Part #28 : Petualangan Sexs Liar Ku
Hari minggu siang itu Icha sudah diperbolehkan untuk pulang. Tidak ada yang harus dikawatirkan dari kondisi Icha, hanya saja tidak boleh ada benturan lain di kepalanya.
Icha pingsan semalam selain karena benturan di kepalanya juga karena shock atas kejadian yang menimpa dirinya dan rasa sakit yang menyelimuti tubuhnya atas perlakuan Reza.
Mereka bertiga pulang menuju rumah Reza untuk mengemasi barang-barang yang dibutuhkan untuk dibawa. Icha sudah memutuskan untuk tinggal bersama Annisa di rumah orang tuanya karena tidak ada pilihan lain.
Tinggal bersama Randy di apartemennya hanya akan memperburuk situasi. Keluarga Reza pasti akan semakin tidak menyukainya.
Saat tiba di depan rumah Reza, mereka melihat sebuah mobil sudah terparkir di depan garasi.
“Kak Reza di rumah!” ucap Annisa seraya memutar bola matanya ke arah Randy.
Randy tersenyum tenang. Baginya tidak ada yang perlu ditakuti. Dia memberikan isyarat untuk keluar dari mobil.
Belum sempat mereka melakukannya, orang yang mereka maksud sudah berada di gerbang sedang menatap mobil Audi A6 yang berhenti di depan rumahnya.
Kaca hitam membuat Reza belum mengetahui siapa yang ada di dalam mobil tersebut. Dengan hembusan nafas dalam Annisa membuka pintu mobil dan dan keluar.
Reza yang melihat seseorang yang semalaman ia cari-cari pun tersenyum lega, namun senyuman itu tak berlangsung lama ketika pintu kemudi terbuka dan keluar seorang pria yang menjadi mimpi buruknya beberapa waktu lalu.
Matanya melotot tajam ke arah Randy. Bibirnya bergetar, tangannya terkepal. Terlihat wajah penuh emosi dari Reza.
Berbeda dengannya, yang ditatap justru tersenyum remeh dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya.
“B*ngsat kau…!!!” seru Reza hendak melayangkan pukulan ke arah Randy.
Randy kemudian memasang kuda-kuda bersiap untuk melakukan dua gerakan yaitu menangkis tangannya dan melakukan gerakan counter untuk melumpuhkannya sebelum.
“STOP…!!!”
Reza pun seketika menghentikan gerakannya. Reza menoleh ke arah Annisa yang barusan mengatakan kata itu.
“Stop! Nisa gak mau liat orang berantem lagi!” lanjut Annisa.
Reza mencoba mengatur nafasnya yang memburu karena menahan emosi yang meluap. Ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih tenang.
“Annisa, semalam kamu kemana aja? Kenapa kamu bisa sama dia? Kamu gak diapa-apain kan?” tanya Reza lembut sembari mendekati adiknya hendak memeluk.
Annisa menahan tubuh Reza membuatnya mengernyitkan dahinya tidak paham. Dia berusaha menahan tangis agar tidak keluar atau justru dia sudah tidak memiliki stok air mata lagi karena sudah ia kuras tadi malam.
“Semalam Nisa pergi untuk lihat betapa menjijikkannya kakak saat berada di luar rumah dan jadi pemuas Tante girang!” ucap Annisa penuh emosi.
Mata Reza terbelalak tidak menyangka adiknya tahu apa yang ia perbuat di luar sana. Tetapi Reza mencoba mengelak.
“Maksud kamu apa Annisa?! Kakak gak ngerti!”
“Kak! Nisa liat dengan mata kepala Nisa sendiri kalo kakak jalan mesra bareng perempuan yang seumuran sama bunda terus kalian masuk ke klub dan kalian mabuk joget-joget sambil ciuman di tengah orang banyak, Nisa malu kak! Nisa malu…!!!” sergah Annisa meluap-luap.
Annisa memegangi dadanya yang terasa sesak. Butuh keberanian yang besar untuk mengatakan itu kepada kakaknya yang pernah menjadi panutannya karena sikap baik yang dia miliki.
Namun sekarang semua pandangan itu berubah seratus delapan puluh derajat. Kini Annisa begitu membenci kakaknya karena menganggap semua itu aib yang sengaja dipertontonkan kepada orang banyak.
Reza seketika mematung tanpa bisa berkata apa-apa. Lidahnya kelu seolah dia tidak dapat bersuara untuk menyanggah kata-kata dari Annisa.
Bahkan belum sempat dia menanyakan apa yang terjadi kepada Annisa setelah itu Annisa sudah berlari melalui dirinya untuk masuk ke dalam rumah.
Reza merasa hidupnya telah hancur. Adik satu-satunya yang sangat ia sayangi kini telah membencinya, telah memandang jijik terhadap dirinya. Apakah dia masih memiliki kesempatan untuk memperbaikinya?
“Ini semua gara-gara Randy!” batin Reza kemudian menatap wajah Randy dengan tatapan pembunuh.
Reza yang sudah dirasuki oleh setan yang bernama emosi itu menghampiri Randy lalu melancarkan tinjuannya ke wajah Randy.
Dia tak peduli lagi apabila tulang rusuknya kembali patah seperti terakhir kali mereka berkelahi.
Randy yang menguasai beladiri taekwondo dengan mudah mematahkan serangan yang Reza lakukan.
Bughhh…
Wushhh…
Randy menangkis pukulan Reza dengan kakinya lalu memutar badannya untuk melakukan tendangan ke arah leher Reza menggunakan punggung kaki.
Namun belum sempat itu terjadi, Randy menghentikan kakinya tepat di samping leher Reza. Sungguh jika tendangan itu ia lanjutkan, bisa dipastikan lehernya akan patah.
Tetapi itu bukan waktu yang tepat untuk menyiksa Reza secara fisik. Dia akan kehilangan kepercayaan dari Annisa jika ia lakukan.
Mungkin membuatnya cacat bisa menjadi ending yang sempurna untuk balas dendamnya terhadap Reza, atau tidak?
Randy menurunkan kakinya dari leher Reza yang saat itu terdiam kesakitan karena tangannya yang hendak memukul wajah Randy terkena tendangan yang cukup keras.
Icha yang masih berada di dalam mobil tidak berani berbuat apa-apa. Dia masih trauma dengan apa yang dilakukan Reza semalam, akhirnya Icha memutuskan untuk tetap berada di sana.
Tak berselang lama Annisa keluar dari rumahnya dengan membawa beberapa barang yang tidak terlalu banyak, hanya laptop dan buku-buku pelajaran kampus serta beberapa barang yang ia butuhkan, sedangkan untuk pakaian dia masih memiliki stok yang cukup di rumah Adibah.
Ya, dia sudah memutuskan untuk pergi dari rumah Reza untuk tinggal di rumah ibunya. Entah sampai kapan, yang jelas hingga dia mampu memaafkan kelakuan kakaknya selama ini.
“Annisa, kamu mau kemana?!” tanya Reza saat Annisa hendak masuk ke dalam mobil Randy.
“Kakak gak perlu tau! Nisa udah kecewa sama kakak, kakak bukan cuma tukang selingkuh tapi juga suka main tangan sama istri kakak sendiri!”
Reza kembali menahan Annisa yang sudah membuka pintu mobil.
“Kamu kenapa sih? Kenapa kamu lebih percaya dia daripada kakak mu sendiri?”
“Kak, kalo seandainya Randy bilang gitu aja sama Nisa, Nisa gak akan percaya, tapi ini Nisa liat sendiri kak!”
“Terus kamu semalam dimana? Kamu sama Randy kan?! Dia udah jebak kamu! dan sekarang kamu mau ikut sama dia? Apa bedanya sama kakak?!”
Plakkk…!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Reza. Itu ada tamparan pertama dalam hidup yang ia lakukan kepada kakaknya.
Tanpa sadar air matanya lolos juga. Hatinya sakit mendengar apa yang dikatakan oleh Reza.
Sekarang Annisa benar-benar sudah tidak mempercayai apapun yang dikatakan oleh kakaknya itu.
Dia langsung masuk ke dalam mobil tanpa dicegah lagi oleh Reza. Randy kembali tersenyum remeh lalu ikut masuk lewat pintu kemudi.
Reza hanya bisa melihat mobil itu berjalan semakin menjauh dari pandangan kemudian menghilang.
Dalam perjalanan Annisa dan Icha hanya diam larut dalam lamunan masing-masing. Lalu Randy mencoba membuka pembicaraan.
“Rumah teh Adibah dimana?”
“Ini ikutin jalan aja, terus ada perempatan ke dua belok kiri terus lurus belok kanan ada persimpangan ambil kiri terus lurus aja terus gak usah belak-belok sekitar 10 km sampe lewat jembatan ada jalan ke kiri masuk,” jelas Annisa.
Randy yang belum begitu tahu dengan jalanan Bandung pun dibuat pusing dengan penjelasan Annisa.
“Emang gue GPS?” canda Randy yang hanya ditimpali gelengan kepala oleh Annisa.
Tidak ada mood sama sekali untuk bercanda saat itu. Mereka pun kembali melaju diam dalam lamunan.
Tak terkecuali Randy. Dia yang sebentar lagi dapat mengetahui rumah teh Adibah dengan cara yang sangat natural tanpa meminta bantuan dari siapapun.
Hmm… tampaknya takdir memang sudah mengarah ke sana. Tapi apakah Randy benar-benar akan meminta restu Adibah untuk mempersunting Annisa?
Bagaimana dengan Ranty yang notabenenya adalah kekasih Randy?
Jawabannya dia belum memikirkan sampai sejauh itu. Keputusannya untuk menyetujui permintaan Annisa untuk menikahinya adalah keputusan yang spontan.
Kalau melihat situasi tadi pagi, bisa dibilang kalau itu bukan sebuah ajakan untuk menikah melainkan sebuah perintah yang tanpa bisa diganggu gugat.
Entah Randy yang terlalu lunak dengan Annisa sehingga tidak dapat menolak atau karena Randy sudah jatuh cinta dengannya.
Sesuai petunjuk dari Annisa mobil pun masuk ke sebuah kawasan pondok pesantren yang sangat besar.
“Sudah antar sampai sini aja,” ujar Annisa saat mobil berada di depan salah satu asrama santri.
Beberapa santri spontan menoleh ke arah mobil mereka.
“Rumahnya masih jauh?”
“Enggak kok, udah Deket.”
Annisa dan Icha lalu keluar dari mobil bersama disusul dengan Randy.
“Makasih udah dianterin,” ucap Annisa berterima kasih.
“Aku ngomong sama bunda dulu,” lanjutnya.
Randy mengangguk.
“Semoga direstui” ujar Randy sambil tersenyum lembut.
Hal itu mengundang Annisa untuk ikut tersenyum. Ada harapan besar yang ia tanamkan kepada pria yang ada dihadapannya itu.
Harapan untuk dapat membina rumah tangga yang harmonis. Terlalu jauh kah harapannya? Dapat restu saja belum sudah berpikiran sampai ke situ.
Annisa mengerjap membuang semua pikiran yang selalu memenuhi otaknya sejak tadi pagi.
Annisa berlalu disusul dengan Icha yang sedang menggendong Humaira. Belum selangkah pun Icha berjalan tangannya sudah di tahan oleh Randy. Sontak Icha melotot ke arah Randy. Annisa tidak melihatnya, dia masih terus berjalan menjauh.
“Apa?!” tanya Icha gugup.
Sejenak Randy mengecup kening Humaira lalu melepaskan.
“Jaga Aira baik-baik, kalo ada apa-apa sama anak kita, gue akan ambil Aira dari lu,” bisik Randy lirih agar tak didengar oleh Annisa.
Icha mengangguk dengan sedikit ketakutan. Ancaman itu lebih menakutkan daripada ancaman untuk membunuhnya.
Ya, dia lebih baik mati daripada kehilangan Humaira yang selama sembilan bulan ia kandung dan ia sayangi sepenuh hati.
Meskipun dia berada bersama Randy yang notabenenya ayah kandung Humaira yang ia jamin Randy akan menyayangi Humaira sama sepertinya.
Icha sudah membuktikan sendiri bagaimana Humaira merasa sangat nyaman berada di pelukan Randy. Ikatan batin anak dengan orang tuanya memang tidak pernah salah.
Egois kah dia jika menginginkan Humaira mendapatkan kasih sayang dari Randy tapi di lain sisi dia tidak mau berpisah dengan Humaira?
Lamunannya kemudian buyar, Icha kemudian menyusul adik iparnya yang ternyata sudah berjalan agak jauh.
Randy hanya tersenyum melihat mereka semakin menjauh. Setelah punggung mereka menghilang di balik tembok Randy kemudian masuk tapi tak lantas menyalakan mobil dan pergi.
Sesaat dia memperhatikan lokasi itu. Randy manggut-manggut seperti sedang menyusun rencana. Dia tersenyum seraya menjentikkan jarinya barulah mobil pergi dari tempat itu.
Apalagi rencanamu Randy! Hwehehehe…
Mobil melaju di jalanan yang tidak terlalu ramai. Hari itu hari minggu, tidak ada jadwal latihan, yang ada jadwal tanding tim GB yang mana Randy tidak masuk dalam line up yang diturunkan oleh coach Roy. Jadi dirinya bisa santai seharian.
Tiba-tiba dia ingat dengan janjinya kepada Reihan kalau malam ini dia akan mengajaknya untuk menginap di apartemen miliknya.
“Ahh enaknya beli mainan dulu kali yah buat Reihan, pasti dia suka,” monolog Randy di dalam mobil.
Semangatnya kembali muncul tak sabar ingin bertemu dengan si tengil Reihan yang beberapa hari ini mengisi hari-harinya.
Bersambung