinggi JXG.”

Tompel sikat miring!

Nanto terkejut.

Nada adalah putri pimpinan JXG? Wadidaw jiwa sekali. Tidak mengherankan kalau RKZ mengambil langkah gila dengan menculik Nada yang sering kemana-mana tanpa pengawalan. Mau apa RKZ melakukan tindakan segila itu? Sudah pasti perbuatan nekad mereka pasti akan mengundang murka sang pimpinan kelompok terbesar dari selatan. Mau bargain? Apakah mereka melakukannya demi pertukaran dengan hal lain?

Tapi apa hubungannya dengan kedatangan Jagal ini? Dia rela mengambil langkah riskan dengan masuk ke arena Tarung Antar Wakil Dinasti Baru dan Aliansi hanya untuk menemui Nanto. Kenapa?

“Lalu? Apa hubungannya denganku? Bukankah kalian juga mampu mengatasi penculikan itu sendiri? Kenapa harus repot-repot ke sini?”

“Tanganku terikat perjanjian yang tidak bisa aku sebutkan dan kita sama-sama tahu apa yang akan terjadi kalau memang benar pimpinan JXG memimpin perburuan orang-orang RKZ. Kita tidak menginginkan perang besar terjadi. Kalau bisa dicegah, sebaiknya dicegah.”

Nanto sebenarnya tidak mempercayai kata-kata sang Jagal, tapi ia masih penasaran. “Aku tanya sekali lagi, apa hubungannya denganku?”

“Aku juga tidak tahu – tapi orang-orang RKZ itu sepertinya penasaran sekali denganmu. Pimpinan RKZ memintaku membawamu ke dia. Hanya dengan menyerahkanmu pada mereka, non Nada akan dibebaskan. Itu persyaratan yang aku dapat.” Jagal menghela napas. Dia tidak suka meminta tolong pada Nanto seperti ini, tapi karena ini berkaitan dengan Nada maka mau tidak mau dia harus mengalah dan mempersilahkan egonya untuk tunduk. Ia menatap si Bengal dengan pandangan mata tajam dan melanjutkan kembali, “Aku juga tidak tahu dan tidak peduli pada apa yang akan mereka lakukan denganmu – tapi sekali lagi, itu syarat dari mereka. Fokusku hanya menyelamatkan non Nada.”

Si Bengal mendengus, pertukaran sandera ini sama sekali tidak menguntungkan baginya. Tapi kalau dia tidak ikut dengan Jagal, nasib Nada diombang-ambing oleh RKZ, dan Nanto bukanlah orang yang akan mengorbankan begitu saja seorang gadis di tangan penjahat-penjahat busuk seperti RKZ.

Di lain pihak, pertarungan dengan Dinasti Baru juga belum berakhir.

Apa yang harus ia lakukan?

Jagal melihat kebimbangan di mata si Bengal.

“Saat ini aku berada di depanmu untuk meminta tolong dan memohon bukan untuk diriku sendiri, aku di sini untuk non Nada. Hanya kamulah yang bisa menolong dia.” Wajah Jagal amat serius, ini bukan permintaan main-main dan bukan atas nama pribadi. Ini demi masalah yang sepertinya lebih besar daripada mereka berdua. “Waktu sangat berharga. Putuskanlah dengan cepat. Aku mengkhawatirkan keselamatan non Nada.”

Nanto mengerutkan kening, bagaimana mungkin orang ini meminta dia meninggalkan kawan-kawannya yang sedang bertarung dan mengambil keputusan yang…

“Pergilah.”

Nanto melirik ke belakang, di sana ada Deka dan Hageng yang berdiri dengan tenang.

Nanto menggelengkan kepala. “Nyuk, aku…”

“Aku sudah mendengar semuanya dari si T-Rex.” Deka mengangkat tangannya, dia tersenyum, dan menepuk pundak si Bengal. “Kami pasti bisa mengatasi semua masalah di sini. Aku tahu kamu selama ini selalu mendukung kami dan men-support kami apapun masalah yang kita hadapi bersama – tapi saat ini ada seorang gadis yang sangat membutuhkan pertolonganmu, rasa-rasanya itu adalah alasan yang amat kuat bagimu untuk pergi dari sini sekarang dan membantu menyelamatkannya. Setelah ini aku akan bertarung dengan Amar, jangan khawatir – aku pasti bisa mengatasinya.”

“Deka betul. Kami pazti biza mengatazi zemua mazalah di zini.” Hageng tersenyum, “Kami bukan orang-orangan zawah yang hanya biza goyang zaat bimbang. Jangan khawatir, zeperti yang zudah aku bilang, kalaupun kami kalah – itu hanya berarti kita berpindah afiliazi. Kita mazih akan tetap berzama-zama.”

Nanto menggeleng, “aku tidak tega – tidak bisa… kalian adalah…”

“Pergilah.” Deka menonjok perlahan pundak si Bengal, “Demi Roy. Jika ada di samping kita saat ini, dia pasti akan menjadi orang pertama yang akan menyuruhmu menolong gadis itu. Masih ingat jaman SMA dulu? Dia selalu bilang kalau kita harus menjadi pembeda. Kita bukan seperti kelompok lain, kita punya prinsip untuk menjadikan semuanya lebih baik dengan cara kita. Meski hanya bagai segumpal debu di jalan – tapi kita harus memperbaiki kota yang bobrok oleh ulah orang-orang ini.”

Nanto menundukkan kepala.

Deka ada benarnya.

Ketika mereka semua dulu mengakhiri kiprah berangasan saat SMA, adalah Roy yang mengajarinya mengenai arti berjuang dan berusaha untuk berbuat lebih baik, bukan menjadi yang terbaik.

Demi Roy.

Ketika mengangkat kepala, senyum terkembang di bibir si Bengal. “Baiklah. Aku percaya pada kalian. Selesaikan semuanya sampai tuntas. Kata siapa kita akan berpindah afiliasi? Deka pasti bisa mengalahkan Amar Barok.”

Deka dan Hageng saling berpandangan, lalu tertawa. Itu jelas bukan memberikan kepercayaan tapi lebih ke memberikan tekanan ke pundak si Gondes. Tapi tak apalah, mereka semua siap menghadapi semua rintangan.

“Jadi bagaimana?” tanya Jagal.

“Aku ikut sampeyan.” Nanto mengangguk pada Sulaiman Seno dan membalik badan untuk berhadapan dengan kedua sahabatnya, “Aku titipkan Lima Jari dan nasibnya pada kalian berdua. Kalah menang soal biasa. Kalau Deka sampai kalah, aku akan mengajukan banding ke om BMW dan menantangnya langsung. Dia sudah ingkar datang kemari jadi aku juga bisa bilang kalau pertarungan ini tidak sah – karena kemarin aku menantang dia, bukan kroco-kroconya.”

“Apa iya biza begitu?” Hageng mengerutkan wajah penuh tanda tanya.

“Hahaha, seandainya saja bisa.” Nanto menepuk pundak Hageng.

Hageng mendengus.

Tak lama kemudian, si Bengal dan Jagal akhirnya meninggalkan lapangan bola basket UTD untuk mengatur pertemuan dengan RKZ. Sementara Deka dan Hageng kembali menuju arena.

“Kamu yakin biza mengatazi kakakmu zendiri dengan Perizai Genta Emaz, Ndez?”

“Tidak. Demi apa aku bisa mengalahkan dia pakai PGE. Level Perisai Genta Emas-nya sudah jauh lebih tinggi dariku. Jangankan melukai, menembus aja pasti butuh effort banget. Kalau dengan PGE, tidak – aku pasti akan kalah.”

Blaikane. Ha, teruz gimana?”

“Ya kita coba saja kan? Siapa tahu bisa. Kalau ga bisa ya sudah.”

“Nah begini nih. Angel wez angel…”

“Tenang saja. Perisai Genta Emas-ku memang ada di bawah Amar, tapi itu kan jurus pertahanan. Kita berdua punya jurus serangan yang berbeda – dan itu seharusnya benar-benar akan jadi pembeda.”

“Yakin menang dengan juruz zerangan?”

“Tidak juga.”

Weladhalah.” Hageng hanya dapat melihat dengan pasrah ketika Deka melangkah ke tengah arena untuk sekali lagi menjumpai Amar Barok. Kakak beradik itu saling bertatapan.

“Sudah selesai masalah si Nanto dengan Seno tadi?” tanya Amar Barok.

“Sudah. Dia harus meninggalkan arena karena ada urusan.”

Amar mengangguk-angguk. “Ini sudah bukan main-main lagi, kalian sekarang berhadapan dengan kelompok-kelompok terbesar di kota. Sudah bukan geng SMA dan bukan pula geng Kampus. Jagal adalah nama yang disegani karena kemampuannya dan dia termasuk dari empat anak panah dari JXG. Kalau kalian menganggap ini semua hal remeh…”

“Tidak perlu khawatirkan kami – kita fokus saja ke pertarungan ini.” Deka menyunggingkan senyum. “Aku sudah tidak peduli lagi.”

Amar menyeringai. “Setuju dengan aturan yang tadi kita terapkan?”

Deka mengangguk. “Deal.”

“Bagus. Ayo maju!”

.::..::..::..::.

“Pergi dari sini! PERGI!”

Hanna yang masih terkejut dan sudah terlepas dari cengkraman tangan sang durjana Reynaldi buru-buru berlari dan menghampiri Kinan yang masih tergeletak. Gadis itu sempat menengok ke belakang dengan khawatir ke arah pria yang baru saja menyelamatkan dan memintanya untuk pergi.

Pria itu berhadapan satu lawan satu dengan Rey. Keduanya sama-sama kokoh berdiri tanpa bergeming. Saling tegas mengokohkan posisi bahwa tidak ada yang takut dan pengecut.

Kinan melenguh lirih saat Hanna mendekati dan mencoba mengangkat tubuhnya. Kinan mencoba membuka mata tapi rasanya berat sekali.

“Ka-kamu tidak apa-apa? Kita harus segera pergi dari sini! Cepat ayo, kumpulkan tenagamu!” desis Hanna panik, “Kinan?”

“Mmhh…” Kinan berusaha sekuat tenaga berdiri namun sekujur tubuhnya terasa amat lemas. Gadis itu hanya menurut saja ketika Hanna mengaitkan tangan Kinan di pundaknya dan mereka berdua melangkah bersama menuju ke arah keluar melalui jalur mobil yang tidak memerlukan tangga untuk didaki.

Sembari membantu Kinan yang teramat lemas, Hanna terus menerus menengok ke belakang. mengamati dengan khawatir aksi sang penolong.

Bibirnya berbisik pelan. “Glen…”

Ya.

Adalah Glen yang telah menolongnya, tunangan yang sebenarnya sedang coba ia tinggalkan. Tunangan bertangan ringan yang membuatnya untuk sementara tinggal bersama dengan Om Darno dan Tante Susan, saudara dari Mas Nanto. Ia sama sekali tidak menyangka Glen akan menolongnya di saat-saat seperti ini. Suka tidak suka, benci tidak benci, ada kekhawatiran menyeruak di batin sang dara jelita. Tapi keselamatan dirinya dan Kinan jauh lebih penting.

Ketika Hanna dan Kinan sudah lenyap dari pandangan, Glen menarik napas lega. Ia menatap ke arah Rey dengan pandangan tajam. Kalimatnya tegas dan berdesis karena menahan emosi. “Jangan macam-macam dengan kekasih orang. Mau tangan sebelah mana yang dipatahin?”

Rey tersenyum meremehkan.

Prex su.” Ia mendengus dan melambaikan tangan untuk meninggalkan Glen, “Sudahlah… tukang coli yang kontolnya cuma setutup kecap macam kamu bisa apa sih? Kita – kamu dan aku – tidak selevel. Kalau mau selamat, sebaiknya pergi dari sini dan jaga cewekmu itu baik-baik. Kalau tidak dijaga, di lain kesempatan bakal aku entotin.”

Jinguk!” Glen tidak terima dengan hinaan Rey. Ia mendorong tubuh pria yang sebenarnya sedang berjalan menjauhinya itu dengan kasar. “Begini-begini aku juga punya harga diri! Dasar tae kocheng! Kamu meremehkan aku, he!?”

Rey terdorong hingga tiga tindak ke depan, tentu saja tidak sampai jatuh karena tubuhnya sangat seimbang. Sang durjana pun menjadi terbakar emosi meski ia masih terjaga dan tenang. Ia memutar tubuhnya untuk kembali berhadapan dengan Glen. “Bangsat, kamu itu memang ya… baru saja kamu membuatku kehilangan tunggangan kuda poni putih yang lezat, sekarang kamu mendorongku seperti orang tanpa dosa.”

“Memangnya kamu mau apa, ha!? Mau apaaaa!?” Glen sudah gelap mata, ia menyiapkan kepalannya.

Swwwngkkh!

Bkkkgh!

Satu pukulan kencang dilontarkan oleh Glen, menggoyahkan rahang kiri Rey yang langsung membuatnya terpelanting ke arah kanan. Kali ini Rey sama sekali tidak bisa seimbang karena kerasnya pukulan, tubuhnya terhuyung-huyung meski tidak sampai terjatuh.

Saat bisa menguasai diri, Rey tersenyum culas. Bangsat satu ini benar-benar…

Swwwngkkh!

Bkkkgh!

Belum sempat Rey mengatur langkah, Glen sudah kembali melemparkan pukulan kedua. Tidak sia-sia jika selama ini Glen sempat berlatih ilmu bela diri tangan kosong – meski tanpa penguasaan tenaga dalam ia tetap dapat merepotkan. Dua pukulannya melesat dengan cukup cepat.

Rey terhuyung-huyung kembali, kali ini ke arah yang berlawanan. Tapi masih tidak jatuh karena ia kembali berhasil menguasai keseimbangannya. Sejak tadi Rey memang tidak mengaktifkan kemampuannya dan tidak berusaha melakukannya karena ia bisa menerka sebesar apa sebenarnya kekuatan sang lawan. Dia tahu mereka tidak seimbang.

Tapi dua pukulan rasanya sudah cukup.

Kini saatnya memberi pelajaran.

Rey menatap kedua tangannya yang kini membentuk cengkraman dan makin lama kian menghitam. Dia terkekeh sembari berbisik perlahan, “Ki Suro… apakah berminat dengan tumbal berikutnya?”

Glen yang tidak menyadari perubahan pada diri Reynaldi mengambil keputusan yang salah dengan tetap bertahan di parkiran mobil itu. Dia seharusnya menyingkir saat Rey melepaskannya tadi. Karena kini, nasibnya ada di tangan sang durjana.

Swwwngkkh!

Sekali lagi Glen mencoba memukul. Ia melakukannya karena penasaran sejak tadi ia tidak bisa merobohkan Reynaldi. Beberapa kali jotos lagi, dia pasti bisa merobohkannya! Ini semua hanya masalah tekad dan kesempatan!

Bdpp!

Tangan Glen terhenti sebelum sampai di wajah sang durjana. Mata tunangan Hanna itu terbelalak saat kemudian Reynaldi menengok ke arahnya dengan pandangan tajam dan mulut menyeringai. Glen juga baru menyadari kalau tangan Rey sudah berubah menghitam.

Apa-apaan ini!?

“Sudah dikasih kesempatan untuk lari tapi tidak dimanfaatkan. Jangan sesali kebodohanmu kalau sekarang aku yang akan memanfaatkan kesempatanku,” kata Reynaldi sembari mulai merapal bait demi bait ilmu kanuragan Cakar Tangan Hitam yang membuat tangannya makin lama makin menghitam. “Ada permintaan terakhir?”

“Apa yang kau… hngh!!!

“Beginilah akibatnya kalau kamu sok jadi pahlawan. Kemampuan seupil kok berani-beraninya menantangku. Kalau memang kemampuanmu belum seberapa, sebenarnya lebih baik mundur tadi saat aku beri kesempatan. Sayang sekali kamu tidak memanfaatkannya. Kejadian kan sekarang? Hidupmu sudah cukup sampai di sini, sudah takdirmu menjadi tumbal Ki Suro!”

Glen menatap ngeri ke wajah Rey yang tiba-tiba saja berubah menyeramkan, bagai ada nuansa gelap tergambar di wajah sang durjana, wajah yang sama sekali berbeda, wajah yang bukan wajah sebenarnya – wajah seorang yang lebih tua.

Tangan Reynaldi menancap di ulu hati Glen tanpa sempat ia hindari. Pukulan Cakar Tangan Hitam dikerahkan dengan kombinasi gerbang kecepatan Kidung Sandhyakala. Hasilnya adalah sebuah teknik serangan yang teramat mematikan.

“Haaaaaaaaaaaaarrrghh!!” Glen berteriak kesakitan.

Semakin Glen meronta, semakin menancap cakar tangan sang durjana. Rasa sakit tak terkira makin terasa ketika cakar itu makin amblas ke dalam, bak lahar masuk ke tanah membongkar gunung. Napas Glen kian sesak, jantungnya berdegup kencang, bahkan lebih kencang dari seharusnya. Hidungnya mulai kembang kempis, perasaannya kacau, emosinya berontak tak mampu menguasai diri, tubuhnya melemas, benaknya perlahan-lahan menghilang ditelan kabut putih yang menangkup.

“Bagaimana? Bagaimana rasanya merasakan nyawa perlahan-lahan tercerabut dari dalam dirimu? Bagaimana rasanya merasakan ada orang yang jauh lebih hebat darimu?” kata-kata yang nyerocos dari bibir Rey tak terbendung makin mengecilkan Glen, membuatnya kian luruh dalam kehampaan. “Yang lebih penting lagi… aku akan mencari gadismu itu dan akan kuperkosa sampai mampus.”

Rasa sakit yang kian memuncak bersama dengan racun yang menyebar membuat Glen tak bisa lagi bertahan. Seluruh tubuhnya bergetar hebat bagaikan disetrum listrik ribuan volt. Tubuhnya ambruk di hadapan Reynaldi.

Sang Durjana melepas cakarnya dari ulu hati Glen saat tubuh pria itu terjatuh.

Beberapa detik berlalu. Tubuh Glen tak bergerak.

Reynaldi jongkok di samping sang pria yang sudah tak lagi berdaya, ia lalu mengelap tangannya di baju sang lawan sembari tertawa dan meledek, “Ki Suro berterima kasih karena kamu telah memberikan hidupmu yang tidak ada artinya itu untuk kebangkitannya.”

Rey berdiri dengan jumawa, lalu menginjak kepala Glen yang sudah tenggelam dalam diam.

Ia mendengus dan berlalu dengan santai.

.::..::..::..::.

Deka tidak merasakan ada Ki hebat menyala dari posisi Amar Barok berdiri. Ia tidak menyalakan Ki-nya. Ia tidak mengaktifkan Perisai Genta Emas-nya. Apakah itu karena ia sengaja mengalah? Karena mengatur strategi? Atau karena memang hendak meremehkannya? Deka melesat maju dan mulai menghujani Amar dengan ledakan pukulan yang tak tentu arah.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh.

Tujuh pukulan beruntun meledak tapi tak ada yang bersarang di badan sang kakak, semua menerpa ruang kosong. Amar mampu mengelak dengan cepat dengan melangkah mundur dan menggoyang badan.

“Pukulanmu tidak serius, Kun. Sangat mudah terbaca lawan. Itu karena kamu ragu-ragu. Gerakkan badan dengan lebih luwes dan pastikan tanganmu tidak naik turun karena itu memberikan lawan kesempatan untuk membaca kapan pukulanmu dilakukan.”

“Asem.”

“Saat lengan kananmu mundur sedikit, aku langsung tahu tangan kananmu pasti akan segera melesat. Aku dengan mudah menghindar ketika pundakmu berubah posisi. Gerakanmu itu mudah terbaca. Ayo lebih kreatif lagi.”

“Aseeeeeeeeem!”

Deka mulai menerjang dengan lebih serius tanpa mengeluarkan Ki, ia menerjang posisi dalam sang Kakak. Ketika berkelit dari pukulannya, Amar dengan mudah menghindar sembari meliukkan badan, tapi posisi tengahnya tetap.

Ya. Saat menghindar dari pukulannya Amar tidak menggerakkan perut ke bawah, hanya dada ke atas. Itu yang Deka amati sejak tadi – karena ia hanya mengincar bagian kepala maka Amar bergerak sesuai posisinya.

Kini Deka mengincar bagian tengah.

Satu. Dua. Tiga. Empat.

Bpph! Bpph! Bpph! Bpph!

“Bagus. Bagus. Nah begitu, Kun. Baca arah dan gerakan lawan. Pastikan mengincar posisi yang tidak memungkinkan ia berkelit.”

Amar tidak lagi menghindar, ia kini mengerahkan tangannya untuk menangkis setiap pukulan yang datang karena tidak mungkin lagi membebaskan diri dari serangan hanya dengan menggoyang badan, apalagi kini Deka mulai lebih taktis dan cepat. Serangan Deka tidak berhenti meski Amar sudah mampu membaca serangannya dan menangkis semua pukulan yang datang.

Satu. Dua. Tiga. Empat.

Bpph! Bpph! Bpph! Bpph!

Gerakan tangan Deka makin lama makin melemah karena tak kunjung menjumpai target. Bahkan tanpa Perisai Genta Emas sekalipun, Amar tetaplah seorang petarung yang tangguh. Semua pukulan mentah Deka berhasil ditangkis.

Hageng mengamati pertarungan di samping Abed dan si Jack.

“Perbedaan kemampuan mereka terlihat,” kata Abed saat mengamati hujan pukulan Deka yang mendera Amar Barok. “Amar dengan mudah menangkis semua serangan Deka, bahkan tanpa mengeluarkan tenaga berlebih ataupun Ki. Sampai sejauh ini dia hanya melayani saja semua serangan yang datang tanpa sekalipun mengeluarkan serangan.”

“Zetahuku zerangan Amar Barok hanya yang raungan itu. Memang ada yang lain lagi? Aku belum pernah melihat dia bertarung dengan full power zebelumnya.” Hageng bertanya.

“Buanyak, bos.” Si Jack mengangguk-angguk. “Selain Perisai Genta Emas sebagai pertahanan, memang dia juga punya Raungan Singa Emas yang bikin lawan-lawan kontal sampai jauh – tapi itu hanya sebagian jurus dari rangkaian ilmu kanuragan Singa Emas. Kemampuannya dan ilmu kanuragannya sempat membuat heboh dan Amar diperebutkan oleh banyak kelompok sebelum akhirnya ia bergabung dengan Om BMW di Dinasti Baru. Itu yang aneh, kenapa dia bergabung dengan kelompok sekotor Dinasti Baru padahal sesungguhnya dia berasal dari aliran lurus.”

“Kalau Deka bagaimana, bos? Bisa apa dia?” giliran Abed yang bertanya.

Hageng tersenyum kecut. “Nganu… aku biza jelazkan….”

Di tengah arena, Deka masih kebingungan membongkar pertahanan Amar Barok – padahal ini masih belum memakai PGE sama sekali. Kopet jan kopet. Gimana ini caranya? Apa ya harus mati-matian sedari awal?

Deka mendengus, ia memang masih menyimpan beberapa senjata rahasia, tapi benci sekali dia kalau harus mengeluarkan semua jurus andalan yang masih ia rahasiakan pada pertarungan ini. Itu kan artinya memberi kesempatan pada lawan untuk mencari cara menetralisirnya di kemudian hari. Bangsat jan bangsat. Deka sudah terpojok. Dia tidak tahu cara lain lagi untuk membongkar pertahanan Amar.

“Bagaimana? Mulai frustasi?” ledek Amar. “Aku bahkan tidak menggunakan Raungan Singa Emas dan Perisai Genta Emas tapi kamu sudah kerepotan. Itu artinya kamu harus berlatih lebih banyak lagi, Kun. Bayangkan seandainya lawanmu itu bukan aku, barangkali sudah jadi bubur kamu sekarang. Sungguh hanya sebatas mimpi kalau kalian mau berhadapan dengan om BMW dengan kemampuan seperti ini. Sama sekali tidak level! Perbanyak latihan, kurangi pacaran.”

Deka mendengus.

Ancang-ancangnya terbentuk, kaki kanan ke belakang, kaki kiri maju ke depan. Dia siap untuk menerjang kembali. Tidak bisa dibendung dan ditahan-tahan memang, dia harus mengeluarkan sesuatu yang belum pernah Amar lihat sebelumnya.

Deka merapal beberapa patah kata, meningkatkan Ki dan menyalurkannya ke kedua lengan dan kedua kaki. Meski tidak ada yang bisa melihatnya, tangan dan kakinya bagaikan menyalurkan hawa api kebiruan.

“Oh?” Amar Barok melangkah mundur untuk mengamati kuda-kuda sang adik. Kedua kepalan ia persiapkan. Ini berbeda dengan yang tadi, aliran Ki dari Deka sudah mulai terbaca meski bukan untuk mengaktifkan perlindungan Perisai Genta Emas. Dari mana Deka mempelajari jurus seperti ini?

“Aku tidak akan menggunakan Perisai Genta Emas sekalipun dalam pertarungan kali ini.” desis Deka yang bagaikan sedang dilalap oleh api biru yang tak nampak secara kasat mata, hanya orang-orang tertentu dengan bekal Ki yang mencukupi yang dapat melihat tersebut. “Aku bisa mengalahkanmu tanpa jurus pertahanan itu.”

Amar menggoda dengan senyum licik. “Aku juga tidak memerlukan Perisai Genta Emas untuk menang darimu. Tapi kalau berhasil mengalahkanku… apakah itu artinya kamu siap kehilangan kesempatan untuk bersama Dinda?”

Deka terbelalak dan menyadari apa yang harus ia relakan jika ia menang melawan Amar Barok. Teriakan-teriakan pendukung Aliansi dan Dinasti Baru bagaikan angin lalu yang masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Apakah dia ingin menang untuk Lima Jari, atau memilih kalah demi Dinda? Apa yang harus dia lakukan?

“Jangan ragu-ragu!”

Bentakan Amar menyadarkan Deka, sekaligus membuatnya awas akan serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh sang kakak. Inilah kali pertama Amar melakukan serangan sejak dimulainya pertarungan. Sebuah kepalan yang melayang deras ke arah ubun-ubunnya.

Beruntung dia sempat sadar akan jotosan Amar, Deka merunduk ke bawah dan ke samping, berkelit maju denga langkah tegap untuk menghindari serangan sekaligus melontarkan dua hantaman ke dada sang kakak.

Bldddm! Bldddm!

Dua kepalan berselimut api biru menghantam dada Amar. Sang singa emas Dinasti Baru terlempar ke belakang. Tapi wajahnya tak menunjukkan kesakitan, ia justru menghembuskan napas seakan membuang energi hempasan yang diakibatkan oleh pukulan Deka keluar dari tubuhnya. Amar terbang melayang dan turun dengan pelan usai melepaskan tenaga yang masuk dari pukulan Deka tadi dengan tangan yang digerakkan melenggang ke depan.

“Luar biasa, Kun.” Amar menyeringai pada sang adik. “Yang begitu yang aku maksudkan. Bertarunglah dengan serius dan kerahkan semua kemampuan. Yang kita pertaruhkan bukanlah hal yang main-main. Kita mempertaruhkan nasib kelompok.”

“Meski sudah serius, kamu tetap bisa menetralisirnya.”

“Itu karena aku sudah bisa membaca apa yang akan kamu lakukan sehingga memaksamu melepas pukulan lebih cepat tanpa ancang-ancang yang lebih lama.” Amar mendengus, “kamu mudah sekali melepaskan fokus, Kun. Hanya dengan menggiringmu untuk berpikir mengenai pertarungan ini dan siapa yang berhak atas Dinda membuat fokusmu terbang.”

Deka kembali melakukan ancang-ancang dengan membakar api birunya.

“Dari mana kamu belajar ilmu kanuragan ini, Kun? Bahkan aku tidak mengenali ilmu apa yang sedang kamu praktikkan. Ini bukanlah ilmu yang kita dapatkan dari Pakdhe Wid atau dari keluarga kita yang lain.”

“Kamu tidak perlu tahu – tidak semua hal tentangku perlu kamu ketahui.”

“Baiklah. Aku akan padamkan api birumu. Maju!”

Deka melesat maju. Pukulannya deras mengalir.

Kanan, kiri, kanan, tengah, depan, samping, tengah, kanan, kiri.

Bpph! Bpph! Bpph! Bpph! Bpph! Bpph! Bpph! Bpph! Bpph!

Semua mental semua mentah.

Ia menyerang ke segala arah dengan kepalan yang terarah. Meski seakan hujan menghunjam tercurah, tapi pertahanan sang kakak bak tanpa celah, membuat Deka yang gagal harus berulangkali menahan amarah. Meski begitu ia tak akan pasrah. Amar memang bukan lawan yang kebanyakan polah, apalagi suka bertingkah. Jangankan bisa singgah, untuk melesakkan pukulan pun susah. Harus ia akui kalau sang kakak memang gagah dan itu membuatnya gerah, karena pertarungan ini hanya akan diselesaikan jika salah satu dari mereka gegabah atau mengalah.

Atau jika ia berhasil menyarangkan pukulan andalan barunya.

Ancang-ancang si Gondes terbentuk, kaki kanan ke belakang, kaki kiri maju ke depan. Keran Ki dibuka, tubuhnya dialiri hawa api biru yang membungkus dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Hanya mereka pengguna Ki yang mampu menyadarinya.

Termasuk Hageng yang sudah dibuka aliran Ki-nya. Pemuda itu masih bertanya-tanya, jurus apa sebenarnya yang diperagakan oleh Deka? Jurus api biru? Jurus apa ya? Pancaran sinar petromaks? Hmm… kalau tidak salah ingat, ada satu kawah di sebuah gunung yang memancarkan api biru. Gunung apa ya itu namanya? Apakah ada hubungannya? Tapi kapan Deka mempelajarinya? Kenapa tidak pernah ia keluarkan kemampuan ini? Kenapa dirahasiakan? Sejak kapan ia menguasainya?

Ada yang harus mereka obrolkan bersama nanti seusai pertarungan.

“Heaaaaaaaaaaaa!!”

Teriakan keras Deka menjadi pertanda. Semua mata mengarah ke tengah arena. Ada dua wajah bertemu dan sama-sama berkehendak.

Deka kembali mengayunkan lengan – hendak menyarangkan pukulannya.

Tapi Amar lebih cepat. Dengan meraung kencang, ia melesat mendekat ke arah Deka, tangannya mencengkeram baju sang adik, lalu dengan sekuat tenaga mendorong, mengangkat, dan melemparkan tubuh Deka ke samping!

“Harooooooooooooooooooooghhhh!!”

Bak singa menubruk kijang, Amar Barok menerkam, mengoyak, dan melemparkan tubuh Deka hingga terlempar ke udara dan jatuh berdebam terguling-guling di lapangan basket. Tubuh si Gondes seakan remuk seluruh tulangnya saat terbanting di atas arena.

Seluruh simpatisan Dinasti Baru bersorak-sorai. Ini artinya kemenangan sudah terbilang.

Sembari menahan sakit, Deka kembali berdiri sekuat tenaga – lebih tepatnya ia sedang berusaha berdiri sekuat tenaga. Tubuhnya sempoyongan dan kepalanya berputar tujuh keliling, tapi sekali lagi – ia tak akan kalah semudah itu. Dia telah dipercaya Nanto, maka dia harus membuktikannya! Satu-satunya jalan untuk menghentikan Deka adalah dengan membuat ia terkapar tanpa bisa berdiri kembali!

Amar Barok tersenyum melihat sang adik terus berupaya.

Saat Deka berdiri tegap – Amar menyaksikan Deka mengayunkan tangan kanan dan kiri dengan gerakan yang aneh. Mirip kepakan seekor burung. Matanya tajam menatap ke depan, kakinya kembali dengan ancang-ancang seperti saat tadi ia mengeluarkan kepalan berselimut api biru. Kembali api biru menyelimuti dan meilndungi tubuh Deka. Tapi tidak berhenti di situ saja, terasa Ki milik Deka kembali meningkat lebih tinggi – terlalu tinggi bahkan.

Amar hendak menyerang kembali untuk menghentikan Deka agar tidak melukai dirinya sendiri, tapi sesaat kemudian ia berhenti sebelum mencapai tubuh sang adik. Amar menatap tak percaya apa yang ia lihat dan rasakan.

Api biru di tubuh Deka berubah. Separuh tubuhnya diselimuti api yang kini berwarna kemerahan, sebelah lagi bak ditelan oleh es dingin yang membiru gelap. Apa-apaan ini?

Amar terbelalak. “Kun? Jangan-jangan yang kamu kuasai itu…”

Belum sempat Amar menyelesaikan kalimatnya, Deka sudah menyorongkan tangan kirinya ke depan!

“Hngkkkghhhhhh!!”

Sang singa emas dari Dinasti Baru itu terhenyak terkena satu serangan yang terlontar dari jarak cukup lumayan. Sakitnya sih tidak seberapa, tapi yang parah adalah… dia tidak bisa bergerak sama sekali! Bagai sedang dijebak oleh sentakan aliran es yang memenjarakan tubuhnya! Luar biasa!

Hageng yang menyaksikan itu juga sampai berdiri dan geleng-geleng kepala. “Gila zi Deka! Zejak kapan dia biza menguazai juruz kampret zemacam ini? Luar biaza!! Zentakan energi ez dari tangannya berhasil mengunci pozizi Amar Barok! Ini Deka atau Zub-Jero ini? Hahahaha! Ayooo Ndeeez! Finizh him!!

Melihat Amar sudah terkunci tak bergerak, Deka meloncat tinggi dan mengayunkan tangan kanannya! Nyala api astral-nya membesar dan makin tak terbendung. Kepalannya meledak menuju ke arah wajah Amar Barok dengan kecepatan tinggi!

Pasti kena kali ini!

Bdpph! Bdpph!

Deka terbelalak.

“Kamu pikir yang seperti itu cukup?” Amar tersenyum meremehkan sembari melemparkan tangan Deka ke samping.

Deka sungguh tak percaya.

Kepalan tangannya berhasil ditahan oleh jari tangan Amar Barok yang tersenyum penuh percaya diri dengan angkuh! Dia berhasil bertahan dari serangan jurus ilmu kanuragan baru milik Deka! Bagaimana mungkin? Bukankah tadi dia berhasil menahan dan mengunci tubuh Amar supaya tak bisa bergerak? Bagaimana bisa dia lepas dan menahan serangannya?

“Masih kurang, Kun. Kamu butuh belajar lebih…”

Bleeedaaaaaaaaaaaaaam! Bleeedaaaaaaaaaaaaaam!

Bak ledakan bom atom yang dilepaskan di atas Hiroshima dan Nagasaki, dua kepalan Deka meledak di wajah Amar Barok yang baru saja melepas pertahanannya untuk berbicara dengan Deka. itulah satu-satunya kesempatan bagi si Gondes untuk menyerang Amar Barok! Saat dia menasehatinya!

Karena tak menyangka Deka akan menyerang, tubuh Amar terlontar ke belakang dan ambruk setelah terguling beberapa kali. Ia terbanting berulang di arena.

Bdddkgh! Bdddkgh! Bdddkgh!

Amar tak bergerak setelah itu.

Ableh Ndaho menatap tak percaya. Mau tidak mau ia menghitung.

Satu.

Dua.

Hah? Masa Amar sudah KO?

Para anggota Dinasti Baru saling berpandangan. Mereka tak percaya. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Amar Barok nan perkasa bisa kalah dengan begitu mudahnya? Antiklimaks! Ini sih main-main namanya! Dia bahkan tidak mengeluarkan jurus-jurus andalannya! Boro-boro Raungan Singa EmasPerisai Genta Emas saja tidak muncul! Tunggu saja kalau om BMW mendengar kalau Amar tidak serius dalam bertarung! Akan ada sidang hukuman di dewan tertinggi Dinasti Baru!

Tiga.

Empat.

Aliansi bersorak-sorai sementara Dinasti Baru geleng-geleng kepala, mereka kecewa pada Amar Barok yang jelas-jelas mengalah.

Dari kejauhan mereka tidak bisa melihat senyum terkembang di bibir Amar yang masih terkapar di tengah lapangan. Deka juga tidak bisa. Hanya Ableh Ndaho yang dapat mengetahuinya – dan ia geleng-geleng kepala. Sejak sebelum pertarungan diadakan, Amar memang sudah menemui Ableh untuk membicarakan niatnya mengalah. Meski Ableh menentang habis-habisan, tapi ternyata Amar tetap melakukannya.

Tujuh.

Delapan.

Sembari berpura-pura lemas, Amar mencoba berdiri. Anggota Dinasti baru sempat menaruh harapan… tapi harapan mereka musnah saat Amar kembali ambruk. Tak urung beberapa anggota baru Dinasti Baru meludah ke tanah. Mereka benar-benar muak dengan aksi Amar.

Sembilan.

Sepuluh.

Ableh Ndaho mendatangi Deka, dan mengangkat tangan si Gondes.

Ledis and jentelmen!! We have a winner!! Pemenang pertarungan ketiga adalah Dekaaaaaa! Dengan demikian Lima Jari dari Aliansi unggul 2-1 atas Dinasti Baru!!”

Sorak-sorai pun terjadi di kubu Aliansi sementara Dinasti Baru menyerukan kekecewaan. Beberapa orang yang tidak menyukai Amar Barok segera menelpon markas besar Dinasti Baru untuk mengusulkan sidang penentu nasib sang Singa Emas yang telah sengaja mengalah demi sang adik – atau setidaknya itu yang mereka perkirakan.

Napas Deka kembang kempis, sang pemuda itu pun jatuh terduduk di tengah lapangan. Dia tidak percaya ini sungguh terjadi, dia menang! Dia menang melawan Amar Barok!

Ini bagaikan mimpi.

Benarkah Dia menang?

Meski kemenangan dipastikan melalui mengalahnya Amar, tapi sudah jelas Lima Jari tidak akan bergabung dengan Dinasti Baru, malah Dinasti Baru yang akan membantu Aliansi di saat-saat mendatang.

Meski untuk itu Deka harus kehilangan kesempatan untuk mendekati Dinda.

Deka melirik ke arah Amar.

Amar tersenyum dan mengangguk.

Deka membalas senyumannya, lalu tertawa. Dia mengangkat tangannya ke udara. Teman dulu baru kekasih, begitu saja ya? Dia tertawa dalam pahit. Sang adik tidak menyadari bahwa nasib dan karir Amar Barok di Dinasti Baru justru terancam olehnya.

Hageng datang dengan tertatih-tatih karena kakinya masih terasa sakit. Dia bertepuk tangan dan duduk di samping Deka yang masih terbaring lemas tak berdaya menatap angkasa.

“Luar biaza, Ndez. Ga nyangka kamu biza menang,”

“Kamu pasti kalah taruhan ya?”

“Iya e. Lumayan.”

“Bangsat. kenapa ga naruh koinmu di aku?”

“Ya tahu zendiri lah ya, mana biza kamu mengalahkan Amar Barok kalau dalam kondizi normal.”

Wasu.”

Hageng tertawa.

Tak lama kemudian ponsel Deka berbunyi, demikian juga ponsel Hageng, keduanya saling berpandangan. Kenapa ponsel mereka bisa berdering di saat yang bersamaan?

Deka membuka layar ponselnya dan ia terkejut saat membacanya. Ada yang sedang mengail di air keruh rupanya, memanfaatkan situasi. Bangsat-bangsat itu!

Hageng pun terbelalak saat membaca pesan di grup Lima Jari.

RKZ masuk Kandang Walet. Kode Bravo. Bian.

Bersambung

Anak ABG cantik foto bugil di kirim ke Whatsapp
Cerita Seks Anuku Di Kocok Mbak Irma
toge perawan
Hadiah Cinta Dari Melly
tante genit
Tak kuasa menahan rayuan tante ginit yan super sexy
masturbasi
Cerita sex menikmati puncak gairah di warnet
karyawan cantik bugil
Vony gadis cantik teman kantor yang punya libido tinggi
Siti SPG cantik aku menikmati tubuhmu
Perselingkuhan Yang Hingga Kini Masih Berlanjut
ngentot bos cantik
Three some dengan tiga gadis cantik waktu liburan ke tretes
Cerita dewasa menjadi penikmat istri orang
Abg Jembut Lebat Masturbasi Pakai Lipstick
Melayani Nafsu Birahi Ibu Kost Yang Binal
janda pembantuku
Desahan Kenikmatan Seorang Janda Pembantuku Bagian Satu
korban dukun cabul
Cerita hot kisah si dukun cabul bagian satu
Foto mahasiswi cantik foto bugil setelah cukur jembut
Foto bugil memek berbulu full HD