Part #14 : Ngewe Nissa di depan Mama

Hari ini adalah tanggal merah, kebetulan pula aku sedang tidak berencana untuk bertemu Elma maupun Aurel hari ini. Ada baiknya ku luangkan hari ini untuk menikmati hari yang berkualitas di rumah.

Aku duduk di sofa berdua dengan Mama. Obrolan kami mengalir dengan begitu lancar seperti biasanya. Entah apa yang terjadi pada tidur Mama semalam, sifat canggung yang ku pikir akan terjadi di antara kami berdua ternyata tidak terjadi. Sebaliknya, Mama seakan begitu aktif bercengkerama denganku. Menatapku dengan tatapan biasa, tak lagi sayu seperti di ranjang semalam tadi.

“Mama ga ke mana-mana hari ini?”

“Nggak sih, pengen ngabisin waktu sama kalian aja. Kadang Mama terlalu sibuk sampai ga sadar kalian sudah segede ini.”

“Baguslah, kalau Mama sering di rumah Dio bakal sering di rumah juga deh,” jawabku.

“Sering di rumah karena Mama atau karena Nissa nih?” Ia memberikan senyum meledek.

“Ya dua-duanya Ma, kan Dio suka kalau rumah rame.”

“Emang kamu suka kalau Mama di rumah? Padahal dulu tiap Mama ada kamu lebih sering tinggal di kamar, kok sekarang tiba-tiba suka,” Mama mengucapkan itu sambil mendekatkan wajahnya padaku. Menatapku dengan senyumannya memamerkah barisan giginya yang rapi, membuatku jadi salah tingkah.

Mama selalu membalas ucapanku dengan kalimat-kalimat ambigu. Seakan aku sedang berbincang dengan orang seumuranku saja. Wajahnya yang begitu cantik terus-terusan menatapku dengan ceria. Untuk sesaat tatapan rayunya semalam muncul sekilas.

“Dio, ada hal yang mau Mama kasih tau,” wajah Mama berubah serius.

Aduh, seketika aku berubah jadi tegang mendengarnya. Apakah dia mau membahas tentang perbuatanku pada Nissa di kamar semalam? Aku tahu kalau Mama sendirilah yang mengizinkan. Namun di sisi lain, ku sadari pula beberapa hari ini yakni betapa penuh kontradiksi dan mudah berubahnya sifat Mama. Pada satu waktu Ia bisa begitu marah melihatku melakukan hubungan tabu dengan Nissa, lalu beberapa hari setelahnya Ia bisa dengan penuh senyum memberi restu agar kami bercinta di kamarnya. Bahkan semalam Ia sempat membuatku berpikir untuk bersenggama dengannya. Bukan tak mungkin Ia mengubah pikirannya lagi sewaktu-waktu.

“Ga usah terlalu tegang, mama bukan mau marahin kamu kok,” tambahnya lagi. Meski wajahnya masih tetap serius namun ucapan itu mampu menimbulkan rasa lega di dadaku.

“Ka-kasih tahu apa Ma?”

“Kamu ingat kan bulan lalu Mama nyuruh kamu terjemahin dokumen hukum dari kampus? Tadi Mama udah dikirimin biaya kerjanya dari kampus,” ucapnya sambil meraih dompetnya di meja lalu merogoh beberapa lembar uang seratus ribu. “Ini buat jajan kamu.”

Oh, aku ingat memang Mama pernah minta bantu agar aku menerjemahkan dokumen bahasa Inggris puluhan halaman. Aku tak tahu kalau itu dibayar. Ku raih uang dari tangan Mama, jumlahnya 2 juta rupiah. “Ba-banyak banget, ini beneran buat Dio Ma?”

“Itu udah Mama potong separuh, hitung-hitung buat Mama karena udah nyariin kamu kerjaan,” ucapnya tersenyum. “Ga usah khawatir, biar udah punya penghasilan uang bulananmu bakal tetap Mama kasih kok.”

Akhirnya hari baik ini datang. Sudah beberapa minggu terakhir kantongku benar-benar kering, untuk membeli buku pun tak sanggup. Entah ku gunakan untuk apa uang ini kelak, rasanya sayang jika semuanya langsung ku tabung begitu saja.

“Ada satu hal lagi,” kini raut serius Mama kembali.

“Apa tuh Ma?”

“Kemarin Mama dan dosen-dosen lain habis jenguk Pak Yono di rumah sakit. Dia sudah mulai sadar meski belum bisa jalan normal. Ada satu ucapan dari Pak Yono yang bikin Mama penasaran…”

Seketika duniaku terasa berputar kencang. Kilasan peristiwa di kelas hari itu muncul di kepalaku. Teriakan Aurel, leher Pak Yono di tanganku, darah di lantai… Oh sialan, entah mengapa namun rasanya aku tahu akan ke mana arah pembicaraan ini nantinya. “Pe-penasaran apa Ma?”

“Mungkin ga ada hubungannya sama kamu. Tapi Mama penasaran kemarin pas yang lain sudah ninggalin ruangan, Pak Yono tiba-tiba manggil Mama. Kata Pak Yono yang bikin dia jadi sekarat gitu tuh mahasiswa kacamata,” ucapnya sambil mengingat-ingat.

“Mama jadi keingat kalau di hari Pak Yono ditemukan terkapar dia habis ngajarin kelas kamu kan? Soalnya Mama hafal betul jadwal kuliah kamu, apalagi ruangan kelas dia ditemukan juga sama dengan tempat dia ngajarin kamu. Ja-jadi Mama berpikir jangan-jangan…” Mama memainkan kuku jempolnya dengan gugup sebelum melanjutkan ucapannya. “Jangan-jangan mahasiswa yang bikin Pak Yono masuk rumah sakit itu kamu…”

Mama menatap wajahku sebentar, entah Ia sadar atau tidak akan perubahan pada air mukaku. Tubuhku jadi begitu tegang mendengar berita ini, meski awalnya yang salah adalah Pak Yono namun bukan berarti aku bisa aman jika nanti dia buka mulut. Aku hendak menjawab ucapan Mama sebelum Ia tiba-tiba mulai tertawa.

“Hahahaha lupainlah Yo. Mama tau kamu ga mungkin berbuat kasar gitu ke orang. Lagian yang makai kacamata di kampus kan ada banyak, ada-ada aja Mama ini berpikir yang bukan-bukan,” tawanya sambil memukul pundakku.

“I-iya Ma.”

Setelahnya kami masih terus berbincang sambil menikmati acara TV pagi hari. Aku duduk dekat di samping Mama yang menyandarkan kepala di pundakku. Kekeluanku yang tadi sempat muncul mulai melunak setelah bercengkerama membahas hal-hal ringan dengan Mama. Meski begitu, sejauh ini kami sama sekali belum menyinggung secara gamblang tentang hal-hal tabu yang terjadi di rumah belakangan ini.

Ya, hanya belum, karena tak lama setelahnya Nissa pun datang menghampiri kami. Bukannya duduk di samping Mama seperti yang biasa Ia lakukan, kali ini Nissa menempatkan diri di pangkuanku. Ia menghadap ke wajahku, membuat bibirku setara dengan payudaranya. Ia melebarkan kedua kaki membuat dasternya sedikit tersingkap hingga pahanya. Kehadiran Nissa di pangkuanku membuat Mama sedikit menjauh dan melepaskan kepalanya dari pundakku.

“Kenapa Nis?” tanyaku sambil menyingkap rambut ke belakang telinganya. Wajahnya begitu manis pagi ini. Raut manja yang kekanakan muncul lagi dari mukanya.

“Ga ada Kak, Nissa kangen sama Kakak.”

“Kan Kakak ada terus Nis.”

Nissa berdiam sejenak, lalu memasang wajah cemberut. Ia lalu menaruh tangan kanannya di pipiku, merabanya dengan lambat.

“Maksud Nissa, Nissa kangen sama Kakak,” ucap Nissa, sambil memajukan kepalanya. Bibirnya meraih bibirku, menciumku erat. Lidahnya Ia mainkan ke dalam mulutku. Aroma odol masih tercium dari mulutnya. Ia meletakkan kedua tangannya di telingaku.

Aku mengintip ke arah Mama, wajahnya terlihat santai saja melihat polah Nissa. Aku pun balik memagut bibir Nissa. Dia benar-benar berani, baru saja semalam menangis karena takut dimarahi Mama, pagi ini dia sudah berani menunjukkan secara terang-terangan hubungan erotis kami ke Mama.

“Nissa buka ya,” jawab Nissa sambil menarik kaosku ke atas. Tanpa menunggu jawaban Ia langsung menariknya ke atas.

“Ma, badan Kak Dio bagus kan?” tanya Nissa sambil menengok ke Mama. Ia benar-benar blak-blakan.

“Badan Mama lebih bagus dari itu,” balas Mama dengan muka datar.

“Buka dong Ma, Nissa mau bandingin,” jawab Nissa. Mendengar itu seketika penisku langsung berdiri keras menabrak paha Nissa. Sialan bocah ini, berani sekali dia.

Kami berdua seketika menatap Mama. Kedua tangannya Ia letakkan di bagian bawah kaos tipisnya bersiap mengangkatnya. Kaosnya digerakkan pelan sekali ke atas, menampilkan sisi bawah perutnya, lalu ke pusar, barisan otot perut yang kencang dengan mudah terlihat dari perutnya yang putih itu. Penisku bergerak semakin tak karuan diduduki Nissa. Menabrak-nabrak celah pahanya yang masih dilapisi oleh kain celana dalam.

Kini pakaian Mama sudah terangkat sampai bagian bawah payudaranya. Mama tak mengenakan bra, kami benar-benar disajikan oleh payudara putih berukuran sedang yang dipenuhi urat hijau itu. Dari bagian bawahnya saja terlihat jika payudara itu begitu kencang bahkan bisa dibilang sedikit mendongak ke atas.

“Hhhhh,” tanpa sadar Aku mendesah sambil menonton Mama bergerak lambat.

Sedikit lagi Aku bisa melihat puting Mama, sayang tiba-tiba tangannya berhenti lalu menurunkan kembali kaosnya.

“Badan Mama lebih bagus kan?” Ia kini menatap kami sambil tersenyum.

“I-Iya Ma,” ucap kami bersamaan sambil terbata. Sedikit kecewa karena gagal melihat payudara Mama terekspos sepenuhnya.

Mama kini mendekatkan tubuhnya. Ia duduk persis di samping kami. Sambil menempatkan lengannya di sandaran sofa, Ia menopang dagu dengan raut serius, seakan ingin menyaksikan perbuatan kami.

Saking nafsunya Aku langsung menarik kepala Nissa, ku lumat bibirnya di depan Mama. Ku jambak pelan rambut belakangnya, Nissa juga semakin bernafsu. Nafasnya terasa begitu hangat di mulutku. Tangannya meraba-raba dadaku.

Gantian Aku yang mengangkat daster Nissa. Menyingkap sisi celana dalam, perut, payudara Nissa yang tidak tertutupi bra. Oh payudara besar itu menggantung tepat di bibirku. Payudara yang meski berukuran luar biasa namun tetap mampu menggantung kencang dengan puting keras. Tanpa menunggu lama langsung ku lumat bagian atas payudaranya yang luas.

“Kontol Kak Dio udah keras Mah,” ucap Nissa. Di saat yang bersamaan ku arahkan lidahku ke puting payudaranya, membuat Ia menggigit bibir, “Ahhhhh Kak. Pasti nafsu karena Nissa buat gantung semalam ya?”

Ku lumat kedua puting payudaranya bergantian. Kiri ke kanan, kiri ke kanan, kiri ke kanan, tiap sekali jilat Aku beralih. Puting Nissa yang cukup besar dengan nikmatnya ku pagut dengan lidahku, membuat Nissa berteriak tak karuan. Tubuhnya semakin mengencang.

 

Nissa

Sambil terus menjilat payudara Nissa, aku melirik ke arah Mama. Ku lihat kini kedua kakinya terlipat, nampak duduknya mulai tak nyaman. Apakah Mama ikut terangsang melihat kami hampir bersenggama?

Wajahku dan Mama kini saling bertatapan. Ku lihat Mama menggigit bibirnya menatapku. Wajah kami begitu dekat, rasanya nafas beratku mampu mencapai leher Mama dari jarak ini. Raut wajah Mama juga berubah, yang awalnya tersenyum kini menguarkan aroma bergairah yang kencang. Ku tatap matanya, nampak jelas aura binal terpancar dari sana. Bagaikan menatap cermin, Aku bisa melihat keinginan Mama untuk menghujam bibirku dari sorot matanya.

Tanganku menarik celana dalam Nissa. Membuatnya telanjang bulat di pangkuanku. Vaginanya telah begitu basah bahkan sampai meninggalkan jejak di celana pendekku. Ku lihat wajah Nissa, terlihat matanya telah begitu sayu.

Sepertinya tidak hanya aku saja, nafsu Nissa juga makin menjadi-jadi dengan kehadiran Mama di sini,” batinku.

Ku dudukkan Ia menyamping, menghadap pada tubuh Mama. Di atas pangkuanku, ku renggangkan kaki Nissa. Menunjukkan vaginanya yang sempit dan basah kepada Mama. Vagina Nissa begitu tembem dihiasi oleh jembut tipis di atasnya.

Ku mainkan klitorisnya di depan Mama. Wajah Nissa benar-benar tak kuasa menahan kenikmatan. Matanya yang sayu menatap Mama, bibirnya terbuka tanpa menghasilkan desahan, hidungnya kembang kempis, keringat tak henti menetes dari tubuhnya. Ia yang biasanya bercinta dengan ganas dan dipenuhi kata kotor kini berubah menjadi anak penurut yang pasif. Ia mengikuti tiap perbuatanku dengan patuh.

Mama juga sudah mulai berkeringat melihat vagina Nissa dimainkan. Sesekali Ia menekan payudaranya sendiri dari luar. Sesekali Ia memelintirnya sambil berusaha keras menahan desahannya. Otot-otot tangannya yang kencang terlihat semakin mencolok akibat keringat yang menjalari tubuhnya.

Ku jilat jemariku sendiri. Lalu kumasukkan jari tengahku ke vagina Nissa, membuat Ia geleng-geleng tak karuan. Setelah beberapa kali tarikan keluar masuk, Aku menambahkan jari telunjukku ke dalam vaginanya. Nissa semakin bernafsu, samar-samar Ia menggoyangkan pinggulnya.

Aroma vaginanya semakin menguat. Aku yakin Mama juga menciumnya saat ini. Ku percepat gerakan jariku di vagina Nissa, membuat kakinya mengejan kencang sampai tak sadar kaki kanannya menendang bahu Mama. Tendangan tersebut cukup telak hingga mendorong mundur tubuh Mama. Mama sendiri tak bereaksi sama sekali, Ia masih terus menyaksikan kami.

“A-Ahhhh Nissa ga tahan Kak.”

Aku semakin mempercepat gerakan. Kali ini ku gunakan tangan kiriku untuk memainkan klitoris Nissa membuatnya makin tak karuan.

“Hhhhh.”

“Enak Nis?”

“Enakhhhh Kak hhh.”

Penisku berdiri tegak melihat Mama semakin sering menekan payudaranya sendiri. Kaki Mama bergerak makin tak karuan, celana pendeknya sudah tersingkap sampai pangkal paha. Namun Mama masih menahan diri untuk tak menyentuh vaginanya di depan kami. Ku lihat wajahnya sudah merah bagaikan kepiting. Udara pagi hari tak mampu menyembunyikan hawa panas yang timbul dari ruangan penuh nista ini.

“Kakhhh! Nissa mau cuuuum.”

Ku lihat mata Nissa yang sedang menatap Mama dengan wajah sayu. Mata itu benar-benar menunjukkan betapa lupa dirinya dia saking menahan nikmat. Menjelang orgasmenya ini Ia lalu meremas kedua payudaranya.

Oh tubuh Nissa juga tak kalah menarik perhatian. Sekuat apa pun aku berusaha menahan diri untuk tak langsung mencumbunya, tetap saja rangsangan pada penisku membuatku sangat bernafsu padanya. Payudaranya yang bergetar naik turun mengikuti kecepatan jariku menyodok vaginanya benar-benar pemandangan yang tak tergantikan. Aku yakin bahkan Mama sekalipun turut terangsang melihat payudara anak kandungnya ini.

“Kak Dioooo.”

“Iya Nis?” tanganku semakin ku percepat. Kini jari manisku juga telah masuk ke vaginanya. Menyentuh g-spot lalu mencapai dinding vaginanya.

“Ahhhhh Kak… Nissa cum.”

“Keluarin Nis, keluarin.”

Tanganku semakin cepat bergerak. Cairan hangat di vaginanya perlahan melumuri tanganku. Ku rasakan pahanya mulai berdenyut. Telapak kakinya mengejan di atas pundak Mama.

“AAAAAAHHH I-IYA KAKHHHH CUMMMMM,” teriak Nissa nyaring. Vaginanya berdenyut menekan jemariku sebelum akhirnya rombongan cairan keluar secara beruntun. Kali ini Ia benar-benar menumpahkan laharnya layaknya sedang pipis, seperti yang dilakukan Elma di warnet kala itu. Laharnya menyemprot begitu jauh, telak menghantam baju, leher, wajah, dan rambut Mama, sebagian juga terpantul oleh tanganku sehingga menimpa perutku dan Nissa.

“Ahhhhhh,” desah Nissa panjang. Tubuhnya masih bergetar hebat.

Ku lihat tetes air mata menetes dari wajahnya. Air mata kepuasan. Kakinya mengejan kencang, sebelum akhirnya Ia menjatuhkan diri ke bawah sofa saking tak sanggupnya menopang diri. Beruntung Aku mampu menahan bobotnya sehingga hanya kakinya saja yang terjatuh bebas ke lantai.

Pelan-pelan ku baringkan dia di sofa. Kakinya bersandar di kedua paha Mama. Dadanya naik turun dengan cepat, nafasnya tak karuan. Tangannya merapal lemas.

“Ni-Nissa ga pernah ngerasa kayak gini. Enak banget…” jawabnya sambil menyembunyikan wajahnya ke perutku.

Aku membalas dengan mengelus rambutnya, membiarkan Dia menikmati orgasmenya yang luar biasa.

Ku lihat ke arah Mama. Semprotan vagina Nissa ke kaos telah membuat bagian payudaranya sedikit transparan. Nampak samar putingnya menonjol keras membentuk hingga ke lapisan kaos. Pahanya Ia rekatkan dengan begitu kencang. Nafasnya juga tak karuan. Tanpa berkata apa-apa lagi Ia lalu berjalan cepat meninggalkan kami. Entah untuk apa, Ia berjalan begitu terburu-buru.

“Kak, Nissa ga bisa lagi ngentot hari ini,” ucap Nissa dengan begitu lemas.

Dengan penuh pengertian tentu saja Aku memahami keadaannya. Aku mencium rambutnya lalu berjalan meninggalkan sofa. Sedikit perasaan bangga juga tumbuh pada diriku karena mampu membuat Nissa yang biasanya lebih buas jadi tepar seperti ini. Meski sedikit perasaan dalam hatiku juga merasa bahwa kehadiran Mama-lah yang sebenarnya membuat orgasme Nissa jadi lebih liar dari biasanya. Di sisi lain, penisku benar-benar membutuhkan penyaluran nafsu saat ini. Saking nikmatnya memandangi Mama dan Nissa aku sampai lupa untuk benar-benar menikmati vagina Nissa dengan penisku. Aku pun berjalan meninggalkan sofa.

Pintu kamar Mama dibiarkan terbuka. Aku mencoba masuk namun tak menemukannya di sana. Jika dugaanku tak salah maka Mama pasti di sini… benar saja, pintu kamar mandi terkunci rapat.

Kamar mandi nampak begitu hening. Ku tempelkan telingaku di pintu namun hanya samar-samar suara yang sesekali terdengar. Kurang jelas suaranya, entah keluar dari bibir Mama atau suara air. Di saat yang bersamaan penisku masih terus keras, pikiranku yang masih dipenuhi nafsu terus berpikir bahwa Mama sedang bermasturbasi. “Mama pasti terangsang melihat perbuatan kami tadi…” Kali ini aku berusaha agar bisa mendengar suara dari dalam kamar mandi dengan lebih konsentrasi.

“Ahh… ahhh…”

Gila saja, dugaanku benar terjadi. Desahan Mama terdengar lebih kencang, lebih jelas. Desahan yang tertahan, yang hanya muncul sesekali. Suara air dari alat semprotan cebok juga sesekali terdengar.

“Ahh… ahhh… ahhh…” Lama kelamaan frekuensi desahan Mama muncul lebih cepat. Yang awalnya tertahan juga mulai terdengar lebih jelas. Suara teduh Mama yang agak berat masih tetap jelas terdengar dari desahan nafsunya. Desahan Mama semakin cepat tiap detiknya, seakan-akan di dalam sana Ia bukanlah sedang bermasturbasi melainkan sedang bersenggama sungguhan.

“Ahh Dio anakku, kenapa kamu… ahhh kenapa cuma Nissa… Mama juga mau kontol gedemu ahhhhh.”

Ah sialan, Mama meneriakkan namaku. Tubuhku ada di dalam fantasi Mama. Kali ini aku benar-benar tak bisa menahan diri, rasa penasaranku sudah tak terbendung lagi. Saking tak tahannya, penisku yang sudah keras sampai tak sengaja menyentuh pintu. Entah Mama mendengar atau tidak, desahannya masih terus berlangsung. Ku coba intip melalui lubang kunci, namun hampir tak ada visual yang bisa terlihat jelas. Ku tengok ke atas dan… bodohnya Aku bisanya aku lupa bahwa ada ventilasi kecil yang menggantung di atas pintu.

Dengan tubuh yang sedikit gemetar Aku langsung mengambil kursi dari dapur. Sepelan mungkin ku turunkan kaki kursi agar tak berbunyi. Kini mataku telah sejajar dengan ventilasi yang masih terhalang oleh mika tebal. Ada lubang kecil di sisi bawah mika tersebut, di situlah aku mengintip.

Mama sedang duduk di atas toilet duduk dengan kepala menengadah. Kakinya yang putih mulus mengangkang lurus ke bawah, kedua telapak kakinya mengejan lurus. Meski tidak terlalu dekat namun jelas sekali terlihat otot betisnya yang menonjol dari kedua kaki kecilnya. Tatapanku naik ke atas, nampaklah pahanya yang juga mungil nyaris tak menampakkan lemak yang lazim dimiliki oleh wanita seusianya. Kebiasaannya merawat diri selama ini membuat tubuh Mama begitu kencang. Indahnya tubuh Mamaku.

Perut Mama yang kecil dan berotot nyaris tak memiliki lipatan dalam posisi duduk seperti itu. Kali ini Aku benar-benar dapat melihat payudara Mama yang berukuran agak kecil. Payudara itu berdiri tegak dengan kedua puting yang agak hitam. Kilasan air yang membasahi tubuh membuat pemandangan itu semakin erotis.

 

Mama

Tangan Mama yang kencang bergerak naik turun. Jemari kanannya keluar masuk dari pangkal paha Mama. Aku tak bisa melihat jelas vaginanya dari posisi agak menyamping seperti ini, namun tetap saja pemandangan ini membuatku hampir menggila. Kakiku yang sedikit terjengkang kala melihat tubuh Mama hampir saja membuat kursiku terjatuh.

“Ahhhh iya Dio… Diooo… Diooooo…” suara Mama semakin kencang. Kepalanya menengadah membuat rambut pendeknya menjuntai menyentuh dinding.

Ku perhatikan terus gerakan tangan Mama yang semakin mengencang seiring dengan namaku disebut. Penisku meronta meminta disentuh. Secara otomatis ku turunkan celanaku, mulai menyentuh penisku. Rasanya hangat, batang penisku yang memenuhi telapak tanganku mulai ku elus pelan-pelan. Makin lama rasanya semakin nikmat sampai entah bagaimana caranya kali ini aku telah sepenuhnya mengocok penisku. Mulai dari perlahan, makin cepat, lebih cepat lagi, sampai akhirnya menyesuaikan dengan kecepatan masturbasi Mama. Rasa ngilu yang dahulu ku rasakan kala mencoba masturbasi kini sepenuhnya berubah jadi kenikmatan yang memabukkan.

“Ahhh Dio,” teriak Mama menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ma…ma,” tanpa sadar Aku turut terpancing.

“Cepatkan Yo, makin cepat Yo, Mama ga tahan ahhhhh.”

“Ahhhh, iya Ma ahhhh…” ucapku sambil merem melek. Kali ini Aku kurang memerhatikan nada suaraku yang agak meninggi. Mama yang sebelumnya menengadah lurus memandang dinding di hadapannya seketika menoleh menatap ke arah ventilasi. Matanya memandang lurus ke wajahku. Oh sial, gadak… gadak… suara kursi yang sedikit bergoyang kala kakiku terhenyak. Namun Aku tetap sanggup menyeimbangkan diri tak terjatuh. Mataku masih terpaku menatap ke arah Mama. Ku lihat ke wajah cantiknya yang menoleh ke sini, Ia hanya tersenyum kecil sambil tetap memainkan vaginanya.

“Oh Diooo entot Mamamu,” teriaknya lebih kencang. Matanya tak terlepas dari wajahku, tangannya juga bergerak lebih kencang.

Ku percepat kocokkan penisku yang sebelumnya sempat terlepas. Perasaan ingin orgasme timbul lagi dari penisku. Suhu penisku menghangat seakan siap menyemburkan sperma yang banyak.

“Oh Dio-Dio-Dio sini masuk Dioooo…”

Kali ini teriakan Mama seakan tak diarahkan pada aku di fantasinya melainkan pada diriku saat ini. Suaranya juga semakin kencang seakan benar-benar ingin aku mendengarnya. Kali ini Mama menggerakkan tubuhnya ke samping, vaginanya yang sebelumnya menghadap dinding kini diarahkan menghadap ke arahku. Kangkangannya melebar, menunjukkan vaginanya yang dipenuhi bulu hitam lebat. Ah seksi sekali, baik Elma, Nissa, dan Aurel tak ada yang memiliki bulu selebat itu.

“Ahhh Dio, kamu makin nakal…”

Tangan Mama semakin kencang keluar masuk dari vagina. Tangan kirinya Ia gunakan untuk memainkan putingnya. Memelintir persis seperti di sofa tadi hanya saja yang ini benar-benar dilakukan langsung ke puting, bukan dari luar pakaian saja. Oh kulitnya yang putih mulus membuat sedikit rambut ketiaknya yang basah nampak kontras. Semua itu, semua pemandangan itu membuatku tak tahan. Kini tanganku berpegangan ke dinding agar tak jatuh. Nissa pasti akan merasa aneh jika mendapatiku saat ini. Namun aku tak peduli, tubuh Mama adalah segalanya yang berarti saat ini.

“Cepat sini… sebelum Mama cum Yo, ahhh… pintunya gak dikunci…” teriaknya, mulutnya tetap membuka setelah teriakan itu. Sesekali Ia terus memanggil namaku.

Aku mulai merasa dilema. Apakah Mama saat ini sedang berfantasi atau memang mengharapkanku? Ia sudah memintaku untuk tak menyentuhnya, namun… namun, apakah tak salah jika Aku masuk saat ini? Ingin sekali rasanya aku membuka pintu kamar mandi. Meski begitu, aku masih tetap terpaku sambil mengocok penisku. Mengintipi Mama masturbasi dari lubang kecil di ventilasi. Rasanya spermaku sudah di ujung tanduk.

“Ahhh Yo…. Ka….mu….”

Ku lihat tubuh Mama terangkat naik, setengah berdiri Ia sambil menarik jemarinya keluar dari vagina. Berpegangan erat ke dinding toilet, lalu mendesah kencang. Tangan Mama bergoyang tak karuan hingga mendorong jatuh kaosnya yang awalnya terbaring di atas tempat flush toilet. Mama sungguh buru-buru ingin masturbasi sampai tak sempat menggantung pakaiannya terlebih dahulu, pikirku.

“Ahhhhh” desahan terkencang yang mirip teriakan itu pun keluar. Bersamaan dengan semprotan cairan keluar dari vagina Mama, menghantam telak ke arah lantai. Kepala Mama bergeleng-geleng selama proses orgasme berlangsung.

Pemandangan orgasme Mama itu membuat spermaku tak terbendung. Dengan seluruh tenaga yang ada spermaku muncrat keluar. Empat semprotan kencang telak menghantam pintu. Ah enaknya… Ini adalah masturbasi berhasil pertamaku. Sambil memandangi Mamaku yang juga sedang bermasturbasi. Kakiku sedikit lemas namun Aku masih sanggup menopang diri. Air mani yang tebal di pintu perlahan mulai menetes.

Ku intip ke dalam, Mama juga masih terduduk di atas lantai. Tak ada waktu lagi, Aku harus segera membersihkan sisa lelehan spermaku selagi Mama membersihkan diri. Dengan masih telanjang Aku segera mengembalikan kursi ke dapur, mencoba menghilangkan barang bukti. Namun baru saja kembali ke depan kamar mandi dengan membawa beberapa lembar tisu ternyata Mama yang berbalut handuk telah berdiri di depan pintu.

“Ma-Mama?” ucapku terkejut. Tubuhku sendiri masih telanjang bulat belum sempat memakai celana yang rencananya akan ku kenakan begitu selesai membersihkan diri.

Ia tersenyum melihat kedatanganku.

“Kamu baru selesai dengan Nissa ya? Sana mandi dulu, nanti bau keringat loh,” ucapnya sambil berjalan melintasiku. Ia melirik ke arah lelehan spermaku di pintu dulu sebelum melangkah menjauh.

Di-Dia pu-pura-pura tidak tahu lagi?! Dengan mata terbelalak aku menatap tubuh Mama yang menghilang masuk ke kamarnya. Aku 100 persen yakin jika Ia pasti tahu aku menontonnya masturbasi tadi, aku bahkan yakin bahwa Ia bisa melihat spermaku yang berhamburan di sampingnya tadi. Kini wajahnya dengan begitu lugunya berpura-pura bahwa aku baru saja muncul dari menyenggamai Nissa. Oh sial, permainan apa lagi ini? Benar-benar sulit menerka isi kepala Mama.

Selesai makan malam gilirankulah untuk mencuci piring. Kami memang selalu bergantian mengerjakan pekerjaan rumah seperti ini agar tak ada yang merasa terlalu kecapekkan.

“Gitu dong rajin,” tegur Mama dari belakang.

“Ha-ha iya Ma,” Aku masih merasa aneh melihatnya saat ini. Tiap kali menatap Mama, kepalaku secara otomatis langsung terpikir untuk mencicipi tubuhnya yang selalu terlihat sopan di mata orang-orang ini. Kesan seksi yang tak pernah terlintas di kepalaku selama ini kini begitu melekat tiap kali melihat tubuh Mama.

Ia berjalan mendekat lalu berdiri di sampingku. Dengan tanktop putih dan celana pendeknya Ia bersandar dekat wastafel. Ia tersenyum kecil lalu berkata, “Besok Sasha udah balik.”

“Iya Ma, dia chat Dio juga tadi.”

Kali ini Mama menggerakkan tubuhnya jadi berdiri menghadap ke arahku. Ia menatapku kali ini dengan sedikit mendongak. Aku masih melanjutkan mencuci piring kaca yang sedang di tanganku saat ini.

“Mama cuma mau kasih tahu… Apa yang terjadi di keluarga kita saat ini, tolong simpan saja sebagai rahasia keluarga. Mulai besok kita jaga sikap.”

Kali ini Aku benar-benar terpaku pada ucapannya. Tanganku masih tetap menggosok piring namun hatiku jelas merasa kecewa. Aku tahu apa arti ucapan Mama. Aku ta…

“Terima kasih ya sudah mengerti,” ucap Mama, lalu meraih wajahku dengan tangannya. Bibirnya dimajukan bersentuhan dengan bibirku. Memagutnya dengan penuh perasaan, lalu menyentuhkan lidahnya masuk ke dalam mulutku. Aku balas memagutnya, nafasnya begitu hangat. Kami berciuman cukup lama hingga Mama menarik wajahnya mundur. Ia tersenyum sekali lagi, menatapku sambil menggigit bibir bawah lalu berjalan meninggalkan dapur. Piring kaca yang masih terpaku di tanganku membuatku tak sempat menarik Mama untuk sekali lagi mengulangi ciuman kami.

Kini aku tahu. Semua perempuan ini sedang memainkan permainan mereka sendiri. Aku hanyalah lelaki yang entah sial atau beruntung, hingga bisa diajak bergabung. Elma dengan sikap diamnya yang ternyata menyembunyikan keliaran, Nissa si frontal yang selalu membuatku menunggu, Aurel yang kadang bertingkah seakan mencintaiku namun seketika bisa begitu dingin, dan Mama yang secara pasif menginginkan tubuhku. Kak Sasha? Entahlah, di antara seluruh perempuan ini hanya Ialah yang nampaknya bukan bagian dari permainan ini. Ia menolakku sejak awal dan sepertinya tidak akan mengubah isi hatinya.

Bersambung

Bu Lisa, Guru Praktek Ku Yang Sempurna
Gara gara cukur jembut jadi ngewe dengan teman sendiri
mertua hot
Gairah sexs membara mertuaku tersayang
kakak sexy
Paling Nafsu Kalo Liat Kakak Ku Pakai Baju Yang Ketat-ketat
Mama sexy
Tiap Memandang Mama Aku Menjadi Sangat Bergairah
Pose Bugil Abg Jilbab Cantik Tidak Perawan
Rahasia Yang Akan Terus Ku Simpan
stw hot
Liburan ke Eropa bersama ibu ibu sosialita bagian dua
Mai Shirakawa uncensored
gadis suka ngentot sejak kecil
Kakak Kandungku Sendiri Yang Telah Mengajari Sex
Petualangan Sexs Liar Ku Season 2
gadis cantik
Pengalaman masa muda yang tak akan pernah terlupakan bagian 1
Foto Bugil ABG jepang Mikuro komori di gangbang temannya
ngentot tante
Aku Menjadi Kekasih Gelap Tetangga Ku Bagian Dua
cantik
Cerita sex suami yang tak mampu memuaskan nafsu ku
anak magang
Main Dengan Anak Magang Berjilbab