Part #31 : JIKA ENGKAU

Tidak ada peperangan yang baik dan tidak ada perdamaian yang buruk.
– Benjamin Franklin

Abi bertubuh pendek, ia tidak memiliki ilmu tinggi, dan hanya bisa mengandalkan sepasang kepalan yang selalu ia jadikan senjata utama. Dalam bertarung ia kadang menang, kadang kalah; lebih sering kalah terutama jika berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tangguh. Tapi Simon tak pernah sekalipun meragukannya, bahkan mempercayainya dengan mendapuknya sebagai korlap. Banyak yang bertanya kenapa? Bukankah lebih banyak orang yang lebih tangguh di Sonoz? Jawabannya adalah – melalui pengamatan Simon, Abi memiliki keunggulan yang tak dimiliki anggota Sonoz lain.

Abi sangat setia dan bertanggung jawab. Dia pria yang jujur dan selalu mengedepankan kepentingan Sonoz, itu sebabnya Abi membenci pengkhianat. Ada satu lagi kualitas yang dimiliki Abi, dia selalu bangkit setiap kali ia jatuh. Ia tak pernah mengeluh dan tak pernah menyerah – dia akan berjuang hingga titik darah penghabisan demi Simon dan Sonoz.

Abi baru saja menuntaskan perlawanan beberapa orang anggota KSN setelah melalui pertarungan yang sengit. Dia terengah-engah, ngap banget – satu anggota KSN ibarat dua atau tiga anak Sonoz, perbandingan kekuatan mereka tidak setara. Untunglah ia bisa menghabisi beberapa. Sialnya tenaga Abi banyak terkuras dan napasnya kembang kempis, tapi sekarang bukan saatnya beristirahat, karena ada dua sosok punggawa baru KSN yang mendatanginya.

Saatnya menyapa kawan lama.

Pemuda pendek berkepala bulat itu berdiri tepat di depan Kang Daan dan Albino, sendiri menantang dua. Bukan lagi teman, tapi sebagai lawan.

“Sudah saatnya kita akhiri semuanya. Kalian sudah menyeberang, jadi aku juga tak akan segan.” Kata Abi dengan geram. “Sonoz tak akan lagi membuka pintu buat kalian!”

“Maafkan kami, tapi KSN lebih memiliki peluang untuk bertahan. Kita lihat sendiri kekuatan KSN seperti apa. Bahkan setelah bergabung dengan DoP pun kalian belum tentu dapat menang!” balas Kang Daan, dari duet pengkhianat Sonoz – Kang Daan yang masih mencoba menekan resiko korban. Wajar karena sudah sejak lama dia mengabdi dan tentunya sudah mengenal banyak anggota Sonoz – termasuk Abi. “Kita tidak perlu bertarung seperti ini, Bi. Tidak perlu, ikutlah dengan kami.”

“Teganya kamu mengkhianati Simon setelah semua yang ia berikan buat kamu, Kang. Kamu tidak ingat keluargamu yang sudah dibantu Simon? Sekolah adikmu, biaya pengobatan ibumu, dan masih banyak lagi?” desis Abi, “bisa-bisanya sekarang berpaling dengan mudahnya! Mana hatimu, Kang?”

“Abi! Dengarkan dulu…” Kang Daan mencoba memberikan alasan, “Simon selama ini memimpikan persatuan dan perdamaian antara Sonoz dan DoP, kan? Ya inilah wujudnya. Inilah kami – KSN. Coba lihat siapa saja yang ada di KSN: Oppa, Amon, Don Bravo, Roni, Albino, aku… bahkan ada juga Tedi Ganesha dari kampus lain. Apa itu namanya kalau bukan bersatu?”

“Bajingan. Persatuan dan perdamaian apa yang diraih dari makar dan kudeta?”

Tap.

Tangan Albino menepuk pundak Kang Daan. “Wes lah, Kang. Percuma kita menjejalkan ideologi kalau kacungnya Simon ini tak bisa menerima pembaharuan. Yang diketahui anak ayam ya cuma mengabdi pada induknya. Sekali kacung selamanya kacung.” Ucap Albino sambil meludah. “Aku sendiri juga sudah bisa habisin dia, ga perlu Kang Daan turun.”

Abi maju dan bersiap, ia memasang kuda-kuda. “Mau satu atau dua aku tak peduli. Akan aku pertahankan wilayah Sonoz sampai mati.”

Kang Daan gemas. Ia menggeleng kepala dan mengayunkan tangan pasrah pada Albino. “Kepala batu. Ya sudah, bikin dia jera, tapi jangan sampai mati!”

Mahasiswa abadi Unzakha itu melangkah pergi meninggalkan arena pertarungan antara Abi dan Albino, tak tega melihat kawan lamanya dihabisi oleh si kulit putih. Tapi baru tiga langkah ia berjalan, di hadapannya sudah berdiri seseorang menghadang.

“Mau pergi kemana? Pestanya di sini kok malah pergi.”

Kang Daan belum pernah melihat orang ini sebelumnya, tapi dari pandangan matanya, dia serius seratus persen untuk menghalangi jalurnya. Daan mendengus dan menyiapkan kepalan. “Aku tidak kenal siapa kamu. Tapi kalau tidak segera menyingkir dari hadapanku, akan aku pastikan besok ibumu akan menangis di pusaramu.”

Ck. HalahKoyo opo waeNyuk.” Bian tersenyum sambil memainkan pergelangan tangannya, ia melompat-lompat kecil, lalu berdiri menyamping dan menekuk kaki ke bawah. Tangannya menengadah ke atas lalu ditarik berulang ke dalam beberapa kali. “Maju sampeyan.”

Kang Daan mendengus.

Belum pernah dijotos sampai kandang menjangan bocah ini!

“Modyaaaaaaaaaaaaaaaar!”

Kang Daan melaju kencang dengan kepalan ditarik ke belakang sampai setengah badan. Saat jarak sekitar satu meter, ia lepaskan rudal kepalannya ke depan, menembus malam, mengincar sang pemuda bandel yang senyam-senyum kurang ajar.

Saat pukulan itu dilepas, wajah Bian berubah. Ia mengeraskan kepalan dan berteriak kencang.

“Shazaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!!”

Jeblaaaam! Jeblaaaaammmm!!

Dua pukulan dilepaskan hampir bersamaan, masing-masing mengincar wajah lawan. Tidak ada lengan menghadang, tidak ada tameng, tidak ada perisai, tidak ada jurus pertahanan. Hanya kepalan yang disarangkan ke wajah. Adu kuat antar hantaman, siapa kuat dia bertahan.

Tubuh Bian terlontar ke belakang, ia terguling beberapa kali. Sementara itu Kang Daan hanya mundur beberapa langkah saja, ia masih tegak berdiri dengan kaki menapak tegas. Bian bersalto ke belakang untuk kembali berdiri. Begitupun dia masih sempoyongan dengan kepala puyeng, huff. Dia harus menghentikan kebiasaan buruk beradu kepalan begini – bisa-bisa gegar otak.

Bian mendengus sambil menatap Kang Daan yang terdiam di depannya. Tiba-tiba saja Bian mengangkat telapak tangannya dan menekuk satu persatu jarinya. “Satu… dua… tiga… empat…”

Breeegkkh.

Kang Daan ambruk ke belakang dengan tubuh tegak dan mata terbuka.

A-apa yang terjadi? Kenapa badannya tiba-tiba saja lemas? Untung saja kondisi itu tidak berlangsung lama, dia dapat kembali berdiri dengan perlahan tapi kepalanya benar-benar tidak bisa diajak kompromi, berputar-putar tanpa jeda. Otaknya seperti ditenggelamkan ke dalam mesin cuci yang tengah mengaduk laundry.

“Heheh. Bagaimana rasanya?” Bian tersenyum sinis.

Ada bedanya pukulan yang asal dan pukulan yang mengincar titik tertentu – dan Bian dengan sengaja mengincar titik kelemahan di pelipis Kang Daan yang terbuka saat ia melepaskan pukulan tadi.

Cuh.

Kang Daan buang ludah, ia mencoba fokus kembali, bangsat kecil satu ini belum pernah dirajam jotosan rupanya. Njaluk mati kowe le! Pria yang baru saja berpindah afiliasi dari Sonoz ke KSN itu menerjang ke depan, tanpa tedeng aling-aling.

“Modyaaaaaaaaaaaaaaaar!”

Sekali lagi Kang Daan duluan yang menerjang ke depan, menyerang Bian. Kali ini serangannya lebih membabi buta, ia tak lagi mengandalkan diri pada satu serangan saja, tapi benar-benar melepaskan semua yang ia punya, entah itu pukulan, tendangan, atau bahkan ia sudah menyiapkan tandukan kepala. Efeknya Bian jadi tidak bisa lagi hanya mengincar satu titik dengan mudah.

Bian melangkah mundur sembari menghindar dengan menggerakkan bagian atas badan ke kiri dan ke kanan. Ia meletakkan kedua tangan di depan dada sebagai benteng dari serbuan Kang Daan. Bajilak, tidak ada sela. Dia tak akan bisa melepaskan serangan!

Jeblaaaam! Jeblaaaaaam!

Dua kali pukulan Kang Daan masuk ke wajah Bian, bergantian kepalanya terlempar ke kiri dan kanan. Bian pun terlontar ke samping, tapi tak seberapa jauh dan ia masih tetap bisa tegak berdiri.

Semprul, Bian sepertinya meremehkan lawan. Orang ini sudah biasa banget bertarung – pantas jadi mantan korlap Sonoz. Okelah kalau begitu, sepertinya harus ganti taktik. Dia tidak bisa menggunakan teknik yang sebelumnya. Berpikir panjang pun tidak sempat karena Bian harus segera bersiap, saat itu Kang Daan sudah datang untuk menyerang.

Bah. Orang satu ini bener-bener tidak memberi jeda!

Satu pukulan melesat dari tangan sang mantan korlap, lepas bak lemparan bola kasti yang deras menerjang. Tapi Bian sudah siap kali ini, dia mundur mengikuti langkah kaki Kang Daan yang sudah ia perhatikan sejak tadi. Bian menyamakan ritme gerakan. Bian menghentak lengan kiri Kang Daan yang tadi digunakan untuk menerjang dan memutar badan secepat mungkin sembari mengirimkan siku tangan kanannya ke pelipis kiri lawan.

Jedaaaaaagkkkh!

Masuk!

Kang Daan meraung kencang, ia limbung dan jatuh berdebam ke kanan. Bian membabibuta dengan melontarkan pukulan beruntun.

“Heaaaaaaaaaaaaaa!! Meteooor pegasuuuuuuuuuuusss!!” Bian meracau – kebiasaan buruknya kalau sedang bertarung.

Bggkkhh! Bggkkhh! Bggkkhh! Bggkkhh! Bggkkhh! Bggkkhh!

Kanan. Atas. Bawah. Kiri. Bawah. Tengah. Kiri. Semua masuk terkena sasaran. Kang Daan limbung tertartih ke belakang. Tidak cukup hanya itu saja. Bian mengejar, kakinya dilontarkan ke depan.

Jeduuaaaaaagkkkh!

Ia menyepak kepala Kang Daan sekencang mungkin. Kepala lawan yang sudah puyeng karena terantuk tanah dan disodok siku, kini semakin ambyar dengan sepakan yang brutal. Kang Daan tak bisa lagi menahan serangan, ia hanya bisa melihat hitam. Kang Daan ambruk ke tanah dengan lemas, mengakhiri pertarungannya dengan Bian.

Selesai.

Huff. Bian menarik napas lega. Kakinya menyepak pelan tubuh Kang Daan. Tidak ada balasan, orang ini sudah benar-benar pingsan. Bian mengatur napas agar bisa lebih nyaman, ia melihat ke arah lain – apakah ada lagi yang membutuhkan bantuan?

Terdengar suara teriakan kencang tak jauh dari posisinya berada.

Bian menengok ke arah pertarungan terdekat.

Ia melihat sosok Abi tengah memukuli kepala Albino yang sudah terkapar di tanah dan berdarah-darah. Abi sendiri terlihat tidak karuan, ia pasti juga baru saja menjalani sebuah pertarungan yang berat.

Jboogkkhh! Jboogkkhh! Jboogkkhh! Jboogkkhh! Jboogkkhh!

“Ini… hukuman… untuk… pengkhianat… jahanam…!” tiap kata dibarengi dengan pukulan ke wajah Albino yang sudah tak mampu lagi melawan. Darah segar yang keluar dari mulut benar-benar kontras dengan kulit putih yang ia miliki.

Wih, well juga nih si cebol berkepala bulat. Ga nyangka ternyata dia cukup tangguh dan berhasil mengalahkan Albino. Mantap jiwa.

Jboogkkhh! Jboogkkhh! Jboogkkhh! Jboogkkhh! Jboogkkhh! Jboogkkhh!

“Kenapa… kamu… harus… berkhianat?… Kita… seharusnya… membesar… bersama…!” rasa pedih dan kesal dalam hati Abi benar-benar ia luapkan. Sonoz kehilangan banyak anggota, kehilangan korlap potensial, bahkan menghadapi masa-masa yang sulit gara-gara ulah para pengkhianat. Wajar kalau Abi marah.

Dulu Abi selalu mengalah pada Albino yang lebih muda dan berangasan, ia diam saja saat dihina atau diejek, karena menurutnya itu adalah cara Albino untuk bercanda – ia terima saja dipinggirkan dan dianggap produk gagal, dicemooh tidak saja oleh si kulit pucat melainkan juga oleh anak buahnya. Ia mengalah, demi kebersamaan mereka.

Abi adalah pria yang canggung, tidak dekat dengan siapapun, lebih suka berada di lapis kedua dibandingkan menjadi orang yang dipuja di depan. Jika ada satu hal yang sangat ia banggakan, maka itu adalah Sonoz. Sonoz sudah menjadi keluarga baginya, menjadi bagian dari hidup yang tak bisa ia lepaskan begitu saja. Bahkan ketika kelak ia lulus dan pergi dari kota ini, maka ia sudah berencana untuk kembali dan bersekutu dengan keluarga Sonoz untuk membangun kebersamaan, karena di sinilah rumah dan hatinya.

Abi meraung kesal.

Ia hendak memukul sekali lagi, tangannya terangkat. Kepalan yang sudah berdarah siap dihunjamkan lagi ke wajah Albino.

Tapi tidak kali ini.

Tangannya terhenti di tengah udara, ada yang menahannya.

Abi menengok ke samping. Ada Bian di sana memegang pergelangan tangan sang korlap, ia menggelengkan kepala sambil menunjuk ke Albino yang sudah tak sadarkan diri dan mandi darah. Si kulit pucat sudah tak lagi dapat melawan, wajahnya sudah teramat parah dibongkar oleh Abi. Sudah terlalu banyak saos tomat dituangkan di wajah Albino – jika Abi menambahkan pukulan sekali lagi, maka bisa dipastikan ia akan menjadi pembunuh hanya dalam sejentikan jari.

“Sudah cukup unboxing-nya.” Ucap Bian. “Kita bantu teman yang lain.”

Sang korlap lemas menerima, ia mengangguk. Abi melepas napas panjang sambil mendongak ke udara dan meraung. Ah, ia sudah melampiaskan kesalnya.

Dia berdiri dan berjalan bersama Bian.

“Eh, tunggu sebentar.” Ucap Abi tiba-tiba.

“Ya?”

“Kamu siapa?”

“Hahaha. Aku ini Mars – sang dewa perang.” kelakar Bian sambil berjalan mendahului Abi. Siapa sangka kalau pria dengan tongkrongan preman ala Bian juga pernah baca buku Men are from Mars, Women are from Venus.

“Mars?” Abi menyusul Bian dan mereka berjalan beriringan, “bukannya itu merk bedak ya?”

“Itu Marcks, bambang! Marcks itu!” Bian sewot. Tiwas mau gegayaan jadi dewa perang, kok malah dibilang bedak.

“Oh.” Abi manggut-manggut.

Bian geleng-geleng kepala.

.::..::..::..::.

Oppa menyingkir jauh dari pertarungan para pimpinan, kalau terus menerus bertahan di lokasi awal, bisa-bisa kena jotosan nyasar, apalagi Darsono sudah menurunkan jurus pamungkasnya yang tak kenal siapa kawan siapa lawan – semua bakal diterjang. Lebih baik memang menjauh. Hanya sekali Oppa pernah melihat jurus Kodok dikeluarkan oleh Darsono, pada saat latihan – dan hasilnya bukanlah hal yang ingin dia lihat. Pertarungan pasti akan memanas dan makin menggila. Demi apa dia mau bertahan di sana? Mending menyingkir.

Oppa juga tahu diri, saat pimpinan KSN menyuruhnya pergi, maka dia harus pergi. Pemuda bertampang ganteng itu justru bersyukur karena dia bisa meloloskan diri dari pertarungan yang mungkin tak akan pernah ia menangkan. Saatnya mencari lawan yang lebih seimbang.

“Awas jangan berpisah!”

“Serang bersama!”

Kiwo!! Kiwomu!! Kiwomuuu!!!

“Jingaaaaaaaaan weeee suuuuuuuu!”

“Munyuuuuuuuuuuuuuuuk!”

Dampuuuut! Bajingaaaaaaaaaan…! Wasssuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuwww!!

“Yang di sini! Yang di sini!! Kejaaaaaaaaar!”

Tak jauh dari posisi Oppa, suara tumpang tindih kekacauan terdengar, diseling bunyi jotosan dihantar, beberapa orang jatuh terkapar, suara teriakan dan lolongan membuat jantung bergetar. Kala itu terlihat sesosok pemuda bergerak bak pendekar, melahap lawan bagaikan hantu lapar, laksana seekor elang – ia terbang mengangkasa dan menyambar, tendangan kaki beredar, meluluhlantakkan lawan demi lawan hingga mereka jatuh dan menggelepar.

Sesosok pemuda berdiri dengan tenang setelah mengandaskan empat orang berturut-turut. Oppa mendengus sengit. Siapa orang yang bertarung apik dengan tendangan ini? Siapa sebenarnya sang pengendara angin? Oppa penasaran. Dia berlari kencang, lalu meloncat tinggi seperti terbang.

Sang pengendara angin sadar dirinya diincar, ia pun meloncat sembari melontarkan tendangan. Kaki Oppa mengangkasa menyambar kaki sang pengendara angin. Dua tendangan bertemu di udara. Telapak kaki bertemu telapak kaki.

Jduuuaaaaakghh!

Kaki bertemu kaki, saling tempur, saling gempur, wani ajur. Jelas tak ada yang akan mau mengalah di ajang padang tawur.

Benturan tak terelakkan tapi seimbang. Kedua orang yang beradu kaki terpantul kembali ke posisi masing-masing dengan langsung memasang kuda-kuda. Sepertinya inilah lawan seimbang yang mereka cari. Oppa menatap pria yang ada di depannya – wajah mereka sebelas dua belas, gaya rambut mereka mirip, style fashion mereka bau-bau Korea, mungkin juga sama-sama doyan mie samyang. Tak hanya gaya rambut dan cara berpakaian, keduanya juga sama-sama mengagungkan tendangan. Oppa bagaikan berhadapan dengan kembarannya, meski orang ini jelas lebih muda dari sang Kapten KSN.

Oppa dan lawannya mendengus, mereka saling bertatapan, lalu sama-sama mengangkat satu kaki yang ditekuk di dada. Ibarat kaca – mereka seperti si kembar yang dipertemukan di saat sudah besar dengan kemiripan kemampuan dalam mengangkasa. Lihat saja sekarang, bahkan sampai ke kuda-kuda pun keduanya hampir sama.

Tentu saja yang sedang dihadapi oleh Oppa adalah salah satu dari si kembar Lima Jari – Roy.

“Aku tidak kenal siapa kamu. Tapi tendanganmu lumayan. Sayangnya hanya satu pengendara angin yang boleh hidup malam ini, dan itu sepertinya bukan kamu.” Gertak Oppa.

“Baru boleh bacot kalau sudah bikin aku moncrot.” Roy mencibir.

Oppa tersenyum sinis. “Kamu tidak kenal siapa aku kan?”

“Kenal, kamu kardus bekas fruit-ti. Dapat salam dari tukang kiloan.”

“Orang yang meledek aku biasanya tidak hidup lama.”

“Aku tidak berniat hidup lama kalau di dunia ini kalau harus menghirup udara yang sama dengan cecunguk bangsat seperti kamu!” Bagi Roy dan anggota Lima Jari, siapapun yang menyerang Hageng adalah cecunguk bangsat!

Oppa mendengus. Dia berlari ke depan, lalu dua meter sebelum sampai di depan Roy, dia mengudara, meloncat tinggi dan memutar badan, tendangannya tendangan berputar yang kencang. Jelas bukan orang dengan kemampuan rendah.

Kali ini Roy tidak memilih terbang, dia menggunakan tanah yang dipijak sebagai dasar tumpuan. Kaki Oppa melaju kencang. Roy bersiap, dia memutar badan untuk menerima, lalu melontarkan tendangan ke udara.

Kedua tendangan bersilang.

Jduuuaaaaakghh!

Meski posisinya di udara, namun Oppa justru terlontar ke belakang – seperti ada tenaga yang menolak kedatangannya dengan kuat dan teguh. Demikian juga Roy, energi besar yang dikeluarkan dari tendangan Oppa membuatnya mundur teratur beberapa langkah ke belakang.

Dua kali berbenturan, dua kali seimbang. Keduanya sigap kembali memasang kuda-kuda. Mereka saling bertatapan.

Oppa tersenyum sinis.

Roy meringis.

“Heaaaaaaaaaaaaaarrrghhhh!!” Oppa berteriak kencang dan melaju ke depan.

“Haaaaaaaaarrrrrghhhh!” Roy melakukan hal yang sama.

Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg!

Kanan! Kiri! Atas! Bawah! Kanan! Samping! Bawah! Atas! Atas lagi!

Badai tendangan terjadi tanpa bisa dihindari. Dua kaki lincah beradu, saling mengincar posisi lawan. Kaki berantuk dengan kaki, satu menerjang satu bertahan, satu menangkis satu menyerbu, satu berputar satu menghindar. Saat Roy menyerang, Oppa mencari celah tanpa lelah. Saat Oppa ganti menyergap, Roy sudah siap. Keduanya sama-sama cepat, kaki terangkat, diayun, disambarkan, disabetkan, dilontarkan, saling silang dipertemukan.

Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg!

Samping! Bawah! Atas! Kanan! Kiri! Atas! Bawah! Kanan! Bawah lagi!

Tulang bertemu tulang. Rasanya perih dan pedih. Nyeri tak terkira, ngilu ga ada obat. Kaki kiri dan kanan Roy terus menerus bekerja. Tapi semua serangannya dapat dipatahkan oleh tendangan Oppa, begitupun sebaliknya. Napas mulai berpacu, sesak di dada terasa, oksigen terhirup makin tak tersisa, tidak ada waktu untuk mengatur napas, karena sekali saja fokus terlepas, lawan akan langsung tancap gas. Kaki mereka terus saja beradu berulang, tanpa ada hari esok terbilang, semua harus diselesaikan sekarang.

“Modyaar! Modyaaaar!! Modyaaaaaaarrr!! Modyaaaaaaaarrr!” teriakan demi teriakan dilontarkan Oppa yang kesulitan mencari celah.

Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg! Bkgg!

Keringat deras terbilang jelas, dua kaki bergerak bergantian, mengincar bagian bawah, samping kanan, samping kiri, wajah kanan, kening, lutut, dagu, dan bagian atas. Tidak ada kesempatan untuk kehilangan pemusatan perhatian. Benar-benar harus fokus, tidak boleh lengah sedikitpun kalau tidak ingin ada kaki mematuk ubun-ubun. Sesekali tangan dan lengan diangkat ke atas untuk menjadi tameng dan pelindung.

Oppa mencoba menyapu lutut, Roy melompat mundur dengan satu gerakan ringan bagai daun lepas dari batang. Anggota lima jari itu menjejakkan satu kaki ke tanah sebagai tumpuan dan meloncat bak memiliki pegas di kaki sambil memutar badan untuk menerjang bagian kepala. Begitu cepatnya sampai-sampai Oppa tak dapat berpikir banyak untuk membalas serangan. Dia hanya menaikkan lengan sebagai benteng pertahanan.

Jbgggkkkhhh!

Tubuh Oppa bergetar hebat menerima tendangan memutar dari Roy, ia bahkan sampai tergeser ke samping dengan rasa linu luar biasa menyengat di lengan. Senat senut seperti digigit semut, tapi semutnya semut merah yang baru saja mukbang makan oseng-oseng mercon.

Meski sempat terlontar, Oppa tak lantas gentar. Pria tampan itu mengatur badan untuk mengirimkan tendangan berputar. Dia sudah sangat terbiasa melakukan tendangan dengan kecepatan di atas rata-rata, itu sebabnya Oppa mampu melakukannya walaupun belum lama berselang ia kehilangan keseimbangan.

Demikian juga Roy yang sadar betul arah dari tiap gerakan Oppa dan ke posisi mana ia akan bergerak, – seakan-akan mereka berdua berasal dari perguruan yang sama dan ditakdirkan untuk bertemu dalam ajang pertarungan akbar satu lawan satu Tenkaichi Budokai. Lalu apa yang akan dilakukan Roy melihat pergerakan badan Oppa? Serangan ke arah mana yang akan diincar oleh orang KSN itu sekarang?

Sasaran sang kapten KSN adalah kening – salah satu titik lemah manusia manapun. Melihat pergerakan Oppa, si pengendara angin sudah tahu apa yang diincar lawan. Ia sengaja menurunkan pertahanan bagian atas untuk memancing Oppa, saat tendangan yang dinantikan meluncur, dengan kecepatan tinggi Roy menundukkan badan ke bawah, kembali menempatkan tanah sebagai dasar punggung, lalu ia memutar kaki dengan sekencang mungkin bak gasing, mencoba menyambar satu-satunya kaki Oppa yang dijadikan tumpuan.

Mau menjegal Oppa? Tidak semudah itu, ferguso.

Oppa bersalto ke depan, ia beralih menggunakan tangan kiri sebagai tumpuan di wilayah yang tak mungkin dijangkau Roy. Ia melakukannya demi menghindari sapuan kaki lawan. Oppa lalu menghentak tangannya ke tanah dan terbang kembali ke udara.

Gerakan Oppa mengagetkan Roy yang tidak mengira lawan justru akan bersalto mendekatinya! Ia juga tak mengira tiba-tiba saja lutut sang Kapten KSN dapat mendarat di ulu hatinya tanpa bisa ia hindari.

Jduuuaaaaakghh!

Roy meraung kesakitan!

Bgkkh!

Tendangan Oppa yang kedua gagal menemui sasaran, Roy sudah berguling ke samping. Tendangan lutut ke ulu hati bukan main-main, Roy bagaikan baru saja ditabrak oleh satu container yang berisikan enam gajah yang sudah kenyang makan, dan masing-masing menggendong lima ekor ikan paus.

Sesak sekali dadanya!

“Hrrghhhh! Hrrrghhh!”

Roy berguling-guling di tanah sambil terbatuk-batuk. Sesak luar biasa!

Oppa tidak berhenti, dia kembali ke posisi berdiri dan mengejar Roy. Tendangannya dilontarkan beberapa kali bak sambaran pedang berulang yang digunakan untuk membelah tubuh Roy! Si pengendara angin tidak begitu saja berhenti dan menerima serangan tentunya!

Sambil menahan dadanya yang sakit, Roy bergulir ke arah manapun sambil mengamati serangan Oppa. Bajinguk, cepat juga kaki si bangsat ini!

Jbgk! Jbgk! Jbgk! Jbgk! Jbgk!

Sambaran kaki Oppa yang bagai sabetan pedang terus saja mengikis tanah tempat Roy bergulir. Roy memaki dalam hati dan menggerutu. Siaaaal! Tidak diberi kesempatan sedikitpun untuk mengirim dan membalas serangan!

Fokus pada Oppa membuat Roy bahkan tak bisa melihat posisi sekelilingnya. Ia lupa kalau ini bukan tarung satu lawan satu. Ia tidak melihat sesosok bayangan bergerak pelan di belakangnya.

Jduaaaaaaaaaaaakkkghh!

“Haaaaaaaarrrrghh!” Roy meraung sakit.

Roy merasakan sambaran sepakan kencang dari belakang saat ia menghindari tendangan demi tendangan yang dilontarkan Oppa. Punggungnya ibarat sedang ditusuk oleh sebilah pisau yang tajam. ia pun terlontar ke depan – tepat ke arah Oppa.

Tak ada ampun.

Jbooogk! Jbooogk! Jbooogk! Jbooogk! Jbooogk! Jbooogk!

Oppa membabibuta. Ia menyarangkan sepakan ke sekujur tubuh Roy. Kemanapun ia sanggup menyambar, akan ia sambar. Roy hanya sanggup menahan serangan dengan sepasang lengan menutup wajah dan kaki menekuk untuk menutup selangkangan. Ia bahkan sudah tak lagi sanggup berteriak saat semua sepakan Oppa masuk ke tubuhnya. Roy sudah mencoba menggulingkan badan ke kiri dan kanan, namun ia tak sanggup menghindarkan sambaran tendangan bertubi yang turun bagai hujan meteor.

“Siapa yang tadi minta moncrooot, heh!? Siapa yang tadi minta moncroooot!?” maki Oppa sembari tanpa henti.

Jbooogkh! Jbooogkh! Jbooogkh! Jbooogkh! Jbooogkh! Jbooogkh!

Napas Roy terengah tak beraturan, matanya terpejam, dadanya sesak, tubuhnya bagai sudah tak sanggup lagi menahan rasa sakit yang dijejalkan berulang, kesadarannya mulai terbang, matanya mulai berkunang, gelap mulai membayang. Habis dia kali ini.

Jbooogkh! Jbooogkh! Jbooogkh! Jbooogkh! Jbooogkh! Jbooogkh!

Tangan Roy turun seiring masuknya ke dalam gelapnya kesadaran. Pertahanannya terbuka lebar! Sasaran empuk. Kaki Oppa bergerak cepat, menyepak kepala Roy.

Jblaaaaakghhhh!

Roy tersambar, dia terguling ke samping dan saat terhenti tubuhnya tak lagi bergerak.

Oppa terengah-engah menatap lawannya yang sudah tak sadarkan diri. Sial, lumayan juga ternyata. Untung bocah ini terjebak di tanah dan tak sanggup terbang, sehingga Oppa punya advantage karena lawan terdesak. Ia juga harus berterima kasih pada orang yang baru saja memberinya bantuan dengan tendangan ke punggung Roy tadi.

“Kekekekek… masa seorang kapten harus dibantu untuk dapat mengalahkan junior-nya begini? Kekeke. Kamu payah sekarang, kebanyakan makan sate di Ndalem Banjarjunut mungkin. Kekekekek.”

“Jangan ketawa, dia ini tangguh sebenarnya. Aku lumayan beruntung.”

“Ya ya ya… sudah ah, aku cari lawan yang lain.”

Oppa mendengus sementara orang itu berlalu sembari tertawa terbahak.

Nyuk!

Don Bravo menengok ke belakang.

Oppa mengangkat jempolnya. “Thanks.”

Don Bravo tersenyum simpul sambil mengangkat jempolnya juga, lalu melesat pergi untuk mencari lawan yang lain.

Oppa mendengus. Dasar pelawak pemakan bengkuang. Sang Kapten KSN membersihkan badannya dari debu dan berjalan pelan menuju ke arah keramaian yang lain, dia akan menghabisi cecunguk-cecunguk Sonoz dan DoP ini satu persatu sampai tuntas! Termasuk rombongan si bengal yang barusan datang!

Baru beberapa langkah ia berjalan, ia mendengar sebuah suara memanggil.

“Siapa yang bilang kita sudah selesai?”

Oppa tertegun.

Tidak mungkin.

Dia menengok ke belakang.

Roy sudah berdiri dengan tegap dengan tangan membentang ke sisi kanan dan kiri, sementara kaki terangkat satu. Wajahnya bonyok dan sebagian badannya lebam, napas juga naik turun – tapi itu tak menghentikannya untuk menatap nyalang mata sang lawan.

Oppa melotot. Whaddefak. Crane style? Tidak saja Oppa terkaget-kaget dengan bangkitnya Roy, dia juga kaget cecunguk bangsat ini mengira dia bisa mengalahkannya dengan menggunakan jurus kacangan seperti Jurus Bangau. Jurus seperti ini cuma keren dilihat tapi sama sekali tidak efektif untuk digunakan, semua langkahnya bakal terlihat jelas, tidak ada element of surprise di jurus ini. Oppa menggeleng kepala – tidak menduga lawannya akan sebodoh ini.

Amazing. Semangatmu boleh juga. Hebat bisa bangkit lagi setelah semua tendanganku. Sayang kamu menyia-nyiakan tenaga terakhirmu untuk melawan aku dengan jurus kacangan seperti itu.” Oppa yang tadinya sudah berjalan pergi kembali berbalik untuk melawan Roy. “Kita tuntaskan saja sekarang. Siapa raja tendangan.”

Cuh.

Roy membuang dahak kental, sebodo amat dengan raja tendangan apalah tae kocheng. Sesak di ulu hatinya masih terasa, tapi demi apa dia akan membuang kesempatan ini. Untuk menerkam juru kampanye kebanyakan bacot ini sekali dan selamanya. “Maju, nyuk!

Oppa berlari kencang dan meloncat tinggi di udara. Ia memutar badan dan menggunakan kakinya bak bor yang hendak membongkar badan Roy.

“Modyaaaaaaaaaaaaaaaaaarrr!!”

.::..::..::..::.

Deka berdiri dengan tenang di depan pasukan lawan yang menghadang. Bukannya jerih dan khawatir menghadapi orang banyak, si gondes malah mengeluarkan sebatang mild dari kotaknya, ia lalu menyalakan korek api untuk membakar ujungnya. Asap pun mengepul dari sisi tipis yang terbuka dari bibir Deka. Pemuda itu lantas memasukkan tangannya ke saku celana, seakan-akan tidak peduli ia tengah berhadapan dengan beberapa orang sekaligus.

Kedatangan Deka berhasil menghentikan aksi sepuluh orang KSN yang menghajar empat mahasiswa Unzakha anggota Sonoz dan dua orang anggota DoP. Saat ini keenam mahasiswa itu tergeletak di tanah dengan lemas, tapi setidaknya mereka sudah tak lagi menjadi korban keroyokan massal – karena sang pengeroyok mengalihkan perhatian pada si gondes.

Deka menatap ke arah satu persatu lawan dengan cibiran sinis. “Ga malu apa kalian? Beraninya keroyokan, kayak ormas kelas tempe. Kalau berani maju satu demi satu, akan aku layani dengan door prize. Yang bisa merobohkan aku bakal dapat rice cooker Moyaki.”

Deka tentu saja tidak akan gegabah melawan mereka bersamaan tanpa perhitungan, ia sengaja memilih arena yang tercipta di lokasi yang berlangsung di sudut lapangan, dekat dengan akses jalan masuk ke gedung olahraga Unzakha yang tutup. Lokasi ini ia pilih karena lawan tidak bisa sembarangan menyerang. Gang menuju ke gedung olahraga Unzakha ini sejatinya digunakan sebagai jalur bagi pemain bola untuk masuk ke lapangan, jalurnya dibatasi oleh tembok yang membentuk jalur bottleneck. Sejak lapangan dikuasai oleh Sonoz, sangat jarang jalur itu digunakan karena dekat dengan markas para preman kampus gunung menjulang.

Posisi Deka di ruas berbatas tembok menghadirkan dua kemungkinan. Di ruang sempit, Deka bisa memanfaatkan medan karena tentunya tidak bisa dikeroyok bersama-sama karena keterbatasan ruang jadi lawan harus maju satu demi satu, atau malah dia dapat dipojokkan karena gegabah, tersudut, dan tak ada ruang untuk melarikan diri.

Deka mengambil pose dengan sedikit menunduk, mata tajam menatap ke depan, mulutnya menyunggingkan senyum sinis. “Gimana? Mau keroyokan lagi? Dasar banci. Sudah bosen kalian dagang di Jalan Kapuk?”

“Horyaaaaaaaaaaaaa!!” satu lawan maju ke depan.

Kepalannya dapat dihindari dengan mudah oleh Deka, ia menggeser tubuh ke samping, mengunci lengan lawan, dan menyepak kakinya.

Bkgh!

Orang itu terjatuh!

“Heaaaaaaaaaaa!!” Sisi tangan Deka bekerja cepat menyambar kepala lawan.

Bledaaakgh!

Kepala anggota KSN yang sial itu dihantam pas di ubun-ubun lalu berdebam jatuh terantuk alas beton. Kerasnya benturan membuatnya tepar seketika. Deka mendengus dan menghapus peluh di ujung hidung.

“Ayooooo!” undangnya. “Siapa lagi!?”

Dua orang maju bersamaan. Mereka menyerbu dengan memanfaatkan sisi tembok. Yang sebelah kiri menjejakkan satu kaki di tanah, diikuti lompatan dengan memantul di tembok, lalu memutar tubuh untuk mengirim tendangan ke Deka. Yang sebelah kanan menerjang tanpa mempedulikan halangan apapun. Ia mempersiapkan dua pukulan dan mengirim jotosan bertubi ke depan layaknya seorang boxer.

Deka diam saja. Kedua lawan senang.

Sbkkkghhhhh! Sbkkkghhhhh! Sbkkkghhhhh! Sbkkkghhhhh! Sbkkkghhhhh!

Baik tendangan ataupun pukulan beruntun kedua lawan tidak ada yang berhasil melukai meski mengenai badan Deka. Tiba-tiba saja seperti ada jaket tebal yang menghalangi keduanya menjebloskan kepalan. Dengan cekatan, justru Deka yang beraksi, ia menangkap kaki si penendang, mendorongnya ke tembok, menguncinya di sana dan menghantam kakinya berulang!

Jbooogk! Jbooogk! Jbooogk! Jbooogk! Jbooogk! Jbooogk!

Sang lawan meraung kesakitan dan roboh sambil memegangi kaki.

Pada saat yang bersamaan, si boxer menyeruak masuk, tapi Deka sudah siap. Ia memutar badan, dan menangkap kepala sang boxer dengan telapak tangannya! Si boxer tentu terkejut. Ia tidak mengira Deka justru mengincar wajahnya. Deka mendorong kepala si boxer dan menghantamkannya sekeras mungkin ke kepala temannya yang sedang kesakitan memegangi kaki.

Jduaaaaaakghhh!

Keduanya kliyengan sebelum akhirnya ambruk tak berdaya dengan kepala pusing bukan kepalang.

Deka berdiri dengan tenang, ia menarik rokok dari bibirnya, menghembuskan asap, lalu menghunjukkan telapak tangannya ke depan, dan menarik jari-jemarinya ke dalam. “Siapa lagi? Mumpung aku sedang on fire, guys.”

Satu lawan berlari maju sambil berteriak kencang, kecepatannya benar-benar luar biasa karena dalam sekejap ia sudah berada di depan si gondes. Dua pukulan beruntun dikirimkan! Masuk ke dada Deka!

Sbkkkghhhhh! Sbkkkghhhhh!

Deka tak bergeming.

Anggota KSN itu terbelalak. Ba-bagaimana mungkin pukulannya mendem begini!? Padahal dia sudah melontarkan pukulan terkuat yang ia punya! Si cecunguk tidak tahu kalau saat itu Deka sudah mengaktifkan Perisai Genta Emas-nya.

“Heheh.” Deka terkekeh. Dengan cekatan si gondes mencengkeram wajah sang lawan yang sedang terkejut, lalu mendorongnya ke samping dan menghantamkan bagian belakang kepalanya ke tembok!

Jboooogkkkhhh! Jboooogkkkhhh!

Sekali. Dua kali.

Lawan Deka roboh. Empat sudah berhasil ia robohkan! Enam lagi tersisa!

Dua lawan saling bertatapan. Dua lawan saling mengangguk. Dua lawan maju bersamaan.

Deka menyilangkan tangan di depan dada dengan jumawa. Mau berapapun siap layani! “Ayooooh!”

Tiba-tiba saja ada tangan menyilang di depan kedua prajurit KSN yang hendak mengeroyok Deka. Kedua orang itu tentunya terkejut!

“Mundur kalian.”

Seorang lawan tangguh muncul di depan Deka, seorang punggawa KSN dengan rambut dicat warna hijau. Dia adalah Roni, mantan korlap Sonoz yang kini menjadi salah satu prajurit top di KSN.

Pemuda itu melangkah tenang menuju ke arah Deka, senang sekali dia karena akhirnya ada lawan yang menarik. Roni menatap tajam ke arah si gondes, tangannya melambai pada para prajurit KSN yang berjajar. “Kalian cari lawan lain yang sepadan, biar yang satu ini aku yang tangani. Kalian tidak akan mampu.”

Meski menggerutu karena tidak dapat membalaskan empat kawan yang sebelumnya ditundukkan Deka, tapi mereka paham jika tetap bertahan mereka hanya akan mengirim nyawa saja. Keenam orang KSN itu pun meninggalkan Roni dan Deka.

“Aku suka jurus pertahananmu.” Ucap Roni sambil geleng-geleng kepala dan tersenyum. “aku sudah amati sedari tadi. Luar biasa sekali. Apa itu? Jurus dari mana? Wetan kali? Menarik… menarik… kalau saja aku diijinkan berlatih…”

Deka tersenyum, “kalau suka dengan jurus ini, silahkan datang ke sini dan nikmati. Setelah kamu takluk barulah kita bicara.”

Roni berhenti di ujung jalur jalan menuju ke arah Deka. Tiba-tiba saja Roni berucap. “Bagaimana menurutmu? Siapa yang akan maju?”

Deka mengernyitkan dahi. Dengan siapa dia bicara? “Belum digetok sudah gila duluan. Ngomong sama siapa, heh terwelu!!

Roni tersenyum sinis pada Deka, jelas ia tidak sedang berbicara dengan si gondes. Geer aja tuh makhluk penghuni empang.

Deka terkejt.

Sekelebat bayangan tiba-tiba saja hadir di samping sang mantan korlap Sonoz. Hadir bagai hantu, sosoknya tak terlihat jelas. Dia lah orang yang baru saja diajak ngobrol oleh Roni.

Deka mencoba mengamati orang itu, tapi ia tidak dapat memastikan wajahnya karena terlalu gelap. Sopo meneh iki?

“Kamu saja dulu. Aku yang akan maju belakangan kalau kamu keok.” Ucap bayangan itu.

“Sompret, jadi kamu pikir aku bakal kalah lawan bocah begini?” Roni mendengus kesal sambil meringis. “Jelek-jelek begini aku mantan Korlap Sonoz! Ngremehin aja!”

Sang bayangan tertawa. “Ya sudah, silahkan.”

Deka mendengus, asem ik, kutukupret! Somey cepot! Kok jadi dia tidak digubris! Merasa diremehkan, Deka berjalan ke depan, ia mempersiapkan cengkraman andalannya. Dia tidak akan mengecewakan apa yang sudah diajarkan Pakdhe Wid padanya.

“Satu dua si buah ceri, ayo maju aku layani!” Deka berteriak kencang. “Sekalian saja keduanya!”

Roni menyeringai. Tidak sabaran sekali si teko blirik ini, okelah kalau begitu!

“Heaaaaaaaaaaaaaaarrrrghhh!” tiba-tiba saja pemuda berbakat yang sebenarnya cukup dibanggakan oleh Simon itu berjalan dengan cepat dan mempersiapkan kedua kepalannya. Dia memukul udara berulang seakan melakukan persiapan, pemanasan, sekaligus menyerang dalam waktu bersamaan. Tiga dalam satu, three in one.

Pukulan demi pukulan melaju kencang ke arah Deka. Kencang, deras, meluncur dari semua arah, ibarat tsunami. Tidak ada sisi yang tidak di-cover oleh serangan Roni. Gerakan kaki si cecunguk satu ini membuat Deka yakin kalau dia memiliki basic kickboxing.

Bkgghhh! Bkgghhh! Bkgghhh! Bkgghhh! Bkgghhh! Bkgghhh!

Kanan, kiri, tengah, atas, bawah, tengah lagi, kanan, atas.

Semua pukulan Roni diterima oleh telapak tangan Deka, begitupun tendangan dan sepakannya. Kecepatan tinggi keduanya beradu, Deka berhasil membaca serangan Roni karena dia sering ber-sparring dengan si bengal yang kecepatannya jauh di atas mereka berdua. Kalau hanya seperti Roni ini sih… tidak ada apa-apanya.

Lutut Roni naik dan kakinya bergerak cepat hendak menyambar selangkangan Deka.

Deka tidak terkecoh, dengan mudahnya si gondes beringsut ke samping, dan melepas cakar mautnya ke lutut Roni yang diangkat terlalu tinggi. “Kurang cepat, kurang mantap, kurang pedas, kurang segalanya. Kalau mau bertarung, lengkapi dulu bumbu-bumbu dapurmu.”

Deka menarik lutut Roni yang terkesiap dan dengan satu sodokan ia menghantamkan pukulan kencang ke dada kiri Roni.

Jbggghhh!

Roni tersentak mundur karena kaget. Wajahnya berubah ibarat baru saja menelan bola segede gajah Lampung.

Jbggghhh! Jbggghhh!

Dua pukulan penggetar jantung kembali masuk tanpa bisa ditahan. Roni tertatih mundur sembari memegangi dadanya yang sangat kesakitan dengan mulut terbuka, napas sesak, dan jantung bagaikan hendak copot. Deka tahu dia tidak boleh berlama-lama, mumpung lawan sedang shock dengan jotosan yang tadi ia kirim!

Deka meloncat dan memutar kakinya. “Heaaaaaaaaaaaaa!”

Jboooogkkkhhhhh!

Tendangan berputar si Gondes masuk ke sasaran. Pundak Roni tersambar, sang prajurit KSN jatuh berdebam.

Melihat Roni tergeletak dan mengerang, sang bayangan terbang menyerbu Deka!

Dia sudah memperingatkan Roni tadi kalau lawannya kali ini bukan lawan biasa! Dasar Roni takabur, akhirnya dia juga yang harus menyelesaikan!

Deka terkejut dengan kemampuan terbang si bayangan, dia seperti melihat hantu yang mengambang di udara. Benar-benar kemampuan yang mengerikan. Tentu saja si bayangan sebenarnya tidak benar-benar terbang, tapi melompat tinggi di udara dan mengirimkan tendangan beruntun yang bertubi-tubi ke arah Deka!

Sbkkkghhhhh! Sbkkkghhhhh! Sbkkkghhhhh! Sbkkkghhhhh! Sbkkkghhhhh! Sbkkkghhhhh!

Semuanya masuk! Tapi tak fatal! Meski mampu bertahan, tetap saja Deka terdesak mundur dengan dorongan dan sepakan dari lawan. Melihat lawan kali ini lawan serius, Deka mengatur napas, dan menebalkan pertahanan Perisai Genta Emas-nya. Kali ini lawannya bukan lawan smain-main yang bisa dihadapi dengan satu lapis pertahanan saja!

Dua sepakan menghunjam menyerang Deka! Masuk!

Sbkkkghhhhh! Sbkkkghhhhh!

Deka tak bergeming.

Gagal lagi! Si bayangan yang terbang bagai hantu terlontar ke belakang setelah mencoba kali kedua untuk menyengat Deka. Pertahanan si gondes sungguh kelas wahid, si bayangan hantu akhirnya sadar apa yang sedang di hadapi. Ada jenis pertahanan tak tertembus yang ampuh seperti ini yang bernama Perisai Genta Emas. Dari kuda-kuda dan cara bertahannya, Deka sepertinya menguasai kawruh ajian yang satu itu.

Wasu.

Si bayangan hantu mendengus. Perisai Genta Emas memang sangat efektif dan tangguh, tapi apapun yang diciptakan manusia selalu memiliki kelemahan – kalau tidak salah setiap penguasa ilmu kanuragan ini memiliki kelemahan yang dinamakan titik kematian. Sekujur tubuh mereka memang bagaikan besi baja yang tak tertembus, namun jika berhasil menyentuh titik kematian, maka mereka akan ambruk hanya dengan sekali sentil saja.

Dia hanya tinggal mencari kelemahan yang ada pada Deka.

Sang bayangan hantu melangkah dengan santai ke arah si gondes. Siap menghadirkan pertarungan kembali. Kali ini dia tidak akan melewatkan setiap jengkal darah dan daging di tubuh Deka, dia pastikan untuk mendapatkan titik kematian itu malam ini!

Tak jauh dari si bayangan hantu, Roni mencoba bangkit, dadanya terasa sesak, bajingan tengik yang satu ini berhasil melepaskan sodokan yang sangat menyakitkannya. Tapi demi apa dia akan menyerah begitu mudahnya. Enak saja, no way. Roni bangkit, dia menarik napas – menghembuskannya, tarik lagi, hembuskan lagi. Sekali lagi ia menyiapkan kedua kepalannya.

Roni berdiri dengan tegap, lalu menekuk kepalanya ke kanan dan kiri. Saatnya kembali maju. Roni dan si bayangan hantu sudah bersiap menyerang – ketika tiba-tiba saja Deka dikelilingi oleh sekitar empat orang pada saat bersamaan.

Keduanya pun langsung menghentikan laju lari mereka dan menjaga jarak serangan.

“Guk-guk.” Ucap seorang pemuda yang berdiri di samping Deka. Tubuhnya yang lumayan besar amat mengintimidasi karena seakan-akan dia sanggup membengkokkan barang sekuat apapun. Pemuda itu tersenyum pada si bayangan hantu.

“Apa kabar Kori? Kamu sudah menyeberang ya?”

Si bayangan hantu – yang ternyata adalah Kori dari DoP, terkejut ketika melihat sosok gempal yang sedang berdiri di samping Deka. Orang itu adalah laki-laki yang memiliki tingkat jabatan dengan level sama dengannya di DoP, yaitu sesama Jendral, Rikson.

Kori mendengus, rupanya sudah ketahuan. Memang tidak bisa lama-lama disembunyikan.

Di depan Rikson dan Deka, berdiri tiga orang pengawal dari unit Doghouse. Mereka memiliki nickname Bulldog, Labrador, dan Doberman.

“Rikson dan Doghouse. Anjing kudis, anjing kurap, dan anjing buduk. Julukan big dog jadi cocok denganmu sekarang, sobat. Sejak kapan mereka bertiga dilepaskan? Mereka sudah tidak lagi hanya sekedar penjaga portal ya.” Kori mendengus, “Dab, Apakah kita harus adu kepalan di sini sekarang? Kita memulai sore ini berada di sisi yang sama. Marilah kita selesaikan pertarungan juga berdiri di sisi yang sama.” ajak Kori pada kawan sejawatnya untuk menyeberang ke KSN. “Lagipula aku tahu kamu juga sedang tidak enak badan dan belum sehat betul. Ayolah bro, jangan cari perkara dengan KSN. Kita sama-sama tahu potensi KSN.”

“Apa yang ditawarkan KSN padamu, Kori? Kenapa kamu memilih KSN? Apa yang membuatmu berpaling dari Rao? Harta? Tahta? Raisa? Isyana?” Rikson mendesis kesal sembari menggelengkan kepala. “Apa kamu tidak ingat bagaimana kita telah membangun semuanya bersama-sama dari nol? Apa kamu tidak ingat bagaimana kita bertiga memiliki mimpi yang sama? Apa kamu tidak ingat bersama-sama kita pernah berikrar bersama sewaktu menaklukkan kampus lain? Kamu lupa? Kamu amnesia?”

Kori terdiam dan hanya meringis, “Aku sedang tidak berminat mengutarakan alasan dan niat. Jadi berhenti sampai di sini kuliah-kuliah busukmu, big dog. Demi persahabatan kita, demi kesehatanmu. Bergabunglah dengan kami.”

Rikson hanya mendengus. “Persahabatan kita berakhir sejak kamu menyeberang.”

Kori mengangguk. “Jadi begitu.”

“Ya. Begitu.”

Kori bersiul – siulannya agak aneh, seperti panggilan untuk burung. Tak lama kemudian, ada tiga orang berjaket putih datang dengan sangat cepat dan berdiri melindungi Kori. Inilah dia pasukan khusus milik sang jenderal, White Lights.

Dua pasukan elit DoP akan segera beradu kuat. Jenderal kiri dan jenderal kanan. Doghouse versus White Lights.

Deka geleng-geleng kepala. “Payah. Malah kamu bakar sih, jadi tambah lagi kan lawan kita.” Bisik Deka pada Rikson sambil berkelakar.

“Kamu pikirkan saja soal Roni, si pengkhianat yang satu ini jadi bagianku. Urusan internal DoP.” Desis Rikson.

Deka tersenyum. “Tidak masalah.”

Mereka memasang kuda-kuda.

.::..::..::..::.

Hageng vs Amon. Ronde ketiga.

Yang satu T-Rex, yang satu lagi beruang. Yang satu gulat bebas, yang satu lagi boxer. Yang satu dari Lima Jari dan Sonoz, yang satu lagi dari KSN. Dari segi kekuatan dan kecepatan, keduanya seimbang, tapi dari segi teknik dan lafal mengucapkan huruf s? Amon lebih unggul – dan dalam dua ronde terakhir, Amon selalu menang.

Meski dua kali tepar, tidak berarti Hageng akan menyerah begitu saja. Kalau jatuh, ya bangun lagi. Tidak ada dalam kamusnya kata menyerah. Kalaupun ada, kamusnya bakal dia sobek. Bagi Hageng, dia hanya akan berhenti ketika pingsan atau mati.

Beruang bertemu T-Rex. Bahkan tanah pun ikut bergetar saat kedua raksasa menjejakkan kakinya di tanah. Keduanya kembali baku pukul di tengah lapangan, pertarungan sengit antara dua monster.

Darah sudah mengucur, mata semakin sembab, badan linu tak karuan, tenaga sudah mengendur, dan napas acak adul. Keduanya benar-benar sudah mencapai ambang batas kekuatan. Sepertinya inilah duel penutup antara keduanya malam ini. Siapapun yang bisa mengakhiri ronde ketiga, akan menjadi pemenangnya.

Jboogkkh! Jbeegkkh! Jboogkkh! Jbeegkkh! Jboogkkh! Jbeegkkh!

Baku hantam kembali terjadi, tukar menukar jotosan. Wajah, pelipis, pipi, dada, pundak, perut. Silih berganti saling hajar. Kanan, kiri, atas, bawah, kanan, kiri, atas, bawah. Silih berganti saling menghancurkan.

Tubuh keduanya mulai oleng, masing-masing sudah hampir ambruk, tenaga mereka mulai menipis. Tiba-tiba saja Amon melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh petarung bertipe boxer, menggunakan kaki. Lutut Amon naik, menghunjam perut sang T-Rex. Lengan Hageng turun untuk menutup.

Jbgkkkkhhh!

Hageng berusaha menahan, tapi Amon masih lebih cepat. Sodokan lutut itu masuk, menghajar rusuk. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Sang T-Rex meraung kesakitan dan mundur ke belakang dua langkah. Angin segar buat Amon. Tinjunya mengalir ke depan tanpa penghalang. Straight punch.

Jboogkkh!

Kena!

Hageng terhuyung.

Jboogkkh! Jboogkkh! Jboogkkh!

Satu. Dua. Tiga. Semuanya contact. Masuk sempurna.

Kepala Hageng bagaikan boneka mampang yang kepalanya oleng. Tiga pukulan yang benar-benar bersih membuat kesadarannya ditelan kegelapan. Ia ambruk ke belakang dengan suara berdebam. Amon terengah-engah dengan tangan tetap terkepal. Ia mendengus berulang, menatap setajam mungkin ke arah lawan. Maju lagi… ayoh! Maju lagi!! Jangan bilang cuma segini saja!

“Majooooooooooooooo!!” teriak Amon sekali-sekalinya di malam ini.

Napas Hageng kembang kempis, tangannya berusaha meraih kanan dan kiri dengan gemetar, mencengkeram rerumputan, menarik tanah dengan kesal. Bangsat. Kenapa malam ini rasanya stok udara sangat tipis? Ia membuka mulut yang penuh ludah darah, membuangnya ke samping dan membuka mulutnya untuk bernapas.

Amon maju ke depan, merunduk di atas Hageng yang terkapar, bertongkat lutut, mengunci tubuh lawan, lalu mencengkeram leher sang T-Rex. Suara berat Amon bagaikan suara yang datang dari alam baka.

“Mati.”

Dengan hanya menggunakan tangan kiri, Amon menekan leher Hageng sekuat tenaga. T-Rex yang sudah kesusahan bernapas meronta sebisanya. Napasnya makin sesak. Wasu, orang ini benar-benar ingin membunuhnya! Kepalan tangan kanan Amon beraksi.

Jboogkkh! Jboogkkh! Jboogkkh!

Satu. Dua. Tiga.

Amon merombak wajah Hageng. Kelas mereka memang sepertinya berbeda, Amon benar-benar unggul segalanya. Dalam cengkraman lawan dan dihantam berulang, Hageng makin tenggelam dalam kegelapan. Dengan tangan kokohnya menekan leher sang T-Rex, Amon hanya butuh enam detik untuk membuat Hageng pingsan.

No mercy.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga.

Meski dalam bahaya dan napasnya sesak, Hageng justru tersenyum. Amon mengernyitkan dahi. Kenapa bedes satu ini tersenyum?

Amon tidak sadar ia baru saja melakukan kesalahan.

Ia merubah posisi.

Ia sudah tidak lagi dalam posisi boxer.

Ia masuk ke area seorang pegulat.

Hageng menekan pergelangan tangan Amon dengan cengkraman tangan monkey grip menggunakan tangan kanan yang dimampatkan ke tubuh sendiri, lalu mengunci trisep Amon dengan tangan kiri agar tidak bisa bergerak bebas.

Amon melotot.

Apa yang baru saja dilakukan Hageng?

Terlambat ia menyadari.

Dengan cekatan Hageng mendorong lengan dan tubuh yang sebelumnya menguncinya ke arah kiri. Tentu Amon tidak semudah itu dibanting, Hageng menggunakan kakinya untuk merenggangkan kaki Amon dan menekan tubuhnya ke kiri tanpa bisa ditahan. Tubuh besar sang beruang terdorong!

Menyadari lawan berhasil melawan, Amon bergegas, tapi terlambat, tubuhnya sudah tidak lagi balance. Cengkraman tangan Amon di leher sang T-Rex terlepas, sang beruang ambruk ke kiri. Dia berusaha bangkit.

Blammmm!

Sambaran kepalan Hageng masuk. Kepala Amon amblas ke belakang, berdebam bertemu dengan tanah. Bukan Amon namanya kalau langsung menyerah, sang beruang masih berusaha bangkit. Hageng pun melepas pukulan demi pukulan susulan.

Jblaaam! Jblaaam! Jblaaam! Jblaaam!

Berulang kali kepala Amon yang sudah hampir bangkit dihentakkan ke belakang.

“Tidur. Zaja. Kamu!”

Jblaaam! Jblaaam! Jblaaam! Jblaaam!

Tanpa ampun Hageng menghajar lawan wajah Amon yang langsung megap-megap. Sang beruang terkapar dan terengah, Hageng balik bangkit, ia memegang tangan kanan Amon yang tak sanggup melawan, telapak tangan dibuka ke atas dengan lengan diluruskan, kaki Hageng masuk mengunci dan mengempit lengan itu, dengan kaki kiri menekan leher dan kaki kanan menahan dada. Ia menekan tubuh Amon begitu kencang untuk menghalangi sang lawan berontak dengan menarik tangan Amon yang ia kunci di antara kakinya.

Hageng menarik tangan itu menjauh dari tubuh. Kuncian armlock armbreaker!

Amon melotot dan meraung kesakitan. Ia merasa tulang-tulang tangan kanannya serasa ditarik lepas dari engselnya. Syaraf bagai benang-benang tipis yang setiap saat akan putus.

“Haaaaaaaaaaaaaaaaarrrrghhhhhh!!”

Sang beruang meraung dan meronta, tubuh besarnya mencoba lepas dari kuncian Hageng, tapi tak ada hasil, ia berteriak-teriak dan melolong.

Krrk.

Suara yang mengakhiri semua suara.

Amon berhenti meronta, ia lemas total. Matanya seperti kosong, mungkin rasa sakitnya sudah tak terperi. Hageng ambruk ke samping. Mereka berdua terdiam menatap bintang di langit. Meski suasana sekitar masih hiruk pikuk dengan teriakan, makian, dan tubuh berdebam, tapi Amon dan Hageng sama-sama berbaring dengan tenang.

“Aku akan mencarimu.” Suara berat Amon terdengar. “aku akan menghabisi semua yang dekat denganmu. Aku akan menghajar mereka, mematahkan semua tulang mereka satu persatu, sampai kamu mohon ampun dengan menangis-nangis tapi aku tidak akan peduli.”

Untuk pertama kalinya dia berbicara panjang lebar.

“Aku tidak punya ziapa-ziapa. Tapi kalau mau datang zilahkan zaja.” Ucap Hageng cuek. “Kita biza ngopi di angkringan berzama. Aku traktir gorengan tiga – kamu boleh dengerin puiziku tentang gorengan nanti. Gratiz ga perlu bayar.”

Hageng menumbuk tanah dengan kepalan, bahkan untuk berdiri saja ia butuh tenaga ekstra. Gawat. Apakah setelah ini dia sanggup menghadapi lawan lain? Tubuhnya sempoyongan.

“Aku aka…”

Jeblaaaaaaakkgghh!

“Kebanyakan ngomong. Sudah ya.”

Kaki Hageng mengakhiri ungkapan dendam Amon malam itu dengan sebuah tendangan ke arah kepala. Beruang raksasa itu akhirnya lelap di bawah langit malam. Amon sukses dibungkam Hageng dengan susah payah melalui drama pertarungan tiga babak.

Hageng berdiri terengah-engah, napasnya kembang kempis, matanya sembab membiru, seluruh badan terasa kaku, ia tak lagi sanggup berdiri dengan tegak lurus. Satu kakinya menginjak dada Amon yang sudah tak sadarkan diri sebagai tumpuan. Tangan kanan sang T-Rex dihunjukkan ke udara sebagai tanda kemenangan. Untuk pertama kalinya hari ini, dia bisa menundukkan sang beruang yang perkasa.

Harus diakui pertarungan kali ini cukup berat – tapi setidaknya dia bisa mengakhirinya dengan kemenangan.

Bian datang mendekat sambil bertepuk tangan. “Mantap jiwa. Dasar T-Rex cap sendal bodol. Pantes banget jadi ketua sementara Sonoz.”

“Mazih belum zelezai. KZN mazih unggul, dari zegi kemampuan anak-anak Zonoz dan DoP mazih di bawah anggota KZN. Kita haruz bantu mereka.” Hageng mencoba mengatur napas, ia merangkul Bian. “Bagaimana kalau nanti aku kazih inzentif?”

“Insentif buat apaan?”

“Pijet. Pijetan jarimu zudah terkenal zampai ke Zimbwabwe.”

“Kampret. Ogah banget mijetin batang kayu jati.”

“Aku ini zelembut tofu.”

Tae kocheng… jangan bilang habis ini mau bikin puisi soal tofu.”

“Belum ada puisi tentang tofu.”

“Syukurlah.”

“Tapi ide mulai terberzit di benakku yang lugu. Tofu… tofu… tofu yang lembut… warnamu putih…”

“Kampret. Jangan dimulai. Sudah, ayo kita bantu Abi membereskan sisa-sisa KSN!”

“Ada yang datang.” kata Hageng. Dia menunjuk pintu masuk lapangan yang sudah ditutup motor-motor milik DoP. Kali ini datang lagi pasukan anyar.

Suara raungan motor menderu terdengar. Satu motor muncul dari balik kegelapan, masuk ke sisi-sisi luar lapangan, mereka berhenti di luar karena motor tidak bisa masuk. Tidak hanya satu. Tak lama kemudian muncul dua, tiga, empat, lima, bahkan belasan motor – yang masing-masing berisikan satu atau sepasang pemuda berboncengan.

Bian menatap ke gerbang lapangan, tapi malam sudah makin gelap dan ia tak dapat menyaksikan dengan jelas dengan lampu yang redup dan mata makin buram. Dia tidak dapat melihat siapa yang datang dari arah jauh itu – tapi untungnya rombongan pasukan yang baru datang langsung membantu DoP dan Sonoz menghadapi sisa-sisa anggota KSN yang masih berdiri tegap, gelombang baru ini membuat KSN benar-benar terdesak karena aliansi DoP, Sonoz, dan Lima Jari ternyata masih menambah satu pasukan lagi. KSN tidak mungkin menghadapi musuh yang jauh lebih segar dengan hanya sepertiga pasukan tersisa.

Bian nyengir senang, mantap jiwa. siapa lagi nih yang datang?

Memang beberapa punggawa teratas KSN masih berdiri, tapi jumlah mereka kini tidak imbang. Angin berhembus kencang menerbangkan bendera kekuatan aliansi – apalagi mereka kini juga mendapat suntikan pasukan yang baru datang.

Tapi siapa sebenarnya yang datang?

Pasukan dari mana mereka?

Mata Bian terbelalak saat melihat pemimpin pasukan yang baru ikut turun ke arena. Demi sejuta bintang di atas langit nusantara!

Itu… itu Beni Gundul!

Orang-orang itu! Mereka adalah wajah-wajah yang Bian kenali!

Katanya mereka sudah padam!! Katanya mereka sudah punah!! Tidak! Mereka masih ada! Mereka sudah bangkit!

Itu Patnem!

Mereka bangkit kembali!!

.::..::..::..::.

Nobita mengejapkan mata.

Ya, dia sudah sadar. Ya, dia menyaksikan apa yang baru saja berlangsung.

KSN sedang dihabisi oleh kelompok aliansi.

Nobita bergerak perlahan-lahan, ia benar-benar menggunakan tenaganya yang terakhir sekali. Setelah ini dia pasti tidak akan bisa melakukan apa-apa lagi dan tenggelam dalam pingsan yang dalam . Seluruh tubuhnya sudah terasa sakit dan nyeri. Ia melihat satu demi satu prajurit KSN disapu oleh gabungan pasukan Aliansi, kalau begini caranya, KSN tidak saja dapat diusir dari Unzakha, tapi juga kehilangan nama! Di wilayah utara, mereka bakal dilindas aliansi baru ini. Alih-alih berkuasa, mereka justru menciptakan lawan yang berbahaya!

Uhug.

Nobita memuntahkan darah dari mulut. Bajingan, jadi ompong dia sekarang. Ini semua gara-gara ulah Rao bangsat. Dia harus membalas dendam suatu hari nanti, dia berjanji akan mencabut sampai habis satu persatu gigi pimpinan DoP itu dengan paksa!

Uhug.

Nobita tahu dia sudah pasti akan rubuh lagi setelah ini, karena tubuhnya tidak akan kuat. Tapi kalau dia rubuh, dia pastikan dia tidak akan sendirian.

Merangkak perlahan dan bersembunyi di balik sebuah motor, kini posisinya benar-benar berada di belakang dua anggota lima jari yang tidak ia ketahui namanya. Nobita meringis kesakitan sekaligus geram, orang-orang yang baru datang ini harus diberi pelajaran! Mereka lah yang sejak awal merusak rancangan manis KSN dan membalikkan kondisi Aliansi yang awalnya terdesak menjadi di atas angin.

Tidak bisa dibiarkan!

Nobita memaksakan dirinya bergerak maju, ia masih punya senjata pamungkas. Sang pengkhianat DoP itu mengeluarkan pisau lipat dari balik saku celana. Ia bersiap sampai salah satu anggota lima jari lengah. Tunggu… tunggu… masih belum… tunggu…

Sekarang!

Nobita melompat sambil mengayunkan pisaunya.

Terdengar teriakan.

“Awaaaaaaaaaaaaass! Belakaaang!”

Terlambat.

Jleb. Jleb. Jleb. Jleb.

Raungan kesakitan terdengar.

Pandangan mata Nobita gelap. Ia rubuh bersamaan dengan tubuh yang ia tusuk.

.::..::..::..::.

Nanto tertegun. Ini pertama kalinya ia melihat seseorang mengeksekusi jurus Kodok. Dia tidak tahu jurus yang seperti ini benar-benar ada. Dia bahkan hanya tahu dari nonton film, tidak menduga akan benar-benar menjumpai ada orang yang bisa menggunakannya. Apa ya judul filmnya? Jumanji? Meteor Garden? Ah iya… Kungfu Hustle.

Kodok ngorekWasu.” Rao mendengus. “Tambah ga jelas aja ini.”

Posisi Darsono mengerikan – dia berpose seperti seekor kodok yang sedang bersiap untuk meluncur terbang. Matanya tajam menatap Rao, Simon, dan Nanto. Seakan-akan sedang memilih target. Setiap kali ia membuka mulut untuk bernapas, terdengar suara seekor kodok terdengar.

Krooooook. Krroooook.

Simon berbisik pelan, “Ga nyangka kalau pimpinan KSN punya jurus andalan begini. Jurus Kodok damage-nya gila dan sampai saat ini belum ada yang bisa mengalahkannya dengan jurus yang biasa-biasa saja. Kalau dia sudah menguasai Jurus Kodok dengan kemampuan penuh. Ga ngerti lagi deh bagaimana kita bisa menundukkannya.”

Rao mendengus lagi dengan kesal, “kita hadapi saja dulu dengan semua kemampuan yang kita punya. Aku dendam karena sedari tadi tidak pernah berhasil menundukkannya. Siapa tahu berhasil. Siapa tahu itu bukan jurus Kodok. Siapa tahu itu jurus kodok ngorek kodok ngorek ngorek pinggir kali.”

“Kita amati saja dulu.” Ujar Nanto. “Semua jurus ciptaan manusia pasti ada kelemahannya. Tidak mungkin ada yang sempurna.”

Bssssshhhh.

Angin berhembus kencang dari tubuh Darsono yang sedang mengumpulkan energi Ki. Debu dan rumput kering di pimpinan KSN itu terhembus getar dan terbang terkena semburan energi yang keluar seperti angin. Bentuk dan posenya benar-benar mirip seekor kodok.

Krooooooooook. Kroooooook.

Bajingan. Suarane itu lho. Nggegirisi.” Rao menyiapkan kuda-kuda pertahanan. “Ini kita diem aja opo piye? Kita ga langsung serang aja nih?”

Simon menggeleng, “kita harus menyerang saat dia lengah. Kalau sekarang dia sedang kondisi sangat fokus. Tidak akan ada celah.”

Nanto masih ragu-ragu, apakah dia harus mengaktifkan gerbang pertahanan yang membuat ki-nya terkuras ataukah bertahan saja dengan pertahanan fisik? Mungkin lebih baik mencoba tetap tenang dan memahami cara kerja dari jurus Kodok yang…

Kroooook.

Bnnng! Booooom!

Tubuh Darsono melesat ke depan.

Bagaikan letupan peluru yang melesat dari pistol, Darsono terbang dengan kecepatan dan kekuatan tinggi. Semburat energi keluar dari tubuh yang meluncur ibarat cannonball yang dahsyat. Yang pertama kali diincar oleh Darsono?

Simon.

Bkkkggghh!

Sang pemuncak gunung menjulang diterjang tanpa sempat diberikan kesempatan untuk berpikir panjang, kepala Darsono ibarat ujung peluru yang tajam menerjang. Tapi Simon sudah bersiap dengan memasang kedua lengan sebagai perisai. Tandukan kepala Darsono bertemu dengan pertahanan prima pimpinan Sonoz yang sejak awal sudah mengintai.

Simon terhenyak hingga ke belakang dengan kecepatan tinggi, mereka berdua terbang teramat kencang, melewati Nanto dan Rao yang hanya bisa terbelalak melihat kekuatan dahsyat yang dilepaskan oleh Darsono.

“Gawat. Dia menuju ke tiang listrik!” maki Rao.

Boom!

Suara apa itu? Rao menengok ke samping dan Nanto sudah tak lagi ada di sana. Kemana si bengal?

Simon tak sepenuhnya pasrah digiring hanya untuk dijedotkan ke tiang listrik! Enak saja! Dia sudah tahu dan memperkirakan apa yang akan terjadi jika dirinya yang dipilih oleh Darsono. Ini bukan pertamakalinya ia melihat jurus yang sama, tapi ini kali pertama ia berhadapan langsung. Karena sudah bersiap, sejak awal Simon telah menyiapkan jurus andalannya di tangan kanan, ia mengumpulkan energi ki yang ia punya di sana.

“Mau menghancurkan Sonoz? Tidak semudah itu, Pak Tua. Tidak semudah ituuuuuu!!” masih terus terbang didorong oleh Darsono, Simon mengangkat tangan kanannya dan menghantamkannya ke arah ubun-ubun sang pimpinan KSN. “Modyaaaaaaaaaaaaaaar!!”

Jblaaaaaaaaaam!!

Pukulan Geledek membahana, benturan dua kekuatan besar terjadi. Manakah yang akan menang? Lontaran tenaga pendorong dahsyat berkecepatan tinggi ataukah hantaman dahsyat hasil pengumpulan energi Ki?

Bledaaaaagkkkh!

“Haaaaaaaaaaaaargghhhh!”

Teriakan kesakitan kencang keluar dari mulut sang pemuncak gunung menjulang. Darah segar keluar dari mulutnya.

Simon dihantamkan ke tiang listrik dengan kekuatan penuh. Remuk semua rasanya tulang belulangnya, kalau tidak menyalurkan tenaga pertahanannya, tulang belakang Simon bisa-bisa patah saat itu juga. Begitu menghantamkan Simon ke tiang listrik, Darsono mundur satu lompatan besar ke belakang, matanya masih tajam menatap ke arah Simon – sepertinya dia dendam karena tadi Pukulan Geledek sempat menyambar sang pimpinan KSN. Dia sudah siap untuk sekali lagi menyerang Simon.

Krrroooooook. Krooooo…

Bledaaaaaaaaaaaaaaam!!!

Pukulan dari arah kiri datang menghantam wajah Darsono. Sang penguasa jurus kodok yang tidak menyangka akan datangnya serangan terlempar ke kanan dan sempat terguling beberapa kali meski kemudian bangkit lagi seperti tidak terjadi apa-apa dan kembali mengambil pose kodoknya.

Orang yang memukul dari kiri, tentunya adalah si bengal.

Gerbang kecepatan membawanya berlari dengan kecepatan tinggi untuk mengejar Darsono yang melesat bak peluru kendali, tapi ternyata tidak cukup cepat untuk menyelamatkan Simon. Nanto mengatur napasnya yang berat. Edan! Sudah dihantam dengan gerbang keempat masih juga mampu bertahan! Sebegini kuatnya kah pertahanan jurus kodok?

“Ha-hanya ada beberapa jurus saja yang sanggup menandingi jurus Kodok.” Ujar Simon yang terengah-engah. Dia masih bersandar tak berdaya di tiang listrik. “Tapi jurus itu semuanya jurus-jurus legendaris, mana ada dari kita-kita ini sekarang yang menguasainya. Tapak Buddha, 18 Tapak Penakluk Naga, itu semua kan jurus-jurus mitos.”

“Seperti film saja, ada jurus-jurus ajaib.” Rao terengah-engah menyusul Nanto dan Simon. “Kalian berdua cepat sekali. Huff… aku ngap.”

“Makanya kurangin ngerokok.” Simon menggerutu.

Nanto tertegun, tiba-tiba saja terbersit sebuah kenyataan baru dalam otaknya. Si bengal menengok ke arah Simon. “Sampeyan bilang apa tadi?”

“Bilang apa yang mana?” Simon bertanya-tanya.

“Jurus yang bisa mengalahkan jurus kodok ini.”

Kkrrrroooooooooook. Kkrroooooooooook.

Bsshhhhh.

Darsono sudah kembali bersiap, ketiga punggawa Sonoz, DoP, dan Lima Jari pun memasang kuda-kuda. Mereka kebingungan setengah mati cara untuk menaklukkan Darsono.

“Tapak Buddha. 18 Tapak Penakluk Naga.” Kata Simon yang kembali berdiri namun sempoyongan.

“Kok kayak jurus di cerita komik.” Tukas Rao. “Heh sudahlah, kalian jangan ngomong ngalor ngidul balik wetan metu kulon. Itu lho si kodok sudah mau terbang lagi. Bagaimana kita menghadapinya sekarang tanpa harus mengeluarkan jurus dari primbon togel?”

Simon berdiri dengan susah payah, tubuhnya sudah limbung. Dia belum sanggup untuk meledakkan pukulan geledek lagi. Meski begitu dia tetap bersiap dengan sigap untuk menerima setiap serangan dari sang pemuka KSN berjurus kodok.

Nanto juga sudah bersiap, tapi ada sesuatu yang mengganjal di otaknya. 18 tapak… tujuh membuka delapan belas… apakah… jangan-jangan… tapi dia masih belum bisa… tidak… dia tidak bisa saat ini.

Rao menatap Nanto, apakah ada engsel yang lepas di kepalanya? Kenapa diam saja? “Nyuk?

Nanto menggelengkan kepala, “kalau kita dipecah begini, dia akan bisa dengan mudah meruntuhkan kita satu persatu. Kita cuma bakal jadi nyamuk santapan kodok. Kita harus bisa menyatukan kekuatan untuk menghadapinya. Dalam kondisi bersiaga dia memang tak bisa ditaklukkan dengan mudah, tapi jika kita bisa menemukan celah, maka Pukulan Geledek dari Simon seharusnya bisa diandalkan. Sepertinya ia mengincar yang paling lemah saat ini dan yang paling lemah untuk sementara waktu adalah Simon. Dia juga tahu bahwa Simon memiliki jurus pukulan yang paling dahsyat di antara kita bertiga – jadi dia ingin Simon yang rubuh terlebih dahulu. Simon tanpa Pukulan Geledek hanya akan mengandalkan kekuatan fisik yang mudah ia atasi. Serangan kali ini bakal menghancurkan Simon kalau tidak kita cegah. Jadi tugas Simon sekarang hanya bertahan dan mengumpulkan ki untuk Pukulan Geledek pamungkas nanti. Tugasku dan Rao adalah mencari celah kelemahan.”

Asem ik. Tugasku dan Rao jare.” Rao terkekeh. “Lha pukulanku dianggap apa? Tidak sebanding dengan Pukulan Geledek? Pukulanku pukulan rempeyek? Kan malah enak dipangan karo lotek.”

Kroooook. Krrrooooooooooooook.

Suara Darsono makin kencang.

“Rao, kamu dari kiri, aku dari kanan. Simon, kamu yang bersiap menahan. Pusatkan kekuatan dan Ki pada Pukulan Geledek. Bertahan sekuat tenaga, kami akan membantumu.”

Simon dan Rao mengangguk.

Krooooooooooook.

“Hitungan keberapa?” tanya Rao. Dia memasang kuda-kuda ibarat pelari di posisi start. Tubuhnya menunduk.

“Ketiga.” Ujar Nanto.

Si bengal menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu menggemeretakkan jari-jemarinya dengan saling tangkup kedua tangan. Matanya tajam menatap ke arah si kodok. Ayo maju, bangsat. Kita coba lagi sekarang.

Kroooook Krroooooooooooooook.

Bnnng! Booooom!

Tubuh Darsono melesat ke depan bagaikan peluru kendali, seperti sudah diduga, targetnya tetap Simon.

Nanto tersenyum ke arah Rao.

“Tiga.”

Si bengal dan hyena gila melesat ke depan menyongsong serangan.

Bersambung

Cerita Dewasa Ngewe Di Ruangan Komputer Kampus
Cerita ngentot pacar baru ku yang masih perawan dan lugu
toge cantik
Pacarku Tega Menjual Tubuh Ku
jilbab binal
Penisku dikerjai 3 orang gadis cantik berjilbab sekaligus
smp bispak
Menikmati pepek endar cewek cantik teman sekelas
Mandi Bareng Dengan Tante Dewi
ngentot teman
Kenikmatan ketika aku sedang DIJARAH dua teman lelakiku bagian 2
mahasiswi cantik
Mahasiswi cantik terkena hipnotis di entot di mobil
istri binal
Aku Berselingkuh Dengan Pak RT Bagian Dua
Foto Bugil Jilbab Super Cantik Tetek Super Gede
Bercinta Dengan Yuli Wanita Yang Baru Kenal
Di ajari Enak Enak Sama Tante Sendiri
teman kampus
Ngentot Gadis Yang Diam-diam Menyukai Ku Di Toilet Kampus
Cerita Sex Janda Yang Udah Lama Gak Dipuasin
rekan kerja
Menikmati Lubang Surga Rekan Kerja Ku
Janda hot telanjang
Desahan Kenikmatan Seorang Janda Pembantuku Bagian Dua