Part #91 : Peri Anaga
Di segala aspek fisik, ukuran dan mungkin pengalaman bertarung–mungkin naga hitam ini meremehkanku. Serangan Banatirta-ku tadi mungkin dianggapnya sebagai kebetulan saja. Ia sangat membanggakan ukuran besar dan kemegahan bentuk naganya yang sangat superior dibanding manusia biasa ini.
Ya… Aku cuma manusia biasa aja. Yang kebetulan punya beberapa keahlian, pengalaman dan keberuntungan yang semakin menyurut. Apalagi mataku kini dalam keadaan lamur. Mungkin juga tembakan Banatirta tadi meleset karena kekurangan mataku ini. Apalah daya menghadapi megahnya bentuk naga yang super perkasa dengan ukuran besar, berkulit keras, bersayap bisa terbang dan bisa menembakkan sinar hitam yang dapat melunakkan benda yang paling keras sekalipun.
Kuhunus kembali mandau Panglima Burung di tangan kanan, perisai quarsa peri Dawala di tangan kiri dan bakiak Bulan Pencak di kedua kaki. Naga hitam itu mengaum dengan suaranya yang menggelegar keras bergema di dalam perut gunung berapi purba ini. Bebatuan kecil runtuh karena keras suaranya. Kepalanya berayun-ayun bersiap untuk menyambut seranganku dari beberapa sudut. Menghadapi naga sebesar ini, aku harus mengaplikasikan beberapa seni beladiri yang kupunya sekaligus. Mandalo Rajo yang terutama, lalu ilmu pedang Mata Angin juga dahsyatnya Gugur Glugur yang meningkat kekuatannya. Ditambah kecepatan lokomotif rubi api, sinar thermal, manfaat mantel rubah hitam dan yang paling anyar jurus panah air Banatirta.
“Hyaaa!!” aku berlari mendekat dengan kecepatan Mandalo Rajo yang dilambari panas mengepul uap rubi api yang menyebabkan tubuhku melaju ke tingkat yang menakjubkan. Diluar dugaan naga hitam itu mengepakkan sayap lebarnya dan melesat maju juga menyambut serangan penuh persenjataanku. Kusabetkan mandau ini sekuatnya ke arah lehernya yang secara tegas ditangkis menggunakan bilah sayapnya yang ternyata kuat dan keras. Lalu secepatnya ia menyapukan cakar empat jari tangannya ke arahku. Kutangkis dengan perisai quarsa.
Ekornya menyapu cepat yang kuelakkan dengan melompat terarah ke depan untuk menyerangnya lagi secara efektif dengan jurus-jurus Mandalo Rajo yang harus selalu menyerang titik vital lawan tiap gebrakannya. Kali ini aku langsung mengincar bagian jidatnya yang terlihat sangat kokoh dengan lempeng bentuk tengkorak yang sangat kokoh. Naga itu malah menyerudukkan kepalanya menyambut papasan mandau-ku.
“Pruukk!!” sisi tajam mandau-ku menggebrak kening sempitnya. Tak ada luka apapun! Ia malah meneruskan serangan headbutt-nya itu, kepala dengan banyak susunan tanduk melengkung yang keras. Kepala dan lehernya berputar seperti pegas untuk memperparah impact benturan yang akan terjadi. Kusilangkan mandau dan perisai di depan kepalaku. “PRAAKK!!”
Aku terdorong mundur karena lesakan headbutt dahsyat barusan. Naga hitam ini punya banyak serangan dengan semua bagian tubuhnya. Kulit pelindung bagian vitalnya keras, sayapnya berbahaya, cakar di jari-jarinya tentunya berbahaya, ekornya bisa menyerang apalagi tubuhnya yang besar bisa bergerak cepat. Fix ini mahluk yang sangat sempurna segi ofensif dan defensif-nya. Lawan yang berat untuk dikalahkan.
Kalo tak kulindungi tubuhku dengan perisai ini, entah seperti apa kerusakan yang terjadi karena kemudian dari arah kiriku, kaki depan naga itu kembali menyambar dengan kilatan cepat kuku-kuku setajam pedang. Buru-buru kubelokkan arah perisai quarsa ini untuk melindungi sisi tubuhku. Alhasil aku terpental karena benturan yang terjadi dengan cepat.
“Rajo nan di ateh… Puak takambang…”
Kurapalkan dengan pelan bait pertama pantun Mandalo Rajo yang diajarkan guruku. Mengambil definisi raja berada di atas mengayomi para rakyatnya agar senantiasa sejahtera. Ini definisi seorang raja yang sangat sesuai denganku sekarang, seorang raja kerajaan Mahkota Merah yang sedang melindungi rakyatnya yang sedang disakiti. Aku begitu marah peri Agni itu tewas begitu saja karena berusaha lepas dari belenggu choker rantai hitam.
Walo naga itu bertubuh besar dan lehernya panjang, aku tak kalah melentingkan tubuh dan melompat mengincar bagian leher dan kepalanya lagi. Keras lehernya yang juga dilindungi sisik keras jenis reptilnya. Tapi ia melindunginya dengan baik. Dengan gerakan kepala menghindar, dengan sayap kuatnya dan juga menggunakan cakar tangan runcingnya. Berarti aku hanya harus mencari titik yang tepat di bagian leher itu.
Dengan kecepatan yang kumanfaatkan, aku menyabetkan mandau-ku berkelebat-kelebat kencang. Tetapi saat membentur sasaran, baik leher ato mengenai sayap, seakan sisi tajam mandau-ku selalu membentur bidang keras seperti tembok baja. Naga hitam ini sangat bangga dengan pertahanannya. Berkali-kali ia juga balik menyerang dengan sinar hitam yang mampu melunakkan benda keras itu. Juga sabetan ekor panjangnya dan tentu saja cakaran tajam kuku.
“Maniti jalan ka luhak sabaleh… Parigi bapanuah kiambang…”
Kecepatan yang kuambil membuatku berlari di dinding bebatuan lalu menerjang turun dari langit-langit gua perut gunung berapi ini. Naga hitam menundukkan kepalanya hendak melakukan headbutt kembali. Kuangsurkan perisai quarsa di bagian depan, mandau menahan di belakangnya dengan cepat, menantikan benturan. Tanduk-tanduk yang tumbuh di kepalanya kemudian berbenturan keras denganku.
“PRAAAKK!!”
Leher gempal dan kuatnya tak membuatnya bergeming. Malah aku terdorong sedikit yang kuperpendek dengan memutar tubuh dan membacokkan mandau ke arah leher yang menyambung ke kepalanya. Aku belum mencoba bagian itu. Dari gerakan mata dan geliat tubuhnya, naga hitam itu tau aku mengincar bagian tubuhnya itu. Tak segan ia menjatuhkan tubuhnya hingga serangan sabetanku menyambar ruang kosong. Kaki belakangnya berputar dan luruhan ekornya menyusul dengan derasnya bak hembusan badai.
Sedikit terlambat bagiku untuk menempatkan perisai quarsa di samping tubuhku karena sebagian besar ekor itu menerpa sisi tubuhku dari bagian lengan memanjang sampe paha. Aku terbanting deras oleh sapuan impresif yang sangat luar biasa itu. Dua kali aku bergulingan di tanah dan berhenti karena menggunakan mandau sebagai jangkar pemantek posisiku. Berjongkok sebisanya dan membuka mulutku lebar-lebar. “FRRWWWAAAAHHH!!” sinar thermal memancar dari mulutku.
Naga hitam itu hanya berkelit sedikit dengan sayap mengepak lebar karena ia mengejarku setelah sempat di atas angin sebelumnya. Ia mau buru-buru menghabisiku sebelum aku sempat memperbaik posisi. Dari posisi berjongkok yang belum mantap, aku berguling ke samping, menembakkan sinar thermal sekali lagi dengan bersembunyi di balik gumpalan batu karang yang menonjol. Ini bekas tiang berupa endapan bebatuan berbentuk stalagtit yang sudah hancur.
Tak tanggung-tanggung, ia langsung menubrukku begitu saja memanfaatkan ukuran tubuhnya yang tak sebanding denganku. Batu karang hancur dan aku terdorong kuat dengan keluhan sakit akibat tubrukan barusan. Perisai quarsa seampuh ini tak ada gunanya bila berurusan dengan kekuatan fisik sejenis benturan begini. Tunggang langgang aku bergulingan menjauh dari bagian dalam perut gunung. Ini arah menuju pintu masuk berupa lorong rahasia itu.
Istana purba ini ada di atas gundukan tinggi hingga aku sekarang menggelinding turun ke arah bebatuan padas di bawah sana. Buru-buru kuperbaiki posisiku hingga aku bisa berdiri kembali. Naga hitam itu tetap mengejarku. Sayap hitam lebarnya terkembang lebar tanpa kepakan untuk mendarat. Kuku-kuku tajamnya dari keempat kakinya terhunus siap melubangi tubuhku. Aku masih dalam baris pantun kedua saat ini. Parigi bapanuah kiambang…Perigi dipenuhi eceng gondok.
Kuhentakkan perisai quarsa ke arah kumpulan batu-batu padas hingga menimbulkan percikan cahaya terang menyilaukan. Sejumlah besar batu itu mencelat mengudara yang kemudian tanpa menunggu lama langsung kusambar dengan sabetan mandau Panglima Burung. “Pedang Selatan Menebas Ilalang…” puluhan bayangan mandau ini segera berbentuk dan menghentak bebatuan yang sekejap melayang sebab hentakan barusan. Sekali tebas mengenai banyak target sekaligus. Karenanya aku khusus memakai jurus ini di dalam Mandalo Rajo.
Batu-batu itu melesat cepat ke arah naga hitam itu. Menerpa dengan cepat bak hujan tembakan bombardir bebatuan keras. Naga hitam tak hilang akal. Ia menembakkan sinar hitam itu dari mulutnya dan menghajar batu apapun yang mengarah padanya hingga hancur lumer dan jarak kami semakin memendek. Dan ia menembakkan sebuah sinar hitam yang sepertinya lebih besar dari biasanya. Mau membunuhku?
“Babelok arah ka rimbo Rao… Dapek ruso nan balang tigo…”
Dengan liat dan fleksibel tubuku, aku berbelok sesuai awal bait ketiga ini. Mencari alternatif serangan yang tentunya harus brutal sesuai definisi hutan Rao yang liar dan tak tersentuh. Harus tiga!
Aku menggunakan kecepatan bergerak dengan dorongan panas lokomotif itu memanjat satu tiang utuh yang masih selamat, lalu melompat tinggi dengan pijakan kaki yang sudah mantap. Tangan ditarik di sebelah kanan untuk tembakan Banatirta.
Naga hitam itu mendongakkan kepalanya demi melihat gerakan cepat yang kulakukan. Tanganku sudah menghentak maju begitu aku melompat dengan tolakan dua kakiku. “BANATIRTA!” lesakan air bertekanan tinggi dengan semburan pendingin tubuhku menyembur cepat seperti anak panah Arjuna. Selalu tepat mengincar buruannya.
Sang naga hitam jelmaan peri Anaga itu melindungi dirinya dengan tembakan sinar hitam serba gunanya itu. Ada kepulan uap panas yang terjadi saat kedua kekuatan itu berbenturan. Aku sudah berpindah tempat berkat lentingan melompat tadi dan sudah ada di lain sudut bersiap untuk serangan selanjutnya. “GUGUR GLUGUR!!” Tendangan stomp dengan dengan dua kaki yang memakai bakiak Bulan Pencak terarah tepat mengincar kepalanya yang super keras. Sekuat apa kalo dihajar dengan Gugur Glugur-ku yang sudah mendapat suntikan tenaga baru.
Ia terpancing dan mengarahkan kepalanya kembali untuk headbutt yang sering jadi andalannya. “PRAAKKK!!” suara gebrakannya menggetarkan jiwa. Terjadi luapan angin kencang karenanya. Kepalanya terlontar ke samping berkat leher tebalnya. Sedangkan aku terdorong mundur lagi melawan arah gerakku; melawan arah gravitasi. Kakiku terasa kesemutan akibat benturan itu. Ini kali pertama aku merasakan efek begini abis melakukan Gugur Glugur. Begitupun dia, ia menggelengkan kepalanya, mengenyahkan rasa pusing yang mungkin menyengat kepalanya walo sedikit. Sudah dua serangan—harus berhasil di yang ketiga ini!
“Akkhh…” keluhku sendiri merasakan pedih perih koyaknya daging dan kulit tangan kakiku saat cakar-cakar khas harimau Mandalo Rajo mencuat dari tempatnya. Aku yang sudah dari tadi dalam mode Mandalo Rajo, hanya saja masih menahan diri tak mengeluarkan cakar harimau-ku. Rasanya masih saja sakit dan pedih. Tapi tak bisa lama-lama cengeng melow merasakannya karena aku melesat maju dengan tangan terbentang–khas pose Mandalo Rajo asli–melepaskan mandau dan perisai quarsa. Head on langsung menghadang lawan. Siapa yang menang naga ato harimau?
Tau apa yang kulakukan pada mahluk sebesar ini? Aku mengincar semua sendi-sendinya yang tentu berukuran besar. Ketiak kadal besar itu! Total ia punya empat ketiak kalo selangkangan kakinya juga disebut ketiak. Aku menusuk-nusuk keempat ketiak itu dengan cakar Mandalo Rajo secepat kilat. Berpindah dari satu kaki ke kaki satunya. Aku dari awal sangat yakin kalo lokasi itu agak lebih lemah dari bagian tubuh lainnya. Setidaknya perlindungannya lebih tipis berapa persen aja untuk memudahkan pergerakannya yang cukup lincah. Dan itu yang kueksploitasi.
Si naga hitam berusaha menangkapku dengan gigitan gigi taring runcing-runcingnya. Sebagai representasi kekuatan raja hutan dari kalangan kucing besar yang lincah dan liat dalam bertarung, serangannya dengan mudah kuelakkan. Mudah saja aku berkelit dan melarikan diri berputar dari kolong tubuhnya dan pindah ke bagian kakinya yang lain. Tusuk-tusuk kembali ketiak kaki kadal bersayap itu yang membuatnya meraung kesakitan.
“WHRRRAAAAUUUHHHH!!” jerit kesakitan naga yang tadinya sangat perkasa itu. Rasa sakit dan kerusakan otot sendi yang kutusuk berulang-ulang tentunya sangat mengganggu mobilitasnya. Dan yang terakhir kuincar adalah sendi sayapnya di punggung. Mata reptilnya membelalak menyadari apa yang kuincar selanjutnya begitu aku memanjat cepat punggungnya.
Tindakan pencegahan yang dilakukannya tidak begitu kuantisipasi karena ia membantingkan punggungnya ke arah dinding terdekat.
Gua perut gunung ini terasa bergetar. Apalagi duniaku. Tubuhku rasa remuk digencet punggung bersisik kasarnya yang dihantamkan ke dinding kasar. Kuku harimauku tak mampu menembus punggungnya yang tebal. Sepertinya di bagian sini sisiknya bercampur tulang dan langsung terhubung ke tulang belakangnya yang kokoh. Aku terjatuh dari punggungnya dan sumpah rasanya sakit bukan main. Aku juga tak dapat bergerak cepat karenanya saat ekornya mengayun secepat kilat dan menghantamku lagi.
Karena dikibaskan dengan cepat, rasa sakitnya setara seperti digencet barusan. Edan naga hitam ini. Bisa remuk semua tulang-tulangku. Nungging-nungging aku dibuatnya. Kepala di bawah dengan leher melintir dan kaki sebelah di dinding sebelah lagi ketekuk. Bayangi aja kondisiku saat ini. Naga itu juga tak kalah parah. Ia kesulitan berjalan karena robeknya otot dan urat sendinya dan sebelah sayapnya juga mengalami kerusakan karena aku sempat menusuk sendi sayap kanannya sekali sebelum serangan balasannya menghantamku. Efeknya, kakinya tak dapat menopang tubuhnya lagi dengan semestinya dan menyebabkan kerusakan yang beruntun makin parah.
“Ahhh…” naga hitam itu mengubah wujudnya lagi menjadi peri Anaga berwujud peri berambut hitam, bertanduk dan bersayap itu lagi agar jatuh tubuhnya tak begitu menyakitkan. Mencoba berdiri tapi langsung jatuh lunglai. Luka di sendinya serupa persis seperti yang dialami bentuk naganya. Ia terpuruk jatuh, sama sepertiku.
“Baginda rajaa!!” jerit Eka langsung menubrukku. Ia langsung bersimpuh memelukku melihat luka-luka yang kualami. Wajahnya sangat cemas. Sas ada di depanku, menghalangi dengan tubuh besarnya, tepat menghadang peri Anaga itu. “Tangan dan kaki baginda berdarah… Ini apa?” tanya Eka pada koyakan di buku jariku yang tertembus cakar harimau-ku. Ia tentu belum tau teknik Mandalo Rajo-ku ini.
“Bukan apa-apa, Ekaaa…” keluhku berusaha bangkit. Gengsi aja harus ditolong dan dikasihani rakyatku sendiri. Tapi itu sumpah rasanya berat kali, makjang! Tubuhku kek gak ada tenaga sama sekali. Hanya jari-jari tanganku yang bisa kugerakkan saat ini.
“Perintahkan hamba, baginda!” teriak Sas di depan kami berdua. “Haruskah hamba basmi dia?!” ia memegangi senjata linggisnya dengan perasaan geram. Ia sepertinya sangat marah hingga seperti bakal diremasnya linggis keras itu lalu dijadikan adonan.
“Dia bukan lawanmu, Sas… Bantu aku duduk, Ka… Uhh…” susah payah aku bangun dan pandanganku terhalang oleh tubuh besar lebar Sas yang menghalangiku melihat lawan beratku ini. Dan saat aku bisa berdiri lagi akhirnya, aku bisa melihatnya berbaring miring. Peri Anaga itu hanya berbaring miring dengan pandangan mata bengis. Dari keempat sendi tubuhnya, dua ketiak tangan dan dua pangkal paha mengucurkan darah segar yang tak ayal lagi membuatnya lemas kehabisan darah. Itu yang kau dapatkan kalo main-main dengan Mandalo Rajo secara utuh.
“Dia masih belum menyerah, baginda…” sadar Eka yang menghunus pedangnya melihat gelagat peri Anaga itu.
“Tentu dia gak akan menyerah… Ia masih punya semangat itu… Hanya saja ia gak bisa menggerakkan tubuhnya dengan benar…” mendengus-dengus dengan nafas beratku. Tubuhku masih kerasa remuk dilindas tronton berkat tindihan dan libasan ekornya.
“Dia sudah membunuh peri Agni itu, baginda… Perintahkan hamba!” desak Sas masih begitu berangnya.
“Aku mau bicara dulu dengannya…”
“Tapi peri Anaga itu tidak bisa diajak bicara, baginda…” sangkal Eka.
“Siapa bil…” peri Anaga itu mengibaskan sayap kirinya yang sehat hingga debu pasir berserakan mengaburkan pandangan kami. Rasa ini! Ia akan menembakkan sinar hitam itu! Entah siapa yang diincarnya. Antara Sas ato Eka ato malah diriku. Kupanggil lagi mandau Panglima Burung dan perisai quarsa itu sekaligus dan meloncat sekuatku ke depan dengan tubuh melengkung membentuk tubuh udang.
Benar saja! Debu tebal terkuak oleh tembakan cepat sinar hitamnya dan tepat sasaran di persilangan mandau dan perisai quarsa yang ngeblok dengan sempurna.
“SWWWAAFF!!”
Sialan. Aku kelupaan. Mandau berada di posisi paling depan. Seharusnya mandau-ku ini di belakang perisai untuk menahannya. Bagian tengah mandau rompal rusak seperti meleleh hingga hampir ke bagian gagangnya. Bisa-bisanya aku salah meletakkan posisi ini. Ini salah satu ketidak beruntunganku yang mulai meresap masuk ke dunia ghaib ini-kah? Urus nanti ajalah itu…
Peri Anaga terjatuh terkulai kembali ke tanah dengan semburan darah kental lebih banyak dari tubuhnya yang sudah terluka. Mulutnya menjerit mengeluarkan suara yang sangat memilukan. Seperkasa apapun dirinya, sekuat apapun tubuhnya, rasa sakit luka-luka baru itu tak akan dapat dipungkirinya. Tubuhnya ngeblak seperti karung beras. Kepalanya bahkan terbentur sebuah batu hingga batunya yang pecah.
Aku mendengar Eka dan Sas yang menjerit memanggil namaku di belakang sana sudah berpindah tempat di depanku—merangsek maju. Ternyata mereka berdua yang menjatuhkan peri Anaga malang itu. Linggis Sas mematahkan tangan kanannya hingga melintir bergeser ke sudut yang terlihat sangat menyakitkan. Eka bahkan menyabet melintang leher, dada hingga perutnya hingga menjadi luka menganga terbuka. Peri Anaga itu menggelepar sekarat saat Eka menginjak kepalanya dengan todongan pedang di leher yang akan dengan mudah memapas kepalanya. Sas apalagi sudah mengangkat linggisnya siap menghantam bagian dada.
“Sudah-sudah!” leraiku kasihan pada keadaan peri Anaga itu. Nafasnya megap-megap sekarat. Aku jamin, sekali gebrak saja entah oleh siapa pasti koit peri perkasa yang bisa berubah menjadi naga ini.
“Ggaahhh… Bunuh aku! BUNUH AKU DENGAN CEPAAATT!!” makinya.
“Jaga mulutmu! Kau memang harus mati!” Eka menginjak makin kuat pelipis peri berambut hitam itu berang dengan makiannya padaku. Eka selalu marah kalo ada yang berbuat tak pantas padaku seperti itu. Tapi keadaannya memang menggenaskan dan bentar-bentar lagi mungkin mati.
“Maharaja-ku akan membalas kalian semua!! LIHAT SAJA!” ia terus meradang tak merasa takut apapun. Boleh dong asal ngomong, udah mau mati ini.
“Dan habislah peri Anaga…” kata Sas mengejek. Mulutnya terkatup rapat. Antara bingung harus menyumpah-serapahkan apalagi dan galau. Habis peri Anaga? Seperti Wingsati yang merupakan peri Padma terakhir waktu itu?
“Tidak apa-apa kalo peri Anaga tak ada lagi… Kalian hanya menebarkan kejahatan aja…” sambung Sas lagi.
“Dia peri Anaga terakhir?” tanyaku tentunya kepo. Akan sayang sekali kalo peri sekuat ini musnah tak ada penerusnya. Aku bergantian menatapnya dan Sas. Darah semakin sedikit mengucur dari tubuhnya. Sepertinya ia akan kehabisan semua darahnya dan kulitnya semakin pucat lemah.
“Hanya ada satu peri Anaga yang bisa hidup, baginda… Anaga lama digantikan Anaga yang baru… Selalu begitu sesuai kutukannya… Mungkin agar tak terlalu banyak kerusakan yang bisa disebabkannya…” kata Eka tak melepaskan todongan pedangnya dari leher yang semakin pucat itu. “Jangan bergerak kau!” seru Eka melihat tangan kiri peri Anaga itu bergerak ke arah perutnya yang koyak memanjang dari dada. Tapi ia tak perduli dan terus menyentuh lukanya. Sas yang geram bahkan memukul bagian tanduk keras peri Anaga itu, membuat kepalanya berguncang.
“Aaaakkhh!!” jeritnya semakin memilukan saat pedang Eka menusuk lengannya agar ia berhenti bergerak yang tak perlu.
“Sudah! EKA! SAAS!!” teriakku agar mereka berdua berhenti menyiksanya lebih jauh. Patuh keduanya berhenti melukai peri malang itu. Tapi kuakui peri Anaga ini memang-lah merengkel (keras kepala) kali, tetap aja ia menyentuh luka di perutnya itu—eww… Tangannya masuk ke dalam luka menganga itu dan merogoh ke dalamnya. Bukankah itu sangat menyakitkan?
Meringis seperti kesakitan yang amat sangat sampe tubuhnya bergetar menahankannya. Giginya mengatup erat dan urat lehernya menonjol jelas. Sekilas aku teringat mengejan seperti perempuan waktu melahirkan. Mirip-mirip. Tapi aku taunya itu sangat sakit, merogoh ke dalam rongga perut sendiri yang robek. Entah untuk tujuan apa…
“Aahhh…”
Aku hanya bisa melongo saja melihatnya. Ini maksudnya apa?
“Terserah mau di pihak manaah… Tolong terimalah telur iniiih… Mbb…” ia menahankan sakit yang sangat luar biasa.
Dengan sadar aku langsung cepat-cepat menerima sebutir telur mungil berlumuran darah itu. Cangkangnya berwarna hitam pekat dan titik-titik putih jarang hanya seukuran telur burung puyuh. Begitu serah terima terjadi, tangan kirinya yang bergetar menyerahkan telur mungil itu langsung jatuh terkulai. Ia sudah tak bernyawa lagi.
——————————————————————–
“Aahhh… Itu dia definisi fela… uh felan-felan yang pernah kumaksud waktu itu… Saptadasa memang jagoan deh kalo soal pijat memijat…” kataku memuji jari-jari lentik terampilnya yang mahir memainkan apa aja. Dari alat musik, peralatan instrumen seni, bahkan memijat otot-otot yang tegang. Jari-jarinya pelan-pelan merayap di setiap ototku yang serasa remuk abis bertarung dengan peri Anaga itu.
“Itu sudah tugas hamba, baginda…”
Gak sampe ati aku nyebut felatio padanya. Walo pasti akan indah sekali kalo mulut mungil itu dimasuki Aseng junior-ku. Jadinya ‘fela’ yang terputus tadi kuralat menjadi felan, yang sumpah mampus gak nyambung sama sekali. Bingung tuh dia dengar kata felan yang disuarakan dengung sengau gitu seperti va’asa Arab, b tebal. Jadinya kualihkan perbincangan kami dengan memintanya memijatku aja.
Dan kembali aku minta dia memijatku lagi. Kali ini aku benar-benar butuh magic keterampilan jarinya…
Setelah selesai menikmati jari-jari Saptadasa, dengan badan yang terasa mendingan, lebih segar, aku bergegas ke tempat tiga peri Agni itu ditempatkan. Mereka bertiga yang sekarang ini sebenarnya asing di kerajaanku, kubawa kembali ke istana untuk mendapat perawatan. Sebenarnya luka-luka mereka tidak terlalu parah, hanya saja choker rantai hitam itu yang berbahaya. Walopun mendapat perawatan, mereka bertiga tetap saja tawanan dan ditempatkan di dalam dungeon bawah tanah.
“Maaf, baginda… Kami harus mengikat mereka seperti ini karena mereka masih dalam pengaruh kekuatan musuh…” kata Eka yang menjaga satu peri Agni itu. Dwi dan Tri juga ada di sini, menjaga masing-masing satu tawanan.
“Gak apa-apa… Bagaimanapun mereka masih bagian dari musuh… Apakah kalian sudah mencoba membuka rantai di leher itu?” tanyaku mendekat ke peri Agni yang dijaga Eka, melongok lebih rapat ke bagian lehernya. Peri Agni itu terlihat risih kudekati begitu.
“Tidak berani, baginda… Kekuatan rantai itu berbeda…” jawab Eka. “Sebentar lagi Cayarini akan kemari… Mungkin ini adalah besi hitam kaum peri Candrasa… Mungkin ia lebih tau cara membukanya… Nah itu dia…” panjang umur Cayarini yang barusan dibicarakan muncul dari balik pintu yang langsung menuju lorong gua bawah tanahnya.
“Perlu bantuan hamba, baginda raja?” sapanya sedikit menunduk begitu ia menyadari aku ada di dungeon ini.
“Liat rantai leher di peri Agni ini… Apakah ini besi hitam peri Candrasa?” tunjukku ke leher peri Agni yang terus bungkam seribu bahasa. Cayarini mendekati peri itu dan melongok ke arah leher yang kumaksudkan.
“Ini memang besi hitam, baginda… Tapi ada energi tambahan yang menyertai energi aslinya… Seperti ada muatan memperkuat tenaga pengekangnya…” jelasnya setelah dirasa cukup menilai rantai choker itu. “Seperti petir yang juga berwarna hitam…” tambahnya.
“Mereka awalnya berempat… Satu mati setelah berhasil melepas kalung rantai ini dengan api miliknya sendiri dan bantuan sinar panasku… Mereka ini adalah peri Aruna yang sudah diserahkan pemimpin sebelumnya pada pemimpin lawan… dan sekarang meningkat menjadi peri Agni…” jelasku agar Cayarini sedikit lebih paham masalahnya. Kujelaskan juga kalo dari 12 peri Aruna itu hanya kurang dari setengahnya yang berhasil berubah menjadi peri Agni. Sisanya yang gagal, tewas. Dan kemudian tereliminasi lagi hingga tersisa 3 peri saja.
“Bila petir hitam ini tidak ada, hamba bisa saja membuka rantai besi hitam ini, baginda… Sepertinya malah baginda yang lebih mampu melakukan itu… secara baginda memiliki onyx hitam dan pedang Candrasa aslinya…” ujar Cayarini yang membuatku teringat akan nasib mandau Panglima Burung-ku yang sudah rusak parah. Aku belum memberitau burung enggang keramat itu akan senjata tajam pemberiannya tapi sepertinya ia sudah tau dengan sendirinya.
“Pedang ini?” tanyaku dengan memegang pedang dimana onyx hitam yang kini ada di mahkotaku berasal. Pedang yang pernah dipakai pengawal ratu Nirada memporak-porandakan obrolan kami bertiga para anggota Ribak Sude kala ngopi di warkop dekat taman itu. Di tangannya, pedang dari bahan besi hitam murni ini sangat mematikan. Terbersit rencana untuk mengganti mandau itu dengan pedang sekaliber ini. Padahal aku awalnya berencana menjadikannya pedang Utara setelah mandau di pedang Selatan.
“Pedang itu beserta onyx hitam pasti sudah lebih dari cukup kalau baginda raja hendak melepas rantai itu dari mereka…” kata Cayarini memastikan kata-katanya barusan dengan melongok ke arah leher peri Agni itu.
“Kau yakin?” tanyaku lagi lebih mendekat pada peri Agni yang mimiknya seperti berubah ketakutan. “Takutnya gagal… malah membunuhnya…” raguku sambil tetap mengacungkan pedang yang bernama resmi Paksapeti ini. Bulan Sabit Hitam. Ucapanku terakhir malah membuat peri Agni yang seharusnya gagah perkasa itu makin takut karena satu temannya sudah ada yang mati karena mencoba melepas choker rantai hitam ini.
“Jangann…” bisiknya mendesis menolak.
“Diam!” sergah Eka yang mendorong jidat peri Agni itu agar mendongak dan aku bisa melihat lehernya lebih jelas. Choker itu mengikat erat sedikit mencekik lehernya sesuai namanya dan memang perlu usaha lebih kalo mau melepaskannya karena tak ada sambungan rantai yang terlihat sama sekali kecuali dengan cara merusaknya.
“Jangann…” bisiknya lebih ke memohon. Aku mengetuk bahan rantai itu dengan ujung runcing Paksapeti. Secarik petir hitam mencuat. “Bzztt…” suaranya terdengar jelas sedekat ini karena ada benda asing yang berusaha mengusiknya.
“Apakah kau tidak mau terbebas dari belenggumu ini? Kau bisa menjadi peri yang merdeka…” kataku membujuknya dan menyentuhkan lagi ujung runcing pedang Paksapeti. Petir hitam itu kembali mencuat dan menjalar di sepanjang bahan besi hitam itu. “Kau pastinya tak setuju ketika dipasangi alat ini, kan?”
“Jangaaann…” isaknya yang takut sakit lalu mati dalam kesakitan yang teramat sangat. Mati dengan leher hangus seperti rekannya sangat membuatnya trauma.
“Aku tak bisa membiarkan ini ada di lehermu dan teman-temanmu yang lain! Abis ini kalo kalian mau balik lagi ke maharajamu itu… balik sana aku gak peduli! Tapi rantai ini harus dilepaskan dari lehermu!!” seruku geram memegangi lehernya lalu membakarnya. Peri Agni berelemen api tentu tidak akan terpengaruh oleh panas api yang sama seperti miliknya. Aku hanya sedang berusaha melindungi lehernya dari bersentuhan langsung dengan bahan besi hitam terkontaminasi petir hitam itu. “Pegangi dia kuat-kuat, Eka!!” peri Aruna nomor satu itu sebenarnya tak tega, dari mimiknya, tapi tetap patuh dan menahan kepala peri Agni itu.
Ujung pedang Paksapeti menelusup masuk ke balik rantai mengakibatkan petir hitam itu semakin marak berkelebat. “Bzzt bzzzttt bzztt…”
“Aaaahhhhh!!!” peri Agni itu menjerit kesakitan bercampur ketakutan juga. Aku harus melakukannya dengan cepat.
“Bzzt bzzzttt bzztt…”
“Gunakan onyx hitamnya, baginda…” seru Cayarini di belakang. Gimana cara menggunakannya? Menggunakan kekuatan bayangannya? Apa iya?
“Ctak!”
Eh… Berhasil-loh. Aku yang mengatur sudut masuk pedang Paksapeti hingga bayangannya dari kobaran apiku tepat beradai di balik rantai besi hitam ini. Begitu bayangannya tepat, aku melakukan gerakan mengiris dan besi hitam sekuat itu putus begitu saja seperti sehelai benang. Rantai choker yang sudah putus itu jatuh ke lantai. Masih ada sengatan petir hitam lemah dan akhirnya berhenti sama sekali.
“Sukurlah…” desahku lega. Peri Agni itu mengintip dengan satu mata kurang yakin. Padahal sudah tidak ada lagi sengatan peri hitam yang terasa menyiksa tubuhnya. Eka juga terlihat lega.
“Baginda raja sudah tahu caranya?” kata Cayarini mendekati potongan rantai choker itu. Ia menjawil benda itu dengan ujung tangan palsunya. Tak ada jejak petir hitam apapun. Sepertinya aku benar-benar berhasil. Aku manggut-manggut paham apa yang sudah kulakukan tadi. Aku hanya perlu mengendalikan bayangan pedang ini. Lebih tepatnya memanipulasi bayangannya ke sudut tertentu. Bayangan bisa memanjang, bisa 1:1 dengan benda aslinya dan bisa memendek ato berubah sudut.
“Aku harus memastikannya dengan dua choker lainnya…” jawabku bersemangat. Jadilah ketiga peri Agni yang statusnya tawanan ini menjadi kelinci percobaanku dalam belajar menggunakan Paksapeti secara optimal. Senjata ini ternyata sangat berguna. Aku akan menanyakan lebih lanjut pada pengawal ratu Nirada lebih lanjut nanti tentang trik-trik menggunakannya secara ia sudah terlebih dahulu menguasainya dengan baik.
——————————————————————–
“Maaf, Panglima Burung… Mandau yang diberikan kepada anak… malah jadi rusak begini…” kataku menunjukkan mandau yang rompal parah begini. Entah gimana cara memperbaikinya. Aku sudah menanyakan pada para peri perajin tapi mereka tak mengerti esensi mandau khas Kalimantan ini sehingga mereka kesulitan memperbaikinya. Tak ada jalan lain daripada ngomong langsung pada asal pemberinya.
“Tidak usah sungkan, anak… Itu artinya mandau ini dipakai sesuai takdirnya… Dipakai untuk bertarung… Dan anak bertarung demi kebenaran yang anak yakini… Aku malah bangga memberikan mandau ini pada anak… Ini bukti bahwa anak menggunakannya di jalan yang benar…” jawabnya bijaksana malah tidak marah sama sekali. Malah ia bangga mandau ini telah digunakan secara maksimal.
“Jadi… gimana Panglima Burung?” tanyaku lagi. Segan pulak kalo kubilang aku gak bisa make mandau miliknya lagi. Apa kubalikkan aja ke dia, ya?
“Kembalikan mandau itu ke kepalaku… Aku akan coba memperbaikinya… Semoga saja masih ada jodoh antara anak dan mandau ini… Semoga masih bisa dikembalikan ke kondisinya…” sahut sang Panglima Burung seperti bisa membaca maksudku. Tentu aja aku segan kali padanya karena pertama kali ia memberikan mandau itu, senjata khas dayak itu dalam keadaan bagus dan prima. Sekarang harus kukembalikan dalam keadaan rusak. “Tidak usah sungkan begitu… Kita saling menolong disini…” katanya menepis keraguanku.
Jadilah kuarahkan mandau ini ke arah jidat jenong burung Enggang Gading berbahan tanduk keras ini yang di kalangan pemburu liar merupakan barang yang sangat berharga mahal. Mandau ini merasuk masuk ke asal kemunculannya lagi dan terus kudorong hingga hilang di dalam sana. Semoga mandau yang sudah beberapa lama ini menemani kiprahku sebagai seorang Menggala benar-benar bisa pulih kembali.
Panglima Burung lalu mengepakkan sayapnya dan terbang kembali ke tenggeran kesukaannya, di puncak tertinggi pohon di hutan setelah mengatakan akan berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki mandau-nya. Untuk sementara ini posisi pedang Selatan akan diisi oleh pedang Paksapeti ato kembali memakai pedang daun saja? Paksapeti sesuai rencana menempati pedang Utara. Aku sudah lama tidak mengasah jurus-jurus pedang Utara-ku karena selama ini lebih sering menggunakan jurus pedang Selatan yang destruktif. Pedang Utara juga tak kalah destruktifnya tetapi ada beberapa yang berperan defensif.
Dan… telur mungil peri Anaga ini.
Apa yang harus kulakukan dengan telur peri kuat yang bisa berubah menjadi naga ini? Dia secara langsung diberikan kepadaku oleh peri Anaga indukannya. Mengatakan kalo ‘terserah mau di pihak mana’. Mau di pihak kami atopun pihak Lord Purgatory, ia tak perduli. Yang penting ada yang mengurus telur penerus peri Anaga. Survival rate peri Anaga sangat genting kurasa. Karena hanya ada satu peri Anaga saja yang boleh hidup satu periodenya. Peri Anaga menyikapinya dengan menjadi peri yang sangat kuat ini untuk menjamin keselamatannya. Menjadi mahluk kuat berbentuk naga sesuai dengan namanya Anaga yang berarti seperti Naga.
Dan apakah telur ini sudah dalam kondisi siap menetas yang artinya hanya perlu dierami? Ato apakah masih dalam keadaan perlu dibuahi dulu? Itu sangat tidak mungkin karena telur ini sudah berbentuk padat begini apa lagi sudah berada di luar tubuh induknya. Masak aku harus membuahi telur yang sudah bercangkang keras begini?
Tidak ada yang paham tentang telur peri Anaga ini di kerajaanku. Lebih tepatnya, tak ada yang punya pengetahuan lebih lanjut tentang peri Anaga ini termasuk tentang reproduksi dan telurnya. Tidak para ratu seperti ratu Nirada, ratu Lawana dan calon ratu Cayarini. Cayarini secara spesifik mengatakan kalo peri Anaga bukanlah deviasi dari peri Candrasa walopun sama-sama berambut hitam. Tidak seperti peri Padma yang merupakan percabangan dari peri Aruna di suatu masa di masa lalu. Semacam mutasi begitu. Tidak dengan peri Anaga.
Peri Anaga sepertinya adalah jenis peri tersendiri yang terlepas kaitannya dengan lima peri awal yang lahir dari pecahan batu permata cermin dewi kahyangan. Dan sepertinya masih ada banyak jenis peri lain sepertinya yang berstatus begitu.
Karena ukurannya yang mungil, aku meminta dibuatkan semacam keranjang kecil yang bisa kujadikan semacam kalung yang selalu kupakai kemana-mana dengan telur hitam berbintik putih jarang itu sebagai bandulnya. Setidaknya dengan begini aku bisa menjadi semacam induk penggantinya yang selalu dekat membawanya.
“Baginda… Jadwal latihan perang bersama perdana akan segera dimulai… Apakah baginda raja ingin menyaksikannya?” ujar Astha yang mendekat setelah terlebih dahulu menunduk hormat. Latihan perang bersama… Aku sudah menunggu-nunggu momen ini. Tentu saja aku ingin menyaksikan momen penting ini. Ini momen yang sangat berharga untuk disaksikan oleh sang raja kerajaan ini. Pastinya mereka, para peri muda yang baru saja mulai hidupnya di kiprah kerajaan ini perlu suntikan semangat dengan disaksikannya latihan perang bersama mereka, langsung oleh sang raja, pemimpin tertinggi di kerajaan ini.
Ada tiga kelompok besar peri muda di kerajaan Mahkota Merah yang masing-masing terdiri dari lebih dari dua ratusan personil. Peri Asti menempati jumlah terbanyak, sejumlah 387 peri. Kemudian peri Aruna sebanyak 337 dan peri Dawala sejumlah 263. Bila dijumlahkan semua sudah mencapai angka 987. Hampir 1K jumlahnya. Itu tentunya hanya hitungan peri muda, belum termasuk peri awal yang sudah ada sebelumnya.
987 peri muda dengan tiga warna rambut mencolok itu berbaris rapi menurut jenisnya. Peri Asti di kiri, peri Aruna di tengah dan peri Dawala di kanan. Mereka berbaris rapi dan melakukan semacam defile sederhana berupa koreografi yang juga sederhana menggunakan pedang yang mereka pegang masing-masing. Tiap barisan besar punya koreografi tersendiri hingga bingung harus menikmati yang mana dahulu karena akan ketinggalan yang lainnya.
Cemana rasanya ngeliat hampir 1K peri muda telanjang berbaris rapi di depanmu? Aku belum sempat balik ke dunia nyata dan memesan seragam yang sesuai bagi para peri muda ini. Jadi bisa kukatakan… ngences, cuy. Ngences atas bawah tepatnya. Mulutku meneteskan liur dan mulut Aseng junior meneteskan pre-cum. Tetek dan apem sepanjang mata memandang, cuy. Seger mataku ngeliat pemandangan indah ini. Berbaris rapi dengan tegak lurus dada membusung, kaki rapat memegang senjata pedang kayu sementara selama latihan.
Bak pasukan militer di dunia nyata, aku diminta untuk inspeksi barisan. Memeriksa barisan yang tentu saja harus berada paling depan aku dapat dengan jelas melihat secara lebih dekat tubuh mengkal peri muda yang berbaris tegap paling depan. Mataku tentu saja tak dapat lepas dari sepasang bulatan mengkal tak berpenutup dengan pucuk pentil yang sangat segar menggoda. Perut rata dengan pusar sipit vertikal imut kemudian menonjolkan tajuk segitiga mulus tak berambut dengan belahan sempit di ujungnya yang diapit sepasang paha bernas penuh vitalitas hasil latihan penuh.
Jalan dari kiri ke kanan, peri Asti berambut cyan yang pertama kali kuperiksa barisannya. Modus kuperbaiki posisi berdiri tegak seperi Asti muda agar lebih membusungkan dadanya dengan menekan bawah dadanya, tepat di bawah payudaranya dan di atas bokongnya. Dengan sigap ia memperbaiki posisinya dan mempererat genggamannya pada pedang kayu miliknya. Aku berpindah ke dua baris di sampingnya dan menunjuk satu peri Asti lainnya di barisan keempat untuk maju ke depan dan memperagakan jurus berpedang yang sudah dipelajarinya.
Dengan sigap peri Asti muda itu penuh semangat memamerkan jurus-jurus pedang awal prajurit peri Asti yang sudah dikuasainya selama latihan. Namanya masih prajurit baru, semuanya masih standar saja. Kalo di kalangan bela diri, mungkin masih dalam taraf sabuk merah ato ijo. Tapi ya namanya juga modus. Bukan itu yang kuperhatikan benar-benar. Aku hanya memperhatikan kenyal getar berguncang tubuh mengkal peri muda ini kala bergerak mengayunkan pedangnya, menyabet berputar dan langkah berpindah dari kuda-kuda awal yang sungguh menggetarkan jiwa mesumku. Ahh… Aseng junior bahagia sekali menikmati itu semua.
Puas gak puas dengan barisan peri Asti, aku berpindah ke peri Aruna. Modusku tetap sama. Bisa menyentuh beberapa bagian tubuh peri Aruna muda itu kala mengkoreksi posisi tubuhnya, merasakan halus kulitnya dan aroma tubuhnya yang berbau mawar. Kenyal paha mulus saat berpindah dari posisi belakang ke depan dan sesekali beruntung tersentuh montok gundukan dada. Ini benar-benar surga milikku pribadi sebagai raja mesum. Loh… Aku gak mesum-mesum kali kan, woy? Kalo aku semesum itu, udah kupakek satu-satu peri-peri ini tiap ada waktu dan kesempatan. Tapi gak pernah pulak kulecehkan mereka dengan semena-mena, kan? Cuma sentuhan modus aja. Wajarlah itu…
Selesai inspeksi di tiga barisan peri berambut berwarna-warni ini, mau gak mau aku jadi tau perbedaan mendasar bela diri masing-masing peri berelemen ini berdasarkan bentuk pedang yang digunakan dan beberapa aspek lain. Peri Asti yang menggunakan pedang panjang dan cenderung tipis karena fokus untuk bertahan berkelompok memanfaatkan jangkauan pedang. Gerakannya juga lebih banyak berfokus pada perpindahan langkah kaki yang maju mundur dan hanya sesekali bergeser kanan kiri. Minim sabetan dan fokus pada tusukan ujung pedang yang runcing untuk melukai musuh.
Peri Aruna memakai pedang paling pendek di antara ketiga jenis peri ini dan lebih mementingkan keseimbangan pertahanan dan serangan. Pedang seukuran ini mudah untuk digunakan dan lebih aman digunakan di kerumunan ramainya perang karena mudah dikendalikan agar hanya mengincar target saja. Langkah-langkah kaki jurus pedang peri Aruna lebih dinamis dan cenderung dinamis bahkan susah ditebak. Bila diperhatikan lebih lama baru diketahui ada pola tersembunyi di sana. Gerakan serangan berpedangnya juga tak kalah dinamis hingga gerakan jurus yang sama bisa dipakai untuk menyerang dan bertahan sekaligus.
Pedang milik peri Dawala cenderung lebar dan lebih berat. Padanannya mungkin broadsword kerajaan Eropa abad pertengahan. Perlu tenaga besar untuk menggunakan pedang jenis ini hingga mayoritas gerakan bertempurnya adalah ayunan-ayunan vertikal bertenaga. Saat latihan fisik mereka lebih memfokuskan kebugaran nafas dan kekuatan tangan hingga mereka sering berlatih berenang untuk memperkuat lengan. Itu secara tak langsung juga memperkuat kuda-kuda kaki para peri Dawala yang harus mantap saat mengayunkan pedang lebar itu.
“Lalu abis ini apa lagi?” bisikku bertanya pada Astha yang mengambil sikap netral tak berpihak pada kelompok peri Aruna-nya. Lebih mirip panitia mungkin.
“Pertarungan persahabatan, baginda…” jawab Astha. “Tiap-tiap pasukan mengirim 4 perwakilan terbaiknya untuk pertarungan tangan kosong satu lawan satu untuk meningkatkan semangat mereka, baginda…” lanjutnya dan benar saja aku melihat tiap barisan peri mengirimkan 4 peri mudanya untuk maju dalam pertarungan persahabatan yang dimaksudkan ini. “Dengan begini kita bisa melihat sedikit persaingan di antara peri-peri muda ini dan memicu semangat mereka untuk terus berusaha lebih maju dan lebih kuat…”
“Ini ide siapa?”
“Ide hamba, baginda… dan para ratu sudah setuju dengan hamba ini… Kami dulu juga digembleng dengan cara ini, baginda…” jelas Astha yang kusambut dengan manggut-manggut membenarkan manfaatnya. Kelompok pemburu sepertinya mengambil sikap yang sama dengan pemimpinnya ini dengan mengambil posisi netral. Keempat anggota Astha lebih seperti penitia ato EO yang mengatur-ngatur berlangsungnya acara ini. Dari tempatku menonton ini, aku melihat mereka mengatur siapa melawan siapa. Karena jumlahnya genap, semua mendapat porsi yang setara sebab masing-masing barisan peri mengirimkan 4 peri muda terbaik mereka.
Dua peri Asti akan berhadapan dengan dua peri Aruna dan dua peri Dawala.
Berikutnya adalah keseruan yang terjadi di depanku. Aplikasi bela diri yang sudah dipelajari peri-peri muda itu sekarang mendapat penyaluran yang sangat tepat. Biarpun namanya tarung persahabatan, tetapi peri-peri muda itu tak menahan-nahan tenaga mereka saat melakukan serangan. Astha menjelaskan aturan pertarungan ini sederhana, tanpa senjata tetapi diperbolehkan menggunakan kekuatan elemen yang mereka miliki. Hanya satu ronde dan pemenang ditentukan bila lawan menyerah ato tak dapat melanjutkan pertarungan. Kelemahan elemen tidak bisa dijadikan handicap seperti api yang dipadamkan air karena secara praktek hal itu tidak terjadi di lapangan.
Misalnya saat ini sepasang peri Asti dan peri Aruna sedang jual beli serangan dengan sengitnya diiringi membahananya dukungan dari masing-masing kubu yang mendukung jagoannya. Gerakan serangan sebenarnya masih sangat mentah dan sembarangan menurutku tapi itu sudah memadai karena ini kiprah pertama mereka bertarung melawan peri dari jenis berbeda karena biasanya hanya berlatih dengan peri sejenis. Dengan begitu mental mereka lebih terasah dan pengalaman terkumpul. Seiring waktu akan menjadi kental, liat dan bernas akan pengalaman hingga tak gentar melawan siapapun di medan perang nantinya.
Pukul-pukulan jab, straight dan uppercut mewarnai pertarungan antar dua peri berlainan tipe ini. Tendangan-tendangan berputar, tendakan lurus, low-kick juga memeriahkan pertarungan. Penggunaan elemen juga terkadang digelar walopun masih sangat lemah dan cenderung hanya berupa assist gerakan. Seperti saat ini, peri Asti itu menyemburkan air dari telapak tangannya ke tanah sehingga medan pertarungan menjadi becek dan licin. Ia yang lebih nyaman di keadaan itu bisa memojokkan lawannya dari peri Aruna hingga pukulannya beberapa kali mengenai sasaran dengan telak.
“Ini program yang sangat bagus Astha… Dengan begini para peri muda ini punya banyak pengalaman bertarung hingga mereka gak kaget saat di pertempuran sebenarnya nanti…” kagumku pada pencapaian ini. “Ini harus dilakukan sering-sering… Kalo bisa semuanya setidaknya pernah merasakan sekali pengalaman ini… Sampaikan nanti pada semua pemimpin peri… Nanti aku juga akan menyampaikannya sendiri dengan tambahan lain…”
Tarung persahabatan berlangsung terus sampai semua babak selesai dan lanjut ke sejenis final yang menghasilkan satu peri terbaik dari tiap-tiap jenisnya yang akan disimpan untuk babak berikutnya. Semua puas, semua bangga dan semua bahagia atas pencapaian yang sudah dicapai dengan janji untuk semakin meningkatkan diri kembali.
——————————————————————–
“Ada beberapa poin yang bisa kusimpulkan… Baik dan buruk… Dengarkan ya… Pertama yang baik dulu… Perkembangan para peri-peri muda itu sangat pesat… Jauh melebihi ekspektasiku sebagai pimpinan tertinggi di kerajaan ini… Secara umum mereka sudah bisa bertarung dan tak ragu untuk mengeluarkan kemampuannya pada saatnya… Saat bertarung juga sudah mengerti menggunakan keunggulan dirinya dan menggunakannya untuk mencapai kemenangan… Itu nilai yang sangat plus…” kataku saat berkumpul dengan pimpinan dari tiap peri. Ratu Lawana, Dwi dan Tri, ratu Nirada, Cayarini dan Astha di pesanggrahan rumah pohon.
“Dari segi buruknya… tenaga tempur kita hanya berpusat pada kombatan jarak dekat… Di dalam pertempuran sebenarnya… lawan juga lazim menggunakan serangan jarak jauh… Pemanah misalnya… Kita tak punya bagian pemanah di pasukan kita… Kombatan jarak menengah juga… Pasukan bertombak yang efektif menahan kombatan jarak dekat untuk beberapa waktu… Apakah kita tidak mengalokasikan beberapa unit untuk mengisi posisi ini?” kataku mencoba membuka wawasan mereka. Aku tau mungkin mereka lebih berpengalaman dalam hal ini.
“Izin berbicara, baginda…” kata Dwi terlebih dahulu menunduk. Aku mempersilahkannya. “Di kalangan peri Aruna muda… keturunan hamba yang termuda dan paling terlambat memulai baginda… Hamba yang secara pribadi melatih mereka tahu persis kekurangan mereka… Hamba akan membentuk unit pemanah dari peri-peri muda ini… Panah api peri Aruna pastinya akan sangat merusak lawan, baginda…” Benar yang dikatakannya. Di saat peri Aruna muda keturunan dari Tri sudah mulai berlatih dan berkembang, 122 peri keturunan Dwi baru mulai dieramkan. Jadi saat mereka masuk barisan seperti ada perbedaan kekuatan mereka.
“Bagus… Usahakan para pemanah muda ini juga berlatih mengembangkan elemen apinya hingga nanti saat serangan jarak jauh tak dapat digunakan lagi, mereka masih punya fungsi lain yang tak kalah berguna… Minimal bisa menyemburkan api untuk membakar lawan…” instruksiku. Aku sangat bersemangat dalam diskusi ini karena pembicaraan sangatlah seru. Begini ternyata serunya jadi seorang raja.
“Hamba juga minta izin berbicara, baginda…” ratu Lawana meminta izin berbicara juga. “Peri Asti keturunan hamba juga sama terlambatnya dengan keturunan Dwi… Bolehkan setengah peri Asti muda hamba dijadikan pasukan tombak saja sesuai yang baginda bicarakan tadi?… Sisanya tetap berlatih sebagai prajurit berpedang sesuai rencana…” katanya lebih pada minta persetujuan. Ia masih sungkan sepertinya.
“Tentu boleh… Ini agar pasukan kita lengkap semua elemennya… Ada kombatan jarak dekat, jarak menengah dan jarak jauh… Ratu Nirada? Ada usul ato permintaan?” tanyaku pada ratu peri Dawala cantik berambut perak itu.
“Tipe pasukan peri Dawala muda sangat cocok untuk pasukan jarak dekat, baginda… Kami akan konsentrasi di bagian ini saja…” jawabnya tetapi gerakan meliriknya beralih pada Cayarini yang diam saja dari tadi karena keturunannya belum ada kiprah sama sekali. Ya karena memang belum ada. Ia masih mengumpulkan telur-telurnya mencapai 200-an butir.
“Dan Cayarini? Sudah berapa banyak telur yang sudah berhasil kau hasilkan di tubuhmu?” tanyaku. Sebenarnya aku malas terus menerus menanyakan soalan ini tapi aku juga secara gak langsung memberitahu yang lainnya tentang perkembangan jumlah telur Cayarini yang ditargetkannya minimal 200 butir.
“Ampun beribu ampun, baginda… Sampai saat ini telur yang berhasil hamba kumpulkan tepatnya masih 98 butir… Maafkan hamba kalo prosesnya sepertinya lama sekali… Tapi para ratu-ratu senior sebelum hamba juga pasti mahfum kalau prosesnya memang tidak bisa terburu-buru, baginda…” katanya menunduk dalam merasa sangat bersalah telah membuatku menanyakan ini berkali-kali tiap bertemu dengannya. Seakan-akan aku gak sabar ingin segera mencicipi tubuhnya. Itu juga sih sebenarnya.
“Bukan itu maksudnya, Cayarini… Khawatirku… peri-peri Candrasa keturunanmu nantinya akan sangat terlambat muncul dan berlatihnya untuk melengkapi kekuatan tempur kita… Tau sendiri pagelaran pertarungan persahabatan tadi… Kau tentunya ingin keturunanmu ikut serta di sana, bukan? Pasti akan meriah kalo ada barisan keempat di sana…” kataku menyamarkan modus asliku.
“Ampun, baginda… Hamba akan usahakan yang terbaik… Demi kejayaan kerajaan Mahkota Merah…” ia semakin menunduk dalam.
“Trus… gimana besi hitam dari kalung pengekang peri-peri Agni itu? Apakah itu dibuat oleh peri Candrasa juga… yang artinya masih ada peri Candrasa lainnya di luar sana… Dan artinya juga kau tidak sendirian…” tanyaku tentang pertanyaan yang masih menggantung kek jemuran sempak basah.
Cayarini lalu menggelar ketiga kalung choker putus yang terbuat dari besi hitam itu di depan kami semua. Aku memutus semua choker sialan itu dari ketiga peri Agni itu. “Hanya peri Candrasa yang memiliki kemampuan metalurgi yang dapat menempa besi hitam menjadi benda rumit seperti ini, baginda raja… Dengan kemampuannya itu ia bisa dengan mudah memanipulasi besi hitam menjadi berbagai bentuk… Hamba contohnya… Benar ini buatan peri Candrasa… Bahkan hamba mengenali pembuatnya secara pribadi dari tanda-tanda yang tertinggal… karena beliaulah yang mengajari hamba teknik ini… Tapi kalung ini benda jadi, baginda… Yang artinya sudah dibuat sejak lama dan baru saja dipakaikan kepada peri-peri Agni… Guru hamba itu juga sudah menjadi korban pasukan musuh, baginda… Dari pengakuan peri Agni itu… peri Anaga itu yang memasangkan kalung sempit ini di lehernya…” jelas Cayarini.
“Hmm… Begitu…” gumamku masih menatap Cayarini dalam-dalam.
——————————————————————–
“Atas dasar apa kecurigaanmu itu?” tanyaku.
“Teknik pemaksaannya itu, baginda…”
“Teknik memaksa telur-telur agar matang lebih cepat dari waktunya itu?” ulangku memastikan apa maksud ketua kelompok pemburu peri Aruna ini. Ia sengaja datang ke kamarku ini beraudiensi agar privat tak ada pihak lain yang mendengar dan mengatakan hal yang katanya mengganggunya sejak lama. Kecurigaannya ini.
“Benar, baginda… Ratu Nirada yang pertama kali terkena teknik ini dan kemudian pengawalnya… Baginda ingat kalo ratu Nirada sangat kaget saat itu… Begitupun juga kami… Baru kali itu kami mendengar teknik seperti ini… Dari mana ia mengetahui cara memaksa ini sebelumnya?… Ratu Lawana kemudian juga sama kegetnya… Di tiga pihak peri berelemen… tak satupun tau teknik ini… Makanya hamba katakan ini mencurigakan…” ungkap Astha.
Aku terdiam mencoba mencerna maksudnya. Ia curiga apa dari Cayarini. Sejauh ini ia tidak melakukan hal yang buruk di kerajaan Mahkota Merah. Belum ada satupun tindakan yang merugikan selama ini setelah sembuh dari keadaan setengah zombie-nya. Telah sembuh begitu diobati dengan menyentuhkan onyx hitam para peri Candrasa.
“Trus… kira-kira… apa tujuannya melakukan itu semua?” tanyaku.
“Bisa apa saja, baginda… Hamba sebagai pemburu tentu sering melakukan infiltrasi ke bangunan musuh, benteng lawan, wilayah kekuasaan pihak lain… Hamba curiga kalo Cayarini juga sedang melakukan hal yang sama seperti yang sering hamba lakukan itu, baginda…” kata Astha dengan suara pelan dan datar.
“Jadi kau curiga kalo ia sengaja menjadi zombie… dengan dua tangan terputus dan banyak luka-luka itu… Mencari-cari pedang onyx hitam itu hingga mengejar ratu Nirada dan pengawalnya ke sana-kemari untuk menyusup ke kerajaan kita?” kataku membeberkan kronologis nasib hidupnya. Astha menatapku walo tak berani tajam, sedikit menunduk.
“Itu terlalu acak, Astha… Menurut cerita ratu Nirada… sebelum bertemu denganku dan teman-teman Ribak Sude-ku… mereka sudah beberapa kali bertemu dan bertarung demi merebut pedang onyx hitam itu… Kemungkinannya sangat kecil kalo ia sengaja melakukan itu semua… Dia pasti gak akan bisa mengatur serumit itu agar ia masuk ke kerajaan kita dengan cara itu…” kataku tak terlalu setuju dengan kecurigaannya.
“Yang paling aneh malah kondisi setengah zombie-nya itu, baginda… Kenapa bisa dalam keadaan setengah zombie itu saja sudah sangat mencurigakan… Apa bukan peri berambut kelabu itu yang khusus memberinya status setengah zombie ini agar menjadi alasan-alasan yang membuatnya bisa mengakses kerajaan kita?” ujarnya kembali memberi kemungkinan baru skenario Cayarini menjadi penyusup.
“Bukankah itu sangat beresiko, Astha? Menjadi setengah zombie… Apakah mereka gak memperkirakan kalo lawan yang akan mereka susupi gak segan-segan langsung maen bunuh aja peri Candrasa setengah zombie ini? Langsung buyar semua rencana mereka begitu zombie ini dibunuh… Kita gak ada banyak pertimbangan saat ketemu zombie peri Asti di selat Malaka waktu itu… Langsung tebas abis aja, kan?” kataku kembali mematahkan teorinya. Astha kembali berfikir.
“Lagipula di alam ghaib ini terlalu banyak keajaiban dan kemungkinan yang di luar nalar… Liat Tri yang ternyata menyimpan segitu banyak telur di tubuhnya… Itu kualitas ratu peri… Dwi juga… Apalagi Eka yang punya 6 telur kualitas berbeda… Salah satunya bahkan telur ratu peri Aruna… Cayarini yang punya status calon ratu peri Candrasa tentunya punya keunggulan tersendiri… Mungkin karena keunggulannya itu ia bisa menahan sihir zombiefikasi itu hanya setengah saja menjangkitinya…” jawabku memberikan teori tersendiri.
“Apakah kau rela memotong tanganmu sendiri demi tugas infiltrasi semacam ini, Astha? Enggak, kan?” tanyaku. Ia hendak membuka mulutnya hendak menjawab tetapi terdengar ketukan di pintu. Diskusi kami harus terhenti dulu. “Siapa?”
“Hamba, baginda… Cayarini hendak menghadap…” suara peri Candrasa yang menjadi topik diskusi kami malah datang sendiri kemari. Panjang umur dia.
“Masuklah…”
Astha memberi kode kalo ia akan bersembunyi dan cepat-cepat menelusup masuk ke bawah kolong ranjang kerajaanku. Biar aja-la apa maunya. Mungkin dengan begini ia bisa menilai sendiri gimana Cayarini sebenarnya dengan mengetahui pembicaraan yang akan kami lakukan. Tak lama peri Candrasa cantik berambut hitam itu masuk dengan terlebih dahulu melepas topi lebarnya. Topi lebarnya banya berguna di habitat bawah tanahnya untuk menghalangi tetesan air dan jatuhnya butiran tanah mengenai kepala dan tubuhnya. Topi itu lalu dikibas-kibaskan di depan pintu agar bersih dari kotoran.
“Ada yang hendak kau sampaikan, Cayarini?” tanyaku begitu ia selesai menunduk memberi hormat padaku. Ia berdiri menunduk.
“Hamba masih kepikiran dengan pertemuan kita tadi baginda…” katanya masih menunduk.
“Kepikiran apa, Cayarini?”
“Hamba baru teringat kalo… baginda sudah beberapa kali menanyakan kesiapan telur-telur milik hamba… Hamba takut baginda raja tidak sabar lagi… untuk menambah jumlah pasukan kerajaan agar bisa segera maju ke medan peperangan melawan musuh… Mohon ampun baginda…” ia semakin menunduk takut aku marah padanya.
“Bukan begitu Cayarini… Aku sama sekali enggak marah, kok…” kataku termakan ulahku sendiri yang selalu ngulang pertanyaan yang sama saat ketemu dirinya. Keliatan kali ya aku nafsu pengen menggagahinya. “Hanya saja aku harus tau itu langsung darimu… Siapa tau udah cukup dan kita bisa semakin memperbesar jumlah pasukan kita dari keturunanmu… peri Candrasa… Begitu-loh…” ngelesku sebenarnya.
“Apa tidak sebaiknya… telur hamba yang ada sekarang ini… hamba matangkan saja ya, bagindaa…?” tanyanya takut-takut. Ia menunjuk bagian solar plexus-nya, bagian tubuhnya dimana ia bisa memaksa telur miliknya matang dengan cepat. Tangan palsunya yang terbuat dari besi hitam itu sudah menempel tinggal menekan saja. Pandangan mataku malah menatap payudara montoknya yang sudah mengalami peningkatan, payudara yang masih terbungkus bra minim dengan aksen bintang itu.
“Tapi masih–glek… 98 butir, ya?” aku hanya menatap dua gundukan menggoda itu. “Masih kurang harusnya…” berkali-kali aku meneguk ludah. Lidahku sudah pengen kali menari-nari di sana. Menikmati kenyal gundukan indah itu, meremas-remasnya, membenamkan mukaku di sana. “Sebaiknya kita menunggu sebentar lagi, Cayarini…”
“Sudah bertambah sa-satu lagi, bagindaa… Sudah 99 butir…” ia memperbaiki posisi tangannya yang akan menekan solar plexus-nya hingga bra mungilnya sedikit bergeser dan memperlihatkan sedikit bulatan aerola putingnya yang berwarna coklat. Kontras dengan warna kulitnya putih pucatnya. Dalam hitungan jam saja sudah bertambah satu lagi. Mm… Matanya mulai sayu.
Ia semakin menggemaskan dan menggairahkan.
“Bagaimana dengan targetmu yang minimal 200 butir itu? Kau harus melanjutkannya lagi dari awal, kan?” kataku yang mulai ragu. Aseng junior menggeliat bangun mengotori otakku dengan ngompori ‘Sikat aja, bos!’ Kepala kontol kau sikat aja. Apa cukup cuma 99 peri Candrasa aja? Total dengan indukannya pas 100 gitu maksudmu? Dasar kontol!
“Ini… ini supaya baginda tidak penasaran dengan hamba…”
“Tidak perlu Cayarini… Kau gak perlu melakukan ini… Aku masih sabar menunggu sampe telurnya lengkap 200, kok…”
“Akhh…” tekanan tangannya sudah turun sampe ke perut. Loh? Matanya langsung berkabut oleh birahi. “Sisanya… untuk sisanya kita lakukan lagi, bagindaa…” ujarnya dengan mulut terbuka menganga dengan liur menetes tak terkendali.
“Cayarini?” terlambat! Dia sudah memaksakan telur-telur di dalam tubuhnya untuk segera matang sebelum masanya. Untuk itu ia harus segera dibuahi. Lebih tepatnya telur-telur peri Candrasa yang berjumlah 99 butir itu harus segera dibuahi.
“Bagindaa… Tubuh hamba panasss… Aahhh…” ia maju satu langkah dengan berani. Lalu dua langkah dan semakin dekat denganku. Ia memegangi bagian perutnya yang rata, yang bergejolak dengan matangnya 99 butir telur itu. Ia mengelus-elus perutnya dengan erotis. Tak ada jalan lain. Ia sudah melakukannya sendiri dengan sadar. Ia sudah mematangkan semua telur yang ada di tubuhnya.
Kutunggu sampe ia benar-benar dekat denganku.
“Akhh~~mm…”
Bagian mulutnya yang pertama kali kusambut dengan pagutan mulut juga. Aroma tubuhnya kala birahi beraroma segar pinus. Ya benar pinus. Tidak sekeras aroma desinfektan di cairan pembersih lantai itu. Dan entah kenapa aku suka aroma ini keluar dari tubuh peri Candrasa yang sedang birahi ini. Lidahnya langsung menjulur dan memasuki mulutku seperti pecinta ulung. Kusambut dengan lidahku.
Kedua tangannya langsung menyergap punggungku berupa pelukan erat. Pelukannya menyebabkan gundukan menggoda payudaranya seperti lumer meleleh di dadaku. Lembut dan kenyal sekaligus. Tanganku menelusup menyibak jubah yang dipakainya hingga aku menemukan punggungnya yang terbuka. Kuelus lembut dan ia semakin mendesah.
Cayarini semakin agresif saja kala bercumbu berdiri begini dengan mendesak-desakkan perutnya ke arahku. Memang benar, aku bisa merasakan tubuhnya panas oleh nafsu birahi. Bahkan tangannya yang terbuat dari besi hitam itu juga terasa hangat, menelusup masuk dan meremas-remas kulit punggungku. Lenguhan seksi peri yang sedang birahi sangatlah menggairahkan. Matanya sedikit terpejam karena kabut nafsu menguasai sekujur tubuhnya hingga tingkat sel.
Tanganku makin liar dan nakal menjelajah kemana-mana. Aku menjamah pinggulnya yang semakin lebar dan sintal. Terasa montok dan lembut kala kuremas yang membuatnya makin melenguh merintih. Berputar-putar tanganku di sekitar pinggul dan bagian atas bokongnya–mengelus-elus. Cayarini makin mendesakkan tubuhnya hingga gundukan yang terbungkus celana dalam mininya itu menubruk gundukan besar Aseng junior yang masih ngumpet di dalam celana.
Selama berada di dalam kerajaan di daerah kekuasaanku ini, pakaian sederhana ini saja yang selalu kupakai walo statusku seorang raja Mahkota Merah. Kaos oblong putih dan celana gantung tepat di lutut tanpa sempak. Sesederhana itu. Aku hanyalah seorang raja berpenampilan sederhana dengan kaos dan celana kutung. Ini sudah kupakai berminggu-minggu lamanya kalo hitungan dunia nyata. Pakaian terakhir yang kukenakan saat tidur di kamarku sambil memeluk orang rumahku setelah lelah mengetahui kematian Julio. Untung aja gak berbau…
Ini masih masa pelarianku.
Kan… Jadi teringat lagi aku sama peristiwa menyedihkan itu. Walo aku tak begitu akrab dengannya, tapi bagaimanapun ia juga temanku. Aku sudah berbagi perempuan yang merupakan istri cantiknya hingga hamil. Tak terkira betapa sedihnya Amei saat ini. Sedangkan aku melarikan diri menjauh selama berminggu-minggu di dunia ghaib begini.
Pengecut?
Tidak. Begitu keluar dari sini aku tetap harus menghadapi semua perasaan bersalah itu juga. Kalo dunia ghaib ini sinkron waktunya dengan dunia nyata, balik-balik mungkin keadaan Amei akan lebih baik dan kesedihannya akan sedikit terobati. Tapi tidak semudah itu. Begitu balik aku tetap harus melanjutkan hidupku tepat di mana terakhir bermula. Sementara ini, aku hanya mengalihkan pikiranku.
“Akkhmm… Uhmm… Slkk… Ahhss…” erang desah Cayarini yang bokong montok kenyalnya kuremas-remas gemas. Lumer dengan fantastis di remasan tanganku yang semakin binal. Mulutnya terus kucumbu dengan ganas saling beradu bibir dan lidah. Cayarini melakukannya dengan baik seolah sudah biasa melakukan ini. Aku tak perduli dan itu malah bagus. Tali tipis penahan celana dalam mininya berkali-kali tergesek gerakan tanganku yang menguleni bokongnya. Gumpalan bulat bokongnya sungguh menggemaskan. Dua buah gumpalan kenyal.
Jubah yang tersemat di punggungnya sudah lepas berserakan menumpuk di lantai. Bagian tubuhnya yang paling banyak tertutup adalah bagian tangan dan lengannya. Selebihnya ia seperti telanjang dengan hanya bra dan celana dalam mini yang dilengkapi topi lebar penutup kepala. Entah kenapa saat itu aku memilihkan pakaian model penyihir ini untuknya. Aku sudah tak ingat alasannya. Mungkin hanya sekedar iseng ato penasaran.
Tangannya lepas dari meremas punggungku sebentar dan ternyata ia melakukan sesuatu pada bagian dadanya. “Aaahhhhh…” sesuatu itu membuatnya merintih kencang karena ternyata ia menarik bra penutup dadanya yang ukurannya tak mampu menangkup tugasnya hingga payudara menggodanya terekspos lepas sama sekali. Putingnya yang menegang langsung bersentuhan dengan kain kaos bajuku.
Mulut dan lidahku bergeser. Menjilati pipinya dan hinggap ke lehernya membuat Cayarini makin ekspresif merintih lebih keras. Jilatan-jilatan basahku melata di bagian leher dan telinganya. Kubasahi lehernya dengan ludahku lalu kujilat kembali, meratakannya hingga peri Candrasa ini menggelinjang kegelian hingga menggigil. Kepalanya mendongak kala lidahku menyisir hingga rahang dan menuju bawah dagunya. Sementara tanganku mulai melata naik. Naik terus dan terus menelusuri iga dan berakhir di payudara menggodanya.
“Aaahhsss…” lenguhnya lebih keras kali ini karena tanganku meremas lembut payudaranya. Sekilas aku melihat gerakan dari bawah ranjangku. Kimbek! Itu Astha yang dari tadi ngumpet di sana. Kok bisa lupa aku kalo ia ada disana sedari tadi? Gimana cara menyuruhnya pergi, ya? Gerakannya mengintip seperti ingin tau kenapa suara lenguhan keras tadi terdengar. Kepo tentunya ketua kelompok pemburu itu akan sumber suaranya.
Hanya saja, untungnya Cayarini sedang membelakangi posisi ranjang kerajaanku hingga mustahil baginya untuk tau siapa yang ada di bawah ranjang kerajaanku itu.
“Bagindaaahh… Uuhh…” lenguhan peri Candrasa ini makin keras ketika lidahku hinggap di pucuk payudaranya. Sedap nian, mak-oi. Bungkusnya kenyal dan besar menggoda, puting keras dan cukup besar. Enak buat dikenyot-kenyot. Dua tanganku langsung saja otomatis mengkremes kenyal menggoda payudara Cayarini. Putingnya berganti-gantian kujilat dan kukulum. Membuatnya semakin berisik melenguh. Pasti Astha juga gelisah di tempat persembunyiannya sana karena suara seksi peri Candrasa ini. Remas-remas, kenyot-nyooot.
Cayarini makin berani menyodor-nyodokkan bagian bawah tubuhnya padaku hingga aku bisa merasakan benturan Aseng junior ke selangkangannya yang hanya terbungkus minimalis oleh secarik bahan kain celana dalam mungil. Membuat Aseng junior makin meradang dan semakin menegang. Untung aja celana pendek selutut yang kukenakan buat tidur ini juga berbahan halus hingga lubang kencingku yang terkena tidak perih, karena saat ini ia mengacung lurus tertahan. Cayarini makin membentur-benturkan tubuhnya ke tonjolan celanaku semakin liar. Semakin liar saja peri Candrasa ini menyenangkan dirinya.
Aku tentunya masih muas-muasin mengenyot payudara kenyal menggodanya. Berputar-putar lidahku mempermainkan pentil kerasnya. Tak bisa disebut imut karena relatif besar hingga mudah dikenyot bak bayi kelaparan menyusu ke induknya. Bra-nya yang digulung ke atas menekan bagian atas dadanya hingga terlihat semakin mencuat besar. Aku semakin gemas ditambah aroma pinus yang menenangkan ini. Romannya kek lagi bercumbu di dalam hutan pinus yang sejuk dan damai.
Tak lama, kami sudah tiba di samping ranjang kerajaanku. Seolah sedang berdansa waltz yang syahdu mendayu. Kubaringkan tubuh montoknya ke atas ranjang dengan menahan kepalanya agar tak terbanting. Payudara menggodanya melebar ke samping sesuai gravitasi dengan dua buah mata yang minta perhatian kembali. Aku melepaskan kaos oblongku dan melemparnya ke lantai begitu saja. Tapi begitu nyentuh lantai, baju itu langsung menghilang ke dalam kolong ranjang.
Apa yang dilakukan Astha dengan kaosku?
“Bagindaaaahhh…” erang manja Cayarini memanggilku di atas sana ketika kucoba intip apa yang terjadi di bawah sini. Astha terlihat membekap mukanya dengan kaos putihku dan menutup kedua telinganya rapat-rapat dengan nafas tersengal-sengal. Dadanya turun naik dengan cepat dan kedua kakinya rapat mengapit hingga menyentuh bagian bawah ranjang.
Apa yang terjadi padamu, wahai peri Aruna pemburu nomor satuku?[/I]
Bersambung