Part #13 : Kali ini Aku merasa dilema
Sudah masuk hari Senin lagi. Seminggu kemarin yang rasanya sangat panjang telah sepenuhnya berlalu. Entah petualanganku akan berlanjut semakin liar dalam seminggu ini atau justru malah terasa kosong layaknya kehidupanku sebelumnya, kala aku belum mengenal seks dan segala tetek bengeknya.
Aku sedang di kantin siang ini bersama Elma dan Harun. Aurel tak juga kelihatan padahal tadi hadir selama perkuliahan.
“Aurel kok ga ke sini?” tanya Harun, juga menyadari kealpaan Aurel.
“Tadi Aku chat ga dibalas, mungkin ada urusan lain,” jawab Elma.
“Oh tumben… ngomong-ngomong gimana tugas kalian kemarin, lancar?” tanya Harun lagi.
Pertanyaan itu membuatku dan Elma seketika bertukar tatapan. Ia mengedipkan sebelah matanya padaku sebelum menjawab, “Lancar, langsung selesai tugasnya kemarin.” Sialan, melihatnya mengedipkan mata saja sudah membuat penisku setengah keras. Masih terbayang bagaimana wajahnya kemarin memohon agar bisa ku puaskan. Masih jelas sekali tangisannya kemarin kala bercerita bahwa suaminya tak cukup mampu untuk memuaskan kebutuhan batinnya.
“Enak banget, kelompokku malah baru ngumpulin ide,” jawab Harun dengan wajah kecewa. “Seandainya kamu tahu aku dan Elma kemarin ngapain Run,” batinku.
Tiba-tiba ponselku bergetar, nampak nama Aurel muncul dari notifikasi.
“temui aku di lorong lt 3 sekarang, kita harus bicara”
Baru saja mau mengabaikan pesan itu Aurel langsung mengirim pesan lagi.
“km hrs berhenti diemin aku”
Huft, ada apa lagi dengan Aurel?
“kesini sekarang, aku tau km ngapain sama elma kemarin”
Aku langsung mengantungi kantungku sebelum Harun yang duduk di samping bisa mengintip isi pesan dari Aurel. “Aku pergi dulu ya, Mamaku manggil ke ruangannya.” Beruntungnya jadi anak dosen di kampus yang sama, aku bisa menjadikan Mama sebagai alibi dalam keadaan-keadaan seperti ini.
Aku segera mendatangi lorong yang dimaksud. Meski masih siang, lorong tersebut telah begitu gelap. Kelas tempat aku mendorong Pak Yono yang sedang memperkosa Aurel dan membuatnya mendekam di rumah sakit berada tepat di ujung lorong ini. Dan entah kebetulan atau tidak, Aurel sedang menungguku tepat di depan kelas itu saat ini. Ia sedang mengenakan rok hitam dan kemeja putih, rambut pendek dan poninya dibiarkan tergerai. Ia berdiri sambil melipat tangannya, melihatku dengan wajah cemberut dengan pipi menggembung. Entah Aku harus merasa takut atau gemas saat melihatnya.
“Kenapa Rel?” tanyaku.
“Aku tahu kamu ngapain aja sama Elma kemarin.”
“Ma-maksudnya, kita kan emang ngambil film di warnet..”
“Ga usah pura-pura bego deh, aku tahu kalian bohong. Kata Elma jilbabnya basah kemarin sore karena wudhu… alasan apa itu? Sampai waktu magrib habis aja dia ga ada ninggalin kursi buat solat. Jadinya dia solat ashar doang apa gimana? Kamu pikir aku ga lihat juga apa noda basah di celanamu? Gerak-gerik kalian juga, aku tau Yo… karena aku salah tingkah kayak gitu juga pas kamu pertama nyentuh tubuh aku…” wajahnya kini mengkerut kesal sambil menatapku.
Aku tak bisa beralasan lagi, dia memang tahu. Segala niatanku untuk berkelit seketika lenyap. Aku hanya menunduk menyadari perbuatanku. Sepertinya memang aku telah mengkhianati Aurel— ah tidak, jangan merasa seperti itu, Aurel juga telah bersalah karena telah berbohong padaku. Aku pun mengangkat wajahku dan balik menatapnya. “Terus apa pentingnya buat kamu untuk tahu Rel? Kamu pikir cuma kamu aja yang dikhianati? Kamu lupa ya Rel malam di bukit saat kamu bohongin aku tentang segala hal, saat kamu ga nganggap aku di depan teman-temanmu yang kaya raya?”
“Kamu merasa sakit karena itu?” tanyanya.
Kini mataku memicing merasa kesal. Rasa sakit yang ku rasakan malam itu tumbuh kembali. Sambil menggelengkan kepala sedikit aku berkata, “A-Aku pikir hubungan kita ada artinya bagi kamu Rel.”
“Kamu ga ngasihin aku waktu buat jelasin Yo. Setelah itu kamu langsung menjauh dari aku. Aku berusaha untuk ketemu kamu supaya bisa jelasin kalau aku ga bohong sama kamu. Aku memang sudah putus, aku cuma bingung harus jelasin gimana sama teman-teman lamaku. Aku takut jelasin ke mereka yang sebenarnya karena… karena mereka bakal ngomong yang nggak-nggak tentang aku…”
“Emang kenapa? Kamu takut mereka tahu kalau kamu dekat sama cowok yang ga ganteng dan kaya kayak aku? Kamu… kamu bikin aku sadar kalau aku memang gak pantas untuk kamu.”
“Bukan itu Yo! Ada hal yang gak bisa aku jelasin saat ini,” kini Aurel melangkah lebih dekat padaku. “Tapi kamu harus tau Yo kalau perasaanku juga sudah tumbuh untuk kamu. Aku selalu nyaman ngabisin waktu sama kamu. Kalau perlu akan aku umumin ke seluruh dunia tentang diri kamu, tapi… tapi aku cuma belum siap untuk jelasin ke mereka…” raut wajahnya mulai melembut, nampak matanya berkaca-kaca.
Perasaanku jadi tak tega melihat perempuan yang selalu ada di dekatku ini menangis. Aku memang masih merasa kecewa dengan penjelasan Aurel, namun di sisi lain perkataannya juga membuatku sadar atas keegoisanku yang sengaja menjauhinya sejak perjalanan di bukit.
Ku coba raih tangannya, namun Aurel langsung menariknya menjauh. Kali ini raut kesalnya kembali, dengan mata yang tegas Ia menatapku. “Aku udah coba chat buat perbaikin segalanya tapi kamu malah seenaknya nyari perempuan lain, dan ternyata… dan ternyata, perempuannya adalah sahabat Aku sendiri,” jawab Aurel sambil mendorongku kencang.
“Dasar laki-laki ga tau diuntung,” Ia terus mendorongku mundur. Tubuhku semakin dekat dengan pintu kelas di belakangku, “Taunya cuma cari perempuan untuk senang-senang, Kamu udah ngapain sama Elma?” Ia mendorongku lebih keras kali ini…
Brukkkkkk
Ternyata pintu kelas itu tidak tertutup rapat. Dengan dorongan kencang tubuhku langsung terantuk pintu lalu jatuh ke dalam kelas. Punggungku yang terhalang ransel dengan telak menimpa lantai di bawah. Tak ada rasa sakit, namun tubuhku masih terbaring cukup lama karena terkejut.
Ku tengok ke samping, nampak kelas masih begitu gelap dan kosong. Ini kelas yang sama tempat Aurel hampir diperkosa, cukup janggal rasanya kami memasuki kelas ini lagi. Di-di meja dosen itu tubuh Aurel dibaringkan oleh Pak Yono sebelum… Bdammmm! Debum suara pintu menutup terdengar. Ku lihat Aurel berdiri di sampingku saat ini, ujung roknya menimpa wajahku. Ia masih melanjutkan amarahnya.
“Kamu kira ga sakit apa lihat kamu dan Elma jadi dekat?”
Kali ini Aku benar-benar kesal. Tanpa berpikir ulang aku langsung bangkit, dan berdiri tepat di depannya.
“Kenapa? Sakit tadi ja…” belum Ia menyelesaikan omongannya langsung ku dorong tubuhnya ke arah tembok. Ku sandarkan Ia di sana, membuat mata kami bertatapan. Tatapan yang tajam dan penuh amarah saling bertemu. Nafas berat tanda emosi bergejolak kini tak lagi hanya timbul dalam diri Aurel tetapi juga dariku.
Wajah kami begitu dekat. Mata yang saling menatap, awalnya memancarkan amarah lalu perlahan terpaku satu sama lain. Ku rasakan tubuh Aurel bergetar, tatapannya melunak. Bibir kami terbuka. Nafasnya yang hangat menimpa wajahku.
Tanpa berkata apa-apa, tanpa berucap apa-apa, kini kami sudah saling berciuman. Ciuman yang liar dengan emosi menjalari tubuh. Nafas yang tersengal-sengal, air liur yang bercururan tak karuan, tubuh yang begitu hangat kini menempel erat. Tanganku meremasi pantatnya kencang penuh amarah.
“Hhhh Yo,” jawabnya sambil balik mendorongku ke tembok. Ia mulai menjilati leherku dengan penuh nafsu.
Aurel langsung membuka ikat pinggangku, menarik retsletingku turun, lalu membiarkan celanaku terjatuh ke bawah. Ia mengeluarkan penisku yang entah mengapa mendadak jadi tegang selama beberapa detik yang aneh ini. Mengocoknya dengan penuh tenaga seakan tak hanya ingin memuaskan tetapi juga menghukumku.
“Akhirnya aku bisa lihat penismu, memang besar,” ucap Aurel lalu mencium bibirku dengan buas. “Tapi ga berarti kamu bisa seenaknya bagiin ke semua orang,” tambahnya lalu menampar penisku dengan penuh tenaga.
Kali ini gantian aku yang membuka beberapa kancing kemejanya, entah berapa kancing, saking bernafsunya aku tak lagi memerhatikan. Ku sibak branya lalu memainkan putingnya dengan kedua tanganku. Sementara Ia membasahi tangannya dengan ludah lalu terus mengocokkan penisku.
Tanpa menunda waktu ku dorong tubuh Aurel ke arah bangku kuliah yang bentuknya menyambung dengan meja tulis itu. Ku dudukkan dia ke atas meja tulis sambil terus memagut bibirnya. Ku lepaskan ciumanku, lalu ku pandangi dia. Sisi bibirnya basah penuh sisa air liur, kemejanya telah kusut dan terbuka memamerkan payudara putihnya. Sayang aku tak punya waktu untuk memainkan payudaranya siang ini. Meski kelas ini berada di ujung dan sedang ditutup sementara sejak tubuh Pak Yono ditemukan bersimbah darah namun tetap saja kami perlu khawatir jika sewaktu-waktu ada orang lain yang datang.
Dengan tergesa-gesa ku masukkan tanganku ke dalam rok selutut Aurel. Aku meraih celana dalamnya lalu ku peloroti sampai melewati sepatu hitam mahalnya. Jariku menyentuh vaginanya yang juga sudah basah, ku mainkan klitorisnya yang mungil dan lembut.
“Ahhh Yo,” ucapnya sambil berpegangan pada sandaran kursi.
Ku angkat roknya hingga ke pinggang, membuat vaginanya dengan jelas terekspos. Warnanya begitu merah muda, tembem, dan memiliki garis sempit yang sedikit terbuka karena sedang basah. Ini pertama kalinya juga aku melihat vagina Aurel yang tidak ditumbuhi bulu sama sekali. Pangkal pahanya benar-benar putih membuat warna merah di area sekitar vaginanya terlihat jelas. Aku tak sempat menikmati tubuh telanjangnya di malam mati lampu itu, tubuhnya memang begitu luar biasa. Memandangi vagina itu membuatku terangsang.
Penisku telah menghujam ujung vaginanya, menyentuh cairan yang berhamburan di lubang kenikmatan itu. Merasa kepala penisku sudah cukup basah aku pun langsung menghujamkan penisku.
“Aurel…”
“Ahhh Yo…”
Kami mendesah bersamaan saat penisku berhasil masuk ke dalam vaginanya. Rasanya begitu lembut pada sentuhan pertama. Ku keluar masukkan pelan pada tiga dorongan awal, begitu yakin vaginanya telah mampu menampung penisku, gerakanku berubah menjadi ganas. Ku pompa gerakan penisku dengan sangat cepat.
“A-ahhhh ahhhh ahhhh ahhhhh,” desahan Aurel kencang dengan mulut yang disumbat oleh tanganku. Cepatnya irama penisku membuatnya berteriak tak karuan sampai-sampai aku terpaksa harus menyumbat mulutnya.
“Enakhh banget vaginamu Rel…”
“Ahhh anjing Yo,” ucapnya sambil merem melek, wajahnya menengadah ke atas. Ku gunakan tanganku yang satu untuk menahan bobot tubuhnya agar tak jatuh ke belakang.
“Hhhh Rel,” ku isap leher Aurel dengan lidahku.
“Ahhh jangan cupang leher Yo, ketauan orang.”
Aku pun patuh lalu menurunkan isapanku ke atas payudaranya. Posisi ini membuatku agak pegal namun aroma tubuhnya benar-benar membuatku bernafsu hingga tetap mempertahankan cupanganku.
“Ahhh Yo, enak banget penis ahhh.”
Ku lepas bibirku dari lehernya dan melihat noda merah yang tercetak dekat urat-urat hijau payudaranya. Pemandangan yang begitu seksi. Kulitnya yang putih membuat bekas merah itu menyala terang. Tanpa terasa penisku sudah hampir meledakkan sperma. Permainan cepat dan ketakutan bila ketahuan benar-benar membuat persenggamaan ini terasa begitu nikmat. Penisku tak bisa bertahan lama lagi.
“Rel aku keluarin di mana?” tanyaku sambil tetap menyenggamai tubuhnya.
“Jangan keluar dulu Yo, aku udah mau selesai,” balasnya dengan wajah meringis, ku rasakan vaginanya berdenyut pada saat yang sama.
Oh ku rasakan penisku terasa begitu gatal ingin mengeluarkan sperma. Keringat membasahi tubuhku hingga jelas tercetak dari kemeja tebalku, begitu juga kemeja putih Aurel yang terlihat transparan akibat basah. Ku buka kancing kemejaku, memamerkan dada bidangku pada Aurel. Ia berusaha menyentuhnya sambil berusaha untuk menahan diri agar tak terjatuh.
“Yo aku udah mau…”
Aku tak peduli lagi. Ku percepat pompaanku, spermaku sudah di ujung tanduk. Mataku juga sudah merem melek menahan nikmat.
Prakkkkk
Oh sial, tiba-tiba saja meja tulis yang diduduki Aurel patah. Sepertinya kayu tersebut tak mampu menahan gerakan kami yang semakin cepat.
“Kamu kegores gak Rel,” tanyaku, penisku masih berada di dalam vaginanya.
“Hhhh nggak Yo…” nafasnya masih berat. Bibirnya masih setengah terbuka.
Peristiwa itu tidak menyurutkan nafsuku yang sudah di ujung tanduk. Begitu juga Aurel yang masih menggerakkan pelan pinggangnya di atas meja patah itu.
“Ah masa bodohlah,” ucapku lalu langsung mengangkat kedua paha Aurel mendorongnya ke tembok. Dengan kekuatan lenganku tahan bobot Aurel. Aku genjot tubuhnya dengan begitu bernafsu.
“Ahhh Yo, lanjut Yo, aku juga udah aaaaaah.”
Tubuh Aurel naik turun mengikuti gerakan tanganku yang mengangkatnya. Satu tangannya digantungkan ke leherku, sedangkan yang satu lagi Ia gunakan untuk menahan roknya ke atas. Ku genjot dia lebih cepat. Sesekali ku rasakan cairan vaginanya menetes menyentuh lantai.
“Jancuk penismu ahhh.”
Makin horny Aurel, makin merah pulalah bibirnya terlihat. Wajahnya juga semakin merona, matanya semakin sayu, payudaranya semakin kecil dan kencang. Otot-otot perutnya yang tidak nampak sebelum terangsang kini mulai mengencang. Ia memang begitu berbeda dari wanita lain yang pernah ku pandangi.
“Ahh Aurel aku udah mau sampai.”
“Aku juga Yo, ahhhh, ahhhhh,” gerakanku semakin cepat, tubuh Aurel naik turun bagaikan per. Cairan vaginanya keluar semakin deras, denyut vaginanya begitu rapat, “keluar Yo ahhhh,” teriak Aurel sambil menyandarkan kepalanya ke pundakku.
Sedikit cairan menetes dari vaginanya. Pahanya semakin mengencang di tanganku. Pegangan tangannya di leherku dan roknya terlepas.
“Turunin ahhku… Yo,” ucapnya tersengal. Pelan-pelan ku turunkan tubuhnya ke lantai, Ia pun langsung duduk lemas bersandar. Paha putihnya terkangkang lebar begitu saja memamerkan vagina merah yang berdenyut. Tangannya menekan erat lantai, seakan tubuhnya hendak berguling kenikmatan jika dibiarkan terlepas.
Ku lihat penisku masih berdetak saking tegangnya. Sebenarnya spermaku juga sudah di ujung tadi, sedikit lagi tumpah ke dalam vagina Aurel tadi.
“Mulutku Yo,” ucap Aurel dengan suara lemas.
“Humm?”
“Keluarin di mulutku Yo, aku mau rasa spermamu.”
Aurel langsung menarik penisku. Mengocoknya dengan tangan hangatnya. Dengan sisa tenaganya Ia berlutut agar mulutnya bisa sejajar dengan penisku. Dikulumnya dengan susah payah, entah mengapa sepertinya mulut Aurel tidak bisa terbuka begitu besar sehingga penisku cukup sulit untuk benar-benar masuk ke dalam. Jadinya Ia menjilati ujung penisku hingga perasaan ingin orgasmeku tumbuh lagi.
Kini aku tak akan menahan diri. Ku dorongkan penisku ke mulutnya, mau tak mau Aurel membuka mulutnya. Ku hujamkan penisku masuk ke mulutnya hingga masuk. Ia menerima penisku di mulutnya sambil menatapku, ku lihat wajahnya yang kesulitan menampung ukuran penisku. Ku tarik maju mundur penisku di mulut rapatnya, ahhh aku sampai.
Cairan spermaku menjalar dari ujung penis hingga akhirnya menyemprot hebat. Aku keluar saat penisku sedang di dalam mulut memaksa Aurel menelan spermaku. Ku dorong penisku lebih dalam, ku tarik pelan rambut Aurel, Ia juga berpegangan keras ke bokongku. Spermaku menyemprot dua kali, tiga kali, entah berapa kali sebelum akhirnya tubuhku melemas. Aku melenguh cukup kencang pada tumpahan sperma terakhir. Ku tarik penisku keluar dari mulut Aurel, sebagian sperma yang telah tercampur air liur juga ikut keluar.
“Uhuk… Uhuk…” Aurel terbatuk diikuti oleh beberapa sisa sperma yang keluar meninggalkan mulutnya. Wajahnya memerah seakan kesulitan bernafas. Tetes keringatnya jadi lebih jelas terlihat. Meski masih dalam kenikmatan aku mampu sadar dan merasa bersalah pada Aurel.
“Maaf Rel,” ucapku sambil meraih tangannya yang lembut.
“Gapapa Yo, aku suka,” jawabnya. Kini dengan mata yang lebih nakal ia julurkan lidahnya yang masih dilelehi sisa sperma, ia masukkan lidah itu lalu menelan semua sisa sperma yang masih ada. “Spermamu kental banget Yo, rasanya enak,” ucapnya tersenyum sambil menjilati sisa sperma di pinggir mulutnya. Perasaanku jadi lega mendengarnya.
Ku keluarkan sapu tanganku lalu melap sisa sperma di lantai dan bajunya. Aurel menahan tanganku saat hendak mengenakan baju padanya. Ia lalu menarik tubuhku lalu berpelukan. Ku rasakan tubuh basah kami yang telanjang saling bersentuhan. Penisku yang baru saja menumpahkan sperma menyentuh pahanya. Ia membenamkan wajah di pundakku, rasa buru-buru dan takut yang sedari tadi memenuhi adrenalinku perlahan mampu tenang dengan pelukan itu. Ku elus punggungnya pelan, berharap Ia bisa merasa lebih nyaman. Setelah berpelukan seperti itu selama beberapa menit kami pun merapikan diri.
“Pulang sama aku gak?” tanyaku. Ia mengangguk lalu meraih tanganku.
“Ngentot sama kamu tuh tempatnya selalu aneh-aneh Yo, di warung makanlah, di kelaslah, besok di mana? Mau di jalan?” tanya Aurel di motor.
“Kalau kamu mau aja,” jawabku.
“Ih apaan sih,” Aurel mencubit punggungku kencang. “Tapi sumpah ngentot di tempat aneh sama kamu malah bikin aku terangsang banget.”
“Karena tempatnya atau akunya?”
“Hilih kepedean kamu,” lagi-lagi Aurel mencubitku.
“Jadi kita damai kan sekarang?”
Ia terdiam sejenak lalu berkata, “Selama kamu ga diemin aku lagi Yo.”
“Selama kamu ga tinggalin aku di depan teman-temanmu Rel,” balasku.
“Aku bakal berusaha.”
“Aku juga.”
Hari ini Kak Sasha masih di luar kota. Di rumah hanya ada Aku, Mama, dan Nissa. Mumpung masih hanya bertiga, aku ingin mengetes apakah benar Mama mengizinkan hubungan terlarangku dengan Nissa berlanjut. Kebetulan besok adalah tanggal merah, jadi kami bisa banyak menghabiskan banyak waktu bersama di rumah.
“Ma, Nissa tidur di kamar Mama lagi ya?” ucap Nissa setelah makan malam.
“Emang kamarmu kenapa Nis?” tanyaku mendadak. Oh sialan, rencanaku untuk bersenggama dengan Nissa bisa-bisa batal kalau dia tidak tidur sendirian.
“Gapapa sih Kak, Nissa lagi kangen Mama.”
“Kamu kan udah gede Nis.”
“Kalau adikmu memang lagi kangen ya dibiarin aja Yo, memang kenapa sih kamu pengen banget Nissa tidur di kamarnya?” tanya Mama menengahi.
“Ti-tidak kok Ma, terserah Nissa mau tidur di mana,” pertanyaannya membuatku salah tingkah. Meski hubungan terlarangku dengan Nissa sudah bukan rahasia lagi, namun masih canggung saja rasanya untuk terang-terangan mengutarakan bahwa aku menyuruh Nissa tidur sendiri karena aku sedang ingin bercumbu dengannya malam ini.
“Ga tau nih Kak Dio, kayanya kakak kangen sama Nissa. Pengen tidur sama Nissa ya?” ledek Nissa.
“Dih kepedean kamu Nis.”
“Udah-udah, kalau memang kangen sama Nissa kamu gabung aja di kamar Mama. Lagi pula ranjangnya luas,” ucap Mama.
Aku seketika menengok ke arah Mama, memastikan apakah ucapannya sungguh serius. Sebaliknya, Mama juga menatapku balik ku lihat simpul tipis timbul dari ujung bibirnya, seakan tersenyum mengejek namun dalam makna yang sepenuhnya berbeda.
Saat ini Nissa sedang berbaring di sebelahku di ranjang Mama. Tadinya Mama juga ada di sini, namun karena Om Salim mendadak menelfon jadinya Mama memilih keluar dulu untuk mengangkat telefon.
Aku sedang mengelus-elus rambut Nissa. Saat ini Ia sedang tidur menggunakan setelan piyama berkancing warna putih. Mumpung Mama sedang tak di kamar mungkin kini adalah waktu yang tepat untuk membahas ini.
“Nis, kakak mau nanya.”
Ia hanya menengokku sebentar lalu balik membaca manga di ponselnya.
“Kamu kemarin lusa di kosan Ramli ngapain aja?”
Kali ini perhatiannya langsung beralih padaku. Ia menaruh ponselnya ke samping lalu memiringkan tubuh ke diriku.
“Kakak sebenarnya udah tau kan?”
Aku menggeleng kecil. “Kakak tau kalau kamu sudah pernah ciuman, petting, atau apa pun sama Ramli, tapi kamu pernah bilang kalau ga pernah sampai senggama dengan dia. Lagipula waktu kita senggama juga kamunya masih berdarah. Jadi yang kakak maksud itu… waktu nginap sama Ramli kamu ngelakuin…”
“Memang apa sih pentingnya Kak? Nissa juga udah ga perawan lagi, Kakak sendiri juga yang pertama kali ngentot sama Nissa. Apa bedanya bagi kakak kalau Nissa ngentot sama Ramli?”
Ucapannya membuatku terdiam. Meski aku adalah kakak kandungnya, kebejatan moralku selama ini ternyata membuatku tak pantas lagi untuk mengkhawatirkan Nissa. Selain dengan Nissa aku juga sudah bersenggama dengan Aurel, juga beberapa kali berhubungan terlarang dengan Elma, rasanya sulit bagiku untuk menyalahkan Nissa jika dia ingin berhubungan dengan lelaki lain juga.
“Kakak tahu Nis,” ucapku, sambil mengambil nafas. “Tapi kamu juga yang ngasih tahu kakak kalau Ramli itu bukan cowok baik. Dia udah selingkuh dari kamu, ninggalin kamu. Kakak ga akan egois buat ngelarang kamu berhubungan dengan cowok lain, tapi kakak minta… kakak minta supaya kamu bisa milih cowok yang lebih baik dari Ramli.”
“Cowok yang lebih baik ya cuma kakak,” balas Nissa, “Kemarin Nissa bingung banget lihat Mama marah sama Nissa, makanya Nissa kesal sama Kak Dio kesal sama semua orang di rumah ini. Makanya Nissa nyari pelampiasan, siapa aja yang penting emosi Nissa bisa dituntaskan. Nissa cuma punya Ramli… ya jadi Nissa milih Ramli. Kakak ga usah khawatir Nissa udah ga ada perasaan buat Ramli kok.”
Ucapannya membuatku tersenyum lega. “Makasih ya Nis, makasih buat bisa jaga diri kamu.”
“Makasih kembali kak, buat ngejagain Nissa saat Nissa ga bisa jaga diri Nissa sendiri. Saat kakak ngehajar Ramli kemarin Nissa jadi sadar kalau Nissa pasti akan aman selama ada kakak yang ngelindungin Nissa,” balasnya, lalu meraih bibirku. Kami pun berciuman di atas ranjang Mama. Ia menindih diriku lalu mengisap bibirku.
“Nissa ga mau Ramli selama ada kakak.”
“Ramli itu siapa?”
Seketika tubuh kami langsung terloncat. Bibir kami bertubrukan agak kencang. Ku lihat di pinggir ranjang Mama sudah berdiri sambil berkacak pinggang dengan tatapan tajam. Ia mengenakan celana pendek hijau dan tanktop hitam malam ini. Sialan, aku tak mendengar suaranya masuk ke kamar.
“Ra-Ramli artis Korea Ma,” jawabku seketika.
“Artis Korea apaan namanya kayak satpam kampus gitu?” tanya Mama masih dengan wajah serius. Ia langsung mengambil duduk di sisi kiri ranjang tepat di sampingku. Kini Nissa sudah kembali berbaring di samping kananku.
“Jadi ini ya alasanmu pengen Nissa tidur sendiri? Supaya bisa ciuman mesra,” tanya Mama tanpa mengalihkan matanya dariku.
“E-enggak kok M…”
“Hahahahahahahaha…” tawa Mama seketika pecah. Tawa terbahak-bahaknya begitu panjang dan lama. Aku dan Nissa saling bertatapan bingung.
“Hahaha kalian ya… Gampang banget dibuat takut. Memang pada dasarnya kalian itu masih anak kecil di hadapan Mama. Mama kan udah izinin kalau mau ngapa-ngapain ya lakuin aja,” ucapnya sambil menahan tawanya.
“Memang beneran diizinin Ma?” tanya Nissa kali ini.
“Iya, Mama izinin.”
Tanpa membuang waktu Nissa langsung menindisi tubuhku dan menciumi bibirku lagi. Aku turut mengikuti permainan Nissa juga langsung menghisap bibirnya. Ku gunakan kedua tanganku untuk menggenggam pantat Nissa dari balik celana piyamanya. Mataku melirik ke arah Mama yang masih terduduk menonton kami.
“Udah ya, Mama ngantuk, mau tidur,” ucap Mama sambil membaringkan tubuhnya menghadap ke arah kami.
Aku meremas payudara Nissa. Pelan-pelan tanganku mulai membuka kancing Nissa. Mulai dari kancing terbawah memperlihatkan perutnya. Lalu ke kancing di atasnya membuat perutnya semakin jelas terpampang. Naik lagi memperlihatkan sisi bawah payudaranya yang besar, kulit payudaranya sedikit terekspos. Tinggal satu kancing lagi sebelum payudaranya terbebas dari kungkungan pakaian. Ku genggam kancing itu sebelum tiba-tiba tangan Nissa menahanku.
“Kancing yang itu buat nanti aja kak. Nissa ngantuk banget malam ini,” jawab Nissa sambil memeletkan lidah padaku. Ia mencium pipiku sebelah dulu lalu langsung menarik selimut. Tak lama kemudian tanpa mengancingkan piyamanya Nissa benar-benar telah tertidur pulas. Ah sialan, ku rasakan penisku yang sudah muai mengeras harus turun kembali. Untung saja tadi siang aku sudah bercumbu dengan Aurel.
Ku lihat ke arah Nissa yang sudah tertidur manis. Dadanya naik turun teratur, bibirnya sedikit membuka, pasti sudah nyenyak. Aku pun mengancingkan sisi perut piyamanya. Supaya enggak masuk angin, batinku. Ku lihat ke arah Mama di sebelah kiriku, pasti Ia sudah tertidur lebih lelap. Namun ternyata dugaanku salah, Mama justru sedang melihatku sambil tersenyum meledek. Menertawai tonjolan di celanaku yang sekali lagi digantung oleh perempuan.
“Memang udah ga tahan banget ya?” tanya Mama sambil merangkul dadaku. Terasa payudara Mama yang nampaknya tidak mengenakan bra menindih tanganku. Oh sialan, apa lagi ini?
“Ma-masih tahan Ma…”
“Masa?” bisik Mama di telingaku pelan, sampai-sampai terasa seakan Ia meniupnya. Bulu kudukku langsung berdesir. Ku beranikan diri untuk balik menghadap ke arah Mama, kini wajah kami saling bertemu. Bibir Mama yang tipis nampak begitu rupawan. Matanya yang biasanya selalu menatap kaku kini menampilkan garis-garis tawa yang manis.
“Iya Ma…” jawabku sambil balik memeluk tubuh Mama.
“Kamu yakin ga ingin dibantu keluarin?” ucapnya sambil membuka pahanya. Ia menarik paha kananku untuk ditindih dengan kedua pahanya. Mama mendorong pinggangnya cukup kencang ke pahaku seakan sedang berusaha menggesekkan vaginanya. Pahaku terasa hangat diapitnya.
Kali ini Aku merasa dilema. Apakah– apakah Mama benar-benar serius?
“Gimana?” tanyanya lagi, sambil memainkan jemarinya di perutku.
“Ma-Mama mau bantu keluarin?”
Ku pikir deru nafasku lah yang paling berat saat ini, sampai akhirnya ku lihat ke arah dada Mama. Nafasnya naik turun tak karuan, puting payudaranya nampak tercetak di balik tanktopnya. Matanya yang tadi nampak ceria kini terlihat sayu. Aku memberanikan diri menyentuh pinggang Mama yang ramping.
Mama menatapku cukup lama tanpa mengeluarkan jawaban. Sepertinya itu adalah sinyal hijau bahwa Aku boleh lanjut. Ku dekatkan bibirku ke bibir Mama, nafas berat dari mulutnya menerpa mulutku. Kami sudah begitu dekat sampai tiba-tiba Mama menahan bibirku dengan telapak tangannya.
“Dio…”
“I-Iya Ma?”
“Ka-Kamu sudah janji buat ga lakuin itu ke Mama kan?”
Tanganku seketika melemas, ku tarik wajahku. Nampak mata Mama masih sayu, nafasnya bahkan jadi lebih berat lagi. Aku tahu apa jawaban yang harus ku ucapkan.
“Iya Ma, Dio sudah janji.”
Mama seketika terdiam. Ku lihat tangannya yang tadi menahan bibirku sedikit gemetar seakan sedang menahan sesuatu. Bibirnya yang tadi sedikit terbuka perlahan menutup. Matanya yang sayu tiba-tiba berubah tegas, seakan dirinya yang biasa. Ia langsung mundur sedikit menjauh lalu memutar posisi tubuhnya menghadap ke arah lain. Tubuhnya nampak sedikit bergetar.
Ke-kenapa Ia terlihat kesal? Apa jawabanku salah? Bu-bukannya dia…
Malam ini aku pun susah payah berusaha untuk tidur.
Bersambung