Part #38 : Kimak memang dua pasutri sableng itu

Kimak memang dua pasutri sableng itu. Bisa-bisanya aku dibuat gila kek gini juga. Entah hapa-hapa yang sekarang kubuat sama orang ni berdua sekarang. Keluar semua fantasy gilakku dibuatnya.

Suhendra dan Miranda, istrinya sudah membuat perjanjian tiga pasal denganku. Kami bertiga bahkan sudah menanda tangani sebuah dokumen sederhana dengan materai enam ribu segala agar aku hadir bisa hadir dalam satu kelainan yang sempat diderita Hendra saat pertama kali aku bergumul dengan istrinya. Saat pertama kali itu, Hendra gak bisa ngaceng kemaluannya sama sekali tanpa ada keberadaanku. Jadi malah kalo aku ada disekitarnya saat bersama istrinya, baru ereksi. Kan kimak namanya itu…

Untung aja Miranda ini cantik kali gak ketulungan kek model majalah dewasa…

Miranda

… liat, kan fotonya di atas. Aku jadi kebayang-bayang terus dengan paras, bodi apalagi kemaluannya yang kujuluki cheese burger karena bentuknya yang indah mengingatkanku akan makanan londo itu. Dua buah roti bun yang lembut, dua lembaran keju cheddar dan seulas saos tomat. Yumm… Yummy dan lezat. Pertama kali aku menggasak binor itu malah di ruangan kantorku di lantai dua SPBU milikku yang terkunci semua disaksikan lakiknya langsung. Kala itu, Hendra tak kuizinkan memasuki kemaluan istrinya sama sekali. Jijik juga berbagi dengan pria saket jiwa kek gitu.

Padahal ni, kan… udah gak ada lagi masalah kedua pasutri itu. Penyebab ini semua adalah sebuah anomali yang disebabkan oleh salah urus kekuatan yang dimiliki Miranda. Di dalam tubuhnya, awalnya, ada seekor entitas sakral burung Enggang Gading kuno yang turun-menurun di keluarganya pada anak perempuan terakhir. Miranda yang salah urus malah menggunakan kekuatan burung itu untuk memuluskan semua keinginannya lewat kata-kata. Tak ada orang yang kuasa membantah semua keinginannya tanpa ia sadari karena tersamar sifat manja anak orang kaya yang terbiasa dengan kemewahan hidup. Dari penjelasan sang Panglima Burung, kekuatannya itu kadang bisa menyerang secara langsung berupa kobaran api yang kalo ditilik sekilas mirip serangan Banaspati di kebudayaan Jawa.

Tapi semua itu sudah berlalu. Kekuatan menyimpang Miranda sudah dinetralisir bahkan Panglima Burung-nya sekarang malah untuk sementara pindah kepadaku. Dia sedang enak-enakan menikmati taman kecilku yang mempunyai beberapa pohon besar dan tinggi. Cukuplah untuk habitat hidupnya sementara ini. Makanan juga melimpah dengan berbagai macam buah. Aku malah berharap dengan keberadaannya, tamanku akan berubah menjadi hutan yang lebat.

“Ini semua duit gajimu?” tanyaku. Di dalam sebuah kantung kertas berwarna coklat, ada beberapa blok duit seratus ribuan. Aku gak perlu repot-repot menghitungnya karena aku tau persis jumlahnya. “Untukku?” tanyaku lagi dan menyapukan pandanganku pada barang-barang mewah yang sangat berkilauan sangking mahalnya di rumah ini.

Di lantai granit yang dingin di rumah mewah besar seperti istana ini, kedua pasutri itu berbaring meringkuk. Beberapa kali sang suami mengangguk-angguk menjawab pertanyaanku. Aku memakai sebuah sebo seadaanya untuk menutupi mukaku. Sebuah potongan bambu panjang kugunakan sebagai alatku menodong penghuni rumah yang anehnya cuma ada dua orang ini. Entah kemana semua sisa penghuni rumah ini perginya? Gak mungkin kan cuma dua orang ini yang mengurus rumah sebesar ini? Apalagi sang nyonya rumah yang sangat cantik rupawan ini. Sangat gak mungkin perempuan semolek dia mau ngotor-ngotorin tangannya untuk sekedar nyapu. Sisa sang suami… Gak mungkin juga dia ngurus rumah bertipe Mansion sebesar ini walo se-bucin apapun dirinya, apalagi ia masih harus bekerja.

Senyum mengejek gak tahan untuk muncul di sudut mulutku melihat keadaan Hendra yang meringkuk terikat hanya memakai kaos singlet dan celana pendek. Aku gak tau bagaimana caranya ia membuat dirinya terikat sedemikian rupa dan mulut tersumpal. Kaki dan tangannya terikat erat hingga membentuk huruf N. Tangannya terjepit di antara jepitan kedua pahanya. Benar… Bukan aku pelakunya. Waktu aku datang diundang kemari, si pukimak Hendra ini udah dalam keadaan terikat begini. Miranda yang membukakan pintu dengan malu-malu setelah aku memarkirkan mobilku di antara mobil-mobil koleksi mereka. Benar-benar tidak ada orang lain di rumah mewah ini. Aku juga gak mau nanya karena aku yakin mereka sudah mempersiapkan segalanya untuk impian gila mereka bertajuk cuckold ini.

“Jadi ceritanya aku ngerampok rumah klen, nih?” tanyaku yang berjongkok di antara Hendra dan istrinya di ruang tamu yang sangat luas ini. Kaca-kaca besar di jendela luas menampilkan malam gelap dengan beberapa titik bintang dan sebuah bulan sabit yang bersinar terang. Wah… view tempat ini sangat bagus. Rumah orang kaya sangat keren pengaturannya. Mereka memilih berbaring di atas granit padahal tak jauh ada hamparan permadani tebal mahal yang lembut kek bludru dan juga jajaran sofa mahal dengan sebuah TV layar lebar lengkap dengan home theatre-nya. Pokoknya mahal semua isi rumah ini. Yang murah cuma otak si Hendra pukimak itu aja. Banyak kali duit orang ini. Entah warisan ato korupsi aku gak bisa nanya pulak. Eh… Coba nanti kutanya. Mungkin ada yang mau jawab.

Hendra yang tersumpal hanya bisa mengangguk membenarkan pertanyaanku di atas. Aku menepuk-nepuk kepalanya tanda ‘Bagooos…’ Aku lalu beralih pada Miranda yang ikut-ikutan gila kek suaminya. Ikatan tangan dan kakinya tidak ketat, hanya sekedarnya aja. Ia tersenyum padaku. Ia memakai baju santai tipe baby doll berwarna putih yang sangat minim setengah paha. Posisinya yang meringkuk persis lakiknya membuatku bisa dengan mudah melihat celana dalam yang menutupi bokongnya kalo kuintip ke belakang. Ah… Berwarna putih juga dari bahan sutra. Pasti lembut sekali. Sempak mahal!

“Yang paling berharga di rumah ini adalah dirimu… sang nyonya rumah…” kataku pada Miranda yang sudah tersenyum manis padaku. Aku gak perlu harta benda mahal dan mewah di rumah ini. Aku hanya butuh perempuan satu ini. Hanya karena cheese burger-nya aku palar-palarin (bela-belain) datang ke tempat gila ini. Aku menyisipkan satu untaian rambutnya ke belakang telinganya. Kuelus-elus rambutnya seperti membelai kekasih. Kulit pipinya halus sekali dan ia sengaja memakai riasan yang lebih natural pada kesempatan ini. Lebih nude tone-nya.

Sewaktu ia menyambutku di depan pintu tadi dengan malu-malu, tiba-tiba dipeluknya tubuhku seperti menyambut seorang kekasih yang lama tak bersua. Ia tidak berani menatapku, memejam erat. Aku tentu aja kaget mendapat sambutan seperti itu awalnya. Tapi kenyal teteknya membuatku lumer dan membiarkannya. Tubuh Miranda yang jangkung lebih tinggi sejengkal dariku dengan mudah menguasai mulutku. Mulutnya mencaplok mulutku dengan ganas tanpa perlu melihat. Bibirnya terbuka dan kusambut. Disedot-sedotnya bibirku mencurahkan rasa rindunya. Lidahnya menyerobot masuk ke mulutku dan bercengkrama dengan lidahku, mengajaknya bergulat berpilin-pilin. Ludahnya saling barter denganku saling hisap. Miranda sangat menikmati perbuatannya di depan pintu itu sebelum aku sempat menemui suaminya di ruangan berikutnya.

Puas dengan mulutku, baru ia mempersilahkanku masuk. “Mirr… Sebentar…” tahanku. Tangannya kucekal. “Itu tadi apa?”

Miranda terdiam sebentar dan menatap pola granit yang abstrak tak teratur di lantai. “Kangen, pak…”

“Kangen?” kutatap wajah cantiknya dalam-dalam. Ia tak berani menatapku balik. Kekuatannya sudah tak berbekas. Ia mengangguk pelan. Ada getar-getar kecil di tubuhnya. Entah apa yang sedang ditahannya. Emosi sedih ato apa?

“Kangen sama bapak…” jawabnya semakin menunduk hingga ubun-ubunnya terlihat. Padahal segitu tinggi semampai ini perempuan. Aku bukan mau liat ubun-ubunmu, Miranda… aku mau liat belahan tetekmu kalo bisa.

“Lupa ya dengan pasal pertama perjanjian kita?” tanyaku. Pertama kali ia membaca perjanjian itu, ia membaca dengan pongahnya seolah itu adalah hal remeh yang tak mempunyai arti. Sekarang kuingatkan lagi padanya. “Pasal satu berbunyi… Pihak pertama (Nasrul/Aseng) dan pihak kedua (Hendra dan Miranda) berjanji tidak akan melibatkan perasaan di hubungan ini. Tidak akan ada hubungan yang lebih jauh dari pada saling tolong-menolong di kerjasama ini… Kalo Miranda kangen sama aku… itu artinya Miranda ada perasaan khusus sama aku… Bukan begitu?” kutegakkan kepalanya dengan menaikkan dagunya yang sedikit berbelah indah. “Apa benar?”

“Miranda… Miranda mulai suka sama bapak…” katanya pelan takut-takut melihatku sesekali lirik.

“Suka? Karena itu ada pasal pertama dibuat, Miranda… Tidak boleh ada hubungan yang melebihi hubungan tolong menolong ini… Di akhir hubungan kita nantinya… kalian berdua akan bisa melakukan hubungan suami istri ini tanpa bantuanku lagi… Selamanya… Jadi… tolong hapuskan rasa suka itu sebelum menjadi rasa yang lebih berbahaya lagi… Cinta misalnya…” aku memegangi kedua sisi pipinya agar dapat kunilai matanya lebih dalam.

“Kenapa, pak? Apakah aku kurang pantas?” matanya mulai basah. “Aku bisa dengan mudah meninggalkannya…”

“Bukaaan…” kurekatkan keningku ke keningnya. Saling merapat, sedekatnya–menyampaikan maksudku tanpa maksud menyakiti. Kupejamkan mataku seperti ia juga memejamkan matanya. “Hatiku hanya untuk istriku dan itu tidak bisa ditawar-tawar lagi…” kupisahkan kening kami berdua. “Miranda pasti paham maksudku… Selain dari hal itu, aku selalu tersedia…” mata kami bertatapan erat kemudian. Miranda lalu tersenyum manis lagi walopun matanya masih basah.

“Berarti boleh cium lagi?” sergahnya riang.

“Asal gak ada sisa si Hendra kimak itu–boleh…” jawabku. Ia langsung menubruk mulutku lagi dan menikmatinya sepuas-puasnya. Berdecap-decap suara basah percumbuan mulut kami. Miranda gak segan-segan mengacak-acak rambutku mengekspresikan rasa senangnya bisa menikmati mulutku. Aku sekedar mengelus-elus rambut indahnya.

Lama kami di ambang pintu lalu lanjut ke ruangan dimana Hendra dari tadi menunggu dengan keadaan terikat menyedihkan begitu. Seakan ada pakta rahasia antara aku dan Miranda setelah itu. Hanya antara kami berdua saja. Miranda mengikat kakinya sekedarnya, lalu melilit-lilit tali untuk mengikat tangannya lalu berbaring di samping Hendra. Begitu sedikit flash back-nya. Ternyata kedua pasutri sembrenget ini meliburkan semua ART dan mengungsikan semua orang yang gak berkepentingan untuk liburan. Horang kayah mah bebas, yak?

“Yang paling berharga di rumah ini adalah dirimu… sang nyonya rumah…” kita balik lagi ke momen tadi. “Melebihi semua harta di rumah ini… Ini semua punyamu, kan?” sergahku pada si Hendra pukimak itu yang meringkuk tak berdaya, terikat dengan ketat tetapi diposisikan bisa mengakses kontolnya sendiri di balik celana pendeknya. “Cak kutanya dulu sama kao… tuan rumah pemilik gedong ini…” aku beralih pada Hendra dengan tetap masih berjongkok. “Apa yang paling berharga di rumah ini?” tanyaku menodongkan bagian runcing bambu yang kubawa ke mukanya. Bambu ini sebenarnya penopang tanaman di halaman rumah mereka. Ukurannya hanya pas segenggaman saja.

“Apakah TV mahal ini?” aku melempar batang bambu itu dengan sangat cepat. TV plasma berukuran 40 inchi itu tembus dari depan ke belakang seperti kambing guling. “Ups…” kataku menutup mulut seperti ekspresi kaget. Mata Hendra melotot beneran kaget melihat bambu itu bisa tembus dengan mudah pada TV plasma yang harganya saat itu sudah lumayan selangit. Padahal harusnya hanya membentur saja dengan tenaga lemparan biasa. Ia balik menatapku dengan pandangan horor. Entah apa yang dipikirkannya.

Diikutinya aku hanya bisa lewat tatapan matanya, yang mencabut sate TV itu. “Apakah… sofa mahal ini?” tanyaku sambil jalan sembarangan di dekat sofa yang kumaksud hingga ujung tajam bambu itu menyobek memanjang bahan kulit mahal pelapis sofa itu. Tak ada satupun sofa di ruangan ini yang luput dari vandalismeku. Mata Hendra melotot besar mau keluar tapi tak berdaya. Miranda hanya menatap nanar tak jelas ekspresinya. Aku sampai di dekat sebuah grand piano mengkilap.

“Apakah juga kibot ini?” (di Medan orgen tunggal disebut kibot. Kibot=keyboard) kataku mengurangi intelejensia dikit dengan menyebut piano ini sebagai kibot. Kucungkil penutup tuts-tuts piano itu dengan ujung batang bambu. Kuketuk-ketuk sembarangan dengan alat yang sama hingga terdengar fals nyakitin kuping dan BRAAK! Jrenng! Grand Piano itu terbelah dua seperti sebuah bolu pandan yang lembut. Suara dawai-dawai alat musik itu mengeluarkan suara denting berisik yang semakin memekakkan kuping. Grand piano sebesar itu kubelah dua dengan tebasan bambu remeh ini.

Hendra terlihat menggigil di tempatnya. Entah oleh amarah atau takut. Beberapa benda lainnya juga menyusul kurusak dengan aksi vandal ini. Keramik-keramik berbentuk vas, hiasan dinding, lukisan, ukiran dan instalasi seni. Kalo mau main gila, kukasih tau klen semua, gak usah nanggung-nanggung. Satu-satunya yang tak kuganggu adalah sebuah foto Miranda yang terlihat anggun di busana kebaya kontemporer-nya. Aku sedang menikmati pemandangan wajahnya yang cantik dibalut busana berkelas itu.

“Ini… ” kataku menunjuk-nunjuk pada foto yang kumaksud itu. Aku balik ke arah Hendra dan mengarahkan kepalanya pada apa yang kumaksud. “Ini baru berharga…” Semua kerusakan yang kusebabkan menyisakan satu keindahan hakiki berbentuk satu imaji sebuah foto indah tangkapan lensa seorang yang tau betul apa yang dilakukannya. “Ini yang berharga…” aku balik lagi ke arah bingkai foto yang kuturunkan dari dinding, membawa foto itu pada Hendra dan mendekatkannya pada mukanya. “Liat… Cantik, kan perempuan ini?” Hendra mengangguk setuju.

Aku menggetok kepalanya dengan bambu itu. “TOK!” padahal pelan aja tapi ia merem ketakutan dikiranya aku akan menghancurkan batok kepalanya seperti TV plasma dan grand piano itu. Ia mengintip karena rasa sakitnya hanya sekedar aja, gak sampe terburai-burai isi otaknya meleleh. “Cantik binikmu ini… Setuju, kan?” tanyaku lagi. Lagi-lagi ia mengangguk setuju.

“Kalo cantik… kenapa kok kou kasih sama orang lain, BODAT!” (bodat=monyet) makiku di depan mukanya. Tidak dengan bambu lagi melainkan dengan tinjuku yang menghantam granit mengkilap di bawah mukanya. Rengkah retak lantai keras itu pas sekepalan tanganku. Matanya melotot melihat retakan granit mahal yang kusebabkan. Kujambak rambutnya dan kuseret ke arah Miranda berada.

“Suami borjong (sialan) memang kao, yaa? Binik secantik ini kao kasih-kasih ke orang lain… Kurampok-lah hartamu yang paling berharga ini…” kubanting kepalanya sekenanya ke arah lantai lalu aku beralih ke Miranda. Membiarkannya melihat apapun yang akan kulakukan pada binik cantiknya.

Kuangkat tubuhnya dengan berpegangan pada kedua ketiaknya dengan terlebih dahulu menyingkirkan kain penutup mulutnya. Langsung kucaplok bibir indahnya. Bibirnya kusedot-sedot dan ia memejamkan mata menikmati perlakuan sedikit kasarku. Tangannya yang dililit tali seadanya terlepas karena gerakanku. Ragu-ragu ia ingin memelukku, tangannya masih mengambang di atas punggungku. Ujung jarinya terbenam di kulit punggungku kala lidahku menyeruak masuk mengajak lidahnya saling belit, bergulat bercampur basah. Ludahnya kusedot-sedot lalu kusetorkan kembali padanya. Dengan senang hati ia menerima bahkan menyedotnya. Tanganku menelusuri punggung pakaian baby doll minimnya, merasakan lembut bahan pakaian mahal dari butik ternama ini. Dada kami rapat saling bergesekan hingga aku dapat merasakan kenyal tetek bulat di balik pakaiannya. Miranda mengetatkan pelukannya setiap gerakan mulutku berganti metode menyerang mulutnya. Lidahku disedotnya memasuki rongga mulutnya, kugelitik langit-langit mulutnya dengan ujung lidahku.

Miranda mendesah dengan permainan mulutku. Tangannya mencengkram punggungku seperti juga aku yang mencoba melucuti baby doll-nya. Tubuh indahnya segera terpampang di depan mataku bagaikan sebuah pahatan pematung maestro era Rennaisance yang sempurna tanpa cacat dari pualam mewah. Ia tak memakai bra hingga hanya secarik celana dalam putih sutra yang melindungi tubuhnya. Aku tak memperdulikan mata Hendra yang pasti mengawasi perbuatanku pada istrinya. Pasti si paok pukimak itu sedang ngocokin kontol borjongnya itu kek bodat gak berotak.

Kembali aku dan Miranda bercumbu mulut sambil saling remas-remas. Kulepaskan tali yang membelengu pergelangan kakinya hingga ia bisa duduk di pangkuanku. Miranda menggerakkan pinggulnya berputar-putar, menghimpitkan bokong padatnya pada selangkanganku yang sudah meradang. Ia pasti bisa merasakan Aseng junior-ku bangkit dan mengganjal. Lama kami berciuman mesra berulang-ulang mempermainkan bibir, lidah dan ludah. Seolah sudah lama kami terpisah dan kembali bertemu di kesempatan yang sangat indah ini. “Ahhh…” lidahku mulai mencumbu telinganya yang bergiwang berlian. Masuk menggelitik cuping telinganya. Menelusur ke balik hingga batas tumbuhnya anak rambut lalu turun ke bawah menyusur leher jenjangnya.

Sedot-sedot pelan agar tak sampai menimbulkan merah cupang. Miranda udah mengerang hanya dengan perlahan begitu dan terkadang tubuhnya melonjak kegelian. Lidahku bermain di leher dan akhirnya sampai di bahunya. Ludahku sudah banyak berbekas di kulitnya. Aku gak segan-segan menjilati sekujur tubuhnya yang lezat. Lalu aku balik lagi saling jilat-jilatan dengan Miranda. Bertukar ludah dengannya. Merasakan kenyal teteknya di dadaku. Kudekap erat tubuhnya dengan gemas. Maak… Cantik kali perempuan ini. Miranda pasti merasakan gemasnya diriku di tiap sentuhanku.

Sangking gemasnya sampe terlintas kelebatan pikiran gila untuk meremasnya hingga hancur! Itu sangat gila dan lumayan sakit. Dah ketularan gilak si Hendra paok aku keknya.

Tentu sayang menghancurkan barang bagus seindah dan semulus Miranda ini. Apalagi ia sudah menerima bibit spermaku semalam. Mana tau udah jadi, kan? Ia bisa jadi sudah mengandung anakku di dalam rahimnya. Apa lagi bentar-bentar lagi juga aku akan menyetorkan bermili-mili liter sperma segar baru ke dalam sana. Memperbesar prosentase keberhasilanku menghamili perempuan cantik ini. Aseng junior menegang keras mengetahui rencana brilianku ini. Membenamkan Aseng junior di cheese burger sempitnya adalah tujuan utamaku datang ke rumah mereka malam ini. Aku belum pulang ke rumah sama sekali dan melepas stres sehabis bekerja dengan kegiatan gila bareng pasutri ini.

Kulucuti semua pakaian yang kukenakan dan meninggalkan sebo hanya sebagai topi penutup rambut. Kutindih Miranda di atas lantai granit ini. Kulit ke kulit dengan intens. Nyaman sekali merasakan kulit halus dan lembut perempuan secantik dan seanggun Miranda. Perawatan mahal yang dilakukannya jelas berbeda dengan perempuan kebanyakan. Sebuah kebiasaan yang sudah dinikmatinya sedari kecil. Aku merasa beruntung dapat ikut serta menikmatinya. Menjilatinya. Menyedotnya. Tetek bulat mengkal Miranda kini menjadi bulan-bulananku.

Ia mengerang-ngerang seksi karena teteknya kuremas, kupilin dan kusedot. Pentilnya kuplintir-plintir dengan lidah. Membalurnya dengan ludahku lalu menyedotnya dengan suara berisik berdecap-decap. Suara berisik ini pasti akan membuat Hendra mengocok kontolnya lebih kencang. Aku gak mau sama sekali melepas perhatianku dari Miranda untuk sekedar melirik si pukimak satu itu. Kao abis-abisin aja manimu di sana sampe kering!

Tetek Miranda yang berlepotan ludahku membuatku pengen memainkan Aseng junior di sana. Kujepit kemaluanku di antara teteknya yang mengkal. Rasa lembut dan kenyal teksturnya sungguh membuatku meleleh. Miranda menekan sisi tetek bulatnya, membantu menjepitkan payudaranya sembari aku mulai mengocok. Ukuran tetek Miranda memang tidak terlalu besar. Cenderung kurang untuk tit-fuck tapi sensasi kenyalnya cukup membantu membuat Aseng junior terbang ke awang-awang. Melayang-layang. Kubentur-benturkan kepala Aseng junior ke kenyal daging pembentuk tetek Miranda yang terasa sangat menagihkan. “Nyot nyuut nyoot…” kuputar-putar kemaluanku ke sekitar teteknya, meratakan sisa ludahku yang masih menodai kulit halusnya. “Ahhh…” rasanya sangat memabukkan.

Berdenyut-denyut Aseng junior merasakan enak tekstur kenyal tetek itu gak tahan. Cepat-cepat kujauhkan dia dari rasa enak itu. Gawat kalo dia harus muntah duluan di TKP ini. Kurebahkan tubuhku kembali dan mencumbui mulut Miranda kembali. “Enaak?” tanyaku. Tak sadar kusodok-sodok Aseng junior pada pahanya.

“Enak, paak… Bapak agresif, yaa?” jawabnya lirih dengan muka memerah penuh nafsu.

“Kok mau dulu Miranda sama pukimak paok itu?” tanyaku dengan tangan usil meremas kedua teteknya untuk mengulur waktu. Abis ini aku berencana akan memasuki mulutnya. Peredaran darah dan jantungku harus diredakan terlebih dahulu.

“Kami dijodohkan, pak… Tapi keknya… Hendra sudah lama ngincar aku… Rela dia kek gitu kubuat selama ini…” jawab Miranda merangkum semua proses perkenalan mereka dahulu.

“Jadi kok mau Miranda diperawani pake kontol palsu? Apa enaknya?” tanyaku memilin-milin, mlintir kedua putingnya dengan gemas. Jenggotku menggelitik belahan dadanya.

“Abis gimana lagi, pak… Kontolnya gak bisa naek… Kalo nonton bokep sendirian… bisa naek kontolnya… kan paok itu namanya…” aku tertawa nyengir mendengar penjelasannya. “Tega dia nonton bokep di kantor waktu yang lain kerja supaya dia bisa ngocok kek gitu…” unjuk Miranda dengan gerakan dagunya ke arah Hendra di lantai di belakangku. Halah… Gak usah ditengok. Ngerusak mood aja. “Sakit kami ya, pak?”

“Gak… Dia aja yang saket… Miranda enggak…” kutunjuk ke belakang tanpa kuliat si pukimak satu itu dan kusumpal mulut Miranda kemudian. Aku kembali menciumi mulutnya dengan gencar dan dibalasnya bersemangat juga. Tangannya menjelajah dan menemukan Aseng junior-ku. Digesek-gesekkannya kemaluanku ke arah celana dalamnya. Ke arah cheese burger-nya yang masih berbungkus. Belum Miranda. Kita belum sampai pada tahap itu. Walau sudah terasa basah belahan burger itu. “Mirr…” aku bergerak maju.

“Ommph…” Aseng junior melesak masuk ke mulutnya dalam pertama kali. Matanya membeliak kaget awalnya karena kepala Aseng junior membentur pangkal tenggorokannya. Berikutnya ia mengatupkan mulutnya rapat. Batang Aseng junior terselimuti sempurna oleh lembut permukaan dalam mulutnya yang hangat sekaligus basah. Lidahnya menggelitik pelan. Mencoba meraba permukaan kulit Aseng junior yang licin. Gimana gak licin cobak? Udah banyak kali binor yang dimasukinya. Termasuk binor yang satu ini. Pelan-pelan kugerak-gerakkan Aseng junior keluar masuk.

Mulut Miranda terasa penuh dengan kontolku, beserta lidah dan liurnya. Rasanya sangat nyaman sekali. Ia berusaha keras agar gak menyentuh gigi geliginya. Diselimutinya batang Aseng junior dengan lidahnya saat aku mulai memompa mulutnya. “Uoohh…” aku mengerang ketika Miranda mencoba menyedot dan matanya terpantik senang melihat ekspresi yang kuhasilkan. Diulanginya lagi lebih kuat. Sedotannya makin menggila. Kek nyawaku-pun ikut kesedot seruputan dahsyat Miranda ini. Kupegangi kepalanya dan kuperkosa liar bareng sedotan yahudnya. “Ahh… Shhh…” aku gak kuat.

Kucabut Aseng junior dari mulutnya dan menyerahkan pelerku sebagai gantinya. Ia menggelomoh dan menelan sebiji pelerku. Rasanya ngilu-ngilu sedap. Setidaknya Aseng junior aman untuk saat ini. Ia merah membiru, basah kuyup dengan liur kental. Sayang kalo harus ngecrot selain di dalam cheese burger lezat itu. Mubazir rasanya. Miranda berganti-ganti mengemut pelerku kiri-kanan bahkan keduanya sekaligus. Mengadu dua biji itu bergesekan di dalam mulutnya. Lidahnya lancar dan ahli sekali jadinya memainkan organ sensitif pria. “Dah, yaa…” kataku menghentikan emutannya pada pelerku. Aku menggenggam Aseng junior agar gak jadi mangsa dicaploknya lagi. Rasanya udah terasa enak tapi aku belum melakukan semua bagianku. Ngoral Miranda misalnya.

Aku merebahkan tubuh Miranda ke lantai granit, sebuah bantal sofa yang tercabik-cabik kujadikan bantal kepalanya. Kuloloskan celana dalam mini putih dari sutra itu hingga tak ada apapun yang dikenakannya selain setelan ulang tahunnya sejak lahir, polos bugil. Kulebarkan kakinya dan aku memposisikan diri di antara bukaan kakinya. Mengira sudah akan dicoblos, Miranda mempersiapkan diri. Aku mendekatinya wajahnya lagi. “Rumahmu kuancur-ancurin kek gini… Miranda gak marah, kan?” bisikku agar gak terdengar Hendra. Kusamarkan dengan mengecup bibirnya.

“Enggak, pak… Mudah… Tinggal beli lagi aja… Miranda paham apa maksud bapak, kok…” jawabnya membalas kecupanku dengan bisikan juga. Bagus deh dia paham. Aku mengangguk-angguk. Kukecup keningnya, pucuk hidungnya, bibirnya, dagunya, masing-masing putingnya, turun hingga mengecup perutnya, sedikit berdoa semoga usahaku menghamilinya berhasil dan aku tiba di hidangan utama. “Paakk?” desahnya saat aku memandangi belahan cheese burger-nya yang menawan. Hembusan nafas panasku pastinya terasa menerpa permukaan vaginanya.

“Aaauuh…” jilatan lebar dan panjang membuka rangkaian permainan oralku terhadap cheese burger pujaanku ini. Bentuk unik jembut yang di-trim berbentuk love menginisiasi keindahan kemaluan seorang dewi berbentuk manusia yang menurut hematku sudah sempurna walau dengan situasi yang tak sempurna. Kukutik-kutik kacang itil tepat di bagian atas belahan lepitan dua lembar keju cheddar. Cheese burger ini sudah becek akibat foreplay sebelumnya. Bahkan liang kawinnya sudah berdenyut-denyut siap dan rela dimasuki kapanpun.

Kulebarkan bukaan cheese burger ini hingga isi semua bagian dalam daging nikmat ini terpampang jelas. Lidahku liar menerabas dan melibas semua gerinjal nikmat beraroma menakjubkan ini. Seksi sekali aroma yang menguar dari kemaluan Miranda, membuatku tergila-gila untuk terus mencucup dan menjilatinya lagi dan lagi. Trus menerus. Lidahku kuruncingkan dan menusuk gemas ke dalam liang kawinnya. Miranda melengkungkan tubuhnya dan meraung-raung menikmati permainan mulutku di kemaluannya. Kepalaku yang dijepitnya dan ia membawaku terombang ambing kiri kanan. Aku hanya bisa mencengkaram pangkal pahanya untuk pegangan. “Paakk… Aiihh… Enaaaknyaa, paak… Uhhh… Yaahh… Yak… Ummhh… Uuhhsss… Auhh… Mmm…” erangnya sungguh menambah bumbu penyedap hinggaku semakin semangat mempermainkan cheese burger nikmat dan mempesona.

Gak usah ditanya ceman tegangnya Aseng junior-ku? Udah kek tugu nasional tegak berdiri dia. Udah meradang sedari tadi karena kugantung gak nyoblos-nyoblos dia. Sabar ya, Seng… Yang sabar dapat hadiah terbesar. Cheese burger lezat! Pasti dapat kao! “Akkhhh…” bergetar tubuh Miranda dan berkelojotan tubuhnya mengepit kepalaku dengan pahanya. Kupingku terasa berdenging karena kuat kepitannya. Bergetar beberapa kali tanpa bisa mengeluarkan suara hanya tubuh mengejang pertanda orgasme yang maha dahsyat melanda sekujur tubuhnya. Lalu lemas dan pahanya terbuka mengangkang lebar begitu saja. Kala kutes dengan jilatan ringan, tubuhnya merinding kecil tanda masih ada sisa kenikmatan yang mengapung di awang-awang esktase-nya.

“Hah-hah-hah… Mauhh mashuuk, phaak?” tanyanya memaksakan diri karena ia merasakan Aseng junior-ku yang kupukul-pukulkan ke permukaan cheese burger-nya yang membentang terbuka tak terlindung apapun, pasrah. “Bentaran ya, phaak… Masih ngiluuh kaliihh…” katanya yang berbantalkan bantal sofa rusak tak berdaya. Tangannya terkulai lemah dan kakinya mengangkang lebar tak bertenaga. “Tadi enaak kallihh…” akunya puas dengan kenikmatan yang baru direguknya. Aku tidak berhenti menepuk-nepukkan Aseng junior pada kemaluannya, mencicipi cairan lengket yang menggenang di permukaan vaginanya. Kugesek-gesek sekarang.

“Iyaa, Miranda… Tenang aja… Nikmati aja… Ini lebih enak lagi…” kataku mengoles-oles kepala Aseng junior ke bukaan liang kawinnya yang berdenyut-denyut. Kepala Aseng junior sudah berlepotan cairan lengket bening itu. Pastinya akan mudah terpeleset dan terbenam dalam liang nikmat itu. Aseng junior sudah gak sabar lagi. Sudah berkedut-kedut kangen. Padahal baru kemaren malam, liang ini menjadi sarang barunya, udah gak sabar lagi pengen masuk. Kuajak ia ngobrol untuk membuatnya lebih rileks, mengaburkan tusukan-tusukan pelan kepala Aseng junior yang perlahan ngetes masuk. Celup… keluar lagi. Celup lagi lebih dalam… keluar lagi. Tau-tau setengah batang Aseng junior junior udah bolak-balik masuk keluar.

“Mmm… Enak, paak… Lebih cepat, paak…” desah Miranda yang ternyata sudah mulai menikmatinya. “Auhh…” kubenamkan seluruh batang Aseng junior kandas hingga pelerku menyentuh selangkangannya. Kudiamkan sejenak lalu kuputar-putar untuk membiasakan liang sempit cheese burger ini akan besar lingkar diameter kemaluanku ini. Kurebahkan tubuhku ke arahnya dan mengajaknya bercumbu mulut lagi. Disambutnya dengan senang hati dan semangat. Lidah kami saling belit kembali seperti yang udah-udah dan pelan-pelan kugerakkan pinggulku keluar masuk. “Ehhh… ehh…” lidahnya kutangkap sedot di dalam mulutku. Matanya terpejam menikmati rasa enak yang bersumber dari pertemuan bersatunya kelamin kami. Ludahku kusetor ke dalam mulutnya dalam jumlah banyak dan disambutnya dan ditelannya dengan suka cita. Kuhisap-hisap terus lidahnya dan pompaanku semakin cepat seperti permintaannya. Aku udah gak mau nahan-nahan lagi. Sudah terlalu lama. Lagian aku bisa mengulangi ini lagi-lagi dan lagi.

“Ahh… Paaak! Anget!” erangnya merasakan semburan kental spermaku menyerbu masuk ke dalam rahimnya lewat saluran khusus Aseng junior-ku.

“Crooot! Croott!! Croottt!!! Mirrrr… Uhh…” erangku juga merasa plong sekali. Akhirnya nyemprot juga aku di cheese burger pujaanku ini. Mengisi relung rahimnya dengan bibit suburku yang sudah terbukti mampu menghamili semua binor yang pernah kutiduri. Ini kesempatan pertama di malam kedua aku bisa mengangkangi binik orang begini bahkan di depan mata suaminya sendiri yang telah sadar menyerahkannya padaku untuk kuapain aja. Si Hendra paok itu bahkan mengikat dirinya sendiri di permainan fantasy-nya.

Kubiarkan Aseng junior bercokol cukup lama, menyumpal di dalam sana dan aku kembali mencumbui bibir Miranda. Aku dan Miranda sangat menyukai ritual bibir ini. Tak puas-puas kami saling pagut dan belit. “Pak Aseng cup… yakin, pak gak berubah pikiran cup…, pak…?” bisiknya diantara saling kecup itu. “Miranda asal sama bapak aja… udah kutinggalkan dia… Gak ada hatiku dengannya, pak… cup!” lanjutnya dengan niat terpendamnya itu lagi. Ia tak jemu berusaha meluluhkanku.

“Husshh… cup… cup… Nggak bisa, Mirr… Ingat?… Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi… Ini keputusanku sudah sejak la-maaaa kali… Dan aku gak pernah berniat merubahnya bahkan untuk perempuan secantik Miranda… Ato kalo nanti-nanti ada yang lebih cantik lagi dari Miranda sekalipun… Maaf ya, Miranda cantik… Cukup segini aja… Nanti-nanti kalo Miranda butuh… awak usahakan… Tapi gak janji-loh… cup…” bisikku panjang lebar. Payah kalo perempuan udah maen perasaan. Andalannya tempek sama tetek. Untung aja aku punya dinding kokoh sekuat baja. Ditubruk tetek seempuk apapun pasti mental.

“Pak Aseng-ihh… Gak asik-ih…” ngambeknya dengan bibir bawah maju manyun dengan imut. Kugigit bibir itu dengan gemas dan kukulum-kulum hingga ia kegelian. “Hi hi hi… Ahh…” kutuntaskan dengan menekan Aseng junior-ku lagi yang belum tercabut. Ia sudah bangkit lagi setelah sempat istirahat di dalam peraduan sangkar hangatnya. “Aahh… Miranda di atas, pak?” katanya gugup karena kurebahkan tubuhku bergantian dengannya yang kutarik hingga menimpa, menduduki perutku. Kelamin kami masih akrab bersatu tak terlepaskan. “Miranda gak tau caranya, paak… Belom pernah…” ragunya.

“Mudah kok, Mirr…” kuposisikan kedua kakinya agar mencecah lantai, membagi berat tubuhnya hingga titik tumpu ada pada di selangkangannya yang dicolokin batang Aseng junior. “Tegakkan badannya, cantik… Nah…” aku mendorong sedikit perutnya agar tubuhnya tegak. “Seksi kali kau, Mirr… Coba gerakin naik turun…” kubantu ia dengan mendorongkan perutku ke atas agar ia tau maksudku.

“Aihh… Geli, pakk…” erangnya karena jepitan liang kawinnya seperti tak rela melepaskan cengkramannya pada Aseng junior-ku. Tapi dicobanya lagi dan lagi. Alhasil hentakan tubuhnya menghujam padaku sungguh luar biasa. Mentok sodokan sepanjang ukuran batang Aseng junior menghantam titik terjauh liang kawin Miranda lagi dan lagi. “Aahhss… Auhhh… Uhh… Luar biasa… Enaak, paakk… Ahh…” ia selalu mengerang tapi terus mengganyang batang kemaluanku tanpa ampun. Miranda cepat beradaptasi dan ia menyukai posisi ini. Apalagi sejatinya posisi ini menggambarkan dominasi seorang perempuan yang tau apa yang ia mau. Perempuan yang mengendalikan seluruh aspek persetubuhan gaya ini. Bahkan kalo mau, perempuan bisa mendikte kapan pasangannya harus ejakulasi dan kapan menundanya untuk keuntungannya sendiri. Miranda yang biasanya dominan, pasti insting-nya berdenting mengetahui potensi ini. Aku harus mencari hiburan, nih.

Tetek berukuran 34D itu berguncang-guncang bagus kemudian menjadi mainanku sebagai pengalih perhatian. Walo aku barusan ngecrot di ronde pertama tadi, kalo begini caranya bentar-bentar lagi aku bisa kebobolan lagi. “Aduh, mak!” erangku kala Miranda mengganti gerakan dengan maju mundur masih menduduki perut dan selangkanganku. Ini setara sodokan pendek-pendek. Aku dan Miranda bersuara berbarengan karena gesekan Aseng junior ke kacang itilnya juga terasa. Jariku lincah bermain di kedua putingnya, mengalihkan perhatian konsentrasi agar terpecah dan tak terlalu fokus pada kenikmatan di selangkangan. “Aduh, makjang!” Miranda bertransformasi lagi menjadi mesin seks. Ia memutar-mutar pinggulnya sehingga Aseng junior terasa seperti diulek di dalam liang kawinnya.

“Enak kali, paak… Uuhh…” erang Miranda juga. Gerakan yang ditemukannya itu sendiri pasti hanya coba-coba karena lelah ato bosan dengan satu gerakan monoton. Malah membuat aku semakin kelimpungan. Sepasang teteknya kuraup dan kuremas gemas. Pasrah kalo Miranda melakukan penemuan lainnya. Geal-geol campur maju mundur lalu naik turun dikombinasikannya menjadi satu lalu dirumuskannya menjadi formulanya. Sialan! Kombinasi 2-1-ku yang termasyur di kalangan binor bakalan keok di tangan Miranda kalok begini. “Mmm…. Uuhh… Enak gak, paak?”

“Mamak’eee… Aduh, maaak… Enak kali, Mirrr… Crroott!!” kaku kedua kakiku saat aku kalah dan menyemprotkan spermaku lagi kurang dari sepuluh menit dari mulai ronde kedua ini. Menyadari aku sudah ejakulasi, Miranda tak kunjung menghentikan gerakan formula WOT-nya ini. Spermaku luber dari sela-sela pertemuan kelamin kami. Malah karena itu, ia maklum dan mencondongkan tubuhnya padaku. Menjangkau mulutku yang ngos-ngosan.

“Hi hi hi… Udah keluar, pak? Kerasa anget-angetnya…” bisiknya mengecupi mulutku. Gemes kucaplok mulutnya dan kami bercumbu mulut lagi. Hendra di belakangku pasti melihat ini semua tanpa berkedip. Pasti dia udah beberapa kali ngecrot di sana karena belaian sendiri. Walo sudah begini, Miranda kembali menggoyang Aseng junior yang lunglai melengkung. Ia bisa belajar cepat menggerakkan tubuhnya untuk mengantisipasi posisi Aseng junior yang kurang menguntungkan. Pelan-pelan ia mengocok kemaluanku dengan cheese burger-nya agar tak sampai terlepas karena licin dan kurang ereksinya.

“Nakal ya, Mirr…” kataku menjentik ujung hidung mancungnya. Ia cekikikan tertawa dengan manisnya. Kami berciuman hanya dengan ujung bibir dan mata bertatapan mesra sementara ia terus menggerakkan pantatnya sampai Aseng junior mendapatkan kembali tenaganya. Tanganku menjamah dua bongkah buah pantatnya yang padat dan kenyal, meremasnya sebentar dan membantu temponya mengocok Aseng junior-ku. Kusambut gerakannya dengan menekan ke atas juga hingga hentakan pertemuan kelamin kami makin dalam dan intim. Pangkal penisku dan daging pubis-nya berbenturan saling silaturahmi.

“Satu malam bisa berapa kali keluar biasanya, pak?” tanya Miranda masih bekerja sama saling hentak. Ia menjalankan ujung jarinya pada batang hidungku lalu ke pipi. Mata kami masih lekat satu sama lain.

“Sebanyak-banyak perlunya aja… Pernah lima kali… Gak tentu sih…” kataku sendiri gak terlalu yakin aku bisa berapa kali ngecrot berturut-turut. Biasanya pada perempuan yang sama semalam pernah tiga-empat kali gitu, deh. Miranda terperangah mendengar kata lima barusan. Ia berhenti menghentak dan menggantinya dengan geol berputar. Aseng junior terasa dipulas pelintir rasanya.

“Masak?” kagetnya. “Hebat, pak Aseng… Makin klepek-klepek aku, paak…” rayunya lagi. Naga-naganya Miranda keknya minta diencrotin lima kali, nih. Diciuminya lagi mulutku dengan manja. Kami berbincang-bincang layaknya pasutri sah di rumah sendiri. Gak akan ada pengganggu apalagi grebek satpol PP. Yang ada Hendra paok aja di situ entah ngapain. “Ngaahhh…. Ahhnnn… Auuhh… Paak…” kuganti posisi menggasak Miranda berikutnya. Ia kubuat nungging berpegangan pada sisi pegangan tebal sofa yang sudah sobek-sobek. Pantatnya mencuat tinggi dengan kaki lurus jenjangnya. Aseng junior menusuk memompa dengan riangnya dari belakang tunggingannya. Sodok-sodok ke pantatnya nunggingnya, Aseng junior terjepit erat. Nikmat kali binor ini. Hendra masih menonton dengan seksama.

Kuremas-remas pantat montok Miranda selagi Aseng junior-ku terus merangsek cheese burgernya dengan kombinasi tusukan 2-1 andalanku. Kek-keknya bentar lagi bakal orgasme lagi ini perempuan cantik. Terasa dari kedutan-kedutan acak dan raungan suara melengking keenakannya. Ia memuji-muji kehebatanku dalam menggaulinya, merendahkan suaminya yang ada di ruangan ini bersama kami, pemirsa budiman yang terikat erat. Dibilangnya-lah kontol lakiknya gak enak. Dibilangnya-lah kontolku hebat dan besar. Dibilangnya-lah lakiknya edi tansil. Dibilangnya-lah aku kuat menggenjotnya. Entah hapa-hapa aja yang keluar nyerocos dari mulutnya. Udah kebiasaan mungkin.

Berputar-putar pantatnya kala orgasmenya datang melanda. Aseng junior kucabut cepat-cepat dari sana, takut diremas-remas mempercepatnya ngecrot lagi. Bergetar tubuhnya walo dalam keadaan lemas sedemikian rupa. Ia menungging berlutut dan tubuhnya telungkup di sofa. “Paak… Enak kaaali, paak…” erangnya dengan suara parau dan rambut acak-acakan. Bahunya naik turun seirama dengan kembang kempis liang kawinnya yang sedikit menganga menjulang mengundang dicoblos kembali. “Uhh…” kubalik tubuhnya hingga duduk bersandar di sofa mahal yang sudah kupak-kapik ini. Kulit pembalut lapisan busa empuknya koyak-koyak tak beraturan.

“Kamar kalian di atas?” tanyaku sambil berusaha mengarahkan Aseng junior pada bukaan mengembang cheese burger-nya dengan kaki mengangkang pasrah. Miranda menjawab hanya mengangguk walo mulutnya menganga untuk udara. Kuoles-oles Aseng junior meratakan cairan yang menggenang di sekitar bukaan kemaluannya.

“Mp-em… Ahh…” jawabnya dan langsung kujebloskan Aseng junior tergelincir masuk di dalam liang sempit tapi licin itu. Miranda yang duduk bersandar di sofa dengan kaki mengangkang mendesah-desah kupompa lagi dan lagi dengan sodokan 2-1-ku. “Paak… Enak-enaak, paak…” erangnya sambil memajukan bibirnya minta cium lagi. Kukabulkan kemauannya dan aku menyetubuhinya dengan cumbuan mulut juga. Sungguh luar biasa satu ini. Ia senang sekali beradu mulut secara harafiah denganku selagi cheese burger-nya kusodok berulang kali. Ia tak lagi memperdulikan suaminya, hanya kesenangan yang digapainya. Tak malu lagi minta cium dari lelaki lain yang sedang berperan sebagai perampok mesum malam-malam begini. Aku beralih pada tetek 34D-nya dan balik lagi ke mulutnya sesukaku.

Kupercepat genjotanku karena keknya aku udah akan ngecrot lagi. Miranda tau itu dan melebarkan kakinya lebih lebar lagi, menyambutku. Menyambut calon anak yang bakal disetorkan ke rahimnya. “Mirr… Mirrr… Akh… Uh… Crot croot crooot!” kudesak selangkangannya bertemu permukaan perutku. Peler dan batang Aseng junior memompakan isi bibit suburku. Memenuhi relung rahimnya yang haus akan siraman bibit unggulku. Ia dengan rela menampung semua semburan sperma hangatku yang juga disetujui suaminya. Dengan sepengetahuan suami paok itu, aku akan menghamili binor cantik ini. “Akh… Akh…” kukuras semua muatan spermaku dengan hentakan tambahan. Lalu kami berciuman lagi di tengah nafas berat memburu. Uap nafas kami menghangatkan pertemuan wajah kami yang bercumbu.

—————————————————————————-
“Ini kamar klen?” kataku berkacak pinggang di dalam kamar luas nan mewah di lantai 2 ini. Miranda menunjukkan jalan menuju kamar ini dengan membawa serta Suhendra. Kakinya sudah diikat lagi seperti tadi dan ia berbaring di lantai dingin kembali.

Miranda duduk di atas ranjangnya yang bagus dengan sprei dan bed cover mahal. Ia duduk menyilangkan kaki memancing dan menggodaku agar kembali mengacak-acak tubuhnya. Disisir rambutnya dengan jari dan menatanya sekenanya. Berantakan lebih cantik alami perempuan itu sebenarnya. Apalagi aura puas abis dientot beberapa ronde dengan hasil beberapa kali orgasme juga tak dapat menghapus rona senyum bahagia di wajahnya.

Aku gak bisa membayangkan tinggal dan tidur di kamar sebagus ini. Tunggu dulu. Aku punya rumah selevel ini juga di kompleks XXX itu. Cuma saat ini sedang disewa orang aja. Aku seharusnya gak perlu minder dengan orang kaya seperti mereka ini. Yang kurang adalah furniture-furniture-nya aja karena kalo misal aku berniat tinggal di sana, aku harus melengkapi semua perabotannya karena penyewa itu pasti akan membawa semua furniture mahal dan mewah miliknya. Dua bulan lagi abis masa sewanya… Liat nanti-ah…

“Di sini kau kehilangan perawanmu dengan kontol palsu itu?” tanyaku mendekat pada Miranda. Aseng junior-ku yang setengah tegang menjuntai-juntai tiap langkahku.

“Iya, paak…” jawabnya mendongak begitu aku sudah tepat di depannya. Tangannya lancang dan langsung meraih Aseng junior. Kutepis tangannya. Bukan gitu cara mainnya.

“Ambil kontol palsu itu! Masih disimpan, kan?” sergahku. Miranda udah merasa sangat dekat jadi permainan ini harus dikembalikan ke pakemnya kembali. Aku jadi perampok yang notabene berperan antagonis harus tetap di peranku. Mereka sebagai korban-korbanku harus mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dariku.

Mata Miranda kaget lalu berbinar-binar sudah mengira-ngira bakalan apa yang terjadi sehingga ia dengan riangnya menuju lemari tempat ia menyimpan benda-benda mesum yang jadi alat bantu mereka kala bermesraan sebelum bertemu denganku. Aku menunggu sambil terus berkacak pinggang dengan batang bambu tetap menjadi senjataku. Dengan benda ini pula aku (pura-pura) mengancam Hendra agar menaiki tangga buru-buru tadi. Tak lama Miranda balik dengan membawa strap-on dildo hitam itu dengan riang gembira.

“Pake!” kataku tegas pada Miranda.

“Paak?” kagetnya. Entah apa yang tadi dibayangkannya kala kusuruh ngambil ABK (alat bantu kemesraan) ini. Mungkin dikiranya aku yang akan memakainya untuk menggenjot dirinya atau malah suaminya. Kalo opsi terakhir sih jijay bajay-ih.

“Kubilang pake ya pake!” pukulku ke lantai dengan batang bambu itu. “Apa mesti pake bambu ini-heh?” ancamku. Miranda mengangguk-angguk cepat dan buru-buru melingkarkan tali strap ABK itu ke pinggangnya sendiri. Kontol palsu yang bertengger di strap-on hitam itu juga berwarna hitam. Panjangnya hanya sekitar 15 cm saja karena untuk pangsa pasar Asia Timur sekitarnya. Kalo versi Eropa ato Amerika-nya bisa lebih panjang dari ini. Miranda udah kelihatan seperti shemale sekarang dengan tetek bulat mengkal tapi ber-titit mengacung tegang.

“Gini, paak?” tanya Miranda takut-takut kubentak lagi atau bahkan pukulan batang bambu.

“Iya… Sekarang perawani burit lakikmu yang gak becus itu pake kontol palsu yang sama!” tunjukku tanpa melihat Hendra yang berbaring tak jauh dari kami. Pastinya udah kek disambar petir kepala Hendra mendengar ucapanku barusan. Memerawani buritnya? Ha ha ha hi hi hi. Segila apa itu? Ya iyalah! Ia dengan tidak becusnya menggunakan alat untuk memperawani seorang perempuan, ia harus mendapatkan perlakuan yang sama. Alat yang sama pula. Kalo dulu dia bisa pake onderdil pribadinya sendiri, masalah ini tidak akan terjadi dan aku tidak harus repot-repot harus jadi ikut gila bareng pasutri sableng ini.

Ragu-ragu Miranda menangkap maksudku dan menunjuk-nunjuk pantat Hendra. Pria malang itu berbaring menyamping masih dengan dengan kedua tangan terjepit kedua kakinya dan mata melotot ketakutan. “Iya! Buritnya! Pake baby oil kalok perlu…” kupermudah kerjanya. Memperingan sakit ato perih yang akan dirasakan Hendra tentunya. Waktu memerawani cheese burger Miranda pasti sakit berdarah, kan? “Ambil baby oil… Lumuri itu kontol palsu pake baby oil…” lanjutku memberi instruksi sableng. Miranda mengambil sebuah botol baby oil dari meja riasnya dan kikuk memegangi botol itu di atas kontol palsu berwarna hitam itu. Aku memberi instruksi tangan untuk menuang minyak itu di permukaan kontol strap-on yang dipakainya dan ia melakukannya dengan kikuk. Dibalurinya benda lalu meratakan minyak licin itu.

“Nah… udah licin, kan? Tegakkan badan lakikmu sampe bisa nungging sendiri…” kataku nyuruh-nyuruh sesuka udel. Miranda berusaha mendorong tubuh Hendra yang lumayan berisi agar bangkit dari baring menyampingnya. Repot juga menegakkan tubuh Hendra hingga aku harus ikut membantunya. Tentu aja dengan cara yang elegan; ditendang-tendang, didorong-dorong pake kaki. Ia nungging bersujud dengan kepala mepet di lantai. Miranda berjongkok di belakangnya dengan ekspresi jijik. “Tarik celananya… Miranda! Tarik!” kataku kembali menyergahnya agar menuruti perintahku. Dengan gestur tubuh jijik-jijik gimana, ia menyingkap bagian belakang celana pendek yang dipakai Hendra untuk menampilkan pantatnya. Aku jauh-jauh dari sana. Pertunjukan ini lebih kepada hiburan untuk Miranda dan pelajaran untuk Hendra. Dia harus tau bagaimana seharusnya memperlakukan orang yang ia sayangi.

“Kau bisa menusuk pantatnya sekarang Miranda… Terserah mau pelan-pelan ato maen coblos aja… Ato kalo mau rekonstruksi… ingat-ingat gimana dulu dia memperawanimu dulu… Terserah… Bebas…” kataku malah duduk dimana Miranda tadi duduk di ranjang mewah ini sambil digenjot-genjot. Aku udah beli ranjang model latex begini. Harganya lumayan, boo…

Miranda kembali ragu-ragu… Ia hanya menekan-nekankan kontol hitam itu ke belahan pantat Hendra tanpa bermaksud menembusnya. Aku bisa melihat usahanya tapi tidak niatnya. Sepertinya ia tidak mau bermain seperti ini. Harus ada dorongan tambahan. “CEPAT!!” bentakku tiba-tiba menggebrak kasur latex ini dengan batang bambu yang kujadikan senjata dari tadi. Suara gebrakannya sangat kuat hingga kedua pasutri itu melompat kaget.

“Ammbb…” raung Hendra bangkit dari kepala mepet di lantai tadi hingga sekarang melejit dengan mulut menganga walo masih tersumpal. Kontol hitam strap-on itu menusuk masuk ke liang anusnya. Miranda bukan main kaget melihat kontol palsu itu menusuk masuk hingga setengahnya di dalam burit Hendra. Pukimak-nya ini orang, burit ditancapin kontol palsu, kontolnya sendiri ngaceng bukan buatan juga. Saket jiwa betol ni orang. Tangannya yang terikat di antara pahanya mendapat akses penuh untuk menjamah kontolnya sendiri. “Ubhh… Umbbhh…” keluhnya sambil mendelik-delik merasakan apapun itu. Aku gak mau tau apa yang saat ini dirasakannya. Gak sudi!

Miranda secara mengejutkan malah bertindak berbeda, ia malah menambahkan lumuran baby oil ke pantat Hendra dan mulai menusuk lagi dengan goyangan menyodok. “Gimana? Enaak? Enak, gaak? Cemanaa? Enak dientotin gini?” tanya Miranda sambil menggerak-gerakkan pinggulnya maju mundur. Mengocok pantat Hendra dengan kontol palsu strap-on hitamnya. Ia bahkan menampar sebelah pantat Hendra seperti yang kulakukan semalam padanya. Hendra yang tersumpal mulutnya dan terikat tangan-kaki tidak bisa berbuat banyak selain erangan tertahan.

“Embhh… ummb… ummb…” erangannya memilukan hati tapi aku gak percaya karena ia mengocok kontolnya dengan cepat juga. Entah sebagai kompensasi rasa sakit ato pengalihan rasa sakit. Aku gak tahan menahan tawa karenanya aku menutup mulut dengan sebo dan memegangi perutku sangking gelinya. Gimana kalo muncul di berita, seorang suami diperkosa oleh sang istri akibat balas dendam tiga tahun gak dientot dengan benar. Bagus tuh jadi headline. Aku guling-guling di atas ranjang sementara Miranda terus menikmati perannya. Berkuasa penuh atas tubuh suaminya.

—————————————————————————-
Kugenjot Miranda dengan penuh nafsu. Sebagaimana Miranda juga penuh nafsu juga. Ia menyambut tiap hentakan tubuhku dengan goyangan membentur hingga pertemuan kelamin kami terasa lebih intens. Hendra sudah ngecrot sengecrot-ngecrotnya saat disodomi Miranda dengan kontol strap-on tadi. Ia ngelongsor lunglai tak berdaya di kolam spermanya sendiri. Tubuhnya bermandikan cairan kentalnya sendiri tanpa bisa dihindarinya. Nafasnya masih ngos-ngosan dan menatap pertempuran kami dengan tatapan kosong nan nelangsa.

Hentakan-hentakan penuh tenaga di kasur semahal ini membal dengan bantuan daya kinetiknya yang prima. Karena itu harganya mahal kali ya? Kami goyang abis-abisan di sudut sini, sudut sebelah sana bergeming-pun tidak. Miranda meraung-raung dan kutingkahi juga dengan eranganku yang sudah terotak kali. Bentar-bentar lagi kuencrotin lagi binor cantik menggairahkan ini. “Miirrr… Mirran-daaahh… Akh… Akh… Croot croott croottt!” kutekan sedalam-dalamnya perutku menekan selangkangannya hingga hanya menyisakan tampilan jembut berbentuk hati itu. Binor cantik binik si Hendra inipun gak kalah menikmati ini semua, ia juga mendapatkan puncak kenikmatan seksualnya. Tubuhnya bergetar-getar bersamaan denganku. Ini sangat sempurna. Orgasme bersamaan. Ahhh… Enaknya.

Aku dan Miranda berpelukan, berciuman di bawah tatapan kosong Hendra. Tubuh kami rapat berpelukan seperti gak akan terpisah. Hangat dan nyaman bersatu padu menjadi satu kesatuan yang indah. Miranda tertawa geli kala teteknya kukutik-kutik lagi. Diemutnya jariku yang tadi memainkan teteknya. Diemutnya sampai basah kuyup. “Lakikmu ngeliatin terus… Gak risih?” tanyaku.

“Kan bapak yang ngeganti posisi tangannya… Dia masih pengen ngocok tuh… Liat tuh ngaceng kek gitu…” jawabnya terkikik geli lagi. Hendra berdiri diatas lututnya dalam keadaan telanjang bulat, bermandikan spermanya sendiri, kontolnya ngaceng keras tak terjamah karena tangannya terikat di belakang. Pantesan aja ia menatap kami melongo tanpa bisa menuntaskan nafsunya sendiri karena kami gak sudi menyentuhnya dengan semua kotoran di tubuhnya.

“Mampus-la dia situ…” kataku gak perduli dan mencumbunya lagi. “Jendela itu kemana? Arahnya bukan ke halaman depan, kan?” tanyaku. Untung orientasi arahku masih bagus jadi aku masih bisa tau mana Utara dan Selatan. Jendela itu tidak ada gordennya tidak seperti jendela besar yang di sisi dinding satunya. Di balik kaca itu gelap gulita tanpa penerangan sama sekali.

“Oh… Itu ke kolam renang, pak? Mau berenang?” Miranda malah menawarkan sesuatu yang gila-gilaan. Tangannya meraih ke laci di sideboard ranjangnya dan mengambil sebuah console remote. Tetiba muncul cahaya di balik jendela gelap itu hingga menampilkan dimensi yang ada di sana. Benar ada kolam renang di sana. Wah… Enaknya jadi orang kaya. Mau berenang tinggal buka jendela, ralat pintu kaca, tinggal nyebur. Alangkah bahagianya keluargaku nanti kalo kutunjukkan rumah baru kami di kompleks XXX itu.

Miranda menggandeng tanganku menuju kolam renang itu setelah menggeser pintu slidingnya. Panjangnya cukup sebagaimana juga lebarnya. Ada beberapa kursi pantai di terasnya juga. Lampu-lampu penerang lokasi ini memberi kesan magis dan pantulan guratan air bergerak-gerak menenangkan terproyeksi di dinding. Suhu sejuk akibat air kolam mendinginkan kepala kami yang sempat mendidih oleh nafsu birahi. Aku masih mengagumi keindahan yang tersaji saat Miranda menggamit tanganku menuju tepi kolam. “Berenang yuuk? Kita maen di dalam…” godanya.

“Jangan Miranda… Tidak baik untuk program hamilmu… Dengar… Air kolammu ini pasti ada kaporitnya… Sementara di dalam sini… calon anak-anakku sedang berlomba-lomba menuju sel telurmu…” kataku menyentuh perutnya di bawah pusar. Dipandanginya mataku lekat-lekat. “Biarkan mereka berusaha dulu… Jangan racuni mereka dengan kaporit ini… Kita main lagi di sini aja…” kataku mengambil sebuah handuk dan menghamparkannya pada kursi pantai terdekat.

“Oouuhhh…” kata Miranda meleleh dan memelukku erat. Gombalanku mengena. Kami bercumbu lagi di tepian kolam. Di sudut mataku, kulihat Hendra beringsut-ingsut dengan lututnya mendatangi kami, untuk tetap menyaksikan semuanya tanpa terlewat apapun. Lakik paok itu tanpa bisa berbuat banyak melihat bagaimana aku menggumuli biniknya lagi di atas kursi pantai. Kugasak dengan posisi MOT. Cheese burger-nya berlepotan spermaku dan kupompa terus menerus sambil lagi-lagi bercumbu mulut. Kontol tegang Hendra herannya bisa ngecrot walo tak disentuh sama sekali. Ini mungkin level tertinggi bacol yang sudah dikuasainya. Nembak tanpa menyentuh. Hebat kao, Ndra. Paok!

Berikutnya aku menyetubuhi Miranda di posisi doggy. Aseng junior menggasak penuh semangat sambil meremasi tetek bulatnya yang menggantung bergoyang-goyang. Tusukan kulakukan sedikit miring, memaksimalkan gesekan pada liang kawinnya yang masih sempit hingga terasa sekali. Kami berdua mengerang-ngerang keenakan. Miranda gak tahan dan orgasme yang didapatnya hingga lemas. Kuteruskan menggasaknya dari belakang walo Miranda rebah menelungkup di kursi pantai. Suasana sejuk dan lighting yang bagus membuat sensasi ngentoti binor kali ini sungguh aduhai kurasa. Apalagi lakiknya sebagai penonton menambah sensasi gila tersendiri. Masih bisa lagi ngecrot dia tanpa disentuh. Kimak-nya memang orang satu ini.

Aku lupa entah udah berapa kali aku ejakulasi di liang kawin Miranda malam ini. Pokoknya banyak kali. Aku sangat-sangat puas tapi sayang kalo berhenti rasanya. Tapi selalu ada hari esok. Pasutri ini tentunya tidak akan menolakku kalo aku berkunjung lagi kapan-kapan. Kualitas cheese burger Miranda sangat top hingga sudah dalam taraf membuatku ketagihan. Tapi kalo kupake sering-sering mungkin bisa longgar juga, ya? Tapi itupun dia ato si Hendra paok gak akan keberatan secara ini dua orang pasutri sableng ini udah kek jadi budak seks-ku. Miranda aja tepatnya, si kimak Hendra itu cuma jadi penonton aja. “Awas kao kalo kao berani-berani make Miranda tanpa izinku… Pecah kepala kao kubuat! Prang!” sebuah gajah porselen besar penghias rumah mewah ini hancur berkeping-keping dengan mudah. Aku menyampaikan pesanku dengan kehancuran. Pesan seperti ini biasa efektif. Hendra cukup ngocok aja udah senang.

Pulang ke rumah dengan hati puas dan dengkul lemas…

Bersambung

Jatuh Cinta Pertama Season 1
bokep teller bca
Bercinta Dengan Pegawai Bank Yang Masih Perawan Bagian Dua
gadis cantik
Pengalaman masa muda yang tak akan pernah terlupakan bagian 1
Foto Abg Masih SMA Mulus Selfie Nungging
cewek sange ngentot
Bercinta Dengan Cowok Yang Masih Perjaka
sekertaris cantik sange
Sex Appeal Yang Menggoda Dari Boss Ku
ibu guru mesum
Cerita hot tak sengaja ngintipin guru bahasa inggris yang sedang ngentot di ruang guru
ibu guru muda
Cerita hot terbaru ngentot dengan ibu guru sexy
pelacur cantik
Pelacur yang telah mengambil keperjakaan ku
Foto bugil anak sma bispak montok memek masih sempit
Kamu Dia Dan Mereka Sesion Pertama
mesum di buss
Mesum di bus waktu penumpang lain semua sudah tidur
Foto Memek Mulus Tembem Cewek Bispak
melayani Nafsu Bejat ipar
Melayani Nafsu Bejat Ketiga Ipar Ku Sendiri
Tante sis, aku ketagihan memek kamu
Foto memek anak SMA berseragam telanjang pamer belahan vagina