Part #9 : MEMBEBANIKU

Kau tak bisa meminum sari cinta,
tanpa terluka oleh durinya.
– Amit Howard

Tiara Maharani

.: SUATU KETIKA DI MASA LALU :.

Musik pelan berirama jazz mengiringi beberapa pasangan yang duduk saling berhadapan di sebuah kafe mungil di samping stasiun kereta api malam itu, getaran kereta lewat dan kencangnya suara kadang membuat konsentrasi buyar. Kecilnya kursi dan meja yang disediakan membuat orang-orang yang makan duduk berdua-dua dan berhadapan. Nanto duduk di depan Ara yang nampak terlalu cantik hari ini dalam balutan baju casual. Gadis itu akan kembali pulang ke kota setelah selama liburan berkunjung ke rumah Kakek Nanto.

Si Bengal mencoba mengumpulkan semua tenaga dan semua perasaan, lalu mencoba menekan dan menghentikan emosi yang tumpah ruah tak karuan. Ara juga menyadari tatapan aneh di wajah si bengal. Ada yang berbeda kali ini, Ara merasakannya. Memang ada yang berbeda selama liburan ini. Tak seperti biasanya.

Nanto menyentuh tangan Ara. “Sebelum mengatakannya, aku mau jujur sama kamu. Hingga saat ini, perasaanku ke kamu tidak pernah berubah. Masih sama seperti ketika dulu pertama kali kita bertemu. Aku masih sayang, aku masih cinta.”

Ada yang berat dalam kalimat yang keluar dari bibir si bengal. Ini tidak biasa.

Ara tersenyum, cahaya remang-remang yang temaram membuat senyum sang dara menjadi lebih indah dari seharusnya. Sungguh seorang bidadari. Beruntungnya Nanto memiliki hati gadis ini.

“Ra, aku selalu ingin kamu mendapatkan yang terbaik, karena aku sayang banget sama kamu. Hal itu pula yang membuat aku sadar bahwa kita telah mencapai batas paling ujung. Itu sebabnya… ada baiknya kita cukup sampai di sini.”

Ara bagai disambar petir. “Apa? Ulangi! Coba ulangi!”

“Aku mau kita putus.”

“Kenapa!? Tapi kenapa? Atas dasar apa kamu minta putus? Aku salah apa?”

“Aku hanya mau yang terbaik untuk kamu. Aku tidak bisa memberikan itu dengan berada di sini, dengan apa yang terjadi sama aku. Hubungan jarak jauh ini jelas membebani kita berdua, kamu juga tak bisa terus menerus bohong ke orang tua kamu – mencari alasan supaya kamu diijinkan sering pergi ke luar kota. Sudah cukup. Sesayang apapun aku sama kamu, aku ingin kamu bahagia, tapi tidak dengan cara seperti ini. Kita tahu ini tidak berjalan dengan baik.”

“Apakah ada orang lain? Apa kamu kecantol cewek di desa? Ngaku saja!”

“Ya ampun. Nggak ada. Aku ga pernah kepikiran yang seperti itu. Sama sekali tidak ada. Di hatiku hanya ada nama kamu, samber gledek.”

Ada waktu terhenti, waktu di mana detak jam dinding lebih hidup dari percakapan dua anak manusia yang sudah tak bisa lagi memadu asmara. Wajah Ara berubah, air mata menetes. Nanto sadar betapa ia sekali lagi sudah berdosa menyakitinya. Hanya untuk sekali ini saja, tidak lagi.

“Kamu jahat. Kamu sudah… kamu sudah… aku kan sudah…”

“Aku harap kamu mengerti kondisinya, Ra. Ini saatnya. Kamu juga pasti sudah tahu hal ini akan terjadi dengan hubungan kita. Kita sudah mencoba memaksakan, tapi tidak bisa. Ini tidak bisa dilanjutkan. Mental maupun materi kita terkuras dan tak ada ujung pangkal. Kita sama-sama sudah di ujung kemampuan. Percayalah, ini yang terbaik untuk kita berdua.”

“TERBAIK DARI MANA!? EGOIS KAMU!”

“Suatu saat nanti, jika memang kita berjodoh, dan memang harus seperti itu jalannya, aku akan kembali ke sisi kamu dan melakukan apa saja untuk mendapatkan kamu kembali. Apa saja. kamu terlalu indah untuk dilepaskan. Seperti tadi aku bilang, aku masih cinta sama kamu.”

“CINTA APA!? JAHAT!!”

Volume suara dan emosi Ara sudah lepas kontrol, mengundang perhatian, terlebih diiringi air mata. Semua mata menatap ke arah Nanto, tentu saja dengan pandangan menyalahkan.

Ara menangis sambil melempar-lemparkan tissue ke meja dengan perasaan jengkel sambil sesekali menyeka air mata. Ia tahu hari ini akan datang. Tapi tidak secepat ini, tidak dengan cara ini. Adakah cara lain yang lebih menyenangkan saat melepas orang yang dicintai? Kalau boleh Ara ingin diputus dengan cara itu, bukan begini.

Ara juga tahu, ini masalah kapan dan siapa yang akan memutuskan hubungan terlebih dahulu. Bukan masalah kenapa. Ia tahu hari ini akan tiba. Tapi tetap saja sakit.

“Baiklah. Kita sampai di sini saja. Tapi kalau boleh… kalau boleh, aku punya satu permintaan terakhir yang ingin kamu penuhi.” Kata Ara di tengah sesunggukan.

“Apapun itu.”

“Janji?”

“Janji.”

Ara menarik tissue dari bungkus kecil bergambar tokoh kartun Disney. Nanto terdiam.

“Setelah ini…”

Nanti masih terdiam, tak bergeming, tak membuka mulut, tak merubah posisi tubuh. Tatapannya ke depan, tajam. Menatap wanita terindah yang pernah hadir dalam hidupnya yang menurutnya layak untuk hidup lebih bahagia, meski itu tidak bersamanya. Sakit itu ada, sungguh. Tapi dia akan lebih sakit jika tak mampu memberikan arti hidup bagi Ara. Gadis jelita itu bisa mendapatkan yang lebih baik dan yang bisa memberikan lebih itu – bukanlah Nanto.

Ara mengusap hidupnya berulang. Air matanya deras tak tertahan. “Setelah ini… jangan pernah hubungi aku lagi.”

Ara bangkit dan berdiri. Gadis yang hatinya remuk redam itu menarik beberapa lembaran tissue terakhir lalu melangkah pergi, setengah berlari, keluar, dan menghilang di bawah sinaran lampu jalan menuju stasiun. Meninggalkan Nanto yang masih termangu tak banyak bicara.

Nanto sadar betul, bahwa mengungkapkan rasa mencintai lebih mudah daripada menyudahi. Si bengal terdiam menatap lembaran-lembaran tissue yang basah.

.::..::..::..::.

.: KEMBALI KE BEBERAPA BULAN YANG LALU :.

Deka berdiri dengan gugup. Oke. Ini namanya awkward moment versi pro plus keluaran limited edition. Dia mesti gimana nih? Di satu sisi, gadis yang beberapa bulan ini menjadi pengisi hati dan jiwanya. Gadis yang ingin ia nikahi setelah ia lulus kuliah dan bekerja nanti. Anugerah terindah dalam hidupnya. Di sisi yang lain, sahabat sejatinya. Satu-satunya orang yang ia anggap sebagai saudara dengan darah lebih kental dari saudara kandungnya sendiri. Orang yang beberapa kali telah menyelamatkan nyawanya.

Deka harus berbuat sesuatu. Ia segera mencoba mencairkan suasana yang kaku.

“I… iya, itu Ara. Aku yang WhatsApp dia supaya datang ke sini, Nyuk.”

Nanto masih diam tak bergerak, menatap indahnya bulat mata Ara, lekuk indah tubuhnya, harum wangi tubuhnya. Deburan ombak kenangan menyapu benaknya, di tengah pergulatan asa dan kepedihan. Ah. Indah atau kejam sebenarnya kenangan itu? Tiba-tiba saja menyeruak tanpa permisi, membuatnya bertanya dengan semua yang telah ia jalani, semua yang telah ia korbankan, semua yang ia dapatkan, dan semua yang ia lepaskan.

“Hai.” kata Nanto lirih. Ada banyak kalimat dan salam ingin diucapkan si bengal, tapi hanya satu kata dapat terucap dari bibirnya yang kelu.

“Hai.”

Ara juga sama saja. Sesaat yang lalu ia berlari kecil, terburu, ingin segera bertemu. Namun kini, saat telah berjumpa, rasa dan daya bagai sirna. Lagi-lagi kenangan yang menjadikan pembatas. Ada rasa membuncah yang tak seharusnya muncul dan sirna, yang harus dipendam dalam-dalam.

Ketiganya terdiam sesaat. Kaku. Bingung.

Nanto tetap tak melepas pandangan dari Ara. Dia mencoba mengubur semua rasa, menenggelamkan perasaan yang hanya membuatnya pasrah tak berdaya. Banyak kalimat dan salam ingin diucapkan. Banyak.

Kamu tambah cantik, semakin dewasa. Apakah kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi setelah kita berpisah? Apakah kau masih teringat saat-saat terakhir kita? Atau kenangan saat kita masih bersama dulu di SMA? Apa saja yang sekarang terjadi dalam hidupmu? Apakah kita akan lagi bercerita, bercanda, dan duduk bersama sebagai kawan?

Ara menahan diri untuk tidak terbalut dalam emosi saat pandangan mata keduanya bertemu, seakan ingin saling terpaut, berpadu, menceritakan kisah yang tak pernah sempat terkabar, rindu yang tak sempat terucap. Tapi bukankah semua sudah berbeda sekarang, Ara? Kalian sudah berpisah dulu. Kalian sudah memutuskan bahwa hubungan kalian tidak dapat dilanjutkan lagi. Kalian sudah memutuskan bahwa tak akan lagi bertemu dan memadu kasih, karena jalan tak lagi bersilangan.

Yang lebih penting lagi, kamu sekarang milik Deka, bukan Nanto.

Seperti tersadar dari perang batin dalam dirinya, buru-buru Ara mendekat ke arah Deka yang diam tanpa kata, “bagaimana dia? Tidak apa-apa, kan?”

“Tidak apa-apa. Diagnosa dokter tadi aman-aman saja. Dia kan kuat, banget malah. Kingkong aja lewat.” Kata Deka sembari mencoba bercanda. Tapi ya gitu, garing.

Nanto mencoba tertawa, tapi tak ada suara terucap dari mulutnya.

“Kamu ini! Baru juga datang ke kota sudah cari masalah aja.” Ara menghardik Nanto.

Hahaha. Kangen juga dimarahin Ara begini.

Tapi ada yang berbeda. Gadis itu biasanya akan datang mendekat ke arah Nanto, mencubit, menendang atau menginjak kakinya kalau sedang jengkel atau gemas. Hari ini tidak ada yang seperti itu. Tidak akan ada lagi ya? Nanto tersenyum simpul sendiri.

“Bukan aku yang mulai.” Kata si bengal, mungkin mencoba membela diri.

“Sudah sudah… yang penting sekarang semua sudah selesai. Nanto juga tidak apa-apa. Bukan dia yang bersalah kok. Dia dikeroyok DoP tadi. Tahu sendiri itu kumpulan anak-anak brengsek.” Kata Deka.

Ara mengangguk. Ia berlindung di balik Deka, tak ingin menatap langsung ke Nanto. Tapi entah kenapa wajah gadis itu merah bak tomat merekah. Sedikit-sedikit ia curi-curi pandang ke pria yang pernah menjadi pujaan hatinya.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Nanto.

“Baik. Kamu?”

“Baik. Sekarang kuliah di UAL juga ya? Katanya dulu ga mau di UAL. Hahaha.”

Ara hanya mengangkat bahu.

Ini kenapa Ara jadi kaku begini ya? Malah mepet-mepet ke Deka? Bukannya…

Setelah beberapa saat barulah Nanto sadar. Ada cincin melingkar di jari Ara, cincin yang mirip dengan yang dipakai Deka.

Ah.

Perawat ruang rontgen memanggil, mengundang masuk. “Saudara Jalak? Jalak Harnanto?”

Nanto, Ara, dan Deka terdiam.

Mematung.

.::..::..::..::.

Remon Narendra mencengkeram kerah jaket Jovi, lalu mendorong tubuh sang preman kampus ke tembok dan menekannya dengan kencang. Secara reflek Jo meronta di awal, namun lama-lama dia sadar, mau meronta bagaimanapun dia tidak akan mampu lepas dari sergapan sang kapten yang teramat atletis.

Kapten DoP itu mendekatkan wajahnya sendiri ke wajah Jo yang basah oleh keringat.

“Lain kali…” Suara Remon pelan, berat, dan penuh ancaman. “Lain kali… tidak ada lagi yang boleh mengajak anak-anak DoP untuk melakukan aksi apapun tanpa seizinku. Apalagi kalau hanya untuk sok pamer kekuatan dan sok kuat. Tidak boleh turun cuma buat ngurusin segala tetek-bengek urusan pribadi, urusan rebutan memek, dan masalah lain-lain ga penting. Intinya, ada hirarki yang harus dihormati di sini. Kapten yang akan menentukan kapan kita jalan dan kapan kita tenang. Paham?”

Di belakang sang Kapten, anak-anak DoP yang bernaung di bawah kelompok Remon serempak menjawab, “PAHAM BOS!”

Mantep tenan.” Remon kini menatap Jo dari balik kacamata hitam yang ia pakai, “dan kamu… Paijo… Paijo… hukuman apa yang paling tepat buat kamu? Seenak wudel sendiri beraksi, bikin malu pula. Mending kalau menang, ini malah kelibas. PAYAH!!”

Jo menatap Remon dengan gagah, “Hukuman apa saja, Bos! Saya akan melakukan apa saja hukuman yang ditimpakan ke saya. Hanya Bos yang berhak menghukum saya! Saya siap!”

Remon tersenyum sinis.

Mantep tenan.” Remon menurunkan Jo yang bengong karena tidak diapa-apakan, Kapten DoP itu menepuk pundak Jo dan terkekeh. “Hukumannya adalah menjalankan tugas khusus dari aku, misi yang sangat-sangat penting. Gagal melaksanakan misi ini dan hukuman tambahan untuk kalian akan lebih kejam. Mengerti?”

Jo mengangguk dengan ragu-ragu.

“Pilih dua orang kawan lagi. Aku tidak mau kamu mati konyol.”

Mati konyol? Memangnya misi khusus apa yang harus dijalankan oleh Jo? Waduh jangan-jangan tugas yang wadidaw ini. Tanpa banyak berpikir, Jo pun menyebut dua nama yang paling ia kenal dari DoP.

“Surya dan Bondan.”

Remon mengangguk. Ia mengayunkan tangan dan dua orang yang namanya disebutkan langsung maju ke depan dan berdiri di samping Jo. Remon menyilangkan tangan sambil menatap satu persatu orang yang sekarang berdiri di hadapannya. Jo dan Bondan lebam dan bergetar sisa perkelahiannya dengan Nanto tadi.

“Oke. Aku beri waktu seminggu untuk kalian memulihkan kondisi tubuh. Setelah itu kalian temui aku lagi, baru kita bicara mengenai misi khusus itu.” kata Remon penuh rahasia dengan senyum anehnya, Kapten DoP itu mengedipkan mata. “Ingat ini adalah misi yang sangat penting. Sebelum kalian sembuh, jangan tunjukkan batang hidung di depanku!”

Jo meneguk ludah.

Perasaannya tidak enak.

.::..::..::..::.

Ara membuka tas plastik dan mengambil sekaleng minuman dingin berperisa leci. Ia menyerahkannya pada Deka sementara ia sendiri mengambil sebotol air putih kemasan. Ara baru saja keluar dari rumah sakit dan membeli air minum untuk Deka, dirinya sendiri, dan Nanto di Alf@mart terdekat saat Nanto masuk ruang rontgen. Dara cantik itu tentu masih ingat apa minuman kesukaan si bengal, root beer.

“Dia sudah keluar?” tanya Ara.

“Sudah.”

“Terus? Mana dia sekarang?”

Nyonyon di kantin katanya. Habis itu baru pulang.”

Ara menggelengkan kepala, “masih tetap bandel aja. Sudah runyam begitu malah ngerokok.”

Deka terdiam. Matanya menatap Ara dengan lembut, jemarinya menggamit jari-jari lentik Ara. Gadis itu pun duduk di samping sang kekasih, ia membuka tutup air putih kemasannya dan meneguk minumannya untuk beberapa saat. Deka melakukan hal yang sama dengan air minum kalengnya. Ara menatap Deka dari samping.

“Belum cerita sama Nanto?”

“Belum.”

“Kenapa?”

“Dari tadi kena interupsi terus. Sudah aku coba.”

“Kenapa?”

“Sudah aku coba.”

“Kenapa?”

“Sudah aku… karena aku belum bisa cerita ke dia dengan santai. Ok? Harus cari waktu yang tepat, bukan perkara gampang nyari timing-nya.”

“Kapan kamu akan siap kalau seperti ini terus? Kamu pikir dia akan marah? Ayolah, Mas! Yang kita bicarakan ini Nanto, bukan orang lain. Dia selalu siap menerima berita apapun.”

Ara cemberut. Kalau dipendam semakin lama justru akan jadi penyakit. Kelamaan! Nanto harus tahu kalau dia sudah move on!

“Justru karena ini Nanto, jadi harus lebih hati-hati. Dia itu lebih dari sekedar teman, dia itu seperti saudara. Kamu tahu sendiri gimana kami berlima dulu malang melintang bareng.” Deka meletakkan air minum kalengnya di kursi kosong yang ada di samping, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menggosoknya. “Dulu seperti saudara kandung, sekarang? Justru tunangan sama mantannya. Kalau kamu jadi aku, apakah kamu dengan tenang akan mengatakan itu – sementara dia sedang butuh dukungan karena babak belur habis dikeroyok dan diancam oleh geng paling memuakkan di kampus?”

“Kalau kamu tidak bilang, aku yang akan bilang.”

“Oh! Gitu ya? Semudah itu ya? Buset emang nih cewek satu. Aku pasti akan bilang ke Nanto, Sayang. Pasti. Tapi dengan cara yang lebih nyaman buat kami berdua.”

“Apa sih masalahnya, Mas? Hubunganku dan Nanto sudah berakhir! Kami sudah tidak ada apa-apa lagi. Dia sendiri dulu yang memutuskan, dia yang mau bubar, dia yang mutusin aku. Lagipula kejadian itu sudah bertahun-tahun yang lalu! Satu-satunya yang aku sayang sekarang cuma kamu, Mas.”

Ara menghela napas. Dia hanya ingin semuanya cepat selesai, dia sudah tidak ada apa-apa lagi dengan Nanto! Salah sendiri dulu minta putus! Yang penting sekarang dia membuktikan bahwa dia sudah move on! Sudah tutup buku! Sudah selesai! Sudah… ah bikin emosi!

Ara membuka tutup botol minumnya dan kembali menegak air yang menyegarkan.

“Dia memang sudah mengakhirnya. Kalau kamu? Kapan kamu mengakhirinya?”

Ara tersedak.

.::..::..::..::.

Kepulan asap membumbung tinggi di langit yang mulai gelap. Bibir yang panas terbakar dan dahak yang tak kunjung keluar bagai symphony rupa-rupa rasa di batin Nanto. Rasanya rame, seperti permen n@no-n@no diblender sama rujak serut. Seperti biasa, prinsip Nanto simpel, kalau galau, banyakin makan enak. Selesai makan? Ngudud.

Di samping kantin paling belakang di rumah sakit, terdapat sebuah taman kecil yang terhubung dengan parkiran mobil melalui sebuah pintu besi. Di taman tersebut terdapat kursi-kursi panjang yang terbuat dari beton. Tempat ini sering digunakan sebagai smoking paradise bagi pengunjung rumah sakit karena merupakan area bebas rokok, lokasinya juga jauh dari ruang rawat inap dan gedung utama.

Karena lokasi taman yang tak jauh dari kantin, saat pintu dibuka, terdengar suara lagu menyeruak ke luar. Terbebas dari himpitan ruang di dalam. Terbang dari ikatan dan kungkungan sekat penghambat.

Abot tak trimo kanthi ikhlas legowo.
Sing tak karep kowe ra disio-sio.

Kampreeeet, rumah sakit apaan ini ya. Giliran ada musik diputer, lagunya bikin ambyar. Tentu saja lagu itu tidak diputar di seluruh Rumah Sakit, hanya diputar lirih saja di sudut kantin di ruangan tertutup. Pas bener sama suasana hati Nanto yang tak tentu arah, mrono wagu, mrene ora lucu. Ibarat di persimpangan, mobilnya sudah paling depan, tapi mau belok kemana bingung, sementara klakson di belakang berbunyi kencang tanpa ampun. Analogi yang antik tapi yo wis ben lah ya.

Apa ya yang harus dilakukannya?

Ara sama Deka?

Iya. Ara sama Deka.

Jinguk tenan. Ara sama Deka.

Dunia ini adalah panggung komedi lucu yang getir dan ironis. Terus piye iki? Tidak ada textbook yang mengajarkan seseorang untuk menghadapi situasi semacam ini. Ada perasaan kosong dan gamang dalam batin Nanto. Apakah ia harus bertanya bagaimana mereka akhirnya jadian? Atau sejak kapan mereka tukar cincin? Atau kapan mereka merencanakan akan…?

Yo ga usah lah, Nyuk. Ngapain bikin hati tambah ambyar? Urusanmu dengan Ara sudah selesai ketika kalian memutuskan untuk berpisah hari itu. Saat kalian berjalan sendiri-sendiri. Sudah selesai. Finish. Kaput. Tidak perlu ditanyakan kenapa akhirnya Ara jadian dengan Deka atau bagaimana prosesnya. Itu sudah bukan urusanmu lagi. Seharusnya tidak ada lagi pertanyaan apakah kamu bisa merelakan atau tidak. Karena kerelaanmu tidak relevan dengan situasinya. Sekarang hanya tinggal bagaimana bisa ikhlas dan lapang dada. Sudah itu saja!

Nanto menarik napas panjang dan melepaskannya melalui mulut. Kenapa dulu kamu lepas jika akhirnya disesalkan? Apakah kamu menyesal? Tidak kan? Ya sudah.

Menyesal jelas tidak. Hanya saja ada yang… aneh rasanya. Tapi ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur ayam, yang pake kacang, pake sambel, pake sate telur puyuh dan baceman usus.

Si bengal mematikan rokok dan dibuangnya ke tong sampah. Ia berjalan kembali ke koridor utama yang melewati kantin. Masuk ke dalam ruangan, udara dingin terasa.

Siap Nyuk? Siap wae lah ya.

Eh, ada apa itu ramai-ramai?

.::..::..::..::.

“Pokoknya saya nggak terima, Mbak! Ini semua harus dibayar, semua yang jadi korban hari ini harus dapat ganti rugi! Semuanya!!”

“Iya… iya… semua dibayar kok, Pak. Semua dapat. Jangan khawatir. Itu sebabnya saya di sini. Saya akan memastikan semua pembayaran diselesaikan. KTP saya bisa jadi jaminan.”

“Jangan kabur dong! Gimana sih?”

“Jagain pintu! Jagain pintu!”

“Wah payah nih, mosok kabur?”

“Jigur!”

“Bapak-bapak, Ibu-ibu. Semua sabar ya. Saya tidak pergi kemana-mana. Saya cuma mau jalan ke kantin sebentar mau cari minum, saya haus dari tadi belum minum. Mohon kesabarannya ya.”

“Kabur itu pasti!”

“Mau kabur aja banyak alasan.”

“Diawasi! Diawasi!”

“Jigur!”

Hanna Dwi Bestari menghela napas. Luka di pelipisnya masih terasa nyut-nyutan, andai saja tidak ditutup perban kecil barangkali darah sudah mengalir bak air mancur. “Begini aja deh, kalau memang Bapak dan Ibu tidak percaya sama saya, saya ajak ke kantin sekarang juga. Tungguin saya di sana. Sungguh, Bapak Ibu. Saya tidak kabur, kok.”

Sudah sejak sore tadi Hanna harus mengurus korban-korban kecelakaan akibat kelalaian Glen. Ya, karena ulah tunangannya yang minum minuman keras saat berkendara, mobil Glen merugikan banyak orang. Awalnya menabrak gerobak cilok, lalu menyerempet dan melindas penjualnya hingga patah tulang, setelah itu mobil dibanting ke kiri dan menyeruduk sebuah warung Pecel Lele dan Nasi Uduk yang sedang melayani beberapa orang pembeli, untung hanya menabrak bagian depannya. Meski tak urung membuat beberapa orang terluka.

Mobil Glen mengalami kerusakan di bagian depan meski tidak parah. Baik Glen maupun Hanna sama-sama selamat dengan minor injuries, hanya luka lecet di beberapa bagian.

Karena kelalaiannya menimbulkan banyak korban, Glen dan Hanna hampir dihakimi massa yang marah. Namun karena keduanya kooperatif dan serius membantu hingga membawa semua korban ke rumah sakit terdekat dan akan menanggung semua biaya, mereka selamat sebelum dihakimi di jalanan. Keduanya lantas membawa para korban ke rumah sakit dan mengurus semuanya.

Semua aman sampai…

Sampai Glen bilang akan mengambil uang di ATM dan sudah hampir tiga jam tidak balik ke rumah sakit. Meninggalkan Hanna seorang diri mengurus orang-orang yang menjadi korban. Lelah, capek, sakit hati, pusing, banyak pikiran, badan memar, baterai ponsel habis, dan tidak bisa beranjak sedikit pun karena terus diawasi oleh keluarga korban membuat Hanna tak bisa kemana-mana.

Sekarang pun saat ingin ke kantin, dia diikuti oleh seorang laki-laki yang mengaku sebagai pemilik warung Pecel Lele. Selain sakit memar di badan dibawa berobat, sang pemilik warung juga menuntut ganti rugi materi atas kejadian naas yang menimpanya. Ga heran lah.

“Pokoknya saya akan ikuti kemanapun Mbak pergi, tidak boleh kabur.” Kata pria yang dipanggil Lek Di itu.

“Ya ampun, Mas. Berkali-kali saya bilang saya tidak akan kabur. Ini juga kan Mas nungguin saya? Saya mau kabur kemana?”

Hanna dipepet oleh Lek Di begitu dekat sehingga gadis itu pun merasa risih, tapi dia sengaja tidak menolak atau mendorong karena takut akan menimbulkan lebih banyak lagi kerusuhan. Dia agak menyesal mengenakan baju yang provoking begini. Namanya juga laki-laki, paham sih Hanna.

Kemana ya Glen? Jangan-jangan dia memang tidak balik lagi ke sini? Lagi ngapain dia? Nyebelin banget ah! Ada masalah serius begini tega-teganya ninggalin!

“Cantik-cantik kok pemabuk.” Kata Lek Di saat berjalan di sisi Hanna. Begitu dekatnya mereka sampai-sampai setiap beberapa langkah sekali, lengan keduanya bergesekan. Kesempatan dalam kesempitan. Susah sih, tapi mesum juga jalan terus.

“Enak saja. Bukan saya yang mabuk!”

“Sama aja tidak tanggung jawab. Sudah tahu cowoknya mabuk, masih boleh nyetir mobil. Cari penyakit. Emang harus dikasih mampus.”

“Terserahlah, Mas! Mas tidak tahu gimana-gimana saya tadi! Saya juga udah kasih tahu dia, Mas!”

Lek Di berhenti melangkah, menarik pergelangan tangan Hanna agar juga berhenti dan mengacungkan jari telunjuk di depan wajah gadis cantik itu. “Kok malah nyolot!! Denger ya! Gara-gara cowok kamu yang bajingan itu, warung penghasilan utama hancur berantakan! Entah kapan baru bisa dibenerin dan jualan lagi. Bapak penjual cilok kakinya ancur! Pejalan kaki ada yang jatuh sampai retak di tangan! Belum lagi luka-luka yang dialami pembeli Pecel Lele! Sadar ga sih akibat ulah kalian?! Ha? Sadar tidak kerugiannya kayak apa?”

Begitu eratnya genggaman jemari Lek Di di tangan Hanna sampai-sampai gadis itu mengernyit kesakitan. “I-iya, Mas. Kan sudah dibilang semua akan kami ganti. Semuanya, mulai dari biaya perawatan sampai biaya kerusakan. Aduuuuuh, ini sakit, Mas. Lepasin saya! Lepasin!”

“Orang-orang kaya semacam kamu sama bajinganmu itu ga tau berapa lama kami mesti menabung untuk membuat warung sederhana. Berapa lama kami harus membayar pinjaman dana usaha dari bank! Berapa lama kami membina pelanggan! Berapa lama kami berjuang melawan preman pemalak! Kalian tidak tahu!!”

Air mata Hanna menggenang, tidak ia memang tidak tahu. Ia juga tidak tahu harus bagaimana lagi supaya orang ini dan orang-orang yang di belakang sana percaya kalau ia benar-benar merasa bersalah dan berniat mengganti semuanya dengan cara apapun, asal dicapai kata mufakat.

Rasanya Hanna ingin menjerit karena genggaman tangan Lek Di sangat menyakitinya dan ia tak kuasa melawan. Bukan tidak bisa, tapi lebih ke tidak ingin kena akibatnya. Apa daya seorang tersangka menghadapi angkara murka?

“Kamu itu bisanya ngelonthe! Buka aurat! Buka kaki lebar-lebar biar kontol-kontol masuk semua!! Lonthe!! Habis ngewe ya kamu?! ”

Heh!! Apa!?

Hanna terbelalak. Wah ini sudah ga bener namanya! Bawa-bawa batang pula. Emang punya Masnya berapa sentimeter? Sombong bener.

“Maaas!! Jangan kurang ajar ya! Saya memang bersalah tapi saya tidak serendah itu! Saya tidak melawan sedikit pun karena saya menghormati Mas dan rekan-rekan yang menjadi korban di belakang sana! Saya tidak ingin menimbulkan masalah baru! Tapi Mas ini dari tadi mancing-mancing terus!!”

Lek Di memutar lengan Hanna yang membuatnya makin kesakitan, dia paling tidak suka kalau ada perempuan nyolot di depannya. Bisa apa sih perempuan yang jiwanya lonthe seperti ini? “Apa?! Heh? Apaaa? Berani? Beranii??”

Beberapa orang pengunjung dan perawat melirik adegan itu dan saling bertanya-tanya. Drama apalagi ini? Kenapa terjadi di rumah sakit? Ada yang ingin menghentikan ulah Lek Di namun ragu-ragu.

“Aduuuuuuh. Mas. Udah! Ini sakit!! Sakit!!”

“Sakit mana sama Bapak yang tulangnya patah ha? Sakit manaaa!?”

“Aaaaaahhh!!” air mata menetes di pipi Hanna. Tangannya yang lain mencoba membongkar genggaman tangan Lek Di namun gagal karena orang yang sedang emosi itu terlampau kuat. “Ampun, Mas! Ampun!!”

“Biar patah sekalian! Biar pat…”

“Oke sudah cukup.”

Tangan Lek Di yang memutar lengan Hanna tak lagi bergerak. Dihentikan oleh tangan kencang lain. Sesosok wajah pria yang berparas tenang menghentikan adegan yang menyakitkan bagi Hanna itu. begitu kencangnya tangan sang pria sampai-sampai justru lengan Lek Di yang sekarang diputar ke arah sebaliknya, mau tak mau Lek Di pun melepas genggaman tangannya pada Hanna.

“Wadoooh!! Addooohh!!” Lek Di yang kesakitan dilepas oleh sang pria sembari mengumpat-umpat. “Bajiguuur! Sopo je kih melu-melu wae urusane wong? Siapa kamu? Kenapa ikut campur urusan orang lain?”

Hanna mengusap-usap pergelangan tangannya yang tadi diputar oleh Lek Di. Dia menengok ke arah laki-laki yang baru saja menolongnya.

“M-Mas Nanto!?”

Si bengal nyengir lebar. “Kita ketemu terus ya.”

Bagai ketel panas disiram air dingin sampai hilang uapnya. Lega sekali rasanya hati Hanna. Ya ampun, tak disangka sekali dia akan berpapasan lagi dengan ksatria bodong satu ini. Ah, lega selega-leganya. Dia tidak lagi sendirian.

Nanto menutup jalur antara Lek Di dan Hanna. Berdiri tepat di antara mereka. “Saya yakin semua bisa dibicarakan baik-baik, Mas. Masa iya anda tega dengan gadis yang lebih lemah begini. Ada masalah apa?”

Lek DI mendengus kesal. Sopo meneeeeh iki? Gek rupane yo wes babak belur ngene. Ini siapa pula, bentuknya udah ga karuan kok ya masih aja sok-sokan. Ia menghela napas panjang saat memandang sekeliling dan melihat banyak orang menyaksikan keributan yang tadi ia timbulkan. Lek Di manggut-manggut.

“Oke… oke… saya terbawa emosi. Warung makan Pecel Lele saya hancur ditabrak mobil cowoknya Mbak ini. Selain warung ada juga korban-korban lain. Sampai ada bapak-bapak patah tulang. Bagaimana saya tidak emosi, Mas.”

Mata Nanto terbelalak. Jangan-jangan bapak-bapak yang di ruang UGD tadi? Semua kegaduhan tadi? Semua itu karena Glen dan Hanna? Ia menoleh ke arah Hanna. “Benar begitu?”

Hanna mengangguk sedih, dengan suara tercekat menahan tangis gadis itu berucap. “Glen tadi mabuk dan…” sesaat kemudian Hanna tersadar, ia tidak ingin lebih banyak lagi mengumbar borok sang tunangan, “Tapi semua biaya dan ganti rugi sudah pasti akan ditanggung kok. Aku sama Glen sudah sepakat patungan mengganti semua kerugian korban. Udah tiga jam ini Glen belum balik ke sini sih, mungkin kejebak macet atau entah kenapa.”

“Awas aja kalau sampai kabur!” Lek Di masih menggertak, badannya hendak maju. Tapi tertahan karena Nanto masih tepat berada di depan Hanna. Entah kenapa Lek Di merasa segan pada laki-laki babak belur di depannya ini.

“Kamu mau kabur?” Nanto melirik ke arah Hanna dengan pandangan mata jenaka.

Hanna tersenyum, “Ga lah. Aku akan di sini sampai semua urusan selesai.”

Nanto mengangkat jempol.

“Boleh nemenin?”

“Boleh banget!”

Untuk pertama kalinya sore ini, senyum lebar mengembang di wajah Hanna. Syukurlah ia tidak lagi sendirian.

Hanna Dwi Bestari

.::..::..::..::.

Jo, Bondan, dan Surya berjalan beriringan menuju gerbang Universitas Amora Lamat. Surya masih bersungut-sungut karena ketiban rezeki ikut serta dalam kegiatan hukuman bagi Jo yang masih belum ketahuan mereka akan disuruh apa oleh Remon. Bisa saja hanya tugas remeh, tapi Surya meragukannya. Remon adalah salah satu Kapten DoP yang paling misterius dan sering memberikan tugas-tugas ajaib pada bawahannya.

“Oalah. Kenapa sih tadi panggil namaku, cah gendeng… cah gendeng…”

“Cuma nama kamu yang keinget, Sur.”

Jinguk tenan ok kamu itu, Jo. Giliran gini aja ajak-ajak. Awas aja kalau kerjaannya sampai nggak mu…”

Dengan mata terbelalak, Surya menghentikan langkah Jo dan Bondan, berpapasan dengan mereka, berjalan dua sosok pemuda yang berjalan dengan penuh percaya diri menuju ke arah yang berlawanan – mendatangi Remon yang ada di taman samping kantin. Jo dan Bondan tidak mengenal mereka, apalagi hanya sepintas lalu, tapi Surya sudah sangat hapal siapa kedua orang tersebut.

“Ke-kenapa mereka ada di sini?” tanya Surya dalam hati.

Jo dan Bondan saling berpandangan, bertanya-tanya siapa kedua orang yang membuat Surya sampai bergidik ketakutan begitu.

Orang yang pertama adalah seorang laki-laki berambut panjang yang dicat warna coklat tua, dengan kemeja santai kotak-kotak warna putih biru, kaus hitam, dan celana kain warna biru gelap. Satu aksesoris yang unik adalah ia mengenakan sarung tangan berwarna gelap. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai dan berkibar ditiup angin.

Pria kedua adalah sesosok pria bertubuh besar, gundul, berjenggot panjang diikat satu kuncir, dan berbadan kekar seperti layaknya pengunjung rutin gym – yang memiliki badan bak kue waffle. Pria ini hanya mengenakan kaos berwarna putih super ketat dan celana hitam pendek bawah lutut model training dengan strip pinggir tiga garis putih. Ia juga mengenakan sneaker Onitsuka TIger model Mexico 66.

Bukan pakaian yang biasa dikenakan oleh mahasiswa-mahasiswa kampus UAL memang. Dari cara jalan mereka yang angkuh dan sok yakin, ada kemungkinan kedua orang ini anggota DoP. Karena biasanya hanya anggota-anggota DoP seperti sok memiliki kampus.

“Mereka DoP, Sur? Belum pernah lihat.” Tanya Bondan.

“Oh ya, mereka DoP. Mereka memang jarang sekali turun dan jalan di seputaran kampus kecuali ada hal yang benar-benar penting yang harus mereka bereskan.” Kata Surya.

“Jangan-jangan mereka berdua itu…” Bondan baru menyadari kenapa ia tidak mengenali dua orang yang berpapasan dengan mereka tadi. Mereka adalah dua dari tiga penghuni lantai teratas Kandang Walet, mereka itulah dua orang jenderal DoP!

“Ya. Yang berambut panjang pakai sarung tangan itu Kori – Kori Wicaksana, Sang Jenderal Kiri. Sedangkan yang bodybuilder itu Jenderal Kanan, Rikson – aku tidak pernah tahu nama panjangnya. Keduanya sangat jarang sekali turun dari Kandang Walet. Apa ada masalah serius ya?”

Jo menoleh ke belakang. Melihat punggung Kori dan Rikson berjalan menuju Remon.

.::..::..::..::.

“Remon.”

Remon yang sedang makan coklat batang P*cky hasil sitaan dari mahasiswa baru menoleh ke arah pemanggil namanya. Kapten DoP itu tersenyum, “mantep tenan. Ga ada angin ga ada hujan kalian turun ke sini. Ada masalah serius apa kali ini, our dear general?”

Satu kibasan tangan Remon membuat anggota DoP yang sedang berkumpul membubarkan diri, memberikan waktu untuk sang kapten dan dua jenderal DoP bercakap-cakap bertiga tanpa gangguan.

Rikson menyarungkan tangan ke saku celana, “Langsung ke pokok permasalahan, Mon. Ada kabar terdengar kalau anak-anak dari kampus sebelah, Universitas Zamrud Khatulistiwa – Unzakha – mau ngisruh di sini. ”

“Unzakha?” Remon duduk dengan santai, memainkan sebatang coklat di mulutnya. “yang di Unzakha setahuku anak buahnya Simon – kelompoknya namanya Sonoz, singkatan dari Sons of Z.”

“Iya. Sonoz yang dipimpin Simon.” Kata Kori menimpali. “Mereka mau ngelabrak ke sini.”

“Info valid? Ada masalah apa DoP sama Sonoz?”

“Valid, Rao sendiri yang bilang. Bodo amat benernya, mereka datang, kita ganyang. Simpel.” Kori mengeluarkan tissue dari dalam kantong bajunya, mengelap kursi yang akan diduduki dan duduk di samping Remon. Orang satu ini memang gila kebersihan, istilah kedokterannya mysophobia – takut berlebihan terhadap kuman. Kori melanjutkan, “tapi Rao dan Simon pernah duduk bareng dan tahu teritori masing-masing, jadi ujung pangkal masalahnya harus dicari sampai ketemu terlebih dahulu. Sebelum Sonoz bener-bener ngisruh. Tugasmu adalah cari tahu kenapanya.”

Remon mengangguk. “Tugas apapun dari Rao pasti aku kerjakan, no questions asked.”

“Semua kapten mendapatkan perintah yang sama, kami juga baru saja menyampaikan ini ke Don, Oppa, dan Amon. Selama ini DoP dan Sonoz tidak pernah ada masalah. Kalau memang masalahnya sudah jelas dan jika memang betul ada friksi, kita tidak perlu menunggu Sonoz menyerang.” Rikson tersenyum, “kita yang akan menyerang Unzakha.”

Remon membalas senyumannya. “Mantep tenan. Siap, bos.”

“Oke itu saja dulu. Kami balik lagi ke atas.”

“Cuma begitu saja? Siap.”

Remon tersenyum sambil kembali memakan stik coklatnya. Ia menatap langit yang mulai gelap. Wahai sang dewa perang, akankah genderangmu segera ditabuh?

Rikson dan Kori berjalan bersebelahan kembali ke Kandang Walet. Setelah jarak mereka agak jauh dari Remon, Rikson membuka kotak permen Tict@c, menuang empat sampai lima biji, dan menelannya sekaligus. Pria raksasa yang gemar fitness ini tidak pernah merokok, dia lebih doyan makan Tict@c. Ia pun menawarkan pada Kori yang menggelengkan kepala.

“Bagaimana menurut kamu?” tanya Rikson sambil terus menatap ke depan. “Apakah dia orangnya? Kelihatan tidak dari sikapnya?”

“Tidak kelihatan, kita juga belum tahu apakah dia yang dimaksud Rao atau bukan. Kita tidak akan tahu pasti sampai perang dengan Sonoz benar-benar terjadi, ada kemungkinan si bedebah itu akan melakukan hal-hal yang membantu Sonoz. Yang pasti salah satu dari empat.”

“Pasti seru.”

“Pasti.” Kori menyunggingkan senyum. “Rao sendiri yang bilang kalau satu dari empat Kapten akan mengkhianatinya dan si pengkhianat bedebah itu sudah mendapat dukungan dari Simon. Sampai kita tahu yang mana yang akan melakukan Coup D’etat, kita awasi satu persatu. Akan aku penggal kepalanya di depan Rao, tidak peduli apakah itu Remon, Don, Oppa, atau Amon.”

“Menurutmu dia akan segera muncul ke permukaaan?”

“Tidak. Dia bukan orang bodoh. Dia menunggu waktu yang tepat untuk menggulingkan Rao.”

Rikson terkekeh. “Tahun ini sepertinya akan seru.”

“Pasti.”

Bersambung

Cerita ngentot pacar baru ku yang masih perawan dan lugu
Rahasia Yang Akan Terus Ku Simpan
mama tiri
Mama tiri ku yang sangat dahsyat di ranjang
ABG montok sange colmek di kamar
Foto bugil anje viral bugil sambil colmek sampai muncrat
cewek cina bugil
Antara Perih Dan Nikmat
Cerita Dewasa Ngewe Di Ruangan Komputer Kampus
Cerita Dewasa Ngintip Tante Lilis Sedang Colmek
Cerita Dewasa Menjadi Simpanan Tante-Tante
Menikmati berkaraoke di bali yang tiada dua nya
rintihan Kenikmatan
Rintihan Kenikmatan Istriku Bercinta Dengan Pembantu
cewek lagi masturbasi
Menikmati masturbasi di kamar mandi waktu di rumah gak ada orang
skandal murid dan guru
Cerita sex merenggut keperawanan murid ku sendiri
Di ajari Enak Enak Sama Tante Sendiri
siswi maggang mesum
Cerita mesum dengan siswi cantik yang lagi maggang
janda pembantuku
Desahan Kenikmatan Seorang Janda Pembantuku Bagian Satu