Part #8 : SAHABAT
Setiap orang suci punya masa lalu,
dan setiap pendosa punya masa depan.
– Oscar Wilde
Nuke Kurniasih berdehem. Suaranya bagai tercekat hendak hilang, entah sudah berapa lama ia berbicara dengan volume suara tinggi. Ia harus terus menerus berteriak karena ributnya suasana sekitar. Hari sudah menjelang sore kala itu, para pedagang Pasar Besar sudah mengemas barang-barang dagangan. Sebagian disimpan di lemari-lemari kayu yang digembok, sebagian lagi dibawa pulang.
Gadis manis itu masih sibuk memastikan anak-anak yang sedang berkumpul di hadapannya mendapatkan snack dan minuman. Suaranya yang serak-serak basah makin terdengar bergerigi saat ia berteriak sekali lagi, mencoba mengalahkan suara mesin pemarut kelapa, deru knalpot motor, dan ributnya ibu-ibu pasar yang saling bercanda.
“Jangan lupa besok kumpul lagi yaaa. Kita belajar bareng lagi yaaaa.”
“Iyaaaa…”
“Iyaa Kaak.”
“Iya.”
“Oke Kak.”
Dengan senyum terkembang, Nuke menyalami satu persatu anak-anak jalanan yang tertawa riang. Kerumunan bocah itu lantas berjalan berpencar, kembali ke kehidupan mereka yang justru akan mengajarkan banyak sekali pahit getir dunia. Ada sedikit getar terasa di dada Nuke. Akankah kita akan berjumpa kembali esok hari?
Nuke membuka topinya, menyapu peluh di dahi dan duduk di tepi trotoar. Ia menggunakan topinya sebagai kipas.
“Huff. Panas banget ya.” Kinan Larasati duduk di sebelah Nuke, ia menyodorkan sekotak minuman kemasan dingin.
“Makasih, Noy. Anak-anak sudah dapet semua kan?”
“Sudah. Semua sudah kebagian. Ada sisa sih.”
“Sisa?” Nuke menusukkan sedotan yang ke lapisan perak di tutup kemasan. Ia menyeruput teh dingin yang menyegarkan. Rasanya? Bagai siraman hujan di lembah yang kering dan langsung membuat bunga-bunga bermekaran.
“Iya.” Kinan mengangguk sedih, “ada beberapa anak yang tidak datang. Katanya mereka dibawa Bang Kojek sampai kawasan utara kota beberapa hari yang lalu. Tahu sendiri jaraknya sejauh apa. Belum ada yang pulang sampai hari ini.”
Nuke menggemeretakkan gigi dengan geram. “Orang itu… memang… Huh!! Apa dia sudah hilang hati dan perasaannya sih? Sampai setega itu sama anak-anak!! Aku mesti protes ke Bang Gunar! Sudah terlalu banyak! Terlalu sering anak-anak menjadi korban! Gemes banget, Noy!”
“Iya sama, aku juga gemes banget. Tapi apa kita bisa menggerakkan hati Bang Gunar dan kawanannya ya, Nuk? Kamu tahu sendiri kalau dia sudah berkehendak, ga ada yang bisa ngelawan. Jangan-jangan Bang Kojek bawa anak-anak ngemis di utara disuruh sama Bang Gunar? Duh kasihan banget.”
Nuke mengangguk. “Kita mesti bagaimana lagi ya, Noy? Kita begini aja, repotnya minta ampun. Mesti izin kesana-sini, belum waktu yang terbuang dua bulan karena harus meyakinkan Bang Gunar. Dua bulan, Noy! Pengen banget rasanya nyelametin anak-anak itu dari tangan kawanan preman-preman yang brengsek seperti Kojek.”
“Kasihan anak-anak.”
Nuke menghela napas. Saat melihat beberapa temannya mengemas buku bacaan, alat tulis, mainan, dan tas yang tadi digunakan anak-anak bermain dan belajar di bawah sebuah pohon rindang yang asri, si manis itu tersadar. “Eh, Fitria sama Ratri ga datang hari ini? Apa mereka sudah masuk kuliahnya?”
“Mereka… kayaknya ga bakal datang lagi, Nuk.”
“Oh begitu.”
Kinan tersenyum, ia mengelus punggung Nuke. Tidak banyak memang yang hatinya tergerak untuk memberikan ilmu dan waktu bagi anak-anak jalanan. Ia dan Nuke sudah melakukan segala upaya yang mereka bisa, berjuang sejak masih duduk di bangku SMA hingga sekarang saat keduanya menempuh bangku kuliah. Bersama dengan teman-teman lain yang peduli, Kinan dan Nuke mencoba berjuang demi masa depan anak-anak jalanan yang jauh dari kasih sayang orang tua.
Bermodal harta apa-adanya Nuke, Kinan, dan teman-temannya membentuk Kelompok Sahabat Sejati Selamanya atau disingkat K3S – yang upaya utamanya adalah mendekati dan mengajarkan akhlak, agama, dan kemampuan calistung (baca, tulis, hitung) kepada anak-anak jalanan. Sejak SMA Nuke dan Kinan sudah menjadi penggerak utama kegiatan ini dengan kepedulian yang besar.
Nuke tahu betul mirisnya kehidupan anak-anak itu karena Dirman – almarhum ayah Nuke dulu adalah mantan pimpinan gali di wilayah Pasar Gede, lapangan, dan alun-alun kota. Sejak tobat, Dirman merangkul anak-anak jalanan dan memberikan mereka pengetahuan dan kasih sayang – Dirman menyebut mereka anak-anak angkatnya. Salah satu anak angkat Dirman adalah Joko Gunar yang sayangnya kembali ke kehidupan malam dan menjelma menjadi pimpinan preman paling ditakuti di kawasan ini, menggantikan Dirman. Tidak hanya Gunar saja, beberapa anak jalanan juga diangkat dan diasuh oleh Dirman. Beberapa ada yang kembali ke jalan yang benar, sebagian terjerumus ke kehidupan malam dan menjadi anak buah Gunar.
Nuke tidak bisa menyalahkan kehidupan preman dan anak-anak jalanan. Mereka tinggal empet-empetan di pinggir bentangan sungai atau di bawah jembatan kereta api dengan segala masalah sosial yang mengungkung. Tempat-tempat yang sudah dilupakan oleh negara.
K3S berawal dari 12 orang, lalu turun menjadi tujuh, lalu lima, lalu naik lagi menjadi 15 setelah Kinan muncul dan diwawancara di sebuah acara televisi. Kini jumlah itu turun lagi menjadi 7 – sejak Fitria dan Ratri keluar hari ini. Ya sudah tidak apa-apa. Nuke hanya bertekad menyelamatkan anak-anak jalanan dari nasib, pandangan, dan cibiran masyarakat. Dia harus memberikan mereka ilmu dan bekal hidup, meskipun untuk itu ia harus bersitegang dengan saudara-saudara angkatnya yang sudah terlanjur menjadi preman-preman brengsek.
Saat Nuke merenung, sebuah motor berhenti di depan Nuke dan Kinan. Knalpot meraung-raung dan asap membumbung tak karuan. Dua orang preman duduk di atas motor. Yang paling depan mengenakan helm dan masker, sehingga tak nampak siapa dia sebenarnya. Yang satu lagi – si pembonceng turun dari motor, rambutnya yang kribo dipotong model melingkar ala-ala flower generation, perawakannya kekar, kulitnya gelap, dan di lengan kanan terdapat tato burung rajawali.
“Hai Kinan.”
“Halo Kinan. Cantik banget hari ini. Duh, putih mulus kek ubin mesjid.” Sapa si Kribo sambil kedip-kedip sok asyik.
Jijay.
Kinan yang digoda kedua preman itu langsung salah tingkah dan berdiri, gadis berhijab yang memang sangat cantik itupun berbisik pada Nuke, “A-aku duluan ya, Nuk.”
Nuke mengangguk dan tersenyum. Kinan berlalu tanpa memalingkan kepala, agak-agak risih dengan sikap dan kelakuan kedua orang yang baru saja datang. Bukan karena ia takut, tapi karena ia tidak nyaman. Kalau saja mereka bukan saudara-saudara angkat Nuke, mungkin beda cerita. Dia akan lebih berani menghardik mereka.
“Yaaah kok pergi, Kinan? Aku masih rindu.” Kata si Helm.
“Kinan. Jangan pergi dong, sayaaang.” Lanjut si Kribo. “Abang bawa bungkusan.”
“Bungkusannya apaan?” tanya si Helm.
“Beginiaaan.” Si Kribo bersenandung.
Kedua preman itu terbahak seakan-akan baru saja menceritakan joke paling lucu sejagad.
“Udah. Jangan gangguin temenku. Kalian berdua mau apa?”
Si Helm dan Si Kribo saling berpandangan. Wajah mereka berubah menjadi serius. Si Kribo mendekati Nuke yang masih duduk di pinggir trotoar.
“Kata Bang Gunar kamu tahu orang yang sudah menghajar Eben tempo hari?”
Nuke mengangguk.
“Aku mau infonya. Eben saudara kita, Nuk. Kita harus balas.”
Nuke menghela napas. “Kenapa ga tanya Bang Gunar?”
“Kelamaan!!” Si Kribo semakin mendekat. “Kalau kamu tidak mau kasih tahu, anak-anak Kampung Telo bakal aku cegat supaya tidak bisa datang ke sini lagi. Mending aku suruh ngemis dapet duit daripada buang-buang waktu belajar apaan ga jelas begini!!”
Nuke berdiri dengan wajah sengit. “Heh!! Jangan berani-berani ya!! Ini aku kasih infonya! Aku ga peduli kalian semua gontok-gontokan sampe mampus! Yang penting jangan bawa anak-anak!”
Beberapa saat kemudian Nuke pun menyampaikan semua yang ia tahu tentang Nanto pada si Kribo dan si Helm. Nomor plat motor juga dikirimkan melalui aplikasi pesan singkat.
“Masih ada makanan?” tanya si Helm sambil melirik teman-teman Nuke yang sedang mengemas-ngemas sisa minuman dan snack. “Bagi lah, kami kan sudah ngasih waktu buat kamu ngajar di sini. Apa ya tidak ada bales terima kasihnya? Kami kan udah jagain lingkungan.”
Jagain apaan! Dasar busuk!
Nuke berbalik, mengambil satu tas plastik dan memberikannya pada si Kribo. “Itu, udah ya.”
Kribo tersenyum dan kembali duduk membonceng si Helm. “Makasih Nuk. Jangan galak-galak gitu lah. Kamu benernya cantik banget kalau ga galak.”
Helm terkekeh. “Galak juga cantik kok. Aku juga mau.”
“Laporin Bang Gunar nih!”
Si Helm tertawa, “sok lah. Laporin aja. Dia mana peduli perkara remeh temeh begini.”
Kribo melongok ke dalam kantong plastik yang diberikan oleh Nuke. “Kalau segini masih kurang lah. Butuh lebih banyak lagi. Ntar malem, oke? Mau minta kentang tornado ke cowok kamu. Yang paling gede.”
Nuke sebal sekali. Tapi tak urung ia mengangguk.
Motor si Helm dan Kribo melesat kencang meninggalkan gadis manis itu di tepi jalan.
.::..::..::..::.
Nanto duduk di kursi besi panjang di ruang UGD Rumah Sakit Panca Waras dengan bengong. Di depannya sedang berlangsung hiruk pikuk yang sama sekali tidak ia duga sebelumnya. Sepertinya ada kecelakaan atau entah kejadian apa yang menimbulkan beberapa korban luka, bau obat semerbak, perban dengan bercak darah bertebaran. Sebagian besar luka yang dialami korban-korban yang masuk UGD sebenarnya tidak terlalu parah – kecuali satu orang yang terus menerus mengerang kesakitan.
Orang itu dirawat di lokasi sementara tidak jauh dari Nanto. Seorang tua berkulit coklat gelap dengan rambut memutih erat mencengkeram kain lengan baju seorang perawat pria. Tidak menangis, tidak mengeluh, tapi mengerang menahan sakit teramat sangat. Wajar, bapak tua itu datang dengan kaki berbelok ke arah yang salah. Begitu parah luka yang ia derita sehingga ada tonjolan tulang menyeruak keluar kulit. Tak berapa lama kemudian, bapak itu dibawa ke sebuah ruangan tertutup, mungkin ruang operasi.
Deka datang mendekat dan duduk di samping Nanto sambil membawa formulir pendaftaran.
“Wew, rame banget, Nyuk. Tau gitu kamu ga aku bawa ke sini tadi. Antri penanganan mesti lama. Ini baru ada kecelakaan katanya.”
“Ya ga apa-apa juga, Ndes. Rumah Sakit ini kan yang paling dekat dari kampus, jadi kita memang harus ke sini. Malah sekalian diperiksa di RS daripada ke klinik kecil.”
Deka manggut-manggut sembari memeriksa formulir di tangan. “Piye? Kamu ada pusing-pusing atau mual gitu?”
“Mual sih.”
“Wadidaw, bagian perut kena hantam tadi? Mual ya? Aku tulis di formulir biar jadi referensi dokter.”
“Mual lihat kamu.”
“Wasu. Tenanan ikih! Ditanyain beneran!”
“Ya ini aku beneran, kok lihat kamu berasa pengen mukul kenapa, Nyuk?”
“Lha ya mbuh! Woalah monkey tenan. Nyoh iki isinen dewe. Isi sendiri formulirnya.”
Sembari mengisi formulir dan sekali-sekali menatap kondisi para korban yang dirawat, Nanto pun bertanya, “gimana kabar anak-anak?”
Deka menggeleng kepala. “Ga ngerti aku. Sejak kamu pergi, kita berempat jalan sendiri-sendiri. Aku tidak pernah lagi kumpul sama mereka.”
“Serius?”
“Iya.”
“Bubar?”
“Jari harus lengkap lima, baru bisa mengepal, Nyuk.”
“Opo sih, kuwa-kuwi wae ket ndhisik. Apaan coba, dari dulu itu melulu yang diomongin. Kepergianku kan bukan alasan kalian bubar? Memangnya kalian kenapa? Tidak mungkin bubar begitu saja.”
“Tidak bubar begitu saja. Satu demi satu pergi, bahkan ada yang pindah sekolah sebelum tamat SMA. Gara-gara berantem sama kakak kelas, dia milih mutasi.”
“Mutasi? Siapa?”
“Itu si…”
Terdengar suara panggilan dari salah seorang perawat di dekat pintu ruang periksa.
“Saudara Jelek? Saudara Jelek Harnanto?”
Hah? Kok Jelek? Munyuk kih si Deka ngisi form awalnya. Deka terkekeh sementara Nanto sambil bersungut-sungut mendekati sang perawat. Untung perawatnya cakep, ga jadi kesel deh.
“Anu… Jalak, Mbak. Jalak Harnanto.”
“Oooh iya iya. Maaf ya. Pantesan kok namanya aneh. Kirain dari suku mana gitu, namanya unik.”
“Hehehehe. Bukan dari mana-mana kok. Nama saya Jalak bukan Jelek.”
“Jalak ya? Janda Galak? Hahaha.”
Wew.
“Jalak Harnanto.”
“Hahaha, Iya deh. Mas Jalak silahkan masuk ke ruang dokter untuk periksa.”
“Terima kasih.”
Deka masih tertawa saat menemani Nanto masuk ke ruang dokter.
.::..::..::..::.
Sosok dokter Sugeng dapat dibayangkan seperti kebanyakan dokter pada umumnya. Tubuh gempal, suara berat, wajah besar, kacamata kotak dengan frame hitam tebal, dan memiliki intonasi suara yang ramah meski tidak mengumbar senyum di wajahnya. Mungkin sudah template sikap seorang dokter untuk menghadapi pasien.
“Oke. Walah masih gagah begini kok masuk UGD. Sakit apa Mas…” sang dokter melirik ke arah berkas tentang Nanto yang sebelumnya diberikan oleh perawat. “…Jalak?”
“Panggil saja saya Nanto, dok. Ini cuma lebam-lebam saja. Habis jatuh.”
“Hmm…” Dokter Sugeng memeriksa luka-luka Nanto. “Jatuh dari lantai berapa?”
“Jatuh dari motor.”
“Motornya jatuh dari lantai berapa?”
“Jatuh di jalan.”
Dokter Sugeng menurunkan kacamata dan memeriksa mata Nanto yang langsung gugup. Berpandang-pandangan sama cewek sih oke, berpandangan sama dokter sepuh begini… ewww.
“Kalian dari UAL?”
“Iya, Dokter.” Nanto mengiyakan dan Deka mengangguk pelan.
“Hmm… pantes.” dokter Sugeng manggut-manggut dan kembali ke kursinya.
Nanto dan Deka berpandangan. Nanto bertanya-tanya, Deka mengangkat bahu.
“Ba-bagaimana, Dokter? Apakah ada yang serius?” tanya Deka.
“Tidak. Tidak ada. Lebam-lebam biasa, dikompres sebentar beres. Setelah ini dirujuk untuk rontgen, besok kita tinjau lagi, sekalian nunggu hasil rontgen keluar.” Dokter Sugeng mencatat obat dan rujukan untuk rontgen bagi Nanto. “Serahkan ini ke perawat di meja jaga.”
“Oh baik, terima kasih banyak, dokter.” Nanto menerima memo dari dokter Sugeng dan berdiri. “Jadi setelah rontgen saya bisa pulang?”
“Iya, supaya kamu juga istirahat. Sebenarnya ini prosedural saja, dari diagnosa saya tidak ada yang serius.”
“Baik, terima kasih.”
“Kalau saran saya lain kali kamu tidak usah dekat-dekat sama motor. Ngumpul dekat sepeda saja, lebih aman.” kata dokter Sugeng tanpa mengangkat kepalanya. “Motor di UAL memang besar-besar dan kuat-kuat.”
Nanto dan Deka saling bertatapan sementara sang dokter hanya menyunggingkan senyum.
.::..::..::..::.
Lampu redup, suasana slow, wajah-wajah antara cemas dan pasrah. Menunggu itu menyebalkan, apalagi menunggu di rumah sakit, setuju gak? Nanto dan Deka sedang antri di ruang tunggu khusus pasien rontgen.
“Kenapa tadi kamu menghentikan pertarungan, Ndes? Jangan-jangan kamu khawatir sama aku? So sweet. Cieee.”
“Asem ik. Nggak lah. Aku ngerti kok balungmu ki atos tenan.” Deka terdiam sesaat. Ia memandang ke arah Nanto dengan serius. Pemuda itu memainkan jemarinya sendiri dengan gugup. Ia sungguh tidak nyaman mencoba mengucapkan kalimat yang hendak diutarakannya. Ia tidak ingin membuka luka lama. “Kalau dilanjutkan, aku justru lebih khawatir mereka yang akan terluka.”
Nanto tersenyum dan memukul pundak Deka. “Woles, Ndes. Emosi dan tenagaku sudah bisa diatur sekarang. Tidak akan ada seperti dulu lagi. Aku akan memastikannya.”
“Buah simalakama sih, Nyuk. Didiemin diserang, dihajar bikin masalah. Kalau sudah urusan sama DoP memang repot. Aku takutnya kamu ga bakalan tenang kuliah di UAL.”
“Kenapa harus takut?”
“Ini bukan masalah takut tidak takut. Kekuatan DoP itu besar, UAL basis mereka. Kapten dan Jenderal DoP itu orang-orang yang kuatnya kaya kampret kena radiasi gamma. Itu baru yang tingkat dua dan tiga, belum lagi ketua mereka – namanya Rao – dia itu monster. Intinya, kalau mereka punya kesempatan dan kamu lengah sedikit saja, mereka bakal menghabisi kamu sebelum kamu sempet ngapa-ngapain, pastikan tidak ada lagi masalah, karena mereka pasti bakal nyari-nyari.”
Nanto mendesah, “aku sudah tidak mau berurusan dengan yang beginian lagi, Ndes. Biar wes mau dihajar kayak apa, aku diam aja lah. Aku cuma mau kelarin kuliah sama cari kerja yang bener.”
Deka mengangguk. “Stay low aja lah, Nyuk. Jangan naik ke permukaan, biasa-biasa aja.”
“Iya iya. Eh omong-omong, wes pirang tahun awake dewe ra ketemu ya? Tiga tahun? Tiga tahun kita tidak ketemu ya?” Nanto mengubah arah pembicaraan.
Deka terkekeh, benar juga ya. Sudah sekitar tiga tahun ia tidak bertemu dengan si bengal satu ini.
“Tiga tahun. Banyak yang sudah berubah setelah kamu pulang ke kampung. Kita berlima bener-bener bubar. Ga nyangka kita bakal bubar setelah ngalahin anak-anak kelas atas. Hahaha.” Deka terdiam, mencoba menelan semua kenangan yang bermain di ingatannya bagaikan film diputar ulang. Tentu saja ia harus menyampaikan satu hal yang Nanto mungkin belum tahu itu. “Oh iya… aku juga… gimana ya… ada sesuatu yang aku pengen kamu tahu langsung dari aku, Nyuk. Ada sesuatu yang perlu aku ceritakan.”
Nanto melirik ke arah jam dinding. Waktu berjalan begitu lambat jika kita sedang menunggu sesuatu, detak-detik berdetak bagaikan mesin yang teramat pelan yang hidup segan mati tak mau. Atau jangan-jangan memang jam dinding itu kehabisan baterai?
Nanto menghela napas panjang. “Kamu sudah dapet cewek?”
“Hah?”
“Itu gegayaan pake cincin segala. Kamu kan paling tidak suka pakai perhiasan, Ndes. Jadi cuma ada satu penjelasan, yaitu ada cewek yang maksain kamu pake.”
“Waduh!” Deka seakan baru menyadari keberadaan cincin di tangannya.
“Hahahaha. Guaaaayyaaaa.”
Wajah Deka memerah, terasa panas karena malu. Ia menghela napas. “Uwis e, Nyuk. Udah punya cewek sekarang. Makanya aku ga pernah lagi berurusan dengan segala macam geng, tawuran, pukul-pukulan, gelar tarung, dan sebagainya. Dia ga pengen aku gegabah berurusan lagi sama rumah sakit, polisi atau malah penjara. Main bersih sekarang.”
Sekali lagi Nanto tersenyum dan memukul pundak Deka. “Nah gitu. Itu yang terbaik, Ndes.”
“Dia memang bikin aku jadi lebih baik.”
“Ayu tah?”
“Banget.”
“Wuisss. Mantap tenan. Nah, kalau begitu kan aku juga jadi seneng.” Nanto mengelus bagian lengannya sendiri yang terasa linu gara-gara pertarungan dengan Don tadi.
“Seandainya kalian berempat bisa hidup tenang, senang dan jauh dari dunia kekerasan, aku juga ikut bahagia, Ndes. Itu lebih baik dari apa yang kita jalani dulu. Hidup kita pasti jadi lebih bermakna.”
Deka mengangguk. “Tapi, ada sesuatu yang kamu harus tahu…”
“Siapa namanya?”
Deka meneguk ludah. Suaranya terdengar parau. “Namanya?”
“Cewekmu itu. Siapa namanya?”
“Eh… euhmm… na-namanya…”
“Helehhh, pake malu segala, kamu itu aneh kalau malu-malu. Rupamu ki wagu lho, Ndes.”
“Namanya… namanya… anu… namanya…”
Aduh, gimana ngomongnya ke Nanto kalau sekarang dia sudah pacaran sama…
“ARA!?”
Deka hampir meloncat terkejut saat Nanto menyebutkan nama kekasihnya.
Si bengal tiba-tiba saja berdiri dengan wajah yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Matanya menatap ke depan tanpa berkedip.
Deka menengok menelusur arah pandangan mata Nanto.
Ara berdiri di sana.
.::..::..::..::.
.: PADA SUATU KETIKA DI MASA YANG TELAH LALU :.
“Mmhhh…”
Bibir Ara merekah terbuka sementara cairan liur tergantung di antara bibirnya dan bibir Nanto. Si bengal mengelus rambut panjang Ara dengan sangat sangat lembut. Ia mendekatkan bibirnya dan sekali lagi melumat bibir lembut kekasihnya yang jelita.
Tubuh indah Ara menggeliat di bawah pelukan Nanto, berciuman dengan si bengal memang beda. Enak banget rasanya. Bisa banget bikin cewek bahagia.
“Sekarang…”
“Sekarang?”
Ara mengangguk.
“Pertama?”
Ara mengangguk untuk kedua kali. Malu.
“Yakin mau?”
Ara mengangguk sekali lagi. Wajahnya berubah menjadi lebih merah. Merah manis. Manis merona. Tubuh keduanya laksana terikat cairan perekat teramat erat. Tangan Nanto sudah tak tentu arah, kancing terlepas entah kemana. Meski kipas angin menyala kencang dan hujan di luar kamar deras turun tanpa jeda, keringat menetes di tubuh keduanya. Sagu menyalak bagai tertawa, Kakek Yuwono tak ketahuan rimbanya.
Malam ini milik mereka berdua.
Jemari Ara menyentuh tubuh sang kekasih, dada bidang Nanto membuat Ara luruh, ingin dipeluk, ingin dimiliki. Jari lentik gadis jelita itu mengurai pakaian si bengal sebagaimana sang kekasih melepas semua yang sedang ia kenakan. Betapa Ara harus mengorbankan waktu untuk datang ke tempat ini, ke kampung ini, hanya untuk bertemu si bengal, ia ingin bersamanya, selalu bersamanya.
“Pertama?” bisik Ara.
Nanto tidak menjawab. Ia hanya tersenyum.
Ara memukul pelan lengan sang kekasih. “Nakal.”
“Boleh aku tanya sekali lagi?” bisik Nanto di telinga Ara.
“Tanya apa?”
“Yakin?” mata Nanto yang tajam dan jernih menatap indahnya wajah sang kekasih. Jika ada keraguan sedikit saja, si bengal tidak akan melanjutkan. Tapi Ara menatap balik wajah Nanto tanpa keraguan sedikitpun. Ia mengangguk.
Si bengal mengelus pinggang ramping Ara yang sudah tak lagi berpenghalang. Mereka berdua mengelus tubuh masing-masing. Saling mengecup, saling mencium, saling menikmati keindahan terpancar dari tubuh tanpa sehelai benang pun.
“Kamu tidak underage kan? Aku yang repot nanti.”
“Enak aja, kita kan seumuran. Jelas sudah cukup umur lah.” Ara cemberut.
“Hehehe. Becanda.” Nanto menatap Ara dengan pandangan tajam. “Sekali lagi aku tanya ya, yakin?”
Ara bergelayut di leher Nanto, menarik tubuhnya, mendekatkan wajah mereka, mengecup pipi dan telinga si bengal, lalu berbisik pelan. “Aku sudah tidak tahan.”
“Sudah siap?” bisik Nanto.
“Sudah.” Ara juga berbisik. “Kayaknya sudah.”
Nanto menggunakan jemarinya untuk menyebarkan cairan basah yang keluar dari liang cinta Ara. Saat jemari kekasihnya mengusap bibir surgawi Ara, gadis itu melejit. Nanto tidak berhenti, ia mengoles, mengelus, memijat, dan memainkan bibir vagina Ara dengan jemarinya yang nakal tapi terampil. Makin lama, gadis itu makin tak tahan lagi. Ara menarik tubuh Nanto sembari memainkan si batang perkasa yang tegak menantang dengan jemari lentiknya.
“Aaaahhhh,” Ara terkesiap. “Co-coba masukin sekarang…”
Gadis jelita itu merentangkan kakinya selebar yang ia bisa supaya Nanto bisa lebih mudah melakukan penetrasi. Bulir-bulir keringat deras menetes di dahi Nanto, dengan sangat hati-hati sekali si bengal itu bergerak lembut di antara kaki Ara, seakan-akan gadis itu terbuat dari guci yang mudah pecah.
“Sekarang ya…”
Ara mengangguk.
Nanto menatap Ara, ia mengecup dahi sang dara dan perlahan-lahan menempatkan dirinya di antara paha sang kekasih. Sembari menopang dirinya dengan satu tangan di paha Ara, tangan Nanto yang lain mengelus lembut pipi sang bidadari. Si bengal kemudian meraba-raba batang kejantanannya yang telah keras, kencang, dan memanjang. Sudah saatnya.
Nanto meletakkan penisnya di dekat gerbang surgawi milik Ara. Dengan tangan sebagai pembimbing, si bengal mulai menusuk ke dalam, memasukkan penisnya ke lipatan liang cinta sang kekasih.
Bibir surgawi Ara terbuka, gadis itu bisa merasakan ujung gundul yang tebal masuk ke dalam sisi terdalam tubuhnya yang selama ini ia tutup untuk siapapun, yang ingin ia jaga untuk kekasih sejati. Nanto mendorong ke dalam, masuk perlahan, lembut, dan tidak menuntut. Ada rasa yang berbeda saat penis Nanto mendesak ke dalam tubuh Ara, menjajahnya untuk pertama kali.
Makin dalam… makin dalam… makin masuk… makin dalam. Terus. Terus. Terus. Masuk terus.
Pinggang Ara tiba-tba saja bergetar, Nanto pun berhenti.
“Nggghhhh!!” gadis itu melenguh.
Pelukan Ara mengencang, ia memejamkan mata. Tak perlu melihat ke bawah untuk tahu apa yang terjadi. Tidak perlu melihat garis merah meluncur di antara paha putih mulus Ara.
“Sakit?” Nanto bertanya dengan wajah khawatir. “Kalau sakit mungkin sebaiknya kita tidak…”
“Ehhmm… tidak sakit.” Ara menggeleng. Ia seperti terengah-engah, napasnya tidak beraturan. Wajahnya merah padam, antara malu, mau, dan nafsu. “Gimana ya jelasinnya…? Rasanya… berbeda? Rasanya… aneh… mungkin karena… pertama…”
“Dilanjut?”
“He em…”
“Yakin?”
“Iya. Aku hanya buat kamu.” Ara tersenyum dan mengecup bibir Nanto. “Lanjutin.”
Sekali lagi Nanto mencoba mendesakkan kemaluannya ke dalam liang cinta Ara, lebih pelan dari sebelumnya. Gadis muda itu bisa merasakan ujung gundul penis Nanto melewati batas gerbang surgawinya hingga masuk ke dalam dan memenuhi ruang sampai ke ujung. Cairan pelumas yang basah membanjir liang cinta Ara membantu batang kejantanan Nanto supaya bisa masuk lebih dalam.
Nanto tidak terburu-buru, ia menunggu sedikit lebih lama, di atas sang kekasih, membiasakan dirinya sendiri dan tentunya Ara dalam posisi ini. Lalu si bengal itu bergerak lagi dengan lembut, mencoba merasakan tiap sisi dinding liang cinta Ara, perlahan lahan, lembut, tidak menuntut, tidak memaksa. Ara merasa nyaman, terutama saat batang kejantanan Nanto ditarik keluar perlahan, hampir sampai ujung lalu ditanamkan kembali hingga ujung.
Keluar. Tahan sebentar, masuk. Keluar, tahan sedikit. Masuk. Berulang-ulang.
Nanto mencoba dengan hati-hati agar tusukannya tidak terlalu kuat ataupun terlalu cepat, Ara dapat merasakan getaran tubuh si bengal saat ia mencoba menahan dirinya sendiri. Keringat deras yang membanjir di dahi Nanto menjadi bukti bahwa kekasih Ara itu sedang berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menyakitinya.
“Enak?” tanya Ara.
“Iya.”
“Bagaimana rasanya?”
Suara Ara yang merdu membuat Nanto tiba-tiba bergerak sedikit lebih cepat terpacu nafsu, namun ketika ia sadar kecepatannya meningkat, ia menurunkan temponya lagi. Ia takut gerakannya akan menyakiti Ara. Hal terakhir yang ingin ia lakukan adalah menyakiti Ara. Sungguh ia menyayangi gadis jelita ini.
Suara Nanto parau karena menahan nafsu membuncah. “Enak banget… kamu?”
“Enak.”
“Enak?”
“Iya… mau lebih cepat lagi? Tidak apa-apa kok.” Ara menyeka keringat di dahi Nanto dengan punggung tangannya.
Nanto tersenyum, pinggulnya maju mundur lebih kencang. “Lebih cepat? Tidak sakit?”
“Aaaahhhh!!” Ara melenguh, saat tusukan ujung gundul kemaluan Nanto menyentak sisi terdalam liang cinta sang dara.
“Aduhhh! Sakit? Maaf…”
“Ngg… nggak, nggak apa-apa, kok. Sungguh. Posisinya kurang pas aja. Tapi ini lebih enak.”
“Yakin?”
Ara tersenyum, “iya. Aku lebih suka kalau kamu lebih cepat.”
“Siap.” Nanto merasa lega. Ia pun kembali meningkatkan kecepatan gerakan maju mundurnya, makin lama makin cepat dan makin masuk ke dalam, lebih melesak dari sebelumnya. Nanto menggerakkan tubuhnya dengan semangat, membenamkan batang kejantanannya dalam-dalam di liang cinta Ara. Bagai palu yang ingin menghantamkan paku ke dinding. Gadis itu pun berusaha mengimbangi, menggerakkan pinggulnya untuk menerima setiap tumbukan kemaluan sang kekasih. Sesekali Ara mengubah arah goyangannya dan saat itu juga Nanto melenguh keenakan.
Nanto tidak dapat menggambarkan rasa nikmat yang ia rasakan saat itu, mungkin bagaikan diselimuti oleh kain sutra hangat. Liang cinta Ara menjepit dan meremas batang penisnya, sementara cairan pelumas membanjir di dalam lorong surgawi sang dara, membuat Nanto mudah menggerakkan kemaluannya keluar masuk dengan satu sodokan yang pelan dan dalam. Dinding vagina Ara mencengkeram batang kejantanan Nanto dan makin dalam ia menusuk, remasan di batang itu makin nyaman dan makin memuaskan.
Ara lantas melingkarkan kaki di pinggang Nanto, mengunci posisinya tanpa membuat Nanto kehilangan ruang gerak. Pinggul Ara bergerak memutar dalam sebuah lingkaran kecil, membuat Nanto beringsut makin menghunjam. Ara memeluk Nanto erat, menempelkan buah dada sempurnanya ke dada bidang sang kekasih. Mata indah Ara bias oleh kenikmatan, berpendar, perlahan terpejam dengan senyum lembut menghias di bibir.
Ara yang baru pertama kali ini mendayung biduk di samudera cinta, kembali membuka mata, mengamati perubahan wajah sang kekasih yang berenang di ombak kenikmatan. Tak sia-sia ia datang kemari untuk bertemu Nanto. Pelukan bahagia Ara disusul dengan ciuman dan kecupan di wajah cantiknya.
Bagaimana dengan kamu sendiri, Ara? Apa yang kamu rasakan? Susah dijelaskan. Tumbukan penis Nanto terasa nikmat, awalnya perih tapi hilang dalam hitungan detik. Rasanya asing saat Nanto pertama kali melesakkan batang kejantanannya di dalam vagina Ara, sehingga gadis itu harus berusaha menyesuaikan terlebih dahulu dengan perasaan yang asing. Namun lama kelamaan rasa nikmat itu datang. Kenikmatan sejati yang baru hadir setelah Nanto menggerakkan penisnya maju mundur.
Saat pinggul Nanto menumbuk liang cinta Ara, penisnya yang bagai batang kayu keras menghujam ke dalam. Napas sang dara menjadi terasa lebih berat, tak beraturan. Ara melenguh dan tersentak tiap kali kekuatan tumbukan batang kejantanan Nanto membuat pantatnya sampai terangkat dari pembaringan. Setiap kali penis Nanto yang keras bagai kayu digosok di lipatan liang cinta rapat Ara, gadis itu mengaduh manja, dan saat ujung gundul kemaluan Nanto melesak ke dalam vaginanya, jari-jari kaki Ara melengkung sementara gadis itu hanya mampu mengeluarkan satu lenguhan panjang dan memejamkan mata penuh kenikmatan.
Nanto merengkuh ringan pinggul Ara, lalu mencium lehernya sementara gadis itu naik turun di batang kejantanannya. Kecepatan gerakan sang dara kian meningkat tanpa terkontrol. Ara merengkuh leher Nanto, lalu berbisik.
“Susuku… bisa…?”
Tanpa perlu diulang, Nanto mengusap perut mulus Ara dan menangkup bulat buah dada sang kekasih. Ibu jarinya membelai puncak pentilnya yang menegang dan kencang. Bibir si bengal berada di sisi leher Ara yang harum mewangi dan mengecupnya berulang-ulang, lalu turun ke bawah. Mengecup satu persatu pentil Ara, mencium, mengecup, dan menjilatinya. Ara melenguh.
Nanto sudah hampir mencapai puncak kenikmatan, ia berharap Ara juga merasakan hal yang sama.
Nanto terangsang hebat saat Ara terkesiap dan menggeliat, terlebih ketika vagina kekasihnya yang jelita bergetar, meremas dan menangkup. Si bengal merasakan klimaksnya mulai hadir, ia berbaring, menarik Ara bersamanya. Ia memeluk tubuh indah sang dara yang gemetar di atas tubuhnya sendiri saat dia mencapai puncak, membanjiri liang cinta sang dara dengan cairan cinta hangat untuk pertama kali dalam hidup sang jelita.
Ketika erangan dan goncangan luruh berlalu, kedua anak manusia berusia muda itu terbaring tanpa busana, tanpa kata. Keduanya masih saling terkait, sebelum akhirnya lepas dalam kesunyian. Keduanya lantas tertidur, sambil berpelukan erat. Baik Nanto maupun Ara tahu, esok hari mereka akan kembali terpisah dan jalan hidup ke depan mungkin tak lagi bisa bersilangan, tapi malam itu, keduanya lelap di bawah sinar redup lampu kamar dan deras rintik hujan yang sejuk menyelimuti kawasan.
Di luar sana, Sagu masih menyalak dengan riang.
Bersambung