Part #29 : Petualangan Sexs Liar Ku
Randy sedang berada di dalam mall untuk membeli sebuah mainan untuk Reihan. Saat sedang berjalan dia melihat seorang wanita yang dia kenal sedang berjalan bersama dengan dua orang temannya. Randy pun memanggilnya.
“Anes!”
Yang dipanggil menoleh ke arah Randy. Melihat siapa yang memanggil dia pun langsung tersenyum memamerkan giginya yang tertata rapih.
“Randy!”
Anes melambaikan tangan seraya menghampiri Randy yang masih terdiam. Mereka berjabat tangan sesaat.
“Apa kabarnya Ran? Lama gak ketemu,” ucap Anes memberi salam.
“Baik, lu gimana?”
“Hmm… tergantung,” jawabnya ragu-ragu.
“Kok tergantung sih?”
“Tergantung dilihat dari sisi mana, kalo dari sisi hati gak baik tapi kalo dari sisi finansial.”
Anes tidak melanjutkan perkataannya dan hanya mengangkat kedua tas belanjaan yang ada di tangannya ke atas menandakan finansialnya baik-baik saja.
“Wah jangan-jangan,” tunjuk Randy ke arah wajahnya.
Aneh hanya tersenyum lebar sambil menaik turunkan alisnya beberapa kali lalu terkekeh melihat ekspresi wajah Randy yang sedang menduga-duga.
“Ness!” panggil salah satu temannya.
“Duluan!” respon Anes memberi isyarat agar tidak usah menunggu dirinya.
Setelah kedua temannya pergi, Anes kemudian mengajak Randy untuk makan sekaligus mengobrol karena mereka sudah lama tidak bertemu.
“Lu sekarang tinggal dimana?” tanya Anes setelah mereka memesan makanan.
“Gue tinggal di apartemen,” jawab Randy datar.
“Wah kok bisa? Kirain jadi gelandangan, hihihi…”
Anes mencoba mencairkan suasana dengan bercanda. Dia tahu hubungan mereka tidak baik-baik saja saat terakhir kali mereka bertemu.
“Lu sendiri tinggal dimana?”
Randy balik bertanya. Anes menarik salah satu sudut bibirnya.
“Gue tinggal ngekost sama temen gue yang tadi.”
“Terus ini?” tunjuk Randy ke arah tas belanjaannya yang cukup banyak.
“Ini hasil kerja gue jadi foto model, lu lupa ya kalo gue foto model.”
“Oh kirain.”
“Kirain apa?”
“Kirain jadi simpanan om-om, hehehe…aww!” gurau Randy yang langsung mendapat cubitan di lengannya.
“Itu sih sampingan, hihihi…”
Mereka berdua tertawa bersama. Namun dibalik senyuman Anes ada sesuatu yang ia sembunyikan.
“Nes, gue boleh tanya sesuatu?”
Anes hanya mengangguk.
“Gimana hubungan lu sama Justin?” tanya Randy ragu-ragu.
“Udah selesai,” jawab Anes singkat.
“Kenapa lu bilang kalo kita ngelakuin itu atas dasar suka sama suka? kan dulu gue udah ngaku kalo gue yang perkosa lu.”
“Kenyataannya emang gitu kan? Gue ngerasa ini gak adil aja buat lu, kita lakuin sama-sama tapi cuma lu yang terima akibatnya.”
Randy melipat tangannya di atas meja. Tangan kanannya ia gunakan untuk menggaruk dagunya tampak sedang berpikir.
“Lu masih cinta sama Justin?”
Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Randy.
“Masih,” jawab Anes singkat.
“Lu mau balikan sama Justin?”
“Emang dia mau?”
“Gue yakin dia juga masih cinta sama lu.”
“Caranya?”
“Gue akan coba ngomong sama dia dulu, semoga dia mau dengerin penjelasan gue.”
Anes kemudian mengangguk lalu menjawab.
“Oke deh.”
Setelah itu mereka menyantap makanan yang sudah terhidang di atas meja, tidak lupa mereka bertukar nomor hp karena Anes sudah mengganti nomornya dan seluruh kontaknya hilang akibat suatu hal.
Baru setelah mereka selesai makan mereka pun berpisah. Anes menyusul teman-temannya sedangkan Randy pergi mencari mainan yang disukai oleh Reihan.
“Reihan!” panggil Randy sembari menyodorkan mainan yang telah dibelinya.
“Papa!” jawab Reihan senang.
Hari ini dia akan menagih janji dari Randy untuk menginap di apartemen milik Randy.
Sesuai janji yang telah diucapkan Randy, dia membawa Reihan ke apartemen miliknya. Di sana mereka bermain mainan yang baru saja dibelinya oleh Randy.
Reihan terlihat sangat gembira. Meskipun Reihan bukan anak kandung Randy tapi dia sudah menganggap sebagai anaknya sendiri.
Mereka menghabiskan waktu bersama di apartemen. Karena hari ini Randy tidak ada acara maka seharian waktunya untuk Reihan.
Hingga malam hari, karena kelelahan mereka akhirnya tertidur pulas di atas ranjang Randy yang sudah diganti spreinya bekas semalam.
Pagi hari sekitar pukul 05.00.
“Bi Lastri!” panggil seorang wanita yang baru saja masuk ke dalam rumah.
“Ehh nyonya, kok pulang gak kabar-kabar dulu. Pulang naik apa?” timpal Lastri yang baru saja datang dari dapur.
“Iya Bi, barusan diantar sama asistennya mas Ginanjar, niatnya mau kasih surprise buat Reihan, tapi kok sepi ya?”
Mata Dewi menyorot ke seluruh penjuru ruangan.
“Anu nyonya, den Reihan diajak nginep di apartemennya Randy.”
Sekilas senyum tersungging di bibir Dewi ketika mendengar pernyataan dari Lastri. Dia memang sudah menduga kalau Randy memang benar-benar menyayangi Reihan. Buktinya walaupun dia tidak ada di sana sikap Randy terhadap anaknya itu tidak berubah.
Calon papa idaman untuk anak yang sedang dikandungnya. Tanpa sadar Dewi mengelus perutnya yang masih kempes karena usia kandungan yang masih awal.
“Ya sudah bi, kalo gitu saya mau jemput Reihan dulu, pasti Randy kerepotan deh sama ulahnya Reihan.”
“Gak istirahat dulu? kan nyonya baru saja sampai.”
“Gak usah nanti aja, udah kangen sama Reihan,” ucap Dewi lalu pergi dengan menggunakan mobil yang kemarin digunakan Randy.
“Kangen sama Reihan apa sama Randy,” batin Lastri terkekeh.
Dewi kemudian memacu mobilnya ke arah apartemen Randy. Hampir seminggu dia jauh dari dua orang yang selalu ada dipikirannya. Dia sudah tidak sabar lagi.
Sesampainya di apartemen Randy, Dewi memencet bel namun tidak ada respon dari dalam, saat dia buka engselnya ternyata tidak dikunci.
“Teledor banget sih Randy,” batin Dewi.
Saat masuk ke dalam ruangan itu Dewi terkejut melihat seisi kamarnya sudah selayaknya kapal pecah.
“Ini kenapa sofanya bisa sampe kebalik gini!” Dewi tidak habis pikir.
Dia kemudian mengecek kamar Randy. Kembali dia geleng-geleng kepala, bagaimana tidak, dia mendapati dua orang yang sangat ia rindukan tengah tertidur dengan gaya yang tidak lazim.
Randy sedang tidur terlentang sedangkan Reihan tidur disampingnya dengan posisi terbalik dan tumit kaki Reihan berada di depan mulut Randy.
Dewi tertawa lirih, diam-diam dia ambil ponselnya lalu memotret momen langka itu. Beginilah seharusnya ayah dan anak kalau sedang bersama.
Dewi kemudian duduk di tepi ranjang dekat Randy. Disingkirkan kaki anaknya dari mulut Randy. Dia pandangi wajah Randy dalam tidur.
“Ahh, andai saja dia benar-benar jadi suami ku, pasti aku akan sangat bahagia,” gumam Dewi.
Perlahan dia kecup keningnya, pipinya, lalu bibir bawah Randy. Bau mulut orang yang bahkan belum bangun dari tidur tampaknya tidak terlalu buruk.
Merasa ada benda empuk yang bermain di bibirnya, Randy pun terjaga. Sedikit terkejut karena orang yang beberapa waktu lalu menghilang tanpa kabar tiba-tiba dia ada tepat di hadapannya.
Namun reaksi Randy justru tidak seperti apa yang diharapkan oleh Dewi. Randy memutar tubuhnya malas memunggungi Dewi meraba-raba tubuh kecil yang ada di sebelahnya untuk dipeluk.
“Kamu kenapa sayang, kok kaya gak seneng gitu aku dateng?” tanya Dewi sedikit kecewa dengan sikap Randy.
“Bukannya Tante udah bahagia ya sama om Ginanjar, kok balik lagi?” ujar Randy balik bertanya.
“Kok kamu gitu sih? Siapa bilang aku bahagia sama dia, aku bahagianya sama kamu.”
Randy kemudian menoleh ke arah Dewi.
“Kalo Tante bahagia sama aku kenapa Tante lebih milih pergi sama om Ginanjar?”
Dewi menunduk, lidahnya ia julurkan untuk membasahi bibir atas dan bawahnya.
“Aku punya alasan, sebenarnya…”
Dewi menggantungkan kata-katanya. Tampak ragu untuk melanjutkan sebelum akhirnya berkata.
“Aku sebenarnya lagi hamil, dan ini anak kamu Ran!”
Randy terlihat biasa saja, tidak ada ekspresi terkejut sama sekali. Dia kemudian mengubah posisinya menjadi duduk bersila di atas ranjang.
“Terus?” tanya Randy singkat.
Sebenernya bukan itu yang ditanyakan oleh Randy. Perihal kehamilannya dia sudah tahu tapi alasan kenapa tiba-tiba Dewi memutuskan untuk pergi meninggalkannya bersama suaminya yang masih jadi misteri.
“Kok kamu biasa aja? Apa kamu gak menginginkan anak ini Ran? Kalo emang enggak jangan minta untuk gugurin kandungan ini, biar aku aja yang rawat dia, kamu gak perlu ngakuin juga gak papa kok, hiks…”
Air mata Dewi mengalir menuruni pipinya. Dia kecewa dengan sikap Randy yang seolah tidak peduli terhadap dirinya bahkan saat Randy tau kalau dia sedang mengandung anaknya. Randy memegang kedua bahu Dewi seraya memeluknya erat.
“Bukan gitu maksud Randy Tante, Randy biasa aja karena Randy udah tau pas Randy gak sengaja nemu Testpack di tas Tante waktu ketinggalan di sini dulu.”
Randy mengelus punggung Dewi untuk menenangkannya.
“Kalo Tante lebih bahagia sama Randy kenapa Tante lebih milih pergi sama om Ginanjar daripada tinggal sama kita di sini?”
Dewi mencoba untuk menenangkan diri sebelum menimpali kata-kata Randy.
“Kamu tau kan aku wanita bersuami, bagaimana bisa wanita yang jarang sekali disentuh oleh suaminya bisa tiba-tiba hamil, pasti akan menimbulkan kecurigaan, jadi aku mutusin untuk pergi sama mas Ginanjar biar kami dapat waktu yang banyak untuk berdua, biar waktu dia tau kalo aku sedang hamil dia gak akan curiga,” jelas Dewi yang membuat Randy lega.
Awalnya dia mengira tantenya itu menghindari dirinya karena menyesal telah menjalin hubungan gelap di belakang suaminya.
Tetapi setelah mendengarkan penjelasan darinya Randy menyesal telah bersikap dingin barusan. Randy memeluk Dewi semakin erat.
“Maaf,” kata Randy singkat.
Mereka kemudian melepaskan pelukannya.
“Oh ya Tante, hari ini Randy ada jadwal latihan basket, biasanya sih Reihan Randy ajak ikut, apa Tante mau bawa Reihan pulang?”
Sejenak Dewi melirik ke arah Reihan yang belum terganggu tidurnya.
“Aku bawa pulang deh, kangen banget sama dia.”
Randy tersenyum lalu mengangguk. Sebelum membangunkan Reihan, Randy dan Dewi memanfaatkan waktu untuk mandi bersama.
Tentu saja kegiatan itu bukan hanya sekedar mandi bersama namun juga merengkuh kenikmatan bersama. Meskipun Dewi tengah hamil muda, gairah seksualnya cenderung menurun, namun dengan Randy dia tidak pernah merasa kalau berhubungan seks itu hal yang membosankan.
Setelah melakukan acara ‘mandi bareng’ Dewi mengajak Reihan untuk pulang sedangkan Randy bersiap-siap untuk berangkat.
Awalnya Reihan meminta ikut bersama Randy namun Dewi bersikeras untuk membawanya pulang dengan alasan kangen.
Randy kemudian berangkat latihan dengan menggunakan motor. Di tempat latihan dia bertemu dengan Justin, segera Randy menghampirinya.
“Tin, ada waktu? gue mau ngomong sama lu, mumpung latihan belum mulai,” sergah ku saat Justin hendak masuk ke ruang ganti.
Sesaat Justin melirik ke arah jam tangannya.
“Lima menit!” balasnya singkat.
“Ini soal gue lu dan Anes.”
“So?!”
“Oke gue ngerti kalo gue salah Anes juga, tapi perlu lu tau kalo Anes itu masih cinta sama lu.”
Justin tersenyum kecut.
“Kalo dia cinta sama gue, dia gak akan selingkuh sama lu!”
“Asal lu tau aja, gue sama Anes meskipun kita pernah ciuman tapi kita belum pernah berhubungan seks, dia yang bilang sendiri kalo cuma sama lu dia mau ngelakuin itu, karena apa? karena lu itu orang yang spesial buat dia!”
Justin termenung, dia menatap Randy dengan tatapan datar. Mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Randy.
“Terus kalo lu tanya kenapa dia bisa ngelakuin itu sama gue? itu karena dia ngerasa kesepian, lu berdua tinggal bareng tapi tiap hari lu sibuk latihan, quality time lu sama Anes cuma dipake buat ngentot doang waktu malem, bahkan dia sering pulang kampus naik ojol karena lu langsung berangkat latihan tanpa nganter pulang dia lebih dulu, apa lu gak sadar itu? secara gak langsung lu nelantarin dia, introspeksi sob!” Pungkas Randy panjang lebar.
Justin membuang mukanya ke samping, mengelus-elus dagunya menggunakan tangan.
Randy menepuk pundak Justin pelan.
“Get her back sob, gue tau lu pasti juga masih cinta sama dia kan, jangan sampe lu nyesel, kesempatan gak dateng dua kali, cewek kaya Anes banyak yang suka.”
Randy kemudian pergi meninggalkan Justin untuk masuk ke locker room dan berganti pakaian.
Sesi latihan dimulai dari latihan fisik dilanjutkan dengan latihan teknik. Performa Randy semakin membaik, dia hanya kurang di power dan stamina sedangkan untuk urusan speed dan akselerasi, serta kelincahan dirinya lebih unggul dari pemain inti.
Selesai latihan coach Roy menghampiri Randy. Dia tampak senang dengan progress yang dilakukan Randy, kalau dia dapat mempertahankan peningkatan performanya dia bisa segera masuk ke squad inti.
“Yoo Randy, good job!” ujar coach Roy sambil mengacungkan jempolnya.
“Thanks coach,” balas Randy singkat.
“Secara teknik kamu udah sangat berkembang, tapi kamu masih keteteran kalo harus main full, nafas mu itu loh harus sering latihan stamina termasuk power mu masih kurang, coba kamu sering-sering nge-gym biar otot-otot mu kuat dan nafas mu panjang,” saran dari coach.
Randy mengangguk senang atas pujiannya dan saran dari coach Roy.
“Siap coach!” jawab Randy lantang.
Mereka berpisah, Randy masuk ke locker room untuk berganti pakaian kembali. Saat keluar tidak disangka dia bertemu lagi dengan Prilly.
“Hay Pril!” sapa Randy.
“Hay juga.”
“Kok lu di sini? ada barang papa mu yang ketinggalan lagi?”
“Enggak hehehe…sengaja ke sini niatnya mau ketemu Reihan ehh lu gak bawa, biasanya ikut sama lu.”
“Hmm…mau ketemu sama Reihan apa sama omnya? Hahaha…” canda Randy yang langsung mendapatkan tabokan dari Prilly di bahunya.
“Enak aja, ngapain juga ketemu sama lu!”
“Hehehe, emaknya udah pulang jadi udah gak ikut latihan lagi,” jelas Randy.
Prilly mengangguk mengerti.
“Ehh, habis ini lu ada acara gak? bisa anterin gue ke kampus?”
“Apa sih yang enggak buat lu, ayok dah mumpung gue lagi seneng,” jawab Randy seraya tersenyum lebar.
Lantas dia kemudian merangkul bahu Prilly untuk langsung berangkat menuju ke kampusnya. Prilly hanya tersenyum singkat lalu mensejajarkan langkahnya.
Randy memacu motornya membelah jalanan kota Bandung. Prilly memeluk Randy dari belakang dengan sangat erat karena laju motor yang cukup cepat.
Sesampainya di kampus mereka berdua pun turun.
“Makasih udah mau nganterin.”
“Yaelah sante aja kali, lu kan anaknya coach Roy, masa iya gue mau nolak permintaan lu,” jawab Randy seraya mengacak-acak rambut Prilly.
“Ihh…!!!” dengus Prilly kesal karena rambutnya jadi berantakan.
“Jadi kalo gue bukan anaknya coach lu gak mau nganterin gue?”
“Hehehe…enggak weee…” ejek Randy sambil menjulurkan lidah.
“Ishhh dasar!” cubit Prilly di pinggang Randy yang secara otomatis membuatnya memekik kesakitan.
“Adaw! sakit Pril! jadi cewek gak ada lembut-lembutnya nih.”
“Biarin, weee…” balas Prilly kepada Randy.
Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang sedang mengamati interaksi mereka berdua.
“Siapa sih cewek itu? kok kelihatannya akrab banget sama Randy,” ucapnya dalam hati.
Saat Randy dan Prilly sedang tertawa bersama tak sengaja sudut mata Randy menangkap sosok yang sedari tadi memperhatikan mereka berdua.
Sontak dia lalu melambaikan tangan ke arah orang tersebut sambil memanggil namanya.
“Nisa!”
Sadar dirinya tertangkap basah sedang memperhatikan mereka, Annisa langsung berpaling untuk pergi. Namun baru beberapa langkah dirinya berjalan tangannya sudah berada dalam genggaman Randy.
“Mau kemana? Kok dipanggil malah pergi?”
Annisa kembali berbalik menatap wajah Randy. Dengan cepat dia melepaskan tangan yang di genggam olehnya.
“Gak mau ganggu aja,” sindir Annisa.
Tak berselang lama Prilly masuk ke dalam obrolan mereka.
“Ehh iya kenalin ini Prilly, anaknya coach tempat gue latihan basket.”
Prilly menyodorkan tangannya sembari tersenyum ramah. Annisa reflek meraih tangan itu untuk berjabat tangan.
“Dan ini namanya Annisa,” ujar Randy memperkenalkan kepada Prilly.
“Dia ini…”
“Annisa!”
Perkataan Randy terpotong kala muncul seorang pria dengan mengenakan peci putih memanggil nama Annisa.
Mereka bertiga sontak menoleh ke arah sumber suara.
“Kamu kok masih ada di sini? bukannya kita ada kuliah?” tanya pria itu kepada Annisa.
“Iya Rif, ini juga mau masuk kok.”
Lalu sejenak kemudian pandangannya beralih kepada lelaki di sebelah Annisa yang tak lain adalah Randy.
“Ini siapa Annisa?” celetuk pria itu yang diketahui bernama Arif sambil menunjuk ke arah Randy.
Kentara sekali bahwa ekspresi wajahnya terlihat tidak suka dengan perawakan Randy yang terkesan badboy. Maka Randy sengaja ingin mengerjainya.
Dia kemudian merangkul bahu Annisa seraya berkata.
“Gue pacarnya Annisa!” jawab Randy dengan senyum lebar penuh percaya diri.
Arif mengernyitkan dahinya dengan mulut melongo mendengar perkataan dari Randy.
Annisa kemudian menurunkan tangan Randy dari bahunya dengan cepat.
“Bukan kok, dia bukan pacar ku.”
Jawaban itu seketika membuat senyum lebar di bibir Randy berubah menjadi cemberut.
“Pfffft…”
Berbeda dengannya, Arif justru tergeletak menahan tawa karena ekspektasi yang diharapkan oleh Randy tidak sesuai kenyataan dan menganggap Randy hanya mengaku-ngaku.
Annisa melirik ke arah Randy sebentar lalu kembali ke arah Arif.
“Tapi calon suami aku!”
Deggg…
Jantung Arif rasa ingin berhenti saat itu juga. Gelak tawa yang barusan tersungging di wajahnya lenyap dihempas angin. Kini yang ada hanya rasa nyeri di dada membuatnya kehilangan daya untuk bernafas.
Wanita yang ia sukai sejak duduk di bangku SMA yang membuatnya rela berubah menjadi lelaki soleh demi mendapatkan hati Annisa kini justru mengaku sudah memiliki calon suami?!
Hancurlah sudah dunianya saat itu juga. Tiada lagi hari esok yang akan menyambutnya.
Bersambung