Part #11 : Mama juga ga kalah seksi kok

Aku baru bangun pada pukul 2 siang. Biasanya Mama pasti akan menggedor pintuku jika belum keluar hingga pukul 9 pagi. Menyuruhku untuk mandi dan sarapan lalu setelahnya bebas jika memang ingin mendekam di kamar seharian. Namun tidak kali ini, sepanjang tidurku yang panjang tak sekali pun ada orang lain yang menginterupsi. Tapi tak apa, emosi dan tenagaku memang sedang terkuras, ada baiknya Aku meluangkan waktu sendiri untuk mengisinya.

Rasa haus memenuhi kerongkonganku. Mau tak mau Aku harus mengambil minum di dapur. Namun baru saja beranjak meninggalkan kamar, terdengar suara sepasang manusia sedang mengobrol di teras. Setelah minum Aku pun keluar untuk menengok.

“Ini pasti Dio ya?” tanya seorang pria paruh baya yang tersenyum ke arahku. Sebagian rambutnya telah memutih, kulitnya cukup cerah, Ia mengenakan kemeja kotak-kotak khas pria seumurannya.

Aku tersenyum balik lalu menoleh ke sosok yang satu lagi, oh ternyata Mama. Ku lihat wajahnya tersenyum melihatku. Mungkin marahnya sudah hilang. Aku pun menyodorkan tangan ke pria itu dan mengenalkan diri.

“Dio, Om.”

“Saya Salim, teman Mama Kamu,” ucapnya sambil berdiri. Meski rambutnya telah putih, ternyata pria ini memiliki tubuh yang begitu tegap. Aku hanya setinggi bibirnya saja rasanya.

Setelah Ia kembali duduk, Aku izin masuk kembali ke dalam rumah, mencari kegiatan lain. Aku sempat mengetuk pintu kamar Nissa namun tak ada jawaban. Kak Sasha juga sepertinya masih di luar kota. Jadilah Aku duduk di depan TV sambil membaca buku sendirian.

“Yaudah, Dian kalau gitu Saya balik dulu ya,” sayup Om Salim terdengar dari teras. Sesaat Aku turut memerhatikan ke arah mereka, melihat Mama dan Om Salim saling cipika-cipiki sebelum akhirnya berpisah. Mama lalu masuk ke dalam rumah dengan sungging senyum yang lebar.

“Om Salim itu teman baru Mama?” tanyaku, menyusul Mama yang sedang menata makanan di dapur.

Tak seperti saat di teras kala Ia tersenyum melihat kehadiranku, kali ini Mama menatapku dengan tatapan yang kaku. Tak ada sisa senyuman yang tadi dari wajahnya, sebaliknya bibirnya lalu terkatup rapat. Ia hanya mengangguk kemudian lanjut menata makanan.

“Oh, Dio baru pertama ketemu hari ini,” jawabku, masih berusaha membuat Mama berbicara denganku. Beberapa detik menunggu tanggapan, Ia masih terus saja mengabaikanku. Wajahnya terlihat tegas seakan tak suka akan kehadiranku. Merasa putus asa, Aku pun meninggalkan Mama dan pergi menuju kamar.

Di kamar Aku segera meraih ponsel yang belum ku sentuh sejak semalam. Deretan notifikasi muncul di ponselku. Sebagian besar muncul dari grup-grup tidak penting, sisanya berasal dari orang terdekatku.

Harun

Hari ini, 10:12: NGEFIFA YUK!

Diajak main FIFA ya? Lain kali deh, pikirku. Aku sedang tidak mood untuk meninggalkan rumah hari ini. Aku membalasnya dengan, “Lagi banyak disuruh nih di rumah, lain kali ya!”

Elma

Hari ini, 03:00: Pesan telah dihapus

03:11: Pesan telah dihapus

10:33: Maaf, salah kirim.

Elma ngehapus apa ya? Kok bisanya ngechat pukul 3 dini hari. Aku tidak yakin kalau Elma salah kirim. Toh selama ini kami jarang bertukar pesan satu sama lain. Bahkan bisa dibilang sudah sangat lama sejak terakhir Aku mengirim personal chat ke dia. Jadi sudah tentu chatku telah tertimbun begitu dalam di Whatsapp Elma. Agak kurang logis saja jika tiba-tiba dia bisa salah mengirim pesan padaku pukul 3 subuh. Aku pun membalas pesan tersebut dengan “?”

Aurel

Hari ini, 04:25: kalau dah smpe rumah kabarin.

04:45: km marah ya?

04:46: aku bisa jelasin…

Pesan-pesan dari Aurel membuatku jadi berat hati lagi. Jujur Aku pun bingung kenapa Aku merasa sakit. Toh Aurel juga bukan siapa-siapa bagiku dan di sisi lain aku juga bukanlah lelaki yang sepenuhnya baik. Belakangan ini Aku telah berubah menjadi lelaki yang sepenuhnya berbeda dan berhubungan dengan beberapa perempuan sekaligus. Namun di sisi lain ada rasa sakit di hatiku kala memikirkan bahwa sebenarnya diriku belumlah benar-benar mengenal Aurel. Perempuan yang ku pikir telah menceritakan segala hal padaku. Ku ketik beberapa kalimat untuk membalas pesan Aurel, namun urung kukirim. Ku hapus lagi semuanya. Membiarkan pesan dari Aurel menggantung hampa.

Selagi menatap chat dari Aurel, tiba-tiba sebuah notifikasi muncul lagi dari ponselku. Kali ini dari Kak Sasha.

“aku habis dichat Nissa tadi”

Belum sempat Aku memencetnya, sebuah chat dari Kak Sasha muncul lagi.

dia mau minjem duit aku”

Ia sedang mengetik. Kali ini Aku menunggu sebelum pesan selanjutnya muncul.

“DIA KABUR DARI RUMAH SEJAK KEMARIN”

Oh sialan, apalagi ini. Tanpa berpikir dua kali Aku pun membalasnya.

Kalau tau Nissa di mana kabari Kak. Dio bakal nyari sekarang.”

“Nissa!” teriakku sambil membuka pintu kamarnya yang ternyata tidak terkunci. Ia tak ada di dalam. Kamarnya begitu rapi. Tak nampak juga ransel yang biasa Ia gunakan. Jendela kamarnya masih terkunci rapat. Berarti Nissa pergi melewati pintu depan. Baiklah, Aku bakal mencarinya keluar.

“Ada apa?” mendadak Mama muncul dari arah pintu kamar. Sialan, jantungku hampir saja copot.

“E-enggak kok Ma.”

Namun gagapnya ucapanku tak membuat Mama yakin. Matanya langsung beralih ke kamar Nissa, seakan sadar atas keganjilan yang terjadi. “Nissa mana?”

“Ini minta dijemput Ma,” ucapku lalu segera bergegas dari rumah. Meninggalkan Mama sebelum ada pertanyaan lain muncul dari mulutnya.

Aku harus nyari ke mana ya? Menyesal juga rasanya selama ini aku gak pernah cari tahu Nissa temenan sama siapa saja di sekolah…” batinku begitu kakiku telah beranjak dari rumah.

Tidak sampai 5 menit Aku telah tiba di sekolah Nissa. Ini adalah satu-satunya tempat yang terpikirkan olehku. Dengan izin satpam sekolah yang kebetulan juga ku kenal, Aku dibolehkan masuk ke dalam sekolah. Sekolah sedang libur saat akhir pekan, namun nampak masih ada segelintir siswa dengan mengenakan pakaian bebas. Aku sebenarnya bingung harus mencari ke mana.

Mungkin ada di perpustakaan, tempat komunitas sastra biasa berkumpul. Nissa memang giat dalam kegiatan tulis menulis. Aku pun bergegas ke sana, namun sayang, perpustakaan telah tutup. Kelas Nissa juga kosong melompong. Sepertinya Nissa tidak kabur ke sekolah, Aku pun melangkah gontai berjalan keluar.

Nampak beberapa siswi sedang berkumpul di lapangan basket. Sepertinya sedang latihan rutin tim basket putri. Ku tatap wajah-wajah yang ada di sana, mencari Adikku di tengah kerumunan penonton. Namun tetap saja tak ada Nissa di sana. Tapi… wajah yang satu itu sepertinya familiar deh.

Ku melangkah lebih dekat ke arah lapangan untuk dapat lebih memerhatikannya. Seorang perempuan dengan rambut panjang terikat, kulit agak kecoklatan, dan bertubuh tinggi nampak sedang berlatih tembakan tiga poin. Dengan kaos basket tanpa lengan terlihat tetes keringat membasahi tubuhnya. Rasanya orang ini tidak asing bagiku, pikirku sambil memicingkan mata.

Ah iya! Dia kan teman Nissa yang dulu sering ke rumah. Karena rumah Kami cukup dekat dengan sekolah, makanya Nissa sering membawa temannya ke rumah. Di antara teman-temannya yang pernah datang ke rumah, perempuan inilah yang wajahnya bisa ku kenali. Selain karena rupanya yang cukup manis, ya karena kebetulan juga dialah yang paling sering datang.

Namun karena tak tahu namanya, Aku bingung bagaimana cara memanggilnya dari pinggir lapangan. Aku bisa saja menyuruh temannya yang sedang di pinggir lapangan untuk memanggilkan, namun Aku sendiri tak mau membuat kehebohan. Sebisa mungkin tak perlu ada orang lain yang tahu jika Nissa kabur.

Beruntung, tak lama setelahnya perempuan itu berjalan meninggalkan lapangan. Dengan langkah tertatih Ia mengambil botol minum di dalam ranselnya. Sambil menengadah memamerkan lehernya yang jenjang, Ia menenggak air minum. Kebetulan Ia berdiri cukup jauh dari teman-temannya, Aku pun langsung menghampiri.

“E-eh Kamu…”

“Ya?” tanyanya, sebelum Aku sempat menyelesaikan ucapanku. Seketika Ia menoleh ke arahku. Tingginya sepantaran denganku, hidungnya mancung, dengan tubuh yang kurus.

“Kamu teman Nissa kan?”

“Ah kayaknya Aku ingat deh. Kamu kakaknya Nissa kan?” tanyanya balik. Syukurlah dia ingat, Aku jadi tak perlu berbasa-basi.

“Iya, Aku mau nanya. Kamu tau gak Nissa di mana?”

“Ga tau. Memangnya Nissa kenapa?”

Aku terdiam sesaat, agak malas rasanya membeberkan urusan keluarga seperti ini. Tapi kayaknya mustahil bisa menemukan Nissa tanpa bantuan orang lain. “Tapi tolong jangan cerita ke siapa-siapa, nanti Nissanya malu di sekolah…” ucapku. Ia pun mengangguk setuju. “Nissa kabur dari rumah. Ku coba hubungi juga ga bisa dari tadi.”

Wajahnya tak memasang reaksi berlebih atas ucapanku. Ia hanya mengangkat alis, menopang dagunya, lalu sambil menerawang sesaat Ia pun berkata, “Kayaknya Aku ga bisa bantu kalau gitu, sudah ga sering komunikasi juga sama Dia.”

“Kamu tahu dia sering main sama siapa sekarang?”

“Aku ga tau, mungkin nanti pulang sendiri kok Nissa-nya,” jawabnya ketus. Terdengar nada tak suka dari perkataan perempuan ini. Aku pun hanya membalasnya sambil tersenyum lalu membalikkan badan. Mungkin lebih baik mencari di tempat lain dulu. Namun baru saja sedikit melangkah, tiba-tiba Aku teringat pada suatu nama.

“Hei,” sapaku ulang. Menghentikan langkah perempuan itu yang baru saja mau memasuki lapangan lagi. “Kamu kenal Ramli tidak?”

Jadilah kami berdua di motor saat ini. Entah karena alasan apa, begitu Aku menyinggung nama Ramli, perempuan ini langsung berapi-api menjawab. Tidak hanya itu, Ia bahkan memaksa ikut. Dengan cuek Ia meninggalkan teman-temannya lalu menumpang ke motorku. Ia masih mengenakan setelan basket lengkap, ditambahi hoodie tanpa sempat mengganti pakaian dahulu.

Teman Nissa

Sepanjang jalan Ia duduk agak berjarak denganku, tentu saja karena masih merasa asing. Sesekali Ia mengucapkan pertanyaan padaku. Sifat tak mau tahunya di lapangan tadi sesaat berubah 180 derajat.

“Memangnya Nissa kaburnya kapan?”

“Katanya semalam tapi ga tau pastinya kapan.”

“Berarti menginap dong kalo gitu. Ga boleh dibiarin tuh anak cewek nginap-nginap kayak gitu.” Meski ucapannya masuk akal, Aku tidak berniat untuk menanggapi.

“Kok bisa tau Nissa kaburnya sama Ramli?”

“Ga tau kok. Kan Kamu yang mendadak ngajak cari ke rumah Ramli tadi. Aku cuma nanyain aja kamu kenal Ramli apa nggak.” Kali ini giliran dia yang terdiam.

“Nanti gang di depan belok kanan,” Ia menunjukkan jalan, yang langsung saja ku ikuti. Tak sampai 100 meter masuk ke gang, Ia pun menunjukkan tempat tujuan kami.

“I-ini kan? Ini kan rumah kos…” ucapku terbata, begitu melihat bangunan dua tingkat berwarna oranye di depanku. Lengkap dengan barisan kamar yang berjejer memanjang ke dalam. Masa Nissa menginap di sini.

“Iya, Ramli kan memang bukan orang asli sini jadinya ngekos.”

“Sini kita masuk,” Buru-buru Aku langsung berjalan masuk ke dalam area kos. Perempuan itu mengikutiku dari belakang sambil menunjuk ke salah satu kamar.

“Itu kamarnya.”

Tanpa menunggu lama, ku ketuk pintu kamarnya dengan kencang. Sengaja ku tahan suaraku agar tidak membuat orang yang di dalam curiga. Baru sekali mengetuk pintu, tanpa sengaja mataku terpaku pada sepasang sepatu hitam yang dihimpit di bawah rak. I-itu kan sepatu Nissa, berarti memang benar Ia di sini. Ah sialan, tanpa berpikir ulang lagi Aku langsung mendobrak pintu kamar dengan kencang.

BRAK… BRAKKKK… Dalam dua dobrakan pintu pun terbuka.

Nampak di dalam sepasang manusia sedang terduduk kaget di atas kasur tanpa dipan. Seorang lelaki berambut cepak yang masih telanjang bulat duduk terpaku menatap kami ke arah pintu. Terlihat penisnya yang mengendur, entah karena kaget digrebek atau memang belum sempat berdiri tegang. Dia pasti Ramli, Aku bisa menebak dari ukuran penisnya yang kecil, seperti yang diucapkan Nissa tempo hari. Yang membuatku kesal adalah pemandangan di sebelahnya, nampak Nissa, adikku sedang duduk tegang dengan bra yang dipasang asal-asalan. Rambutnya acak, sebagian poninya menutupi mata, nampak payudara besarnya belum tertutupi penuh oleh bra yang tak terkancing. Ia menutupi tubuh bagian bawahnya yang sudah telanjang dengan selimut begitu melihatku.

“K-Kak!”

 

Nissa

Aku berjalan mendekat, mengambil pakaian Nissa di lantai. Celana dalam, sweater, celana jins, jilbab, ku pungut semua yang ku lihat.

“A-apaan ini?” tanya Ramli sambil berdiri menghampiriku. Namun Aku tak peduli, tanpa berkata apa-apa Aku mendorongnya menjauh. Membuat tubuhnya terbanting keras ke lemari, lalu terantuk ke lantai.

“Pakaian sekarang,” ucapku sambil memberi pakaian itu ke Nissa.

Nissa hanya terdiam kaku sambil memegang pakaiannya. Bibirnya masih menganga. Nampak beberapa bekas cupang di sekitar dadanya, huft, nanti akan ku gali perbuatan apa saja yang telah Ia lakukan semalaman.

“Nis, pakaian sekarang atau Aku hajar dia,” ulangku lagi, kali ini sambil menunjuk ke wajah Ramli. Ia yang tak terima akan ancamanku dengan tergopoh berusaha berdiri.

“Maksud Kamu hajar apa… Brakkkkk.” Belum selesai Ramli berkata tanganku sudah mendorong tubuhnya lagi. Membuatnya menghantam lemari dengan lebih kencang. Kali ini terdengar suara retak di pintu lemarinya. Lolongan kesakitannya terdengar begitu lirih. Lain kali Aku harus berhati-hati menggunakan tenaga lenganku, pikirku. Tanpa berpikir panjang lagi, Nissa buru-buru mengenakan pakaiannya.

“Ah nggak Mas, ini lagi perbaikin lemari. Maaf ya suara palu-nya kekencengan,” ucap suara perempuan dari luar. Karena penasaran Aku mengintip sedikit, oh ternyata perempuan yang ikut bersamaku sedang sibuk meminta maaf sambil tersenyum pada anak kos. Nampak beberapa anak kos yang penasaran akan suara berisik yang telah ku ciptakan sedang berdiri di sana. Mereka pun berjalan menjauh kembali ke kamar masing-masing. Sebagian memberikan tatapan penasaran padaku yang ku balas dengan senyuman sopan.

Meski masih berantakan, setidaknya Nissa telah selesai berpakaian. Ku tarik tangannya keluar. Kami pun meninggalkan kamar tanpa peduli pada Ramli yang sedang terbaring kesakitan di lantai. “Sini kita pulang.”

Di luar kamar, ekspresi Nissa yang awalnya masih shock akan kehadiranku mendadak berubah. Alisnya perlahan mengkerut, matanya menyala, bukan padaku, tapi pada perempuan yang ikut bersamaku.

“Untuk apa Kamu ke sini?” tanya Nissa sengit.

Perempuan itu justru balik memberikan senyum mengejek pada Nissa, “Malah sok galak lagi, gak malu apa ketahuan mesum sama Ramli? Rahasiamu ada di Aku ya.”

Wajah Nissa perlahan memerah, tangannya mengepal. Baru saja Ia mau menerjang perempuan itu, tanganku sudah sigap menahannya.

“Lepasin Kak! Aku mau hajar dia.”

“Sini maju aja kalau berani.”

“Kamu pikir Aku takut! Kamu udah kemarin jadi selingkuhan Ramli, sekarang malah deketin Kakak Aku ya. Awas aja kalau Kamu berani nyebarin rahasia hari ini,” ucap Nissa sambil tetap berusaha menerjang, kuat juga tenaganya membuatku kewalahan menahan.

“Udah Nis, udah ya. Sini kita pulang, nanti anak kos yang lain pada curiga lagi,” kali ini Aku berusaha membujuk adikku.

“Ga mau Kak. Dia ini Desy yang Nissa bilang pelukan sama Ramli di sekolah,” balas Nissa sambil menunjuk wajah perempuan itu. Oh, sekarang Aku paham kenapa Nissa begitu marah. Ternyata perempuan ini adalah Desy, perempuan yang menjadi alasan Nissa menangis galau beberapa hari lalu karena telah selingkuh dengan Ramli. Pantas saja dia begitu ngebet ingin ikut Aku mencari Nissa di sini. Mungkin dia ingin memastikan bahwa hubungan Nissa dan Ramli benar-benar hancur.

Memikirkan itu membuatku kesal lagi pada Ramli. Beraninya dia membuat Adikku menangis kala itu. Namun hari ini tujuanku hanyalah menjemput Nissa, lagipula Ramli juga sudah tepar tak berdaya di kamarnya. Mungkin lain kali saja Aku beri dia pelajaran sesungguhnya. Mau tak mau demi mempersingkat keributan ini Aku langsung membopong tubuh Nissa menuju motor.

“Terus Aku pulangnya gimana?” tanya Desy sambil menunjuk diri begitu kami telah berjalan menjauh.

“Minta Ramli yang antar aja sana, Aku udah ga butuh lagi,” balas Nissa yang masih bergelantungan di pundakku.

“Nissa takut masuk Kak,” ujar Nissa begitu motor kami tiba di depan rumah.

“Ga usah khawatir, Mama ga tau kok kalau Kamu kabur. Aku cuma bilang mau jemput tadi.”

“Berarti Mama udah mau ngomong sama Kakak?” kini secercah senyum timbul dari wajahnya.

“Belum sih,” jawabku lesu. Mendadak senyum Nissa turut menghilang. Aku langsung meraih tangannya, menggenggamnya erat dengan jemariku, “Tapi gapapa, ga ada yang lebih kenal Mama dibandingkan kita berdua Nis. Pasti nanti hatinya akan melunak. Untuk sekarang Kamu percaya Aku saja ya.”

“I-Iya Kak.”

Mama sedang terduduk di ruang keluarga. Wajahnya masih belum menampilkan ekspresi begitu melihat kami. Ia juga tak berkata apa pun selama itu. Aku dan Nissa hanya bertukar tatapan sebentar lalu berjalan memasuki kamar masing-masing.

“Dio! Nissa!” panggil Mama tiba-tiba kala kami melewatinya. Nadanya begitu tegas.

Seketika keringat menetes dari wajahku. Jantungku langsung berdegup kencang. Ku lihat Nissa juga tertegun takut di belakangku. Namun kami tetap patuh dan duduk mengambil tempat di lantai dekat sofa yang Mama duduki.

Mama sedang mengenakan tanktop berwarna hitam, dengan celana legging hitam yang ketat. Rambut pendek selehernya tetap diikat seperti biasa. Terlihat beberapa sisa tetes keringat di tubuhnya. Sepertinya Ia baru saja selesai olahraga. Ia menatap kami dengan tatapan tajam bergantian, seakan sudah sangat siap meluapkan kemarahan atas perbuatan bejat kami dua hari lalu.

“Iya Ma?” Aku membuka pembicaraan.

Ia masih diam sambil menatap kami bergantian. Setelah cukup lama seperti itu, Ia pun membuka mulutnya.

“Banyak sekali hal yang ada di kepala Mama sejak pulang kemarin. Jujur saja, Mama bingung, Mama gundah semalaman, Mama ga paham apa yang terjadi di keluarga Mama saat ini,” ucap Mama, ku lihat Ia mengatur nafas, sementara Nissa di sebelahku sudah mengucurkan air mata.

“Mama ngebesarin kalian berdua sendirian. Mama ngelihat kalian tumbuh bareng-bareng. Senang banget rasanya ngelihat kalian akur sebagai adik kakak. Tapi kenapa Yo? Kenapa Nis? Kenapa Kamu ngentot adikmu kayak gitu Yo?” ucap Mama sambil menoleh padaku.

Aku menatap balik ke mata Mama. Berani berbuat harus berani pula tanggung jawab.

“Itu salah Dio, Ma. Dio yang maksa Nissa buat senggama sama Dio selama ga ada orang. Dio kalah sama nafsu sampai-sampai ngorbanin adik sendiri.”

“Nggak gitu, Ma!” potong Nissa tiba-tiba. “Nissa ga dipaksa sama sekali. Ni-Nissa memang yang mau gituan sama Kak Dio,” nada suaranya tampak bergetar karena tangis.

“I-itu karena Dio sayang banget sama Nissa Ma, sampai lupa bedanya kasih sayang dan nafsu.”

“Nissa juga sayang sampai lupa diri huuuu.”

“Itu salah Dio Ma.”

“Sudah,” ucap Mama sambil menaikkan telunjuknya ke atas, pertanda kami harus diam. Kali ini nada suaranya sudah tidak setegas tadi. Ku lihat dadanya juga sudah tidak berdebar, nafasnya telah lebih teratur.

“Mama terkejut ngelihat kalian seperti itu, karena Mama tahu kalau hubungan incest memang masih begitu tabu untuk dilakukan. Ga pernah terbayang di kepala Mama kalau anak Mama sendiri bisa berbuat seperti itu.

Tapi Mama juga sadar betapa beratnya godaan nafsu. Sejak Papa kalian ninggalin kita, Mama udah beberapa kali nyoba menjalin hubungan dengan lelaki lain agar kebutuhan batiniah Mama terpenuhi. Berkali-kali juga hubungan Mama berakhir buruk karena sulit nyari laki-laki yang berani komitmen dengan janda seperti Mama, sekalinya ada pun orangnya ga bisa muasin kebutuhan batiniah Mama. Makanya Mama sadar betul betapa pentingnya punya orang yang ga hanya mampu menyayangi kita tapi juga bisa memberikan kepuasan batin. Huffft,” Ia menarik nafas.

“Mama akan maafin kalian selama rahasia ini bisa tersimpan rapat. Keluarga kita selalu dikenal alim oleh siapa pun. Mama ga ingin orang-orang memandang rendah keluarga kita. Kalau… kalau memang menurut kalian hubungan incest-lah yang bisa menuhin kebutuhan kalian maka Mama bisa paham. Tapi ingat, ga boleh sampai ada hamil, dan kalian ga boleh menikah.”

Kali ini air matanya menetes begitu deras di wajahnya. Suaranya sudah tersengal-sengal saat berbicara. Kulit wajahnya berubah menjadi merah karena tangis. Ia kemudian berdiri, memegang kepala kami bergantian untuk sesaat lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya. Tak lama, Nissa yang juga menangis berlari menyusul masuk ke kamar Mama.

Aku masih terpaku di depan sofa itu dengan perasaan yang campur aduk. Aku sedih melihat Mama menangis seperti itu, namun perasaan bingung jauh lebih dominan dalam emosiku kala ini. Apa Aku tidak salah dengar? Mama benar-benar sudah memaafkan Kami? Apa Mama baru saja mengizinkan kedua anak kandungnya menjalin hubungan sedarah? Cukup lama Aku terpaku dengan pikiranku.

Tanpa ku sadari ucapan Mama juga sedikit membuatku terangsang. Membayangkan diriku bersenggama dengan Nissa atas restu Mama benar-benar telah membangkitkan gairahku. Pelan-pelan Aku melangkah menuju kamar Mama untuk melihat Nissa. Jika boleh Aku sekalian ingin mengajaknya ke kamar, menyelesaikan bisnis kami yang beberapa kali tertunda. Sayang, begitu masuk ke kamar ku lihat Nissa sudah tertidur di sebelah Mama.

 

Mama

“Kenapa Yo? Pengen langsung ngentotin adikmu?” tanya Mama begitu melihatku mampir ke ranjangnya.

“E-enggak kok Ma,” pertanyaan itu membuatku merasa malu.

“Ada-ada saja Kamu ini,” secercah tawa timbul dari bibirnya. “Tapi mikir-mikir juga lah, jangan seenaknya aja kalian ngentot di rumah. Mikirin juga kalau di rumah ada Sasha, gimana kalau dia tau dan cerita ke keluarganya? Mikirin juga perasaan Mama.”

“I-Iya Ma,” sontak perasaan bersalah menghampiriku.

“Mikirin Mama, bayangin gimana perasaan Mama yang udah jarang disentuh lelaki lain terus harus sering-sering ngelihat anak Mama ngentot di rumah,” ucapnya sambil tersenyum. Ah sialan, entah bercanda atau tidak, ucapannya telah membuat penisku sepenuhnya mengeras. Nampak lengannya yang kencang tidak tertutupi selimut. Rasanya ingin ku pandangi saja tubuh Mamaku ini sepanjang malam.

“Ma-Mama boleh ikutan kok kalau mau,” ucapku sambil memejamkan mata. Wajahku serasa kebas kala mengucapkan itu.

Hushhh, Kamu itu malah ngelunjak. Awas loh kalo Kamu berani macam-macam sama Mama. Gini-gini Mama lebih jago main tinjunya daripada Kamu,” ucap Mama.

“Ma-maaf Ma, Dio salah paham.”

“Tapi Mama paham kok kenapa Kamu bisa nafsu sama adik sendiri. Lihat aja itu toket Nissa besarnya kayak gimana, pantatnya juga gede, padahal badannya kurus loh. Mama aja iri ngelihatnya,” ucapnya sambil menatap ke arah gundukan dadanya sendiri. Penisku rasanya makin tak karuan saja melihatnya. “Pasti seksi banget ya ngentot sambil lihat tubuh Nissa?” kini tangannya menyentil payudara Nissa yang terlelap.

“Tapi badan Mama juga ga kalah seksi kok. Kayaknya dibanding semua perempuan yang Dio tau badan Mama itu yang paling kencang.”

“Semua perempuan?” tanya Mama sambil memicingkan mata. “Jadi selama ini ga cuma Nissa aja?”

“E-eh ga gitu ma-maksudnya Ma. Maksud Dio…”

“Hahaha Kamu ini gampang banget salah tingkah.”

Aku terdiam sejenak lalu tiba-tiba teringat pada suatu pertanyaan pengalihan.

“Ma, Om Salim yang tadi siang itu pacar Mama ya?”

“Mau tau aja deh Kamu. Baru mulai dekat kok Mama sama dia. Dia duda juga anaknya satu. Orangnya baik sih hanya aja biasa aja di ranjang. Selain konvensional, kontolnya ukuran sedang, ga kayak kontolmu ya Yo gede banget.”

Aduh, baru Aku tahu kalau Mama yang sebegitu anggun dan kalemnya selama ini ternyata bisa sangat vulgar kala bicara tentang seks. Percakapan kami selama ini benar-benar memancing nafsuku. Untuk beberapa saat mataku mulai menatap Mama dengan nafsu yang menggebu-gebu, ingin rasanya ku baringkan dia dan ku senggamai dengan penisku yang Ia anggap besar itu. Tanpa sadar keringatku menetes di ruangan ber-AC ini. Mata Mama tak henti menatapku, entah apa maksudnya. Ku perhatikan posisi tali branya yang sedikit menyamping, oh akan seperti apa rupa payudaranya jika ku singkap. Tubuh Mama yang berotot pasti begitu binal kala di ranjang. Apakah Ia rajin bercukur atau lebih suka membiarkan bulunya tumbuh? Aduh, dua-duanya pasti akan sama menariknya jika dipadankan dengan tubuh Mama. Ku dekatkan dudukku hingga berada tepat di samping dadanya kali ini.

“Mama merhatiin penis Dio ya waktu itu?” ucapku sambil membelai lengan telanjang Mama. Kulitnya masih begitu kenyal dan lembut.

“I-Iya besar banget, jadi Mama ga bisa merhatiin yang lain.”

“Mama udah pernah dimasukin yang seukuran punya Dio ga?” ucapku sembari mendekatkan tanganku ke lehernya, bersiap masuk melalui kerah tanktopnya.

Nampak Mama menarik nafas dalam.

“Hhhh udah Yo, Mama mau tidur dulu.”

Ucapan itu seketika menyadarkanku. Apalagi yang ku pikirkan sih? Masih untung Mama maafin Aku bisa dekat sama Nissa, kok sekarang beraninya mikir aneh-aneh tentang Mama sih.

“I-Iya Ma, Dio juga mau masuk kamar.”

“Ingat loh Dio, tidurnya jangan ga pake celana lagi, nanti masuk angin,” ucap Mama bercanda.

“Hahaha iya Ma,” Aku pun berjalan meninggalkan kamar. Malam ini Aku bisa merasa lega lagi.

“Ingat loh Dio, tidurnya jangan ga pake celana lagi, nanti masuk angin”

“Ingat loh Dio, tidurnya jangan ga pake celana lagi, nanti masuk angin”

“Ingat loh Dio, tidurnya jangan ga pake celana lagi… ”

Sejenak langkahku terhenti di depan kamar. “Tidurnya jangan ga pake celana lagi”

Tunggu dulu…

Kayaknya Aku baru sekali tidur tanpa mengenakan celana dan itu ku lakukan lima malam lalu. Kok Mama bisa tahu? Jangan-jangan mimpi basah waktu malam Senin itu…

Bersambung

pemerkosaan
Reporter cantik yang malang di perkosa di gerbong kereta api
teman ngentot
Kenikmatan ketika aku sedang DIJARAH dua teman lelakiku bagian 1
Foto bugil bispak sange abg lokal remaja promosi di facebook
gadis binal cerita
Demi Memuaskan Nafsu Binal Sahabatku
suster cantik bugil
Ngentot Dengan Suster Yang Merawatku Di Rumah Sakit
di ajakin ngentot pembantu
Di ajakin ngentot pembantu waktu aku tidur di kamar
gadis salon
Perkenalan Ku Dengan Imelda Si Gadis Montok
tetangga montok
Cerita berselingkuh dengan tetangga ku yang montok
guru oral sexs
Bu guru cantik yang mengajari bagaimana caranya oral sexs
tetangga cantik
Nikmatya Memperkosa Gadis Lugu Tetanggaku
500 foto chika bandung bugil telanjang di hotel sambil ngangkang
Foto Cewek Nakal Bugil Pamer Memek Mulus
Permainan Buas Mbak Santi Yang Bohay
Pembantu baru
Tidur Seranjang Dengan Menantu Waktu Di Kapal
Cerita Dewasa Selingkuh Dengan Bibiku Sendiri
istri pak tr
Istri pak RT yang super sexy ketagihan dengan kontol ku