Part #34 : Petualangan Sexs Liar Ku

Adibah saat ini tengah dipusingkan dengan anaknya yang tiba-tiba membawa seorang pria sebagai calon suaminya. Yang menjadi masalah adalah pria yang dikenalkan itu sangat jauh dari kriteria suami idaman.

Dari kacamata Adibah, dia menilai Randy sebagai sosok yang memberikan dampak buruk bagi Annisa. Dia yakin Randy telah merenggut mahkota Annisa secara paksa sehingga membuat anaknya mau tidak mau meminta pertanggung jawaban darinya.

Sampai kapan pun dia tidak akan pernah merestui hubungan mereka. Masih banyak lelaki yang mau menerima Annisa apa adanya walaupun sekarang dia sudah tidak perawan lagi.

Saat suasana hati sedang kacau begitu tiba-tiba Icha keluar dari kamar dan menuju ke dapur untuk makan karena perutnya yang lapar. Ini kesempatan untuk melampiaskan rasa kesalnya.

“Hmm…enak ya hidup kerjanya cuma makan terus masuk kamar terus keluar makan terus masuk kamar lagi,” celoteh Adibah yang membuat Icha seketika tersindir.

Saat itu Adibah berada di ruang tengah yang bersebelahan dengan dapur sehingga apa yang dikatakan oleh Adibah mampu didengar dari arah dapur.

“Masak gak bisa, beres-beres rumah gak pernah, kerja gak mau, masa hidup mau jadi beban terus,” lanjutnya lagi bermonolog namun sedikit keras agar didengar oleh menantunya itu.

Icha menghentikan langkahnya saat akan menuangkan nasi ke dalam piring yang sudah ia ambil dari rak. Hatinya tersentil, ia merasakan rasa sesak di dada.

Bukannya dia tidak bisa masak atau beres-beres rumah, tapi setiap dia bertemu pandang dengan mertuanya itu selalu saja keluar kata-kata yang menyakitkan untuk Icha sehingga dia memilih untuk menghindari bertatap muka sesering mungkin.

Kenapa hanya untuk bisa makan saja harus selalu dibayar dengan sindiran-sindiran yang begitu menyakitkan dahulu.

Icha kemudian terduduk di kursi dengan piring yang masih kosong tergelak di atas meja makan, nafsu makannya mendadak lenyap entah kemana, padahal dirinya belum makan dari pagi.

Ia menunduk sambil menggigit bibir bawahnya sembari terus mendengarkan dengan sesama semua monolog yang ditujukan padanya. Dia berusaha menahan air mata yang akan keluar.

“Boro-boro bantu ngurus rumah, adiknya keluar rumah aja gak tau.”

Lagi-lagi sebuah sindiran keluar dari mulut Adibah. Dia pasti sedang membicarakan tentang Annisa yang keluar diam-diam saat malam ketika dia bertemu dengan Randy.

Padahal semua itu bukan salahnya, tapi salah Annisa sendiri, kenapa Icha yang jadi kambing hitamnya?

Icha melipat tangannya di atas meja seraya membenamkan wajahnya di sana. Icha menangis dalam diam. Kenapa dia harus merasakan semua ini? Kenapa setelah berhijrah dia belum juga mendapatkan kebahagiaan hidup? Kenapa seolah kebahagiaan membenci dirinya?

Sungguh Icha sudah tidak tahan hidup seperti ini terus. Di rumah Reza dia mendapatkan intimidasi secara fisik, di rumah mertuanya dia mendapatkan intimidasi secara verbal.

Saat sedang menangis di dapur tiba-tiba Adibah datang untuk mengambil minum. Melihat menantunya duduk sambil menutupi mukanya tidak membuat dirinya iba, justru sebuah sindiran kembali keluar dari mulutnya.

“Loh masih di sini? Gak jadi makan? Apa udah netas telurnya di kamar?” sindir Adibah.

Sungguh untuk perkataannya kali ini dia sangat keterlaluan. Dia mengatakannya secara blak-blakan. Mungkin itu dipicu juga oleh pikirannya yang sedang kacau.

Dengan mata berurai air mata Icha berdiri.

“Maaf teh, apa teteh sangat membenci saya? Apa teteh gak menginginkan saya ada di sini? Kalo iya saya akan pergi dari sini sekarang juga!” bentak Icha yang sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan Adibah terhadapnya.

“Ehh, Jangan kurang ajar ya sama teteh, kamu di sini bukan siapa-siapa, kalo bukan karena kamu yang keganjenan sama anak saya sampe kamu bunting, kamu gak akan ada di sini, tau?!” balas Adibah tidak kalah kerasnya.

Pertengkaran itu membuat Annisa yang sedang berada di kamar terusik lalu keluar untuk mencari tahu apa penyebabnya.

Annisa tertegun melihat kedua wanita itu saling bertatapan, yang satu melotot tajam, yang satunya lagi menatap sambil mengeluarkan air mata.

“Bunda, kakak, ada apa ini?” tanya Annisa yang tidak tahu akar masalahnya.

Namun tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaan Annisa. Keduanya masih tak bergeming.

“Baiklah teh, saya akan pergi dari rumah ini sekarang juga, maaf sudah menjadi beban hidup teteh selama ini, saya pamit, assalamualaikum.”

Icha menunduk singkat lalu bergegas masuk ke dalam kamar melewati Annisa begitu saja untuk mengemasi barang-barangnya.

Pandangan Annisa beralih ke arah Adibah. Dia masih menuntut penjelasan dari bundanya itu.

“Bunda, sebenernya ada apa sih ini? Kak Icha mau kemana?”

Adibah lalu terduduk di salah satu kursi sembari mengusap wajahnya dengan kedua tangan seraya beristighfar.

Dirinya yang sesaat tersulut emosi kini mencoba untuk menenangkan diri. Dia sadar kalau dirinya sudah keterlaluan terhadap menantunya itu.

Tak kunjung mendapatkan respon dari bundanya, Annisa berbalik untuk pergi menemui Icha di kamarnya.

Belum sempat dia mengetuk pintu, Icha sudah keluar dari kamar dengan membawa Aira dan tas untuk keperluan anaknya.

“Kak Icha mau kemana?” tanya Annisa sambil memegangi tangan Icha.

“Kakak mau pergi Nis, kakak gak pantes ada di sini, kakak gak mau jadi beban keluarga mu.”

Annisa menggeleng cepat.

“Enggak kak, kakak bukan beban di keluarga ini, jangan tinggalin Nisa,” mohon Annisa.

Adibah datang dengan raut wajah bersalah namun satu kata pun tak terucap dari bibirnya.

“Bunda!”

Annisa memanggil Adibah. Tanpa mengucapkan apapun Annisa meminta bundanya untuk minta maaf dan mencegah Icha untuk pergi.

Adibah menghembuskan nafas dalam. Rasa gengsi masih menahannya dari kata maaf. Justru kata lain yang ia lontarkan.

“Icha, ini udah malem juga mendung bentar lagi hujan, kamu mau kemana? Kasihan Aira, jangan egois dan mementingkan emosi mu sendiri,” ucap Adibah dengan nada pelan.

Sungguh bukan itu yang diharapkan oleh Annisa. Dia berharap bundanya meminta maaf bukan malah menasehati Icha.

Icha sesaat menatap Adibah datar, tidak berniat untuk menjawab pertanyaan mertuanya itu. Kemudian pandangannya beralih ke Annisa.

“Gak papa, kakak bisa jaga diri baik-baik kok, kakak pamit ya.”

Dengan berat hati Icha melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu. Adibah menatap punggung Icha hingga menghilang di balik pintu.

“Kakak!”

“Annisa!” seru Adibah yang melihat Annisa masih mencoba untuk menahan Icha.

Annisa lalu memutar bola matanya ke arah Adibah. Tampak raut wajah kecewa dari Annisa.

“Kenapa bunda diem aja sih? Kak Icha pergi entah kemana bawa cucu bunda!”

“Biarin aja, nanti juga balik kalo udah cape, dia biasa hidup enak apa-apa dilayani, dia gak mungkin betah tinggal di jalanan.”

Setelah mengucapkan itu Adibah masuk kembali ke dalam kamar. Annisa hanya termangu melepas kepergian Icha.

“Kakak mau kemana?” batin Annisa.

•••

Icha pergi meninggalkan kawasan pesantren milik Adibah. Dirinya terus berjalan tanpa arah sambil menggendong anaknya.

Cuaca malam itu semakin mendung, beberapa kilat menyambar dari arah langit memberi peringatan kalau sebentar lagi akan turun hujan.

Benar saja, beberapa menit kemudian rintik hujan mulai turun membasahi bumi yang dipijak olehnya, perlahan hujan itu menjadi lebih besar hingga membasahi pakaian yang ia kenakan.

Ia tutupi Humaira dengan hijab yang ia pakai agar dia tidak basah. Dipeluknya Humaira yang terlihat kedinginan itu.

Hujan semakin lebat sedangkan tempat berteduh masih jauh dari pandangan, yang terlihat hanya beberapa pepohonan yang tidak terlalu rimbun.

Icha berlari mempercepat langkahnya menuju sebuah emperan toko yang sudah tutup. Di sana dia hanya ditemani oleh lampu pijar yang tergantung di langit-langit teras toko.

Dia terduduk setengah berjongkok, matanya ia benamkan di antara kedua lututnya. Selain untuk melindungi Humaira dari cipratan air hujan yang membentur aspal, juga untuk menyembunyikan tangisnya yang pecah.

Icha menangis meratapi nasibnya yang begitu mengenaskan. Dia disia-siakan oleh suami dan mertuanya sendiri. Kini ia sebatang kara, dia tak memiliki siapa-siapa di sini.

Yang membuatnya menyesal adalah dia mengorbankan anaknya sendiri karena keegoisannya. Kini ia tidak tahu lagi harus berbuat apa, dia tidak memikirkan apapun saat memutuskan untuk pergi dari rumah.

Hal yang dia sesali untuk saat ini, tapi dia tidak ingin kembali kepada keluarga itu. Sejenak dia berpikir apa yang harus ia lakukan paling tidak untuk menyelamatkan anaknya.

Reza? Ahh itu bukanlah keputusan yang baik. Icha masih ingat bagaimana Reza mencoba membunuh anaknya saat itu, apalagi saat ini mungkin Reza sangat benci padanya.

Randy?! Baiklah mungkin itu satu-satunya jalan untuk saat ini, tapi apakah Icha punya hati untuk meminta bantuan kepadanya?

Sesaat batin Icha bergejolak memikirkan hal itu. Dia tahu kalau Randy sangat menyayangi Humaira, dan dia pasti akan membantu kalau itu menyangkut anaknya.

“Yah, tidak ada pilihan lain.”

Icha kemudian mengeluarkan ponsel yang ada di dalam tas Humaira. Mencari kontak yang dia maksud.

•••​

Randy tersenyum sambil mengelus dagunya melihat interaksi antara Dewi dan Pram pada malam itu. Dewi tampak malu-malu namun dari guratan wajahnya terlihat dia sangat senang dapat bertemu dengan lelaki masa lalunya yang mungkin masih ia cintai.

Saat Randy melamun tiba-tiba ponselnya berdering. Diambilnya ponsel itu dari dalam saku dan melihat siapa yang menghubunginya.

Dahinya berkerut melihat nama kontak yang tertera dalam layar ponsel miliknya.

“Icha?! Ngapain dia telfon malem-malem.”

Randy beralih ke sudut yang tidak terlalu ramai sebelum mengangkat telepon itu.

“Halo?!” sapa Randy singkat.

“H…halo Ran?”

“Ada perlu apa telepon malem-malem? Gue lagi ada acara nih.”

“A…aku lagi di luar Ran.”

Randy terkejut, dengan bodohnya dia malah menengok lewat jendela gedung melihat apakah benar Icha sedang berada di luar.

“Mana gak ada?” respon Randy yang tidak menemukan batang hidung Icha di luar.

“Aku kabur dari rumah teh Adibah!” timpal Icha sedikit keras.

“Lah, ngapain kabur sih? Ada-ada aja lu,” balas Randy santai.

Icha menghela nafas panjang, geram dengan sikap Randy yang terkesan acuh dan tidak peduli kepadanya.

“Aku sama Aira!”

Deggg…

Sontak Randy yang semula santai tiba-tiba menjadi tegang kala mendengar nama putrinya disebut.

“Lu dimana? Gue ke sana sekarang,” tanya Randy dengan cepat.

“Aku ga tau namanya, tapi belum begitu jauh dari lokasi pesantren.”

“Oke, sharelok sekarang cepet!”

Telepon langsung diputus oleh Randy lalu bergegas menghampiri Dewi yang masih berbicara dengan Pram.

“Tante, Randy tinggal sebentar ya, ada urusan penting.”

“Ehh, Ran!”

Tanpa menunggu jawaban dari Dewi, Randy langsung berlari ke luar gedung menuju mobil menembus hujan yang lebat.

Tanpa berlama lagi dia langsung memacu mobilnya ke lokasi yang Icha berikan melalui pesan wa.

Pikirannya dibuat gelisah mengetahui putrinya yang masih bayi sedang berada di luar rumah saat hujan dan dingin menyerang.

Dia merutuki Icha yang dengan bodohnya membawa Humaira pergi dari rumah di saat cuaca buruk seperti ini. Randy tidak akan membiarkan begitu saja apabila terjadi sesuatu terhadap anaknya.

Sesampainya di lokasi yang dituju, Randy langsung mengedarkan pandangan ke arah sekitar.

“Ahh, itu dia,” celoteh Randy saat melihat wanita berhijab krem sedang duduk sendirian di depan emperan toko.

Randy keluar dari mobil lantas melepaskan kemejanya untuk ia kerubungkan di kepala Icha saat Icha memasuki mobil.

Setelah itu mobil kembali berjalan meninggalkan tempat itu. Tidak dipungkiri bahwa Randy merasa kesal terhadap Icha yang seenaknya saja membawa Humaira ke dalam pelariannya.

“Lu kenapa sih Cha? Lu mau bunuh anak lu secara perlahan? Gak gini caranya! Kalo lu udah gak sanggup biar gue yang ngerawat dia.”

Sontak mata Icha melotot menatap wajah Randy di sampingnya. Enak saja dia mau merebut anaknya sedangkan Randy sama sekali tidak tahu bagaimana perjuangannya mengandung Humaira selama sembilan bulan.

Tapi mengingat saat itu dia yang meminta bantuan kepada Randy, dia tak memprotes apa yang dikatakan oleh pria itu.

“Aku udah gak tahan tinggal di sana, aku juga manusia Ran, aku juga punya hati, dan aku udah di titik dimana aku gak sanggup lagi.”

Icha mengatakannya penuh rasa sesak. Ingin rasanya ia menumpahkan beban yang ada di pundaknya. Dia biasa curhat dengan Annisa yang selalu menjadi adik sekaligus sahabat baginya. Tapi sekarang dia sudah tidak bisa lagi.

“Terus lu mau kemana sekarang? Ke rumah Reza gitu?”

Icha menatap Randy datar. Sejujurnya ia sama sekali tak memikirkan hal itu saat pergi. Itu memang hal yang sangat bodoh. Tapi Randy menangkap lain tentang tatapan Icha kepadanya.

“Kalo lu emang mau pulang ke rumah Reza, oke gue anterin, tapi Aira ikut sama gue.”

Lagi-lagi Icha mendelik geram. Kenapa laki-laki itu sangat ingin memisahkannya dari anaknya.

“Enak aja, Aira anak ku, kamu gak berhak ambil dia dari aku,” ketus Icha.

“Lagian aku gak ada niat buat balik lagi sama Reza,” imbuhnya lagi.

Randy melirik Icha sesaat kemudian kembali fokus ke jalanan. Setelah itu tidak ada obrolan yang tercipta hanya Humaira yang tiba-tiba saja menangis karena lapar.

Icha kemudian dengan ragu-ragu dan malu mengeluarkan payudara kirinya untuk menyusui Humaira lalu ia tutupi kembali dengan menggunakan hijab.

Randy membawa Icha dan Humaira ke apartemen miliknya karena tidak ada pilihan lain.

Untuk pertama kalinya Icha memasuki apartemen milik Randy. Dia tertegun melihat seisi ruangan itu. Ruangan yang digunakan Randy untuk melakukan hal keji terhadap adik iparnya.

Kecewa dan marah pastilah ada, apalagi Annisa sudah dia anggap sebagai adik kandungnya sendiri. Tapi yang sudah terjadi biarlah terjadi, sekarang bukan waktunya lagi memikirkan hal itu lagi.

Icha memberikan Humaira kepada Randy setelah Randy memintanya. Dia lalu merebahkan Humaira di tengah ranjang miliknya yang empuk.

“Lu mandi gih, terus ganti baju, takut entar masuk angin,” perintah Randy.

Icha tampak kebingungan.

“Tapi aku gak bawa baju ganti,” balasnya.

Randy hanya menepuk dahinya sendiri seraya menggelengkan kepala.

“Icha…Icha…lu tuh bener-bener gak mikir dulu ya waktu mau kabur, paling gak lu bawa pakaian lu, emang lu mau pake baju itu terus?”

Icha hanya mengulum bibirnya karena memang dia bodoh tak berpikir dulu sebelum bertindak.

“Ya udah lu pake baju gue untuk sementara, terus lu gak usah pake jilbab, jilbab lu kan basah,” saran Randy.

“Ta…tapi…”

Icha ragu karena itu sama saja dengan membuka aurat di depan pria yang bukan suaminya. Randy memutar bola matanya malas.

“Ya elah, gue udah pernah liat semuanya, sampe bagian dalem itil lu juga gue udah pernah ngerasain, jadi gak usah ditutup-tutupin lagi.”

Icha mendengus kesal, ia majukan bibirnya beberapa senti ke depan. Wajahnya memerah mengingat kejadian saat proses pembuatan Humaira dulu.

Saat itu Randy benar-benar menyiksanya secara batin dengan menahan orgasmenya beberapa kali hingga ia menyerah dan mengikuti kemauan Randy untuk menjebak Reza.

Icha lalu beranjak masuk ke kamar mandi, Randy menyiapkan bajunya yang paling kecil untuk Icha pakai sebelum dia pergi meninggalkan mereka berdua dan kembali ke acara reuni.

Bersambung

Ngewe dengan sepupu yang lagi hamil
teman kampus
Ngentot Gadis Yang Diam-diam Menyukai Ku Di Toilet Kampus
Foto bugil janda muda ngangkang pamer memek
Adik keponakan ku yang centil dan sexy
buruh pabrik cantik
Menikmati Tubuh Buruh Pabrik Yang Cantik Dan Montok
Istriku yang Soleha
mama papa ngentot
Memuaskan pacarku yang lagi horny berat bagian 2
sex dengan ibu teman
Aku tak kuasa menahan gejolak nafsu melihat belahan dada ibu teman ku
sma hot
Cerita sex di rawat oleh suster yang nakal dan sexy
istri bos
Cerita hot selingkuh dengan istri bos
rintihan Kenikmatan
Rintihan Kenikmatan Istriku Bercinta Dengan Pembantu
Cerita sexs anak SMA nakal ngentot di dalam kelas
Di ajari Enak Enak Sama Tante Sendiri
Ngewe dengan janda hot yang memek nya masih sempit
500 foto chika bandung anak SMA cantik menggoda bugil pamer memek
ngentot dengan pakdhe
Cerita ngentot saat berteduh dengan pak dhe