Part #7 : Pertempuran Hati
Damainya hati saat merasa nyaman di dekatnya. Rindunya hati saat selalu ingin bertemu dengannya. Galaunya diri karena ada orang lain yang tersakiti.
Ketika kita jatuh cinta, perasaan yang lebih sering muncul pastinya rasa senang dan bahagia. Melihatnya tersenyum akan membuat kita ikut tersenyum dan kita akan selalu mencari cara untuk selalu bisa dekat dengan orang yang kita sayangi.
Perasaanku bercampur antara senang dan sedih. Senang karena semakin dekatnya aku dengan Dini, sedih karena melihat Monic yang selalu berusaha tersenyum. Dibalik senyumnya tersimpan perasaan pilu melihatku dan Dini yang bercengkrama di depannya.
“jangan menatapku seperti itu, aku masih bisa bertahan dengan perasaanku”
Ungkap Monic lewat pesan yang dikirimnya padaku. Aku jadi merasa bersalah padanya saat aku membaca pesan darinya berulang kali. Sebesar itukah perasaannya padaku?
Jujur sampai saat ini aku belum berani membicarakannya dengan Monic. Aku tak ingin tambah menyakitinya, walaupun dia tau kalau aku lebih memilih Dini, tapi aku tak berani berterus terang padanya tentang itu.
Perasaan canggung terasa saat kami berkumpul bersama, walau Monic bisa menutupinya dengan sempurna, hal itu tidak berlaku padaku. Lewat tatapan matanya aku bisa melihat semuanya.
Kenapa aku selalu menjaga sikapku, apa untuk menjaga perasaannya? Apa aku juga peduli dengannya? Apa aku juga ada rasa padanya? Pertanyaan itu yang selalu muncul di kepalaku yang membuatku jadi galau.
“Rik nanti pulang sekolah ikut ane..” ucap Akbar membuyarkan lamunanku.
“eh.. kemana..?” balasku pada Akbar.
“udah ikut aja..” balas Akbar.
“penting..?” tanyaku.
“penting..!” jawab Akbar terlihat mulai kesal.
“banget..?” tanyaku menggoda.
“anjing ya ente lama – lama bikin kesel..!” ucap Akbar kesal kemudian memeteng leherku.
“hahaha..” aku yang tertawa mencoba melepaskan petengan leherku.
Saat pulang sekolah aku dan Akbar kemudian menuju parkiran untuk mengambil motor. Aku sempat bertanya pada Akbar untuk boncengan apa naik motor sendiri – sendiri. Dia bilang kalau kita naik sendiri – sendiri aja karena setelah selesai langsung pulang.
Kami kemudian melajukan motor beriringan, aku yang tidak tau kemana tujuannya hanya mengikuti Akbar dari belakang. Setelah melewati sebuah SMA, kami kemudian berhenti di sebuah warung yang di depannya terparkir banyak motor tapi sepi pengunjungnya.
“kita sebenernya mau ngapain?” tanyaku pada Akbar yang masih di atas motor.
“mau sparing bro..” jawab Akbar yang sudah memarkir motornya.
“sparing apaan? Tanding bola..?” tanyaku heran.
Akbar hanya menggelengkan kepala kemudian mengepalkan tangan kanannya dan memukulkan ke telapak tangan kirinya. Aku seketika itu jadi tau kalau yang dimaksud sparing ternyata adalah berkelahi.
“males ah.. ane balik aja..” ucapku yang merasa malas.
“eh.. eh.. eh.. jangan..!” ucap Akbar yang kemudian berlari mencegatku.
“males ane kalau kesini cuma mau berkelahi..” ucapku pada Akbar yang berdiri di depan motorku.
“bentar Rik.. dengerin dulu..” ucap Akbar yang menahanku.
“sekarang ini lagi ada seleksi buat masuk MEDUSA..” ucap Akbar menjelaskan.
Aku yang bingung karena tidak tau apa yang di maksud oleh Akbar hanya mengernyitkan dahi. Medusa apaan lagi itu, yang ada di bayanganku medusa itu adalah makhluk mitologi yunani yang rambut di kepalanya adalah ular.
“MEDUSA apaan?” tanyaku yang tidak mengerti.
“MEDUSA itu genk sekolah kita.. dan sekarang lagi seleksi anggota buat anak – anak kelas 1. Lawan sparing kita anak – anak KOMBAT..” jawab Akbar menjelaskan.
Aku semakin tidak mengerti apa yang dibicarakan Akbar. Apa lagi itu kombat? Film mortal kombat kah? Lagian seleksi kok berantem, namanya seleksi tuh ya ujian.
“udah.. udah.. ane gak paham sama yang ente maksud. Lagian kalau buat anak kelas 1, kenapa ane yang kelas 2 disuruh ikut juga..” balasku yang makin malas dan ingin pergi.
“ente di undang bro..” ucap Akbar yang membuatku heran.
“kok bisa..?” tanyaku heran
“karena ente sudah berani kencing dan merokok di kamar mandi tempat tongkrongan anak – anak MEDUSA bro, jadi ente harus buktikan ente layak apa tidak..” balas Akbar menjelaskan.
“halah.. mau kencing dimana juga terserah ane lah.. kalau mau ane bisa kencingin itu mulut ente..” ucapku yang mulai kesal.
“anjing ni anak malah nyolot..” balas Akbar yang kemudian mengambil kunciku dan pergi.
“woi kribo.. balikin..!” teriakku meminta kunciku yang di ambil oleh Akbar.
“ikut dulu.. tar ane balikin.. hehehe..” balas Akbar terkekeh sambil memamerkan kunciku yang dipegangnya.
Akhirnya mau tak mau aku mengikuti kemauan Akbar. Aku dan Akbar berjalan menuju suatu perkebunan yang berada di belakang warung.
“MEDUSA artinya apa bro..?” tanyaku pada Akbar saat berjalan ke perkebunan.
“Memorial of Dua Satu” jawab Akbar bangga.
“kalau KOMBAT..?” tanyaku kemudian.
“Komando Batas Kota.. anak – anak genk SMA 6..” jawab Akbar sambil menunjuk SMA yang sempat kami lewati tadi.
“huh.. alay..” gumanku.
“terus hubungannya MEDUSA sama KOMBAT apa?” tanyaku kemudian yang masih penasaran.
“aliansi bro.. kita gabung buat lawan JITU (SMA 17)” jawab Akbar menjelaskan.
“kurang kerjaan..” gumamku dan Akbar hanya melirikku.
Setelah berjalan cukup ke dalam, aku melihat ada banyak orang yang mengelilingi dua orang yang sedang bertarung. Ternyata yang sedang bertarung itu adalah anak SMA 21 melawan anak dari SMA 6, dan semuanya masih kelas 1.
Aku dan Akbar kemudian berjalan mendekati kerumunan, kemudian Akbar mempertemukanku pada seorang kakak kelas yang kemudian aku tau namanya Sigit.
Aku kemudian di ajak Akbar untuk duduk menonton yang sedang bertarung.
Dari yang aku tau, peserta boleh memilih sendiri lawan atau dipilihkan oleh penanggung jawab masing – masing kelompok. Dari kelompok kami yang bertanggung jawab yaitu kak Sigit (Kak = panggilan atau sebutan untuk kakak kelas). Peserta yang sedang bertarung dijaga oleh dua orang yang bertindak sebagai wasit. Wasit tersebut adalah satu orang perwakilan dari masing – masing kelompok yang bertujuan menjaga pertarungan berjalan sesuai peraturan yang sudah disepakati dan berhak menghentikan pertarungan apabila sudah melewati batas.
Setiap pertarungan diberi waktu maksimal 5 menit. Pertarungan berakhir apabila salah satu dari peserta menyerah atau tidak bisa lagi melanjutkan pertarungan. Apabila dalam waktu 5 menit belum ada yang kalah atau menyerah, maka pertarungan dinyatakan imbang.
Aku yang dari tadi sedang memperhatikan pertarungan tiba – tiba pandanganku beralih dan tertuju pada seorang yang aku kenal, dan dia duduk terpisah dari peserta yang bertarung. Orang itu adalah kakak kelasku waktu SMP dulu, dan aku masih sangat ingat saat dia menghinaku dan keluargaku, salah satunya dengan menyebarkan berita ke orang – orang tentang bangkrutnya usaha Ayahku. Walaupun saat itu dia sudah lulus, tapi masih sering terlihat nongkrong di SMP. Aku yang saat itu ingin menghajarnya ditahan oleh teman – temanku. Hingga sampai aku pindah sekolah dan pergi merantau bersama keluargaku, aku belum bisa melampiaskan amarahku pada orang tersebut. Mungkin ini saatnya aku bisa membuat perhitungan dengannya.
“bro.. nanti ente harus tarung.. tenang aja, lawan ente masih anak – anak kelas 1” ucap Akbar yang berbisik padaku.
Aku hanya mengangguk dan masih terus melihat ke arah orang yang ingin aku lawan itu.
“Bar.. suruh temenmu siap – siap.. suruh dia pilih lawan..” ucap kak Sigit pada Akbar.
“iya kak..” balas Akbar menyanggupi.
Setelah pertarungan yang berlangsung selesai, kini giliranku bertarung. Akbar menyuruhku berdiri dan memilih lawan.
“cepet pilih terus selesaikan..” ucap Akbar berbisik padaku.
“yang itu..” ucapku sambil menunjuk ke arah orang yang ingin aku lawan.
“itu anak kelas 3 bego.. Bar suruh temanmu milih yang bener..!” ucap kak Sigit melotot.
“kenapa..? Apa Benny takut mau lawan aku..” ucapku berteriak pada kak Sigit yang rupanya terdengar oleh pihak lawan.
Mendengar namanya disebut, Benny yang terlihat kaget karena melihatku yang menyebut namanya.
“apa Benny terlalu pengecut buat ngelawan anak baru..?” teriakku lagi yang membuat suasana jadi ramai.
“Benny.. Benny.. Benny..” suara anak – anak kelas 1 pihak lawan yang menyemangati kakak kelasnya untuk menerima tantangan.
Akbar dan kak Sigit hanya bisa diam dan tidak bisa lagi melarang karena riuhnya suara dari anak – anak kelas 1 dari pihak lawan yang justru menyemangati kakak kelasnya, sedangkan anak – anak kelas 1 dari pihak kami hanya bengong karena ada anak baru yang berani – beraninya menantang anak kelas 3.
Benny yang tidak bisa mengelak akhirnya menerima tantangan dengan maju ke tengah. Dia mungkin merasa malu pada teman – teman dan adik – adik kelasnya kalau sampai menolak untuk bertarung. Aku dengan senyum menyeringai kemudian maju ke tengah. Aku akhirnya berhasil memancingnya untuk bertarung, karena dia itu adalah seorang pengecut yang selalu menghindar dan hanya berani berteriak sambil bersembunyi dibalik teman – temannya.
“siap..!! siap..!!” ucap wasit memberi aba – aba dan kami hanya mengangguk.
“mulai..!!” ucap wasit yang membuatku langsung berlari menerjang Benny.
Terlihat Benny yang kaget melihatku yang langsung berlari ke arahnya dan membuatnya tidak bisa menghindari seranganku.
“BUGH”
Sebuah pukulan telak dariku yang mengenai wajah Benny sebelah kiri yang membuatnya sampai berputar dan jatuh tersungkur ke tanah. Aku kemudian membalikkan badan Benny yang masih tengkurap dan memukulnya berkali – kali.
“BUGH.. BUGH.. BUGH.. BUGH..”
“cukup woi.. cukup..!!” teriak salah seorang wasit menyuruhku berhenti dan tidak aku hiraukan.
Aku dengan sangat emosi masih terus memukul Benny sampai kemudian aku di tarik dan diseret pergi menjauh. Akbar dan kak Sigit yang ternyata menarikku dan membawaku pergi menjauh.
“Bar sana bawa temanmu pergi..!!” ucap kak Sigit menyuruh Akbar.
“arghh.. anjing.. anjing..!!” gerutu kak Sigit yang terlihat emosi.
Akbar terus membawaku pergi dengan terus memeteng leherku. Sampai di parkiran motor kemudian Akbar memberikan kunciku dan menyuruhku pergi.
Aku kemudian memacu motorku dengan kecepatan tinggi untuk pulang kerumah. Sesampainya di rumah aku langsung berlari menuju kamar mandi. Panggilan dari Tante Septi yang melihatku tergesa – gesa juga tidak aku hiraukan.
Aku kemudian menyiramkan air ke kepalaku berkali – kali. Guyuran air di kepalaku tidak juga menghilangkan rasa panas di kepalaku. Seragam yang masih aku pakai sampai basah kuyup terkena guyuran air.
“dug.. dug.. dug.. Rik.. Rik..” panggil Tanteku sambil mengetuk – ngetuk pintu kamar mandi.
“iya Tan..” balasku dengan suara berat.
Aku kemudian membuka pintu kamar mandi dan Tante Septi yang berdiri di depan pintu terlihat kaget melihatku.
Tante Septi langsung memelukku dan mengelus kepala belakangku dengan lembut.
“Bun..” terdengar suara Om Heri memanggil.
“ssttt..” balas Tante Septi yang masih memelukku dan menyuruh Om ku pergi.
Aku yang masih dipeluk oleh Tanteku memejamkan mata dan merasakan perlahan emosiku mulai mereda. Sampai kemudian aku merasa tenang dan nyaman.
“sudah belum..?” ucap Tante Septi mengagetkanku.
“eh.. maaf Tan..” balasku tersadar kemudian melepaskan pelukan.
Aku yang saat itu melihat Tanteku bukan ke arah wajahnya tapi malah fokus ke dadanya. Karena Tante Septi memelukku dengan kondisi bajuku yang basah, membuat pakaian yang dikenakannya juga ikut basah. Hal itu membuat payudaranya yang besar terlihat nyeplak. Karena sedang menyusui, dia juga tidak menggunakan bra yang membuat putingnya terlihat menyembul. Aku sampai tidak berkedip melihat pemandangan yang ada di depanku.
“nakal ya kamu..” ucap Tante Septi tersenyum menggoda kemudian pergi meninggalkanku.
“maaf Tan..” balasku malu karena ketahuan melototin dadanya.
Aku kemudian bergegas ke kamar untuk ganti baju. Setelah selesai, aku kemudian pergi ke belakang untuk mencari Om ku. Aku melihat Om Heri yang lagi duduk santai sambil merokok, kemudian aku menghampirinya dan duduk disebelahnya.
“aw..” teriakku yang tiba – tiba dijitak oleh Om ku.
“enak ya meluk – meluk istri orang..” ucap Om Heri padaku.
“aku yang dipeluk kenapa aku yang dimarahin sih Om..” balasku sambil mengelus kepalaku.
“kamu kan bisa nolak.. alasan aja kamu..” sahut Om Heri merasa tidak terima.
“habisnya enak..” ucapku dengan suara yang pelan.
“apa..?” ucap Om Heri melotot padaku.
“hehehe.. enggak Om..” balasku nyengir pada Om Heri.
Kemudian kami sama – sama terdiam menikmati rokok. Setelah mematikan rokoknya, Om Heri mulai berbicara serius padaku.
“aku sudah mengingatkanmu untuk menjaga emosimu.. kalau kamu tidak bisa mengendalikannya, kamu yang akan dikendalikan olehnya..” ucap Om Heri menjelaskan.
Aku masih mencoba memahami yang dimaksud oleh Om ku. Mengendalikan? Dikendalikan? Apa ini ada hubungannya dengan kejadian yang aku alami saat pertemuanku dengan Mbah Wongso waktu itu. Apa karena itu aku jadi gampang emosi dan tidak bisa mengendalikan emosiku. Seperti tadi saat aku berkelahi dengan Benny, aku yang dengan brutal memukulinya walau dia sudah pingsan.
“perjalananmu masih panjang, banyak hal yang akan kamu lalui nanti. Dengan apa yang ada pada dirimu sekarang, akan menjadikanmu sebagai sosok pribadi yang baru. Mulai dari sekarang, belajarlah untuk mengendalikan emosimu. Bukannya aku mengguruimu, tapi aku juga pernah mengalami, dan aku tidak sekuat dirimu..” ucap Om Heri yang dengan serius menjelaskan panjang lebar.
“Om.. aku boleh jujur gak..?” ucapku pada Om Heri.
“ya.. kenapa..?” balas Om Heri yang baru saja membakar rokoknya.
“sebenernya.. aku gak tau Om itu ngomong apa..” ucapku sambil nyengir pada Om Heri yang membuatnya melotot padaku.
“plak..”
“aw..” teriakku kesakitan karena kepalaku yang dipukul oleh Om Heri.
“percuma aku ngomong banyak – banyak, ternyata otakmu kosong..!” ucap Om Heri yang terlihat geram padaku.
“hehehe.. lha bicaranya muter – muter, kan aku bingung..” ucapku nyengir sambil mengelus kepalaku.
“dah.. intinya sekarang kendalikan emosimu..!!” ucap Om Heri yang terlihat kesal.
Aku hanya manggut – manggut aja mendengar Om ku. Kalau ngomong langsung ke intinya kan aku jadi paham. Intinya aku jangan gampang emosi.
Melihat Om ku yang terlihat kesal, spontan aku mengambil rokok yang baru dibakar oleh Om Heri dari tangannya, kemudian aku mematikan rokok tersebut di asbak. Om Heri hanya bengong melihat apa yang aku lakukan.
“maksudnya apa kamu..” ucap Om Heri terpotong yang terlihat marah.
“jangan emosi..” sahutku tersenyum jahil.
“aku kan yang nyuruh..” ucap Om Heri terpotong.
“jangan emosi..” ucapku tersenyum memotong perkataan Om Heri.
Terlihat Om Heri yang menghela nafas, kemudian mengambil rokok yang aku matikan tadi dan membakarnya lagi.
“becanda aja Om.. hehehe..” ucapku pada Om Heri dan dia hanya melirikku.
“plak..”
“aw.. apa lagi sih Om mukul – mukul..!” teriakku yang merasa tak terima karena kepalaku kembali dipukul oleh Om ku.
“becanda aja Rik.. hehehe..” balas Om Heri terkekeh.
Kemudian terdengar suara Tante Septi yang memanggil kami karena petani sayur yang mengantar sayuran sudah datang. Aku dan Om Heri kemudian bergegas ke halaman samping untuk menata sayuran.
***
“Rik.. ternyata ente gila juga ya..” ucap Akbar padaku saat sedang kegiatan belajar mengajar di kelas.
“biasa aja..” balasku cuek dan tetap mendengarkan guru yang sedang menjelaskan.
“emang ada masalah apa ente sama tu anak..? Kelihatannya ente begitu dendam sama dia..” ucap Akbar yang terlihat berisik.
“adalah.. udah diem..!” balasku pada Akbar dan menyuruhnya diam karena sedang di perhatikan oleh bu guru.
“pokoknya ente keren bro.. kalau kemaren gak diberhentikan, bisa mati tuh bocah ente pukulin terus..” ucap Akbar yang terus mengoceh.
Aku tidak menjawabnya dan masih memperhatikan ke arah depan, karena guru yang sedang mengajar berjalan menuju ke arah kami.
“Akbar sekarang kamu maju ke depan..” ucap bu Asih saat sudah berada di dekat kami.
Akbar yang dari tadi ngoceh ke arahku tak menyadari kalau bu Asih sudah ada di dekat kami. Akbar yang terlihat kaget hanya bisa nyengir saat disuruh maju.
“Akbar.. sekarang cepat kamu maju kedepan..!” ucap bu Asih mengulangi.
Akbar yang sampai disuruh dua kali oleh bu Asih akhirnya berjalan maju ke depan.
“sekarang gantian kamu yang cerita..” ucap bu Asih yang kemudian duduk di sebelahku.
Aku yang sedikit merasa kaget karena setelah menyuruh Akbar maju, bu Asih tidak kembali ke depan kelas malah duduk di sebelahku. Tercium wangi parfum bu Asih saat berjalan melewatiku dan duduk di kursinya Akbar.
Aku yang menoleh ke arah bu Asih jadi agak grogi karena bu Asih melihatku sambil tersenyum dengan tatapan yang tidak bisa aku mengerti. Aku yang salah tingkah kemudian melihat Akbar yang berdiri di depan kelas sambil cengar – cengir.
“bu Asih kok liatinnya gitu amat ya…” batinku salah tingkah karena masih di pandang bu Asih
“kamu grogi ya duduk dekat ibu..” ucap bu Asih tersenyum yang kemudian berdiri dan berjalan ke depan.
Aku tidak menjawab dan hanya bisa tersenyum malu. Aku masih tak percaya dengan yang diucapkan oleh bu Asih. Kenapa juga dia berbicara dan bersikap seperti itu padaku.
Saat sudah di depan kelas, bu Asih sempat menasehati Akbar kemudian menyuruhnya duduk kembali. Akhirnya pelajaran pun dilanjutkan kembali.
Saat bel istirahat berbunyi, aku kemudian bergegas menuju kantin. Aku melihat Dini, Monic dan Nisa yang sudah duduk disana. Setelah sempat bergabung sebentar, aku kemudian pamit untuk kembali ke kelas dengan alasan belum mengerjakan PR. Aku sebenarnya sebenarnya merasa kurang nyaman dan aku hanya ingin menjaga perasaan Monic karena Dini yang sering mengajakku bercanda sampai kadang memegang tanganku saat dia tertawa. Monic sebenarnya sudah berkali – kali menyuruhku untuk bersikap sewajarnya, tapi aku tidak bisa untuk selalu berpura – pura.
“kenapa kamu menghindar..?” pesan dari Monic.
“maaf.. aku merasa kurang nyaman..” balas pesanku ke Monic.
“apa karena aku..?” balas pesan dari Monic.
“bukan.. aku tak nyaman dengan diriku sendiri yang terus berpura – pura..” balas pesanku ke Monic.
“Dini sahabatku, aku senang melihatnya bahagia..” pesan dari Monic.
“apa kamu bahagia juga..?” balas pesanku ke Monic yang kemudian tidak ada lagi balasan darinya.
Aku kemudian hanya duduk – duduk di kelas untuk menunggu jam istirahat selesai. Tak berapa lama kemudian, Akbar datang dengan muka yang terlihat kusut.
“kenapa bro..?” tanyaku pada Akbar.
“ente kena masalah bro..?” balas Akbar yang terlihat khawatir.
“gara – gara yang kemaren..?” tanyaku kemudian.
“iya.. anak – anak MEDUSA mau ketemu ente nanti setelah pulang sekolah..” jawab Akbar menjelaskan.
“baiklah..” balasku menyanggupi yang Akbar terlihat kaget.
“ente gak takut..?” tanya Akbar heran.
“berani berbuat.. berani bertanggung jawab..” balasku tersenyum pada Akbar dan dia hanya geleng – geleng kepala.
Jujur aku tidak begitu memikirkan untuk bertemu dengan anak – anak MEDUSA, yang aku pikirkan malah perasaan Monic. Kenapa dia tidak membalas pesanku.
Setelah pulang sekolah, aku dan Akbar kemudian mengambil motor masing – masing. Kemudian Akbar mengajakku ke tongkrongan anak – anak MEDUSA yang letaknya di belakang sekolah.
Aku yang mengikuti Akbar dari belakang kemudian berhenti di sebuah warung. Di depan warung terlihat seseorang yang sudah menunggu kedatangan kami. Orang itu yang menendangku saat aku duduk menyendiri di kamar mandi waktu itu.
“kak Angga..” sapa Akbar kepada orang itu. Oh ternyata namanya Angga.
“hmm.. udah.. kamu boleh pergi..” ucap Angga menyuruh Akbar pergi.
Akbar dengan sedikit tidak rela akhirnya menurut dan meninggalkanku pergi. Setelah memarkirkan motor aku menghampiri kakak kelasku itu.
“BEGH” sebuah pukulan tepat mengenai ulu hatiku.
Aku yang tidak siap mengaduh kesakitan sambil memegang perutku. Ini orang bener – bener gak ada sopan – sopannya. Kemarin dia menendangku saat aku sedang duduk menyendiri, sekarang tanpa permisi langsung memukulku.
“kamu berani – beraninya dekatin Dini sampai mengajaknya pergi juga. Kamu tau gak kalau aku sudah lama suka padanya. Jadi jangan coba – coba lagi dekati dia..” ucapnya berbisik padaku kemudian menarikku masuk ke dalam warung.
Aku tak menghiraukan ucapannya. Selain perutku yang masih terasa sakit, Angga menarikku dengan kasar sehingga terpaksa aku mengikutinya. Lagian kenapa juga dia pake acara ngancam – ngancam segala? Kalau emang suka ya bilang langsung ke Dini, kenapa malah bilangnya ke aku pake ngancam – ngancam pula. Apa aku takut? Hehehe… pantang bagiku untuk takut pada ancaman seorang pengecut.
Di dalam warung aku bertemu dengan dua orang yang sedang duduk, salah satunya aku tau kalau namanya Sigit. Dan orang satunya aku tidak tau namanya.
“namaku Bimo.. aku yang seharusnya bertanggung jawab saat sparing kemarin..” ucap orang tersebut.
“aku sudah dengar cerita dari Sigit tentang apa yang kamu lakukan.. kami ingin mendengarkan penjelasanmu..” ucap Bimo padaku.
“plak..” sebuah tamparan di pipi kiriku yang dilakukan oleh Angga.
“kalau ditanya tu jawab..!” ucap Angga setelah menamparku.
“maaf Kak.. aku kelewatan..” ucapku meminta maaf.
“kamu tau siapa Benny?” tanya Bimo yang hanya aku balas dengan anggukan kepala.
“plak..” tamparan dari Angga yang membuatku sedikit emosi.
“punya mulut tidak.. kalau ditanya itu jawab ******..!” ucap Angga melotot.
“Benny adalah salah satu petinggi KOMBAT, dan tindakanmu kemarin menghancurkan aliansi antara MEDUSA dan KOMBAT..” ucap Bimo menjelaskan.
“maaf Kak kalau tindakanku..” ucapku terpotong.
“plak..” tamparan dari Angga yang membuatku makin emosi.
“siapa yang suruh kamu ngomong..!” ucap Angga yang terlihat puas bisa menamparku berkali – kali.
Aku yang dari tadi sudah mencoba bersabar akhirnya terpancing juga. Angga sepertinya sengaja melakukan itu padaku, agar dia terlihat jago yang membuatku takut padanya, sehingga aku jadi tidak berani lagi untuk mendekati Dini. Aku bukannya menjadi takut malah menjadi muak, melihat gayanya yang sok – sok an di tambah mulutnya yang banyak omong membuatku emosi.
“BAGH” suara pukulanku yang tepat mengenai hidungnya.
“arghh… anjing… hidungku..” teriak Angga kesakitan sambil memegang hidungnya yang berdarah.
Melihat temannya aku pukul, Bimo dan Sigit yang merasa tidak terima langsung berdiri.
“bangsat kamu.. “ ucap Sigit terpotong.
“kenapa..?” bentakku pada Sigit yang terlihat marah.
“apa kalian takut sampai harus aliansi dengan pengecut itu..” ucapku menantang.
“wah.. wah.. nampaknya mulutmu besar juga, kita lihat seberapa besar kemampuanmu..” ucap Bimo bersiap mengajakku bertarung.
Aku dan Bimo berhadapan dan masing – masing dari kami sudah bersiap memasang kuda – kuda. Aku hanya menunggu dia menyerang duluan karena dilihat dari caranya berdiri dan memasang kuda – kuda, dia sudah biasa bertarung yang membuatku harus lebih berhati – hati. Sedangkan Sigit kembali duduk di samping dan Angga terlihat membawa sebuah kain untuk menutup hidungnya yang berdarah. Sejenak aku dan Bimo saling melihat seolah sedang menilai kemampuan lawan sebelum saling serang.
“hentikan..” tiba – tiba terdengar suara dari arah belakangku.
Aku menoleh ke belakang dan melihat seseorang yang berjalan masuk dengan santai. Orang itu adalah kakak kelasku yang pernah aku lihat saat mereka sedang berkumpul di kamar mandi belakang. Aku ingat dengannya karena hanya orang ini yang melihatku dengan santai, karena yang lain menatapku dengan tatapan tajam.
“lawanmu adalah aku..” ucap orang itu padaku.
“tapi..” ucap Bimo yang terhenti karena dilirik oleh orang itu.
“aku yang menyetujui adanya aliansi dengan KOMBAT, jadi aku yang harus bertanggung jawab..” ucap orang itu kemudian.
Kemudian orang itu berdiri di depanku dan bersiap untuk bertarung. Gayanya terlihat santai dan tidak menyeramkan sama sekali, tapi yang membuatku heran adalah kenapa Bimo yang terlihat sudah biasa bertarung seperti takut pada orang ini.
“sudah siap..?” ucap orang itu dengan santai sambil tersenyum.
Aku yang kemudian mengangkat tanganku dan memasang kuda – kuda bersiap untuk bertarung. Aku melihat orang itu masih berdiri dengan santai.
“ayo jangan sungkan..” ucap orang itu sambil mengarahkan tangannya ke depan dan dua jarinya digerakkan maju mundur seolah menantangku untuk menyerang.
Aku yang merasa diremehkan langsung bergerak maju dan melayangkan pukulan yang aku arahkan ke kepalanya.
“wutt..”
Pukulanku tidak mengenai sasaran karena dapat dihindari oleh orang itu dengan cara menunduk dan sedikit memundurkan kepalanya.
“BUGH”
Sebuah pukulan telak dari arah bawah mengenai wajahku sebelah kiri yang membuatku oleng ke belakang.
“BUGH”
Sebuah pukulan susulan tepat mengenai pelipis sebelah kiriku yang membuatku jatuh terlentang.
“mampuusss..!!” teriak Angga yang melihatku jatuh terlentang.
Aku yang mencoba berdiri merasakan nyeri yang luar biasa. Gila gerakan menghindarnya lincah dan dua pukulan mendarat telak di wajahku. Pukulannya juga sangat keras sampai terasa ada darah yang mengalir dari pelipisku yang sobek terkena pukulan orang itu. Aku kemudian mencoba mengubah strategi bertarung dengan cara bertahan, karena apabila aku yang menyerang lagi, pasti aku akan tumbang karena lincahnya orang itu menghindari seranganku.
Aku kemudian memprovokasi orang itu dengan cara memainkan jariku seperti yang dia dilakukan tadi, berharap dia yang kemudian menyerangku. Terlihat raut wajahnya yang seketika berubah kemudian bergerak ke arahku.
“wutt..” pukulan orang itu dapat aku hindari dengan cara menunduk dan sedikit bergerak ke samping.
“BUGH” pukulanku masuk mengenai kepala sampingnya tapi hanya membuatnya tertoleh sedikit.
“BUGH” pukulan balasan darinya mengenai wajahku yang membuatku mundur ke belakang.
Saat dia akan melayangkan pukulan berikutnya, aku sudah bersiap menghindarinya dengan cara menunduk. Ternyata dugaanku salah, itu hanya pukulan tipuan.
“DUGH” serangan lutut tepat mengenai bibirku yang membuatku terlempar dan jatuh terlentang untuk kedua kalinya.
“hahaha…” terdengar suara orang – orang tertawa melihatku terjatuh lagi.
Aku merasakan perih pada bibirku yang mengeluarkan darah dan terasa asin di mulutku. Aku yang masih belum menyerah mencoba untuk bangkit lagi. Saat aku masih berjongkok hendak berdiri, terlihat orang itu mendekat ke arahku, terlihat dia hendak melepaskan tendangan ke arahku. Aku yang sadar akan hal itu dengan tiba – tiba melontarkan diriku untuk menabraknya sesaat sebelum dia sampai ketempatku.
“DUGH” terjanganku masuk dengan bahuku yang mengenai lengan bagian dalam di bawah ketiak kanannya.
“arrghh..” teriak orang itu kesakitan saat bahuku dengan keras menabraknya.
Dia yang terlihat kesakitan mencoba memegang lengan kanannya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya terlihat tidak bisa di gerakkan akibat benturan dengan bahuku tadi, hal itu langsung kumanfaatkan untuk menyerangnya.
“BUGH.. BUGH.. BUGH..”
Pukulanku masuk mengenai kepalanya yang kemudian di block dengan tangan kirinya.
“BUGH” tendanganku yang keras mengenai lutut kirinya yang membuat tangan kirinya turun untuk melindungi.
Aku kemudian menyerang wajah dan lututnya dengan cepat secara bergantian (lutut kiri bagian luar, lutut kanan bagian dalam) hingga lututnya yang aku tendang berkali – kali terlihat mulai goyah. Saat tubuhnya sudah mulai condong ke bawah, aku arahkan lututku menerjang wajahnya.
“DUGH” terjangan lututku tepat mengenai wajahnya yang membuatnya terlempar kebelakang dan jatuh terlentang.
Aku yang sudah kesetanan tidak mau berhenti, sesaat setelah dia jatuh aku langsung ke atasnya dengan bertopang lutut memukuli wajahnya berkali – kali.
“BUGH.. BUGH.. BUGH.. BUGH.. BUGH..”
Pukulanku terhenti saat aku ditarik paksa dan dilemparkan ke belakang oleh seseorang. Kemudian aku di keroyok oleh Bimo, Sigit dan Angga. Aku walau masih emosi tapi tidak bisa membalas karena dikeroyok oleh tiga orang yang menyerangku bertubi – tubi, yang membuatku hanya bisa bertahan meringkuk melindungi kepalaku.
“cukup…!!” suara orang itu yang membuat Bimo, Sigit dan Angga berhenti mengeroyokku.
“aku sudah kalah.. biarkan dia pergi..” ucap orang itu yang kepayahan mencoba duduk.
Aku kemudian berdiri dan bergegas pergi meninggalkan tempat tersebut. Aku bingung mau kemana karena kalau aku pulang dengan kondisi seperti ini, aku pasti dimarahin Tante Septi.
Dengan emosiku yang masih terasa, kupacu motorku menuju suatu tempat yang bisa untukku bersembuyi dan mencari tau tentang apa yang terjadi pada diriku.
***
Pov Dini
Aku selalu kesepian saat sedang berada dirumah. Papa dan Mamaku selalu sibuk dengan urusannya masing – masing sehingga membuat mereka jarang dirumah. Kakakku yang biasanya menemaniku akhir – akhir ini sering pergi dan nongkrong diluar. Aku yang merasa bosan akhirnya hanya duduk di teras rumah sambil membaca novel. Kemudian terdengar suara motor berhenti di depan.
“asik.. kakak pulang..” batinku senang karena akhirnya ada yang menemaniku.
Setelah gerbang dibuka terlihat kakakku yang dibonceng kak Angga dibantu turun oleh kak Bimo. Aku yang kaget melihat kondisi kakakku yang babak belur langsung berlari menghampiri mereka.
“kakak kenapa..?” tanyaku khawatir.
Kakakku hanya tersenyum sambil berjalan masuk dibantu oleh kak Bimo. Aku melihat kak Angga sedang mendorong motor kakakku. Setelah memarkirkan motor kakakku, kak Angga kemudian berjalan menghampiriku.
“kak Doni kenapa..?” tanyaku pada kak Angga.
“Doni dipukuli sama temanmu..” jawab kak Angga.
“temanku siapa kak..?” tanyaku penasaran.
“Riki.. anak kelas 2..” jawab kak Angga yang membuatku kaget.
Hah..? Mana mungkin Riki mukuli kakakku yang seorang ketua genk sekolah. Aku yang masih kaget menjadi bingung antara percaya atau tidak.
“terus kenapa tidak ada yang bantu..?” tanyaku kemudian.
“kami datang telat Din.. aku yang sempat akan membantu juga kena pukul..” balas kak Angga sambil menunjukkan bekas luka hidungnya.
Aku yang syok tidak bisa berkata – kata. Aku sangat syok melihat kakakku yang babak belur ditambah mendengar Riki yang melakukannya. Hatiku hancur dengan apa yang dilakukan Riki. Kenapa dia tega melakukan itu pada kakakku yang sangat aku sayang.
“lebih baik kamu jauhi dia Din.. dia orang yang berbahaya..” ucap kak Angga mengingatkan.
“kami pamit dulu Din..” pamit kak Angga saat kak Bimo sudah kembali dari dalam.
Aku ternyata bodoh karena selama ini percaya pada Riki. Dibalik sikap lembut dan senyum manisnya ternyata tersimpan banyak kebohongan. Aku kecewa pada diriku sendiri kenapa juga aku bisa sampai suka padanya. Aku marah karena dia menyakiti kakakku, itu sama halnya dia juga menyakitiku.
Aku kemudian masuk ke dalam untuk melihat kondisi kakakku.
“kak..” panggilku saat melihat kakakku yang sedang terbaring dengan kondisi yang membuatku sedih.
“aku baik – baik saja Dek..” balas kakakku tersenyum.
“siapa yang melakukannya..?” balasku bertanya.
“bukan siapa – siapa..” jawab kakakku tenang.
“Riki.. pasti dia tidak terima karena..” ucapku terpotong.
“Dek.. kakak mau istirahat dulu..” balas kakakku yang kemudian tidur menyamping memunggungiku.
Aku kemudian menuju kamarku dan mengambil HP ku. Aku ingin menelpon dan memaki Riki untuk meluapkan amarahku. Tapi aku urungkan niatku untuk menelponnya karena pasti dia akan menjawabku dengan beribu alasan. Jadi aku putuskan untuk menemuinya langsung saat di sekolah nanti.
“aku akan buat perhitungan denganmu Rik.. tunggu saja..” batinku menahan emosi.
Bersambung