Part #21 : LANGIT TAK MENDENGAR
Jangan berjalan di depanku, karena aku mungkin tidak akan mengikutimu.
Jangan berjalan di belakangku, karena aku mungkin tidak akan menjadi pemimpinmu.
Berjalanlah di sampingku dan jadilah temanku.
– Albert Camus
“Riksoooooooon!!” Rao terbelalak dan terkejut melihat jenderal-nya ambruk tak berdaya dengan pisau tertancap di punggung. “Bajingaaaaann!! Nobitaaaaaaaaaaaaa!!!”
Pimpinan tertinggi DoP itu melesat dengan kecepatan luar biasa sembari meledakkan serangan beruntun ke arah Nobi. Tapi karena telalu emosi dan tenaganya sudah terkuras, konsentrasinya goyah, serangan Rao tak menjumpai sasaran. Malah dengan mudah Nobi berhasil mementahkan empat pukulan beruntun yang dilontarkan oleh Rao. Sang pengkhianat memutar badan, merunduk sampai jongkok, dan menyabitkan kakinya memutar untuk menyapu kaki Rao!
Sang hyena gila ambruk tak menduga kalau Nobi ternyata memiliki kemampuan yang selama ini disembunyikan.
Ketika Rao terjerembab, baik Oppa maupun Amon bergerak bersamaan.
Oppa segera memburu Rao dengan cepat, membantu Nobi sebagai tag team. Kaki berkecepatan kilat milik Oppa bergerak tanpa ampun menyusur tiap sudut badan pria yang sebelumnya ia anggap sebagai ketua.
Bkkgghh! Bkkgghh! Bkkgghh! Bkkgghh! Bkkgghh!
Serangan sepakan dan injakan cepat yang ganas membuat Rao hanya bisa meringkuk dan menggunakan kedua tangan untuk menepis kaki Oppa yang menyasar ke kepala, selebihnya tendangan Oppa masuk sasaran.
“Haaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrghhh!”
Rao meraung marah namun tak bisa mengelak. Inilah upacara penyembelihan hyena! Melihat Rao sudah tak berdaya diserang beruntun, Amon ikut datang dan menghantamkan kepalan gandanya ke kepala Rao!
Boom! Boom!
Dua-duanya gagal!
Nanto mencengkeram kerah pakaian Rao dan menariknya ke belakang sejauh ia bisa dengan memastikan jarak antara mereka berdua dengan kawanan DoP pengkhianat cukup lebar. Si bengal berhasil menyelamatkan sang hyena gila dari serangan tiga orang yang mengerikan. Nobi, Oppa, dan Amon menatap Nanto dan Rao yang sudah semakin terpojok. Mau lari kemana lagi? Di belakang mereka ada tembok tinggi dan Rikson yang terkapar tak berdaya.
Si bengal mendengus, “mereka bertiga bukan kaleng-kaleng, sementara kita hanya berdua. Di belakangnya masih ada beberapa orang cecunguk lain sementara anak buahmu yang badannya gede itu ga tau nasibnya bagaimana – kelamaan mengambil keputusan dan dia bisa mati kehabisan darah. Kira-kira ada usul apa sekarang?”
“Usul?”
“Siapa tahu punya ide.”
“Ada sih.”
“Apa?”
“Setelah ini semua berakhir bagaimana kalau kita makan gudeg? Gudeg suwir pedes endes banget yang ada di samping Bioskop Berlian. Endol surendol tak kendol-kendol ngeunah. Bukankah itu ide yang sangat baik?”
“Hmm… aku lebih suka gudeg ndog. Tapi itu ide yang luar biasa.”
“Cocok juga. Suwir, telur, tahu, ati rempela, terserah sampeyan mau ambil apa. Aku yang traktir.”
“Wedew. Nggak lah, sudah cukup aku balas utang. Kali ini kita yarwe – bayar dewe-dewe. Baru aku setuju.” Nanto menepuk pundak Rao, “Tenang saja. Aku memang bukan DoP dan ini semua bukan urusanku. Tapi aku masih punya pikiran waras untuk tidak membiarkan ada orang mati kehabisan darah. Aku akan membantu kalian sampai ini semua selesai.”
“Aku juga tidak selemah itu, dab. Aku masih bisa melakukan ini.” Ucap Rao sambil bersiul jenaka. Sang hyena gila lantas memejamkan mata sambil tersenyum.
Oppa, Amon, dan Nobi yang memperhatikan Rao terkejut karena sadar apa yang akan segera dilakukan oleh sang pemimpin DoP. Mereka buru-buru menyergap ke depan. Oppa yang memiliki kecepatan tinggi memimpin dan memangkas jarak sampai satu meter dengan waktu teramat singkat, meninggalkan Nobi dan Amon di belakangnya.
Tetap saja terlambat.
“Hfaah.” desah lirih terlepas dari mulut sang komandan DoP, desah yang nyaris tak terdengar oleh siapapun karena teramat pelan. Desah lirih yang terucap bersamaan dengan terangkatnya tangan kirinya ke depan. Tangan yang kemudian membuat gerakan menghentak lembut.
Bddooooooom!!
Oppa dan Nobi terlontar jauh ke belakang hampir kembali ke posisi semula dengan badan terhentak berulang ke tanah. Hanya Amon yang sanggup bertahan dan tetap berdiri tegak, tapi tak urung desakan energi ki dari Rao membuatnya melangkah mundur hampir enam langkah. Sang beruang mengaum kencang dan melaju ke depan dengan kepalan martil-nya.
Bledaaaakghhh!
Nanto sudah melesat ke udara dan menyambar kepala Amon dengan tendangan memutar yang entah darimana datangnya.
Amon yang terkejut goyah dan geser ke samping kiri tiga langkah. Dengan amarah berlipat, sang kapten DoP itu kembali menghadap ke depan dan mendengus-dengus kesal seperti seekor beruang yang marah besar, dia kembali meraung.
Nanto sudah kembali ke posisi di sebelah Rao.
“Bajinguk. Yang satu itu dulu emaknya kawin sama tiang listrik apa ya? Atos banget!” maki Nanto sambil membantu Rao berdiri, kakinya terasa nyut-nyutan usai menendang kepala sang beruang. Nanto menepuk pundak Rao. “Jurusmu wangun, lek. Keren bisa lemparin orang dari jauh. Penguasaan ki sampeyan sepertinya sudah lumayan mateng banget ya. Keren sumpah jadi mirip kaya Goku di Dragonball. Ayo, sekali lagi mereka di-kamehameha. Nanti aku yang…”
“Huff, tidak bisa semudah itu, ferguso. Ini aja aku sudah ngos-ngosan. Mana kuat kalau nembak lagi. Yang ada juga udah letoy ini.”
“Weladalah? Moso ga kuat lagi?” Nanto menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, tapi Rao memang sudah sangat lemas, tubuhnya sudah bergetar dan napasnya kembang kempis. “Makanya jangan kebanyakan ngelonin janda, dab. Letoy kan jadinya.”
“Waakakaakka. Wasu. Ngerti ae sampeyan.”
Keduanya cekakakan.
Amon menderu ke depan tanpa peduli ocehan dua orang gila yang ada di depannya! Sedang diserang habis-habisan tapi malah bercanda dan tertawa! Meremehkan sekali! Ia menyerang ke depan dengan laju menderu seperti banteng liar yang menggila.
Barangkali Amon lupa, saat dia dikuasai emosi adalah saat dia lengah.
Bledaaaakghhh!
Kali ini tubuh Amon terlontar ke kanan sampai jatuh berdebam. Hantaman keras menyambar wajahnya, begitu kencangnya sampai-sampai memecahkan bibir sang beruang. Kepalan tangan kiri yang berukuran besar menyeruak masuk dan membongkar wajahnya.
Nobita dan Oppa yang melihat kejadian itu terbelalak tak percaya.
Amon mencoba bangkit, siapa yang bisa membuatnya jatuh? Kepalan tangan siapa yang berani-beraninya menghantam wajahnya? Harus dihabisi! Harus mampuuuusss!! Si beruang kembali meraung marah. Ia tersentak diam karena kaget melihat siapa orang yang baru saja memukulknya.
Kepalan itu adalah kepalan tangan Rikson.
Pria yang besarnya sebelas dua belas dengan Amon itu berdiri terengah-engah dengan keringat mengalir deras. Pisau masih tertancap di tubuhnya, darah mengucur dari dua luka menganga, dan satu luka tempat pisau masih tertancap. Tapi raksasa itu masih sanggup berdiri tegak. Oppa dan Nobi menatap tak percaya dengan mulut terbuka, lebih-lebih Amon. Bagaimana mungkin ia bisa berdiri dengan tiga luka tusuk di tubuhnya?
“Oy oy oy… ini salah… ini salah…” bahkan Rao pun menatap takjub.
Buru-buru Rao dan Nanto bergegas ke depan untuk membantu Rikson yang sudah hampir ambruk untuk kedua kalinya, jenderal kepercayaan Rao itu menggeleng kepala dan menggerakkan kepala menuju ke arah jalan.
“Aku akan menahan mereka semua, Bos. Kalian berdua pergi dari sini.”
“Oy oy oy… mana ada cerita seperti itu! Ga bakalan! Aku hanya akan meninggalkan tempat ini kalau kamu juga pergi dari sini.” Rao memapah Rikson. “Jangan terlalu banyak bergerak! Dasar kebo. Darahmu sudah keluar banyak masih aja nekat! Oalah kebo keboooo. Mau mati konyol?”
“Ma-maafkan aku, Bos. A… aku malah merepotkan.” Rikson sepertinya tidak lagi bisa bertahan lebih lama. Napasnya mulai terdengar satu dua. Matanya terpejam menahan perih.
“Haish, opo lah kowe kih. Jangan ngomong yang aneh-aneh. Simpan napas dan tenagamu.”
“Dia harus segera dibawa ke rumah sakit.” ucap Nanto memperhatikan kondisi Rikson yang makin parah.
“Setuju.” Rao mengangguk, “tolong bawa dia. Aku yang akan menghadang mereka bertiga.”
“Itu juga usul yang salah.” Nanto tersenyum.
Rao dan Rikson sama-sama menatap Nanto.
“Di antara kita bertiga, cuma aku yang sehat waras – jadi aku yang akan menghadapi mereka. Kalian berdua pergi dari sini, pergilah ke rumah sakit. Paling tidak di sana kalian bisa aman sebelum cecunguk-cecunguk ini menemukan kalian.”
“Dab, sampeyan benar-benar…” Rao menggelengkan kepala. “Ini bahkan bukan urusan sampeyan.”
“Heleh. Simpan saja basa-basinya. Setelah ini semua selesai kita bertiga harus makan gudeg di samping Bioskop Berlian.” Ucap Nanto sambil tertawa. “Sekarang kita harus mencari celah dulu. Masdab, sampeyan masih kuat kan? Aku butuh tenaga sampeyan buat melumpuhkan cecunguk-cecunguk di belakang ketiga anggota Trio Wikwik itu, sementara aku yang akan membuka jalan dan menahan ketiganya. Aku akan beri tanda nanti.”
Rao menunduk dan terkekeh, ia juga terengah-engah. “Wkekekekeek. Semua terjadi ternyata karena memang ada tujuannya, ya. Mungkin inilah yang namanya takdir. Takdirku ketemu sama sampeyan. Cuma gara-gara traktir sampeyan makan angkringan aja sampe seperti ini, apalagi kalau traktir pijet plus-plus. Hahahaha. Sayangnya sampeyan cowok, coba kalau cewek sudah ku…”
“Jangan lanjutkan masdab, arah-arahnya agak nggilani.”
Rao tertawa.
Si bengal meninggalkan Rao yang memapah Rikson. Ia berdiri tegap di hadapan Oppa, Amon, dan Nobita. Jumawa berkacak pinggang menantang mereka bertiga.
“Oke, tim babat dan iso. Mari maju sini, aku coba kekuatan kalian.”
Nobita tertawa meremehkan. Bisa apa si kunyuk satu ini melawan tiga orang? Bisa apa seorang mahasiswa baru yang sok iye berhadapan dengan dua kapten DoP!?
“Oi! Terwelu! Kamu sepertinya punya kebiasaan buruk mencampuri urusan orang, ya? Berhadapan dengan Don Bravo saja mengkis-mengkis, sekarang berani-beraninya menantang kami bertiga! Sebelumnya kami masih berbaik hati melepaskanmu karena temanmu mengemis-ngemis pada kami. Tapi hari ini lain cerita – no more Mr. Nice Guy.” Oppa tersenyum sinis sambil melangkah ke depan. “Apa kamu sadar kalau berani menentang kami maka kamu tidak akan bisa lagi hidup tenang di UAL?”
Nanto tersenyum, “justru karena kita sama-sama mahasiswa UAL, makanya aku heran, kenapa kalian melakukan kudeta? Bukannya bersatu justru membuat kalian menjadi lebih kuat? Apa yang kalian harapkan dengan mencoba menggulingkan pimpinan yang sudah mapan? Apalagi sampai main senjata tajam, membokong dari belakang pula. Cuh! Tae kocheng! Bukan laki-laki sejati! Pengecut seperti itu harus diberantas sampai tuntas.”
“Nah kan sok tahu. Kalau tidak mengerti apa yang terjadi, sebaiknya ga usah kebanyakan bacot. Tidak usah membicarakan sesuatu di luar kompetensimu.” Oppa mencibir, “kamu itu anak baru yang tidak tahu apa-apa. Ngertinya cuma apa yang kamu lihat, apa yang kamu ketahui, dan apa yang ada dalam bayanganmu saja. Kamu tidak mengenal siapa Rao, bagaimana sepak terjangnya, dan apa yang telah ia lakukan selama ini! Salah besar kalau kamu mengira dia orang baik!”
Nanto menengok ke arah Rao yang menjulurkan lidah pada Oppa. Sang hyena mengangkat pundaknya, dan tertawa terkekeh. “Dia bener lho. Aku bukan orang baik. Kekekeke.”
“Yo wes lah, anggap saja dia itu buto ijo, genderuwo, kakek pacul, nenek gayung, paman panci, tante magic jar, atau apalah. Tapi opo ya tak pikir? Masa bodoh banget.” Nanto mengangkat bahu. “Aku cuma mau bayar utang jajan angkringan.”
Rao tertawa, Oppa tidak, apalagi Amon.
“Kalau begitu mulai sekarang kamu akan merasakan neraka di bumi.” Oppa tersenyum sinis, “Akan aku berikan dua saran untukmu. Saran yang pertama berhubungan dengan kuliahmu. Lebih baik kamu pindah kampus karena mulai sekarang hari-harimu di UAL tidak akan aman – kami akan memburumu, kami akan menghajarmu, kami akan mematahkan setiap tulang di tubuhmu, dan tidak akan ada tempat sembunyi untukmu karena kami akan menguasai setiap sudut di UAL.
“Saran yang kedua simpel, mulai sekarang sebaiknya kamu menabung karena setiap kali berhadapan dengan kami kamu akan lebih sering masuk rumah sakit. Biaya perawatan mahal dan BPJS bakal kewalahan sama kamu.”
Rao terkekeh, ia dengan susah payah mencoba berdiri dengan tegap sambil tetap memapah Rikson. Meski terlihat lemah dan lelah, tapi demi apa dia akan melewatkan pertarungan yang harus ia hadapi dengan jantan. “Aku baru tahu kalau Nanto ini juga mahasiswa UAL. Bagooosh! Malah bagus! Selama dia di UAL, tidak ada yang boleh menyentuhnya!! Dia mendapatkan perlindungan langsung dariku! Siapapun yang menyerang Nanto, berarti menyerang juga Rao dan DoP!! Siap-siap dikubur seliang sama kecoak!!”
“Rao… Rao… Rao… nyawamu sudah tinggal separuh, sebaiknya tidak usah terlalu banyak bergerak. Lebih baik kamu menyerah saja supaya Rikson segera bisa dibawa ke rumah sakit.” Ujar Oppa sambil menggeleng kepala, “Nanto, Nyuk… aku sudah memberikan saran! Jangan pernah menyesal kalau kamu masih berani menginjakkan kaki di kampus!”
“Jingin pirnih minyisil kili kimi birini minginjikkin kiki di kimpis. Halah kintil. Kesuwen, Nyuk! Kelamaan! Bocah kemayu! Kuda nil bongsor! Nobita tae kocheng tukang bokong!! Ayo maju semua! Mau sekalian, mau sendiri-sendiri, mau gandengan tangan kayak anak TK! Gak peduli!! Maju!!” ujar Nanto sambil menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu menggemeretakkan jari-jemari dengan menangkupkan tangan.
Meski menantang, tapi mata si bengal tetap mencoba mencari celah agar Rao dan Rikson dapat lolos dari kepungan dan melarikan diri ke posisi motor di seberang jalan.
Tidak perlu waktu lama bagi satu dari trio pengkhianat menyerang si bengal.
“Haaaaaaaaaaaarrrghhhh!”
Teriakan kencang didengungkan Amon yang sejak awal penasaran dengan Nanto.
Si bengal bersiap dan melesat ke depan.
.::..::..::..::.
Harya Suman memasuki jalan utama menuju Ndalem Banjarjunut, sebuah villa atau rumah peristirahatan yang luas dan tersembunyi di kilometer jauh yang tersembunyi di balik sebuah jalan berkelok yang merupakan cabang dari jalan utama menuju Kalipenyu.
Setelah pertemuan dengan Joko Gunar memperoleh hasil, maka tidak ada tempat lain yang lebih tepat dikunjungi Lek Suman untuk merayakan keberhasilannya menumpas Patnem selain tempat ini, mabesnya, tempatnya mengumpulkan bocah-bocah Patnem KW.
Untuk masuk ke halaman utama Ndalem Banjarjunut, Lek Suman harus melalui jalan pedesaan berliku yang dibuat khusus memang hanya untuk menuju villa ini – meski ada juga beberapa rumah-rumah lain yang memasang pagar tinggi dan ingin tinggal jauh dari hirukpikuk perkotaan.
Pepohonan hijau dan rindang mengelilingi sebuah rumah berpagar tinggi besar. Mobil pria tua itu berhenti di depan gerbang. Lek Suman membuka kaca jendela mobil dan mengayunkan tangan pada beberapa orang pemuda yang duduk-duduk santai di atas motor mereka. Di samping jalan tepat di depan pos satpam di depan gerbang.
“Woi. Bujang! Bukain pintunya! Kekekeke.” ucap Lek Suman diakhiri kekehan khasnya.
Para pemuda itu adalah pemuda-pemuda yang ia kumpulkan, masing-masing dari mereka memiliki tato angka yang menunjukkan bahwa mereka adalah anggota kelompok Patnem palsu. Mulai besok mereka harus menghapus tato itu dan menggantikannya dengan logo KSN – Komando Samber Nyowo, nama baru mereka.
“Woi Lek! Kok baru datang!? Sido mangan-mangan ora, Lek? Ayo ikut makan-makan nanti malem!” panggil salah satu anak muda itu. “Kita pesta kambing guling yo, Lek!?”
“Guampaaaaang! Wes, bukain pintunya! Kekekekeke.”
“Ashiaaaap.”
Anak muda itu pun membukakan gerbang besar yang tak dikunci dengan mendorongnya ke dalam, memberi jalan untuk mobil yang dikendarai sang pria tua. Dengan cekatan Lek Suman mengendalikan laju mobilnya, membawa masuk ke halaman, dan memarkirkannya di samping beberapa mobil lain yang juga ada di halaman itu. Tak hanya mobil yang ada di parkir luas yang ada di depan villa, belasan motor juga sudah diparkir di sana.
Meski luas, tersembunyi, dan berkesan mahal dari luar, villa itu ternyata bukanlah villa yang mewah dan apik. Yang ada di dalam pagar hanyalah sebuah bangunan yang sudah tua yang mungkin angker sekilas lihat. Beberapa bagian tak terawat, di seberang rumah terdapat pondok bambu yang sudah kotor tapi masih saja dipakai sebagai tempat nongkrong dan main kartu, ada beberapa botol miras yang diletakkan begitu saja di bawah pondok bambu tanpa ada yang mau membersihkan. Sementara di sudut lain terdapat puing-puing rumah yang rubuh terkena gempa belasan tahun yang lalu yang sampai hari ini tidak dibenahi. Tempat ini memang luas dan asri, tapi amat mengerikan kondisi bangunannya – mungkin hanya rumah utama saja yang masih terawat, itupun seadanya.
Seorang anak muda lain yang ada di halaman parkir tergopoh-gopoh membukakan pintu mobil Lek Suman.
“Selamat datang, Lek. Sudah dengar berita belum?”
“Berita opo e?”
“Berita hancurnya Patnem oleh PSG. Berita yang kita tunggu-tunggu selama ini.”
“Kekekekeke. Yo sudah lah. Piye, si Darsono ada di dalam?”
“Ada Lek. Bos ada di dalam, lagi kelon. Hahaha.”
“Kekekekeke. Top markotop sip markusip!” Lek Suman keluar dari mobil, berdiri tegap, dan menghirup udara sore. “Aaaaaaah seger tenan yo udara di sini. Rasanya jadi lebih seger karena akhirnya Komando Samber Nyowo bisa bangkit dengan nama sendiri!”
“Akhirnya yo, Lek. Kita bisa menguasai kawasan Kalipenyu, di bawah kepemimpinan Kang Darsono.”
Lek Suman terkekeh kembali dan menepuk pundak sang anak muda. “Kita nanti malam pesta besar. Dengan kekuatan anggota kita sendiri ditambah sempalan dari geng-geng kampus yang hari ini melakukan revolusi seperti DoP dan Sonoz, anggota kita sekarang sudah sekitar 100 orang.”
“Hahahaha. Lek Suman memang bajingan abadi! Legend! Perusak tatanan!”
“Kekekekeke, kok julukannya nggak banget to, le? Semua ini aku lakukan demi kalian toh.”
“Hahaha. Siap! Mau kopi atau teh seperti biasa, Lek? Sembari menunggu Bos selesai kelon?”
“Kekekekeke. Dasar penjahat kelamin si Darsono. Yo wes, aku tunggu aja. Teh yang seperti biasa kalau ada yo, Le.”
“Siap Lek. Monggo ditunggu aja di teras.”
Lek Suman manggut-manggut sambil berjalan arogan menuju teras rumah, kehadiran sang penasehat KSN itu disambut dan dihormati oleh anak-anak buah yang berkeliaran di sekitar rumah utama. Lek Suman hanya mengangguk dan tersenyum setiap kali ada yang menyapa.
Di teras rumah sudah siap beberapa kursi rotan dan meja bulat. Kamar yang sering digunakan oleh Darsono – sang pimpinan KSN dan merupakan orang yang dicari oleh Lek Suman, ada di samping teras. Karena jendelanya terbuka, terdengar suara dari dalam kamar. Suara lenguhan pria dan wanita yang sedang bersenggama dan decit pembaringan yang terlalu kencang.
Lek Suman hanya terkekeh.
Darsono… Darsono… istri orang yang mana lagi yang jatuh ke pelukanmu sekarang?
Darsono atau akrab juga dipanggil Kang Dar adalah keponakan Lek Suman, anak semata wayang dari almarhum kakaknya yang sejak kecil dirawat dan dibesarkan olehnya. Saat didapuk oleh Lek Suman menjadi pimpinan KSN, Darsono baru saja keluar dari lembaga pemasyarakatan. Dia memang sering wara-wiri keluar penjara karena kesenggol berbagai kasus.
Darsono yang didapuk menjadi pimpinan kelompok baru bentukan Lek Suman itu memiliki kebiasaan buruk – meniduri istri atau pacar lawannya baik itu secara baik-baik ataupun dengan paksaan. Bagi Darsono yang bejat luar dalam, meniduri kekasih lawan adalah wujud puncak penghinaan yang teramat menyakitkan bagi sang lawan. Kondisi yang amat ia nikmati.
Entah cewek mana lagi yang saat ini menjadi korbannya.
Langit perlahan-lahan berubah menjadi semakin gelap.
Lek Suman leyeh-leyeh menikmati angin yang berhembus.
.::..::..::..::.
Nanto melesat.
Tapi ia tidak menuju ke arah Amon. Ia justru menuju ke arah Nobi. Si bengal langsung melontarkan tiga pukulan beruntun yang semua berhasil dielakkan oleh Nobita. Kampret, licin juga si pengkhianat busuk ini.
“Bajingaaaaaaaan! Kenapa ke sini!?” Nobi protes.
“Aku benci tukang bokong seperti kamu.”
Nanto menarik tangan kanannya ke belakang untuk sekejap dan meledakkannya ke wajah Nobi dengan kecepatan tinggi. Sang pengkhianat sempat menyilangkan tangan ke depan wajah untuk menerima hantaman dari Nanto.
Bdooom!
Pukulan itu sedemikian kencangnya sampai-sampai tubuh Nobita terlempar ke belakang dan terguling berulang. Kedua lengan sang pengkhianat rupanya tidak sanggup menahan kuatnya pukulan si bengal.
Meski terguling berulang, namun Nobita berhasil berdiri kembali. Batin sang pengkhianat terurai kegembiraan. Oke pukulan tadi memang berhasil mendesaknya mundur, tapi ia toh berhasil menahan serangannya! Itu artinya masih ada kesempatan! Orang ini tidak terlalu kuat!
“Kekkekeek. Cuma segitu saja? Pukulan martil Amon jauh lebih sangar dari ini! Yang seperti ini bisa diblok dengan mudah! Sepele!” ledek sang pengkhianat.
“Siapa bilang yang tadi itu serius? Tujuannya memang hanya untuk menggiringmu ke tempat yang aku inginkan.” Ucap Nanto mengejar Nobi.
Menggiring? Tidak serius? Nobita mengejapkan mata. Apa sih maksudnya?
Amon yang menyadari maksud si bengal mendengus kesal, ia berjalan perlahan tanpa mempedulikan apapun. Dia memang tidak peduli dengan nasib Nobita. Targetnya hanya Nanto dan Rao!
Nobita sendiri masih kebingungan dengan maksud si bengal.
“Bodooooooh! Tembok di belakangmuuu!!” teriak Oppa.
Nobi terkesiap mendengar ucapan Oppa. Tembok? Iya, ada tembok. Terus kenapa dengan tembok…? Sesaat kemudian barulah Nobi tersadar.
Tapi terlambat.
Ah. Sial.
Jbooogkkkhhhh!
Nanto sudah sampai tepat di depan Nobi, kakinya menjulur ke depan dengan kencang, membongkar wajah sang pengkhianat dan menghentakkan kepalanya ke tembok di belakang. Kencangnya tendangan dan kerasnya tembok membuat kepala Nobi bak digilas depan belakang. Puyeng puyeng deh.
Si bengal tidak berhenti.
Begitu tubuh Nobi lemas, Nanto mengirim dua kali lagi tendangan yang sama.
Jbooogkkkhhhh! Jbooogkkkhhhh!
Tendangan ke wajah melemparkan kepala Nobi ke belakang dengan keras tepat menghantam tembok. Dua kali. Darah mengucur dari hidung dan mulut Nobita, kepalanya pusing tak terkira. Si pengkhianat sudah lemas tapi tak kurang akal. Dia melompat ke depan mencoba menubruk Nanto.
“Pekok.” Desis si bengal.
Lutut kirinya naik dengan cepat dan menghantam keras ulu hati sang pengkhianat. Nobi pun ambruk tak berdaya sambil berguling memegangi dada. Nanto sekali lagi menyepak kepala Nobi.
Bledaaaaagkkhhh!
Darah Nobita muncrat. Wajahnya sudah tidak karuan.
“Kalau sampai ada yang mati di sini, aku akan mengejar dan mengulitimu hidup-hidup, bangsat. Aku paling benci pengkhianat, apalagi pengkhianat pengecut yang hanya bisa membokong pakai senjata tajam.” Nanto yang gemas bersiap akan menyepak kepala Nobi sekali lagi.
“Cukup.”
Terdengar suara berat di belakangnya.
Nanggung.
Bledaaaagkhhh!
Darah muncrat kemana-mana, tubuh sudah lunglai, napas satu dua. Nobita tidak lagi dapat bergerak. Ia sudah sangat kepayahan.
Nanto mengakhiri serangan dan membalikkan badan.
Amon sudah berdiri di sana.
.::..::..::..::.
“Sugeng rawuh, Lek.”
Terdengar suara yang tak asing menyambut kehadiran sang konspirator di Ndalem Banjarjunut. Suara itu adalah suara Roni – mantan korlap Sonoz yang telah membelot dan masuk ke KSN. Ia langsung mendapat posisi sebagai Kapten KSN, sebagaimana Oppa dan Amon.
“Eh kamu toh, Le. Kekekekek. Sudah datang kesini aja mantan Sonoz. Sini-sini, duduk sini.” Lek Suman menepuk kursi rotan di sampingnya. “Bagaimana hasilnya revolusi-mu? Apakah membuahkan hasil?”
“Gagal, Lek. Simon masih terlalu kuat untuk digoyahkan secara hukum berlaku di Sonoz. Aku dan teman-teman terpaksa kabur ke sini untuk menentukan langkah selanjutnya. Kemungkinan harus ada kudeta besar-besaran yang melibatkan banyak anggota. Bisa saling bunuh nantinya.”
“Kekekeke, tenang saja. Semua pasti akan ada celahnya. Kita masih punya pion kan di Sonoz?”
“Masih banyak, Lek.”
“Kekekekekekeke, yo kuwi jaminanmu. Artinya kamu sekarang tenang-tenang saja. Masih banyak cara lain menggoyang kepemimpinan seseorang, kalau satu cara gagal – kita cari cara lain. Pasti masih ada banyak cara. Kalau bisa hindari cara-cara yang akan menyebabkan kita kehilangan pasukan terlalu besar karena saat ini kita butuh anggota sebanyak-banyaknya untuk bersiap seandainya Patnem yang tersisa melakukan pukulan balik.”
Roni manggut-manggut. “Begitu ya, Lek?”
“Lha iyo. Wes to percoyo we karo aku. Percaya aja sama aku, semua itu bisa diatur. Kekekek.”
Roni kembali mengangguk.
“Uaaaaahhhh enakeeee. Puancen sedeeeeeeep ngekep pacar orang kih.” Darsono keluar dari pintu dengan hanya mengenakan celana pendek sambil merentang-rentangkan tangan. Wajahnya terlihat puas dan ada sedikit bercak basah di celana. Entah basah karena apa.
Seorang pemuda yang tadinya hanya nongkrong di parkiran motor tergopoh-gopoh mendatangi Darsono saat melihat pimpinan KSN itu sudah keluar.
“Ma-mas Darsono sudah selesai?” tanya pemuda bertindik banyak di telinga dan hidung mendekati sang pimpinan baru KSN dengan tingkah gelisah. Jemarinya saling terkait dan diputar-putar tanda sang pemuda tengah kebingungan mencari kata-kata.
“Wes. Kepriye? Ada apa? Rupamu kok mupeng nemen, lur.”
“Ka-kalau misalnya diperbolehkan, apakah saya bisa… anu… kebetulan saya kenal sama si Wati… dia anu… di desa saya… dia itu kembang yang mekrok… eh… maksud saya dia itu kembang desa… terus saya agak-agak suka… ka-kalau bisa… apakah saya di-diperkenankan… anu…”
“Kamu mau? Ya wes sana kalau mau. Tapi bekasku lho ya. Hahhaaahah.” Darsono mengibaskan tangan mempersilahkan si cecunguk masuk ke kamar. Si pemuda bertindik pun masuk ke dalam dengan wajah sumringah dan sangat cerah.
“Lek. Wes suwi? Kapan datang?”
Darsono menyapa dan duduk di samping Lek Suman sembari membuka bungkus rokok yang sejak tadi ada di meja. Ia mengambil sebatang, lalu menyalakannya dengan korek api gas warna hijau yang juga ada di atas meja.
Huff.
Kebul rokok mengangkasa, keluar dari sela-sela bibir menghitam sang preman, mengasapi langit-langit teras rumah. Darsono bertubuh tinggi, besar dan gagah. Perawakannya menyeramkan, wajah sangar, alis kumis jenggot tebal, dengan kulit kecoklatan. Rambutnya dibiarkan acak-acakan tak terawat, entah sudah berapa purnama rambutnya tidak direkondisi di tukang cukur atau bahkan bertemu mesra dengan shampoo. Ada banyak tato di pundak dan lengan sang preman, tapi yang paling mencuri perhatian mungkin tato padma raksasa yang melebar dari pundak kiri ke punggung.
Kenapa memilih tato bunga yang sering menyebarkan bau tidak sedap itu? Alasannya mungkin hanya Darsono yang tahu, tapi pria itu sempat bertahun-tahun bekerja sebagai karyawan perkebunan di Sumatra sebelum akhirnya kembali ke tanah Jawa. Mungkin di sana ia pernah menjumpai dan mengagumi Raflesia Arnoldii.
“Kekekkeekek. Aku barusan datang, Dar. Ngobrol sebentar sama Roni ini…”
Kalimat dari Lek Suman terhenti ketika kemudian terdengar suara kencang dari kamar depan.
“Jangaaaaaaaan!! Jangaaaaaaaaaann!!”
Suara jeritan seorang wanita.
“Bajingaaaaaaaaaaaaan!!! Lepaskaaan diaaaa! Lepaskaaaaan!! Sudaaaah!! Cukuuuup!! Jangaaan lagi!! Jangaaaaannn!!”
Kali ini terdengar teriakan seorang laki-laki yang suaranya putus asa. Ada nada antara gemas, sedih, kesal, marah, tapi juga tak bisa berbuat apa-apa. Entah kengerian apa yang terjadi di dalam kamar itu.
Roni sampai meneguk ludah karena merasa tidak nyaman, secara usia dan pengalaman dia yang paling muda di antara ketiga orang ini sehingga dia tidak banyak bertanya. Sungkan dan rikuh.
“Kekekekek, korbanmu anyar meneh. Ada mangsa baru lagi ya? Sopo kae?” ternyata Lek Suman yang akhirnya angkat bicara.
“Itu?” Darsono tersenyum. “Itu si Wati.”
“Wati sopo?”
“Wati… pacarnya Beni Gundul. Pentolan Patnem lawas. Itu si Beni-nya di dalam, dari tadi asyik nonton aja sambil cengoh. Waahahhahahaah. Mampus! Nonton ceweknya di-rudopekso sampe berkali-kali! Otaknya sengkleh sekarang! Wahahahahahah!!”
Lek Suman mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Sementara Roni kembali meneguk ludah.
Ini benar-benar tidak nyaman.
Kedua orang di hadapannya ngobrol santai sambil minum dan merokok – merayakan keberhasilan mereka menumpas Patnem, menggandeng PSG serta menarik sempalan dari Sonoz dan DoP. Sementara di dalam sana ada seorang wanita yang disekap dan menjerit-jerit entah sedang diapakan di hadapan pasangannya.
Edan.
Roni merinding. Dunia apa yang sudah ia masuki?
.::..::..::..::.
Amon menyerang bagai seekor beruang buas yang kelaparan. Siku tangan kanannya membentuk huruf V secara menyamping yang diangkat teramat tinggi dengan kepalan menghadap ke bawah! Pemuda bertubuh besar itu lantas mengibaskan tangannya menyilang ke kiri bawah dengan kecepatan tinggi!
Nanto yang terkejut segera meloncat untuk menghindar dari pukulan!!
Gawat. Gawat.
Si tangki tinja ini kepalan tangannya tidak main-main, kena sekali kibas saja sudah terasa kekuatannya ada di atas rata-rata manusia normal, apalagi kesamber beneran, mungkin bisa penyet. Jadi ini yang sering disebut-sebut pukulan martil dari si raksasa.
Bagaimana cara menundukkannya?
Bdpp! Bdpp! Bdpp! Bdpp!
Nanto mencoba menyerang. Kedua tangannya beraksi dengan kecepatan tinggi mencoba memasuki area pertahanan Amon. Tapi dengan sigap si beruang menghempaskan semua pukulan yang masuk dengan menangkis tiap-tiap serangan Nanto. Semakin cepat Nanto menyerang, makin cepat pula Amon menangkisnya.
Nanto melepas pukulan kencang ke arah kepala! Amon mengelak.
Swwwsshh!
Bdpp! Bdpp! Bdpp! Bdpp!
Dari kanan! Lengan besar Amon menutup jalur untuk memblokir. Dari kiri! Kembali lengan sang beruang beraksi mementahkan serangan. Sekali lagi! Kanan! Gagal! Kiri! Gagal lagi! Ke arah kepala! Lengan Amon menutup jalur!
Begitu Amon mengangkat lengan menutup serangan ke arah kepala, bagian bawahnya terbuka. Siku Nanto bergerak cepat bergantian menumbuk ke depan!
Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh!
Empat pukulan beruntun masuk ke dada si beruang! Nanto mengakhirinya dengan melontarkan telapak tangannya ke atas, mencoba menampar dagu. Tapi Amon sudah terlebih dulu mundur ke belakang. Empat pukulan yang tadi masuk hanya dapat membuatnya melangkah mundur sekitar tiga tapak.
Huff.
Keduanya hening sesaat, mengatur napas, saling membaca lawan.
Tak butuh waktu lama keduanya kembali bersiap, memasang kuda-kuda.
Nanto melesat ke depan dan melontarkan tendangan ke arah perut!
Bgkkkhhh!
Masuk! Disusul sepakan cepat ke paha kanan! Masuk!
Bgkkkhhh!
Sekali lagi!! Masuk!
Bgkkkhhh!
Tendangan memutar!!
Gagal.
Amon mundur beberapa langkah dengan santainya. Sepertinya ia memang membiarkan beberapa serangan tadi masuk. Coba lagi! Kali ini tendangan memutar ke arah kepala!
Lagi-lagi gagal. Si beruang dapat menghindari serangan itu dengan mudahnya. Malah Nanto yang kemudian terjerembab ke tanah karena tendangan memutarnya berhasil dielakkan. Si bengal memutar badan untuk kembali bangkit, tangannya menapak tanah dengan kuat. Ia pun melontarkan kedua kakinya ke arah dada si beruang!
Bgkkkhhh!
Masuk! Amon mundur dua langkah ke belakang.
Nanto kembali memutar badan untuk berdiri. Ia melaju kencang ke depan dan melompat untuk melesakkan pukulan.
Bdppp!
Lengan besar Amon menahan serangannya! Nanto merunduk dan mengincar rusuk!
Bgkkkhhh! Bgkkkhhh! Bgkkkhhh!
Satu. Dua. Tiga. Tiga pukulan beruntun masuk!
Amon melepaskan pukulan ke bawah untuk membalas serangan si bengal! Nanto menghindar ke belakang, lalu sesegera mungkin meloncat ke depan untuk menghentakkan lutut di rusuk yang sama yang ia incar sedari tadi.
Hppp!
Tangan besar Amon sudah terlebih dahulu mencengkeram kaki dan pinggang si bengal! Nanto terbelalak! Gawat!
Tubuh si bengal yang dicengkeram Amon dilemparkan begitu saja bagaikan kayu ringan ke arah tembok yang tadi digunakan untuk menghajar Nobi.
Brugkkhhhhh!
Nanto ambruk ke tanah dan terbatuk. Bajinguk. Punggungnya terasa nyeri terbentur tembok.
Oppa tertawa di kejauhan, sementara Amon hanya mendengus. Jadi cuma seperti ini saja? Kenapa kebanyakan bacot? Si beruang maju ke depan. Siku tangan kanannya membentuk huruf V secara menyamping yang diangkat teramat tinggi dengan kepalan menghadap ke bawah! Pemuda bertubuh besar itu lantas mengibaskan tangannya menyilang ke kiri bawah dengan kecepatan tinggi!
Bledaagkkhhhhh! Bledaagkkhhhhh! Bledaagkkhhhhh!
Tangan kanan Amon diledakkan berulang diselingi pukulan hook dari arah kiri untuk menghantam Nanto yang hanya mampu melindungi kepalanya dengan lengan diangkat tinggi-tinggi. Tubuhnya berguncang seakan mau tumbang tiap kali lengannya tersengat pukulan Amon. Nyeri dan pedas terasa di kedua lengan si bengal, rasanya bagaikan disetrum jutaan watt! Bajingseeeng!
Nanto menyeruak ke depan dengan kedua sikutnya dihajarkan ke depan, pertahanan spekulasi.
Bgkkhhhhh!
Sukses! Si beruang mundur beberapa langkah. Tapi Amon maju kembali dengan kecepatan tinggi! Kakinya menyergap ke depan! Nanto menahannya dengan punggung kaki!
Bgkkhhhhh!
Jinguk! Pedes banget, Nyuk! Nanto melompat ke atas pagar beton yang ada di samping tembok begitu Amon mengirimkan tendangan berikutnya. Tendangan Amon pun hanya mengenai tembok. Nanto mengirimkan tendangan menyamping bagaikan sedang mengayuh sepeda, mencoba menjejak kepala Amon!
Satu! Dua! Tiga!
Semua gagal, ditepis oleh si beruang dengan mudahnya. Nanto mencoba melompat, tapi kakinya sudah disapu oleh tamparan Amon!! Si bengal terjerembab menghantam pagar yang menjadi pijakan.
Hngkkkhhh!
Melihat Nanto kesakitan di atas pagar beton, Amon mencengkeram kaki dan memegang badan si bengal dengan kencang. Sekali lagi ia mengangkat tubuh Nanto dan melemparkannya kembali ke tembok!
Brugkkhhhhh!
Untuk kedua kalinya Nanto terhempas ke tanah, badannya terasa ringsek. Si bengal mencoba berdiri dan memasang kuda-kuda.
Terdengar raungan Rao yang kemudian terkekeh di kejauhan. Entah bagaimana caranya ia sanggup menundukkan segelintir cecunguk DoP pengkhianat yang tadinya masih bisa berdiri tegak. Posisi benar-benar hanya tinggal Nanto vs Oppa dan Amon. Oppa sendiri hanya menyaksikan dari jauh dengan santai, sepertinya ia sangat percaya pada kemampuan Amon.
Nanto mendengus kesal.
Oke, sekarang saatnya berpikir, Nyuk. Tidak bisa seperti ini terus. Amon bukanlah tipe grappler, dia tidak menggunakan kuda-kuda pegulat dan tidak mengeluarkan jurus-jurus gulat yang biasa dipakai orang-orang berbadan besar seperti Hageng dan Rikson. Dia juga bukan orang yang suka menggunakan tendangan dan mengandalkan pada pukulan martil dan kekuatan hebohnya.
Menghadapi lawan yang lebih besar dan lebih kuat memang ribet karena itu artinya kita bakal kalah dari segi jangkauan dan kalah dari segi power bahkan sebelum serangan dilakukan. Tapi bukan berarti tidak ada kesempatan. Yang jelas Nanto harus menghindari area pertahanan lawan karena begitu ia masuk ke area yang terjangkau, lawan akan dapat lebih cepat mencapai sasaran. Dia sudah merasakan pedasnya pukulan martil tadi.
Yang harus diincar adalah target-target sensitif, karena siapapun orangnya pasti memiliki kryptonite – semua orang memiliki kelemahan yang sama secara anatomi, seberapapun ukuran tubuhnya. Area-area itulah yang harus diincar. Selanjutnya hanya tinggal memainkan presisi serangan dan timing yang tepat. Karena presisi bisa mengalahkan kekuatan dan timing dapat mengalahkan kecepatan.
Oke.
Huff.
Hembuskan napas. Satukan fokus.
Amon maju menyerang, kedua tangan bergerak memukul bergantian. Ini yang dinanti. Nanto menepis satu persatu serangan dari sang beruang dengan menggunakan sikutnya, kiri, kiri, kanan, kiri, kanan, tengah, kiri, kanan.
Tarik napas. Hembuskan.
Tangan kiri Amon disentakkan ke kiri dan tangan kanan si beruang ditepis ke kanan. Nanto mengunci pergelangan tangan kiri Amon dengan jemari kuatnya, lalu sekuat tenaga menyentak dagu lawan dengan telapak tangan yang didorong sekuat-kuatnya.
Bgkkkhhh!
Dagu Amon tersambar. Sang beruang terhenyak kaget.
Tarik napas. Hembuskan.
Jbggkhh! Jbggkhh! Jbggkhh! Jbggkhh!
Empat sabetan punggung tangan menghajar kerongkongan Amon. Membuat raksasa itu tersedak dan terhuyung ke belakang sambil memegang lehernya yang terasa panas. Ia megap-megap berusaha menggapai oksigen.
Nanto maju ke depan, Amon berusaha menyambar, tapi gagal menemui sasaran karena Nanto sudah berkelit dengan berputar ke samping badan si beruang, si bengal lalu melontarkan tendangan ke arah belakang lutut Amon.
Bgkkkhhh!
Sang beruang hampir terjatuh! Nanti kembali menarik pergelangan tangan Amon, menguncinya, dan dengan tangan kiri melesakkan lima pukulan beruntun ke bagian bawah ketiak sampai ke pinggang.
Jbggkhh! Jbggkhh! Jbggkhh! Jbggkhh! Jbggkhh!
Amon mengeryit kesakitan. Ini dia saatnya! Nanto menggunakan kesempatan untuk melesakkan tendangan ke dada.
Bggkkkhhh!
Amon terhuyung beberapa langkah ke belakang. Nanto tidak berhenti. Ia mengejar secepatnya dan melesakkan pukulan berantai ke dada Amon.
Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh!
Dada. Dada. Dada. Dada. Dada. Dada. Tenggorokan. Tenggorokan.
Ya, Nanto melepaskan dua pukulan ke arah tenggorokan lawan, yang membuat sang beruang makin tersedak. Meski kesakitan, Amon tetap mencoba memukul.
Nanto menghindar dengan melompat ke atas pagar beton, memantulkan diri ke atas sang beruang, mencengkeram dagu dan kepala Amon sembari berputar di atas, dan menariknya ke bawah dari belakang dengan sekuat tenaga!!
Bledaaaamm!
Bagian belakang kepala Amon dihantamkan ke bawah. Tubuh sang beruang ikut ambruk terlentang. Ia memegang tenggorokan dan kepalanya yang tidak karuan. Amon pasti butuh waktu untuk bangkit.
Huff.
Si bengal menarik napas. Selesai sementara.
Tinggal si cecunguk yang satu lagi.
Tidak perlu menunggu lama karena saat itu juga, Oppa melaju kencang ke arah Nanto.
.::..::..::..::.
“Seberapa kuat perisai genta emas-mu sekarang, le?” tanya Pakdhe Wid di balik kebul rokoknya yang makin pekat. Wajahnya tersembunyi dalam gelap, sehingga tidak terlihat ekspresinya oleh Deka. Mereka berdua tengah duduk di teras rumah kala malam mulai menjelang, langit sudah gelap, dan angin dingin menyeruak seperti membawa kabar hujan akan segera turun.
Suara gending jawa yang diputar dari smartphone Pakdhe Wid membuat suasana lumayan syahdu – kalau tidak mau dibilang mistis.
Angin yang berhembus makin terasa dingin seiring langit yang makin gelap. Untung kopi, teh, dan cemilan seperti rambak petis dan surabi terhidang di meja.
“Kalau sekarang lumayan, Pakdhe. Jarang latihan juga sih.”
“Bisa dicoba sama Om Basuki? Aku penasaran sama perkembanganmu, le.”
“Siap Pakdhe.”
Deka tersenyum, tanpa banyak bicara ia membuka kaus yang ia kenakan, lalu sambil bertelanjang dada, Deka bersiap di tengah halaman rumput rumah Pakdhe Wid, tepat di depan teras. Pemuda itu pun mengatur napas, mencoba melakukan pemanasan singkat, dan bersiaga total. Angin malam yang basah tak terasa dingin ketika keringat Deka mulai turun.
“Monggo.” Kata pemuda itu ketika dia sudah siap.
Pakdhe Wid mengangguk, ia mengayunkan tangan dan salah seorang bodyguard yang dipanggil dengan nama Basuki pun maju ke depan. Berhadapan kini keduanya, Deka di sisi kiri dan Om Basuki di sisi kanan.
Om Bas melepas jam tangan dan melesakkannya ke saku celana. Ia kemudian memutar pergelangan tangannya seakan-akan sedang mengokang senapan. Seperti biasa, tidak ada satu katapun terucap dari Om Bas. Apa seperti ini ya standard operating procedure menjadi bodyguard Pakdhe Wid? Harus selalu terlihat seram, tidak bicara, dan tidak banyak gerak. Jangan-jangan mereka ini aslinya robot Terminator.
Tanpa aba-aba Om Bas melaju ke arah Deka. Karena ini memang menguji kemampuannya bertahan, Deka pun hanya diam dan bersiap. Ia meletakkan lengan untuk melindungi kepala dan mulai berkonsentrasi. Sembari memejamkan mata, Deka mengatur napas.
Serangan itu datang.
Bdmmm! Bdddmmm! Bddddm!!
Tiga pukulan hinggap ke lengan Deka, tapi ia tak bergeming. Suasana hening sejenak.
Bgkkkhhhh! Bgkkkhhhh! Bgkkkhhhh!
Tiga pukulan kembali terlontar dari dua kepal tangan Om Bas yang menyengat dada, lengan, dan perutnya. Deka terdesak mundur, tapi wajahnya tak menunjukkan perubahan berarti. Masih terlihat tanpa ekspresi.
“Lawan, le!” teriak Pakdhe Wid memberi aba-aba pada Deka.
Deka membuka mata.
Ia melesat maju dan masuk ke area pertahanan Om Bas.
Sbbgkkkhhhh! Sbbgkkkhhhh! Sbbgkkkhhhh!
Kembali tiga pukulan menyengat dada Deka, tapi sekali lagi wajahnya tak menunjukkan perubahan. Ia masih tetap menerjang. Mencoba mengejar Om Bas yang menggunakan teknik serang dan mundur.
Ketika jarak tergapai, tangan Deka maju menyergap ke depan, meluncurkan dua pukulan kencang ke dada Om Bas.
Bgkkkkhhh! Bgkkkhhhh!
Om Bas tersentak dan mundur beberapa langkah, tapi hanya untuk beberapa saat karena kemudian ia berdiri dengan tenang tanpa ekspresi.
“Heaaaaaaaarrrghhh!!”
Buaaagkkkhhhh!!
Deka melesakkan satu pukulan berputar yang melesak masuk ke dada kiri Om Bas, meletupkan sengatan dan melontarkan tubuh besar bodyguard itu ke belakang hingga terjerembab ke tanah. Deka mengangguk kepala dengan puas! Yes! Sodokan penggetar jantung-nya masih bisa diandalkan meski kemudian jemarinya jadi nyut-nyutan tidak karuan.
Deka tersenyum sesaat sembari mengedipkan mata ke arah Dinda yang ternyata juga turut menyaksikan. Entah sejak kapan gadis itu datang. Tiba-tiba saja dia sudah berada di dekat pintu yang menghubungkan halaman di depan teras rumah dengan warung di samping. Sejak tadi ternyata Dinda ikut mengamati pertarungan Deka dan Om Bas. Gadis itu menunduk malu-malu dengan wajah memerah saat tahu Deka mengedipkan mata padanya.
Manis banget sih si Dinda. Sayang Deka sudah punya Ara… seandainya belum, mungkin cerita akan jadi berbeda. Lucu memang dunia ini… saat kita…
Tiba-tiba saja Dinda mendongak dengan wajah tersentak kaget.
Eh? Kenapa Dinda kaget?
Gadis itu menunjuk ke arah Pakdhe Wid. Deka memalingkan wajah dengan santai.
Tapi sesaat kemudian ia menatap ngeri saat Pakdhe Wid mengayunkan tangan kembali seiring dengan bangkitnya Om Basuki. Karena itu pertanda kalau kali ini Om Subur dan Om Betet juga turun ke arena untuk melawannya! Tiga lawan satu!
Waduh.
Keringat Deka deras membanjir.
.::..::..::..::.
Melihat Nobi dan Amon berhasil disingkirkan oleh Nanto, Oppa melejit menyerang tanpa ampun. Gilirannya menjajal si bengal sudah tiba!
Wsshhh! Wssssh! Wssshh!
Dengan kecepatan tinggi kaki Oppa menyambar tak kenal jeda. Seandainya Nanto salah mengelak sedikit saja maka telapak kaki si cowok ganteng akan hinggap menjejak wajahnya. Desing suara tendangan kaki berkelebat bagai gema berulang di telinga si bengal. Ibarat dengung tawon yang siap menyengat. Ia bahkan tak memiliki kesempatan untuk beristirahat karena kecepatan kaki Oppa membuatnya harus fokus setiap saat.
Luar biasa memang kapten DoP yang satu ini.
Namun sehebat apapun kecepatan kaki Oppa, tidak ada satupun yang mencapai sasaran. Begitu pula Nanto, ia hanya bisa berkelit karena Oppa tak memberikannya kesempatan untuk menyerang sekalipun. Oppa tahu, jika Nanto memaksakan menggunakan wing chun-nya, maka dia akan selalu mengincar bagian tengah atau sentral dari tubuhnya, itu sebabnya ia harus melindungi diri dengan serangan beruntun, karena pertahanan terbaik adalah menyerang.
“Lumayan, tidak memberi celah sedikit pun.” Ucap Nanto yang terpaksa harus bergerak mundur, tapi jelas ia tidak mau dikalahkan secepat itu oleh si cogan. Berhadapan dengan seorang pria yang sigap dan cepat dalam melemparkan tendangan seperti ini, Nanto bagaikan sedang berhadapan dengan seekor gurita bertentakel delapan.
“Kaki sampeyan ngeri juga, cepat, ganas, pedes. Susah bedain sampeyan sama geprek bensu.”
“Bisa diam saja? Sudah saatnya merasakannya sambaran kakiku, Nyuk. Tadi kamu sendiri yang bilang tidak boleh banyak bacot.” Oppa terus saja membombardir pertahanan Nanto dengan serangan kaki kilatnya.
“Lha yo wegah kalau disuruh diem nerima tendangan. Ga mau lah. Kalau kena kan sakit.”
“Kalau takut sakit tidak usah bertarung! Bedeeeeesssh!!”
Wsshhh! Wssssh! Wssshh!
Kanan! Kiri! Kanan!
Oppa tidak habis pikir, seberapa kalipun ia menyerang, tapi tidak pernah mencapai sasaran. Seumur hidupnya, baru sekali ini ia menghadapi lawan yang mampu membaca serangannya yang sudah dilontarkan secepat kilat. Nanto yang sekarang sepertinya berbeda dengan Nanto yang kemarin berhadapan dengan Don Bravo. Apakah kemarin dia sengaja?
Meski sigap Nanto mengelak, berulangkali ia harus mengakui kemampuan sang penguasa tendangan beruntun. Benar-benar luar biasa, sama sekali tidak ada celah. Meski sama-sama menggunakan tendangan sebagai senjata utama, Oppa agaknya memiliki level di atas Roy dari Lima Jari.
Wsshhh! Wssssh! Wssshh!
Kiri! Kanan! Kiri!
“Kalau begini caranya aku bisa menang lho. Kamu memang cepat, tapi karena terlalu terburu-buru melepaskan tendangan yang mungkin karena takut lawan memanfaatkan momentum, maka tendanganmu kadang justru tak tentu arah dan itu membuka kesempatan lawan untuk menyerang. Kalau lebih fokus, tendanganmu bisa jadi lebih mengerikan.” ucap Nanto di sela-sela serangan dari Oppa.
“Hahahaha, bisa-bisanya! Lambemu kuwi lho, Nyuk! Mana bisa kamu menang kalau sepanjang pertarungan hanya menghindar! Percuma menguasai ini itu kalau hasilnya zonk! Bilang saja tidak ada kesempatan buatmu kalau aku terus menerus menyerang!” pancing Oppa.
Nanto hanya mencibir, “Apa aku terlihat seperti sedang menghindar?”
Lagi-lagi serangan membabi-buta dari Oppa gagal menemui sasaran! Nanto bergerak dengan cepat dan penuh konsentrasi. Sesaat ketika Oppa menarik kakinya, Nanto bergerak ke depan dengan ringan.
Bgkh!
Oppa mundur beberapa langkah. A-apa yang terjadi? Kenapa hidungnya terasa panas? Ia mengusap bagian atas bibirnya. Ada cairan? Darah mengucur dari lubang hidung si cogan!
“Se-sejak kapan?” Oppa menatap ke arah si bengal dengan pandangan tak percaya.
“Ck. Sampeyan memang cepat. Sangat cepat malah. Tapi seperti yang aku bilang, fokusnya kurang, tendangannya tak terarah, dan masih banyak celah.” Ucap Nanto dengan pose santai, ia bahkan memasukkan kedua tangannya ke kantong celana. “Yang kamu lakukan tadi bahkan masih belum cukup cepat kalau dibandingin Sagu – anjingku, masih kalah jauh. Kapan-kapan aku kenalin, siapa tahu kalian jodoh.”
Oppa mendengus marah! Ia dengan beringas berlari ke depan, ketika posisinya satu setengah meter jaraknya dengan Nanto, si cogan menjejak tanah, dan bak pegas melompat tinggi dengan ringannya! Ia melemparkan kakinya ke arah wajah Nanto dengan satu sepakan kencang sembari memutar badan!
Edan!! Jurus apa lagi ini!? Nanto terpaksa melindungi diri dengan menyilangkan lengan di depan wajah! Orang satu ini benar-benar…!!
Dppbbh!!
Ugh! Kencang tendangannya! Lengan Nanto bagai disengat listrik ribuan watt!! Pertahanan si bengal buyar, tangannya yang tadinya menyilang, terbuka lebar!
Tendangan kali ini memang berhasil mendesak si bengal ke belakang beberapa langkah! Lengannya masih terasa nyeri karena efek tendangan dahsyat itu! Ini adalah salah satu jurus tendangan paling mengerikan dari Oppa, tendangan yang konon dijuluki Sambaran Elang Neraka, karena untuk melakukannya Oppa harus melompat tinggi dan menukik tajam sembari memutar badan. Seperti seekor burung yang mengincar mangsa.
Salah besar juga jika Nanto mengira ia bisa bernapas sejenak, karena Oppa masih belum selesai! Begitu turun menjejak tanah, sang lawan sekali lagi melompat ke atas bak kapas dan memutar tubuhnya bagaikan bor, sembari melontarkan tendangan berputar dengan kecepatan tinggi menghunjam tubuh Nanto! Lagi-lagi Sambaran Elang Neraka meluncur!!
Bgkkhhhhh!
Munyuuuuuuuk! Si bengal kena kali ini, ia terlempar ke belakang dengan lengan terasa remuk! Beruntung sekali tadi ia sempat mengangkat lengan untuk melindungi bagian dadanya. Nanto berguling untuk kembali berdiri dan memasang pose siaga! Bangsat! Jingan! Munyuk! Kampret! Bedeeessshhh!
Sialnya Oppa benar-benar tidak memberi jeda, entah seperti apa kapasitas paru-paru dan ketahanan tubuhnya sampai-sampai sanggup melontarkan tendangan beruntun seperti senapan mesin. Ia kembali berlari mengejar Nanto, sekali lagi melompat ke depan dan menggunakan tanah sebagai pijakan untuk melompat sangat tinggi bak pegas, memutar tubuh, dan mengirimkan tendangan kaki kanan ke kepala si bengal! Sekali lagi jurus andalan!
Bedes ampaaassss!! Bangsat satu ini memang luar biasa akrobatik!
Nanto tidak bisa berbuat banyak karena ia baru saja berdiri setelah berguling. Jangankan menyerang, untuk bersiaga saja harus mengandalkan reflek! Sang lawan memang pantas menjabat sebagai kapten DoP, kecepatannya nggilani, ketahanan luar biasa, dan serangannya tanpa jeda! Menakutkan, Nyuk! Sekali lagi Nanto menyilangkan lengan untuk menutup akses Oppa ke wajahnya.
Dppbbh!!
Kembali Nanto terdesak mundur ke belakang beberapa langkah. Nyeri berdenyut di lengannya. Serangan ini seimbang kekuatannya dengan pukulan martil si tangki tinja tadi. Bangsat, tidak bisa begini terus! Dia harus mencari cara untuk bisa menundukkan Oppa! Apakah dia harus…
Nanto tertegun sejenak.
Tidak! Tidak. Jelas tidak. Dia tidak ingin mengulang kesalahan lama. Dia harus cari cara lain! Nanto menundukkan kepala dan menatap ke depan sambil menarik kaki kanan ke belakang sementara tangan bersiaga di depan dada.
Oppa terkekeh melihatnya, ia berhenti sejenak setelah tiga kali berturut-turut melepaskan Sambaran Elang Neraka-nya. “kamu pikir wing chun-mu bisa menang melawanku? Dolanmu kurang adoh, Nyuk! Mainmu kurang jauh!”
Nanto tersenyum sinis, “Salah besar kalau mengira aku hanya menguasai apa yang pernah kalian lihat atau sedang kalian lihat. Bertarung itu bukan tentang jurus, gaya, atau penampilan. Bertarung itu tentang bagaimana pukulan kita mengenai sasaran. Titik.”
Melihat Oppa menghentikan serangan tidak ada waktu lain yang lebih tepat bagi si bengal! Ia pun berlari kencang ke depan! Oppa terkejut melihat Nanto tiba-tiba bergerak, ia mengangkat satu kaki sebagai pertahanan. Tapi belum sampai satu meter Nanto mencapai posisi Oppa, si bengal menjejak tanah, lalu melompat tinggi, kemudian mengincar Oppa dengan memutar tubuhnya bagaikan bor, sembari melontarkan tendangan berputar dengan kecepatan tinggi menghunjam!
Oppa tersentak kaget! I-ini kan… ini kan tendangan yang tadi ia gunakan!!
.::..::..::..::.
Hasan Abidin melongok melalui sela-sela pagar, benar tidak ya ini rumah yang dimaksud? Berulang kali Abi memeriksa pesan singkat yang dikirimkan oleh salah seorang anggota Sonoz melalui WhatsApp. Untung saja ada anggotanya yang memiliki akses ke administrasi kampus, sehingga jadi perkara mudah untuk mencari alamat mahasiswa. Usai mengantar Simon ke rumah sakit, Abi menyempatkan diri untuk mampir ke rumah kos-kosan ini. Lokasinya ada di KM bawah Jalan Kalipenyu, lebih tepatnya lagi di dekat Tengkleng Mammoth – sebuah tempat makan yang populer dengan sate kambing berukuran jumbo, jangankan makan, lihat saja kenyang.
Seorang pemuda yang sedang menyapu kamar melirik ke arah teras, menatap seorang pria yang mengenakan helm. Iki alien seko ngendi meneh iki?
“Ya? Cari siapa, Mase?” tanya sang pemuda.
“Ha-Hageng Dirga Wijaya? Benar ini kos-kosannya?”
“Oh, nyari Hageng? Ada kayaknya. Kamarnya paling belakang di ujung. Dari sini lurus terus, ke kanan, ke kiri, ke kanan, ke kiri… ikuti saja suara lagunya Nella Kharisma yang diputer kenceng itu. Kalaupun tidak ketemu kamarnya, paling tidak bisa ikut goyang.” Ketika si pemuda pembawa sapu mencoba menjelaskan dengan tidak jelas, Hageng tiba-tiba saja nongol seperti orang yang panjang umurnya.
“Lha ini orangnya malah nongol. Geng, ada yang nyari tuh. Pacarmu.”
“Cewek?”
“Cowok.”
“Azu.”
Hageng melangkah ke depan dan menatap pria berhelm.
Si helm menatap balik.
Hageng masih menatap.
Si helm juga.
Hageng mengedipkan mata.
Si helm juga.
Hageng menjulurkan lidah.
Si helm terbatuk. Abi pun membuka dan meletakkan helmnya di kursi yang ada di teras kos-kosan. “Hageng. Ini aku.”
Hageng sempat terkejut ketika ia mengenali siapa Abi, ini kan orang yang pernah baku hantam dengannya! Hageng melemparkan kelakar ceria seperti biasa. “Lho… lho… kamu kan… hahaha! Ada apa ini anggota Zonoz yang terhormat zampai datang menemuiku? Apa ada yang biza aku bantu? Jangan-jangan kamu kangen ya? Ahay!”
“Hrmph! Demi apa! Aku sama sekali tidak kepengen ketemu orang semacam kamu. Tapi aku harus datang karena kehadiranmu sedang ditunggu.” Abi mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku celananya. Ia sempat membuka kertas itu untuk memastikan. “Ini. Ada pesan di situ! Kamu diminta datang ke rumah sakit Panti Gama. Sekarang juga! Simon menunggumu.”
“Zimon?”
“Zimon…. bah! Blpt! Belepotan! Kadal! Kenapa kamu ngomongnya aneh, bangsat! Bikin latah! Iya! Surat itu dari Simon, pimpinan Sonoz. Dia menunggumu di tempat itu untuk menyampaikan sesuatu.” Abi membalik badan. “Tapi mau ke sana atau tidak, itu keputusanmu. Aku hanya kurir yang bertugas mengirimkan pesan.”
Abi melambaikan tangan dan berlalu pergi.
Hageng menatap kertas di tangannya, sepertinya kertas itu diambil sekenanya saja di meja resepsionis rumah sakit, karena di sebalik kertas terdapat nota kosong. Tulisan tangan yang tertera di sana juga terlihat dibuat dengan terburu-buru. Apa yang ditulis oleh Simon? Kenapa dia mengirimnya pesan? Ketemu juga baru sekali.
Aku dan Sonoz membutuhkanmu. Temui aku di RS Panti Gama. Akan kuberikan Puncak Gunung Menjulang.
Hageng tertegun dan membacanya sekali lagi. Diberikan Puncak Gunung Menjulang? Apa maksudnya? Kenapa tiba-tiba saja Simon mengirimkan surat aneh ini? Apa yang telah terjadi? Bukankah mereka baru bertemu sekali saja? Itu pun melalui sparring yang singkat. Aneh tapi menarik.
“Zompret. Bikin penazaran.” Ujar si bongsor itu pelan pada diri sendiri.
Belum sampai ia berbalik, tiba-tiba saja wajah Abi berada tepat di depan Hageng!
Kocheng oren ketabrak kutang trus njempalik!
“Bujug!! Zampe kaget!! Ada apa kok balik?”
“Anu… tadi helmku ketinggalan.” Abi yang tadinya sudah sok cool jadi tengsin berat. Ga jadi pasang muka cool kalo begini. Asem. Ia pun mengambil helmnya yang masih diletakkan di kursi dan kembali ke motor. “Sekarang beneran aku pergi.”
“Yakin?”
“Iya.”
“Ada barang lain yang tertinggal?”
Abi melirik ke kanan kiri. “Tidak ada. Beneran sekarang yakin.”
“Yakin?”
“Iya.”
“Itu zendalnya kenapa ketuker punya temen kozku?”
Bazeeeeng! Kenapa juga tadi masuk teras aja mesti copot sendal? Ketuker kan ah! Pantesan tadi berasa aneh! Datang pake sendal Bata kok pulang-pulang pake Swallow.
“Oh iya.” Abi berusaha lempeng sembari menukar sendal.
Hageng mengangguk.
Korlap Sonoz bertubuh pendek itu pun bergegas menaiki motornya dan segera kabur dari rumah kos Hageng. Munyuk! Isin, cah!
Hageng tertawa melihat tingkah Abi yang ternyata kocak. Si bongsor itu membuka ulang kertas dari Simon dan sesaat kemudian mengalihkan pandangan ke langit yang makin gelap. Ia mendengus sambil tersenyum.
Puncak gunung menjulang. Kenapa tidak?
Buru-buru Hageng kembali ke kamarnya untuk mengambil jaket jeans dan kunci motor. Menarik sekali! Apa yang diinginkan Simon dengannya? Saatnya menuntaskan rasa penasaran!
Yoshi! Ikuzo!
.::..::..::..::.
Nanto menghunjam tanah yang bahkan sampai berdebam. Sayang tendangannya gagal karena Oppa mampu menghindar. Setan satu itu memang cepatnya bukan main!
Tapi si bengal juga tidak kalah cepat. Begitu ia menapak tanah, Nanto melompat mengejar arah Oppa mengelak. Si cogan bukannya takut, dia berhenti dan memasang kuda-kuda dengan satu kaki terangkat, siap menyambar apapun yang datang ke area pertahanannya. Betapa kagetnya ia ketika yang datang adalah serangan tendangan yang bak senapan mesin!
Kanan! Kiri! Bawah! Atas! Kanan! Kiri! Kanan! Atas! Bawah!
Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk!
Tendangan keduanya beradu, tidak ada yang mengalah. Setiap serangan Nanto ditepis oleh kaki Oppa dan tiap serangan Oppa dihadang oleh sepakan Nanto. Badai tendangan berkecepatan tinggi yang saling serang dan tangkis membuat Nobi yang menyaksikan dari jauh terbelalak menatap tak percaya. Selama ini ia belum pernah melihat ada orang yang sanggup menandingi kecepatan dan stamina Oppa satu lawan satu secara langsung! Ini sih gila! Gila!
Kiri! Kanan! Atas! Bawah! Kanan! Kiri! Bawah! Atas! Kanan!
Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk! Bgkk!
Keringat mulai turun di dahi Oppa, orang seperti apa Nanto ini? Bagaimana mungkin dia menggunakan jurus yang berbeda tiap kali bertarung? Datang dari mana sebenarnya kadal ampas satu ini? Siapa dia?
Nanto mundur selangkah, seperti halnya Oppa. Bagaikan tak memiliki napas dan stamina normal, Oppa melesat naik usai menjejak kaki ke tanah, melonjakkan dirinya sekali lagi ke atas, ia memutar badan sembari menghunjamkan tendangan ke arah si bengal.
Bddmm!!
Nanto sudah meninggalkan lokasi yang menjadi target serangan Oppa, sehingga yang ditemui tendangannya hanyalah tanah kosong. Oppa akhirnya terengah-engah, napasnya mulai memburu. Percuma juga ia terus melepaskan serangan kalau hasilnya tidak ad…
Dengan kecepatan tinggi Nanto tiba-tiba saja sudah masuk ke area pertahanan Oppa. Tangan kanannya membentuk huruf V secara menyamping yang diangkat teramat tinggi dengan kepalan menghadap ke bawah! Nanto mengibaskan tangannya ke kiri bawah dan Oppa yang terkejut pun terhantam pukulan!!
Bdoooom!
Pemuda ganteng itu akhirnya rubuh ke tanah dengan wajah terasa panas karena disambar. Buru-buru Oppa bangkit. Satu pukulan tidak akan membuatnya menyerah, tapi sungguh ia terkaget-kaget.
Bedessssshhhh! I-itu tadi… itu tadi seperti teknik pukulan martilnya Amon! Bajingan satu ini…!! Oppa mencoba bertahan dengan melontarkan pukulan, namun Nanto lebih cepat. Oppa memang seperti tidak ditakdirkan untuk memukul karena hantamannya lemah dan terbaca dengan mudah. Si bengal memutar tangan di sisi dalam lengan lawan dan menarik maju pergelangan tangan Oppa.
Begitu Oppa kehilangan keseimbangan, dengan cepat lutut kanan Nanto masuk ke rusuk.
Bgkkhhh!!!
Oppa yang terkejut tak sempat bertahan, serangan si bengal masuk dan ia pun terhenyak kesakitan! Tapi itu baru satu.
Begitu pertahanan lawan terbuka, Nanto melontarkan pukulan beruntun bak serangan senapan mesin tanpa jeda dari kepalan tangan kanan maupun kiri. Semua menuju ke satu titik di tengah dada Oppa!
Dada. Dada. Dada. Dada. Dada. Dada. Dada. Dada. Dada. Dada.
Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh! Bgkkh!
Oppa terdesak dan terbelalak merasakan dentuman meriam berulang di dadanya, ia tersengal-sengal tanpa bisa melawan. Tubuhnya terhenyak ke belakang dan iapun terhuyung meski masih bisa tetap berdiri dan bertahan. Si cogan meraung kesal. Bajingaaaaaaaaaaaaaaann!!!
Nanto tiba-tiba saja sudah kembali berada di depan Oppa yang wajahnya memerah karena kesal dan marah. Si bengal tersenyum, “siapa bilang kamu boleh istirahat?”
Bddggkhhhh!
Tendangan Nanto menyeruak masuk ke dada Oppa. Menerbangkan sang lawan lebih jauh ke belakang dengan sentakan keras di dada yang seakan semakin remuk.
“Kuaaaaaghhhh!”
Oppa terlempar jauh dan terguling berulang.
Si bengal menyentil hidungnya dengan ibu jari dan mendengus.
.::..::..::..::.
Deka terhuyung dan akhirnya jatuh berdebam dengan napas tersengal-sengal.
Luar biasa! Om Basuki, Om Subur, dan Om Betet – ketiganya sama-sama mengerikan. Untung ini hanya sparring saja, jika dia benar-benar harus berhadapan dengan ketiga bodyguard Pakdhe ini secara serius, bisa remuk redam sekujur badan dan tak tahu jalan pulang!
Melihat Deka ambruk tak berdaya, Dinda terbelalak.
Gadis itu segera berlari menghampiri Deka tanpa mempedulikan apapun. Ia menghampiri, bersimpuh, dan meletakkan kepala Deka di pangkuan sembari melihat luka-lukanya. Untunglah tidak ada yang serius, tapi tetap saja detak jantung Dinda bagai diremas-remas berulang-ulang kali.
Pakdhe Wid bertepuk tangan dan tersenyum, tangannya diangkat tanda berakhirnya pertandingan kali ini. “Wes cukup! Hahahaa! Cukup! Hahaha. Luar biasa… luar biasa. Kemampuanmu sudah bagus!”
Deka terbatuk dan tersengal, tak urung ia tersenyum sembari mengangkat jempol. “Ma-makasih, Pakdhe.”
“Tapi sepertinya masih kurang dari yang seharusnya kamu kuasai. Malas latihan ya? Belajar lagi ya, le. Jangan pernah berhenti dan jangan malas berlatih, tembus level yang lebih tinggi lagi. Engkongmu dulu sudah mewariskan sesuatu yang teramat berharga yang sayang rasanya kalau disia-siakan begitu saja. Aku yakin kamu pasti bisa.”
Deka menatap Pakdhe Wid dengan terengah-engah, napasnya satu dua. Wajah Dinda yang amat khawatir membuatnya tersenyum. Ada bayang air mata di pelupuk mata sang dara.
“Jangan khawatir, aku tidak apa-apa.” bisik Deka pelan.
“Ta… tapi… ini.. dan itu…” Dinda menunjuk luka lebam Deka.
“Aku tidak apa-apa. Percayalah.” Deka menggenggam tangan Dinda yang dingin dan basah oleh keringat karena mengkhawatirkannya. Jemari Deka masuk ke sela-sela jemari sang dara, membuat wajah gadis itu memerah.
Pakdhe Wid yang tadinya sudah siap kembali ke teras membalikkan badan dan menatap Deka dengan pandangan tajam. “Bukan maksudku untuk membandingkan, le. Tapi pastikan kamu tidak tertinggal dari Amar. Dia sudah mencapai level yang jauh lebih tinggi. Dia bahkan bisa mengalahkan semua bodyguard Pakdhe, termasuk ketiga orang tadi.”
Deka menatap Pakdhe-nya dengan senyuman. “Wah kalau Amar sih… dia emang gentho, Pakdhe. Level kita beda. Hehehe. Mungkin…”
“Pakdhe hanya mau wanti-wanti, memberikan sedikit masukan, tidak bermaksud menakut-nakutimu, atau membuatmu paranoid. Sama sekali tidak. Tapi kamu sendiri tahu kalau Amar itu tergabung dengan Dinasti Baru dan mereka bukan kelompok geng biasa. Nah, mendengar ceritamu yang seru tadi Pakdhe langsung yakin kalau akan ada ancaman perang besar nanti di kotamu – entah esok, entah lusa, entah kapan. Yang pasti ancaman itu nyata karena tiap kelompok pasti punya agenda terutama mengenai teritorial wilayah, apalagi jika kelak QZK dan JXG sudah kembali aktif. Kembang api akan meledak di atas langit kota dan itu mungkin tidak lama lagi.”
Senyuman hilang dari mulut Deka.
“Pastikan kamu memilih kelompok yang tepat jika terlibat dalam perang ini. Pakdhe tidak akan mau memilih satu di antara kalian berdua jika nantinya berseberangan. Pakdhe akan selalu berada di tengah dan tidak akan mau terlibat apapun. Pakdhe hanya akan memberi saran kepada kalian berdua sebagai keponakan sesuai kapasitas Pakdhe. Ingat baik-baik pesen Pakdhe ini yo, le… dengerin Pakdhe.”
Deka mengangguk.
Pakdhe Wid menambahkan lagi. “Ini kedengarannya klise. Tapi apapun yang terjadi kelak… selalu ingat kalau kalian berdua adalah saudara kandung. Seburuk apapun kejadiannya, darah lebih kental daripada air.”
Deka hanya diam. Ia semakin erat menggenggam jemari Dinda.
“Dab.”
Rao yang sejak tadi beristirahat tiba-tiba saja sudah berdiri tegap di samping Nanto, dengan napas yang teratur dan sikap yang lebih tenang. Sementara di seberang, Oppa kembali berdiri tegap sebagaimana Amon juga kembali bersiap.
Nanto melirik ke belakang, berbanding terbalik dengan mereka semua, Rikson terkapar tak berdaya, sepertinya dia tidak akan dapat bertahan lebih lama, darah yang hilang sudah terlalu banyak. Harus buru-buru dibawa sekarang juga, tidak bisa menunggu lebih lama. Beruntung posisi mereka kini sudah tidak terdesak, Nanto berhasil memancing Oppa dan Amon bertarung memutar, sehingga para pengkhianat gagal menutup jalur Rao untuk kabur.
Nanto menatap Rao dan menggoyangkan kepala ke belakang, ke arah Rikson. “Sudah tidak ada waktu lagi, dia harus segera dibawa ke rumah sakit, dab. Serius. Ini sudah kelamaan.”
“Sepertinya begitu. Tapi tanganku gatel banget pengen menyelesaikan urusan dengan kunyuk-kunyuk pengkhianat itu. Mereka tidak boleh dibiarkan melenggang santai begitu saja.”
“Sudah aku bilang, biar aku yang menangani mereka. Percaya wes.”
“Hahahahaha. Aku percaya, tapi aku juga tidak enak ada kejadian seperti ini. Kita baru kenal – itupun baru sekilas, tapi kenapa sampeyan mau-maunya mempertaruhkan nyawa demi kami? Kenapa sampeyan nekat membantu kami? Kejedot apa otak sampeyan, dab?”
“Ada pepatah kuno yang mengatakan dua kontol lebih baik daripada satu kontol. Demi kelangsungan kontol yang satu, maka kontol yang lain harus selalu siaga.”
“Wasu ra jelas. Wakakakakakak.”
“Tenang saja, aku bukan tipe orang yang akan kalah dengan mudah. Aku tidak bisa membiarkan pengeroyokan semena-mena begini terjadi – apalagi kalau sudah ada yang main pakai senjata tajam. Wes, ra mutu kuwi. Pokoknya sekarang sampeyan bawa saja si Rhemason itu ke UGD. Jangan buang waktu lagi.”
“Rikson bukan Rhemason. Wakakak. Aku sih percaya sampeyan tidak akan kalah dengan mudah. Batok kepala sampeyan kayaknya keras. Hahaha. Ya sudah kalau itu memang kekarep sampeyan, dab. Gorila bongsor di belakangku itu kayaknya bakal mati kalau aku tidak segera membawanya ke rumah sakit. Aku pamit dulu. Matur suwun banget, dab. Aku ga akan lupa kebaikan sampeyan ini. DoP berhutang budi.”
Nanto mengangguk.
Rao sudah bersiap pergi dengan memapah Rikson, tapi ia berhenti sekejap sembari mengangkat jempolnya. “Sebelum pergi ada satu hal lagi.”
“Opo meneh? Kae keburu mati wong kuwi! Cepetan, keburu koit itu raksasa satu.” Nanto memasang kuda-kuda karena Oppa dan Amon sepertinya bersiap menyerang bersamaan.
“Mulai saat ini, mau tidak mau, suka tidak suka, sampeyan didapuk sebagai jenderal DoP. Diterima ataupun ditolak, keputusan sampeyan aku tunggu di Kandang Walet.”
Rao pergi meninggalkan Nanto sambil memapah Rikson.
Nanto cuma bisa bengong.
Heh!?
Bersambung