Part #60 : Petualangan Sexs Liar Ku

Tok…tok…tok…

Sedang pusing memikirkan rencana untuk mendekatkan Annisa dan kiai Jamal, Adibah terkejut dengan suara ketukan pintu.

“Siapa yang dateng siang-siang begini?” batin Adibah.

Dia berdiri lalu membukakan pintu. Matanya melotot melihat seseorang yang dia benci berada di depan pintu rumahnya. Ternyata setelah pulang dari rumah Sari, Randy menyusul Adibah dan Annisa ke rumah.

“Mau apalagi kamu ke sini? Jangan harap saya mau merestui kamu dan Annisa ya!”

Dengan kasar Adibah membanting pintu namun Randy berhasil menahannya dengan tangan.

“Hey teh! Bahkan teteh gak ijinin saya buat ngomong?”

“Mau ngomong apalagi?”

“Ingat teh, saya punya kartu as-nya teteh,” ungkap Randy dengan mengangkat sebelah bibirnya.

“Apa? Soal santri-santri itu? Kamu gak punya bukti apa-apa! Semuanya udah dihapus kan?!”

Randy terkekeh melihat Adibah yang seolah-olah berani tapi ragu-ragu kalau Randy ternyata masih menyimpan copian percakapan antara dirinya dan kiai Jamal.

“Bukan soal itu.”

Randy kemudian menggulirkan ponselnya.

“Ini!” imbuhnya sembari menyodorkan layar ponsel ke hadapan Adibah.

Adibah membeku melihat sebuah adegan seksual yang dilakukan oleh dua orang dengan usia yang terpaut sangat jauh itu.

“Sial!” umpat Adibah dalam hati.

Kenapa di video itu tidak menampilkan dirinya yang tengah diperkosa bahkan disiksa oleh Randy, justru yang ditampilkan hanya dirinya yang tengah mendesah seperti jalang yang kekurangan belaian.

“Dasar laki-laki bajingan!”

Adibah sudah mengangkat handphone Randy di atas kepalanya, namun belum sempat dia melemparkan benda itu, lelaki yang ada di hadapannya sudah berhasil merebutnya kembali. Dia sudah belajar dari kesalahan sebelumnya.

“Anjirrr…cicilan akulaki aja belum lunas udah mau dibanting lagi!” batin Randy.

“Percuma teteh mau ngancurin hp saya lagi. Videonya udah saya simpan di tempat yang aman,” ujar Randy menyeringai.

Adibah mendengus kesal. Ini sama saja dengan gali lubang tutup lubang. Kalau lelaki itu meminta sesuatu untuk jaminan pasti dia akan melakukan hal yang sama juga. Dia memang pria yang licik.

“Terus, apa kamu mau jadiin video ini buat nyuap saya biar saya restuin hubungan kalian?”

Adibah menggelengkan kepalanya beberapa kali.

“Tidak semudah itu! Yang kamu hadapi bukan cuma saya, tapi juga kiai Jamal. Kamu gak tau apa-apa soal dia. Jangan sampai kamu berurusan sama dia kalo kamu masih mau selamat!”

Randy mendekatkan bibirnya ke telinga Adibah.

“Oh ya? Soal kiai Jamal saya gak takut sama sekali, yang penting teteh restuin saya sama Annisa.”

Setelah wajah Randy menjauh kembali, Adibah menatap lekat mata pria yang ada di hadapannya itu.

“Baiklah, untuk kali ini sebaiknya aku turuti dulu kemauannya,” batin Adibah.

“Itu terserah kamu, saya sudah ingatkan soal kiai Jamal. Resiko tanggung sendiri,” ungkap Adibah kemudian.

Randy tersenyum penuh kemenangan.

“Ternyata cuma segitu? Semudah membalikkan telapak tangan,” ucap Randy dalam hati.

Adibah kembali berdecak sebal. Dalam hati dia berucap, “Aku akan menusuk mu saat kau lengah.”

“Hmm…soal video, apa teteh berminat untuk memintanya? Atau mau saya sebarkan?”

Wanita itu mendelik ke arah Randy.

“Apa maksud mu? Bukannya saya sudah menuruti kemauan mu? Jadi hapus video itu!”

“Tidak semudah itu teh. Ada satu hal lagi yang harus teteh lakukan.”

Senyum seringai tercetak di bibir Randy.

“Kamu mau memeras saya ya?! Dasar bedebah!”

“Enggak teh tenang aja, saya gak mau uang teteh. Saya mau tubuh teteh,” ujarnya sembari mengusapkan jari telunjuknya di sepanjang lengan Adibah.

Wanita itu langsung menepisnya.

“Dasar lelaki cabul! Bagaimana bisa kamu meminta restu untuk menikahi anak saya tapi kamu juga meminta tubuh saya juga?!”

Adibah geram. Tangannya sudah sangat gatal untuk menampar pipi pria yang ada di hadapannya itu.

“Itu beda cerita teh. Bukannya teteh juga menikmati hubungan terlarang kita dulu, hmm…?” tanya Randy sambil menaik turunkan alisnya.

“Diam kamu! Muka mu bikin saya muak!”

Adibah menghembuskan nafas kasar. Randy hanya terkekeh melihat ekspresi kekesalan perempuan itu.

“Apa jaminannya kalo kamu gak bakal bikin video seperti itu lagi?”

“Saya janji teh. Setelah ini saya gak akan merekam video lagi. Teteh bisa pegang kata-kata saya.”

Randy kembali mendekatkan bibirnya ke telinga Adibah.

“Gak usah sok suci teh. Saya tau rahasia teteh.”

Adibah mendorong tubuh Randy seraya menggeram.

“Oke! Kita buat perjanjian! Pertama, setelah selesai kamu hapus video itu. Kedua, kamu tidak boleh merekam apa yang kita lakukan entah itu video, foto, atau suara. Ketiga, setelah selesai kita tidak ada urusan satu sama lain lagi.”

“Deal!” ucap Randy sambil menyodorkan telapak tangannya.

Adibah hanya menatap sejenak tangan yang disodorkan oleh Randy tanpa berminat untuk menjabatnya. Tak ada respon, Randy kembali menarik tangannya.

“Besok malam jam 7 saya jemput teteh di depan komplek pesantren.”

“Kenapa harus malam?”

“Karena dia bisanya malam.”

“Dia siapa yang kamu maksud?” tanya Adibah menelisik.

“Nanti teteh akan tau sendiri. Kalo gitu saya permisi dulu. Salam buat Annisa. Assalamualaikum,” ucap Randy.

Tanpa mendapat jawaban pintu itu langsung ditutup dengan agak kasar. Randy hanya geleng-geleng kepala. Dia memang tidak akan melakukan blackmail untuk mengancam Adibah tapi dia akan membuat wanita itu yang ketagihan dan memintanya sendiri.

Randy kemudian berbalik untuk pergi meninggalkan area pesantren. Di perjalanan, Randy menelpon Justin untuk mengabari bahwa wanita yang dijanjikannya sudah siap.

“Halo Tin?”

“Halo Ran, ada apa?”

“Cewek yang gue janjiin besok ready.”

“Ah yang bener lu?”

“Ya bener, masa boong.”

“Oke sip. Stok kondom udah siap terus apalagi?”

“Ngapain pake kondom dia udah gak bisa hamil juga. Kecuali kalo lu mau hindari penyakit gak papa sih.”

“Emang dia penyakitan?”

“Bisa jadi, wkwkwk…”

“Anj*Ng…!!!”

“Kagak lah, gue udah pernah cobain. Lu siapin obat perangsang, soalnya rada kurang bergairah dia, maklum faktor umur.”

“Hmm…ya terserah lu aja deh.”

Setelah dikabari oleh Randy, Justin langsung mempersiapkan segalanya. Dirinya sangat amat bersemangat karena seolah dia akan mendapat mainan baru.

Dulu saat dia masih SMP, dia pernah menyukai ibu dari temannya tapi saat itu dia tidak memikirkan soal seks murni perasaan suka dan kagum.

•••​

Esok malam pun telah tiba. Adibah sedang merias diri di depan cermin. Meskipun dia benci tapi entah mengapa dia ingin tampil cantik di depan lelaki brengsek itu.

“Bunda mau kemana?” tanya Annisa yang berada di belakangnya.

Adibah hanya melirik anaknya lewat pantulan cermin.

“Mau pergi ke kondangan teh Iin,” jawab Adibah berbohong.

“Teh Iin siapa?”

“Kamu gak tau. Dia istrinya murid dari calon suami kamu.”

Adibah mengucapkan calon suami sebagai pengganti kiai Jamal agar Annisa tahu kalau keputusannya untuk menikahkan dirinya dengan kiai Jamal sudah tidak dapat dirubah lagi.

Annisa hanya menghela nafas panjang sembari duduk di tepi ranjang ibunya sambil melipat kedua tangannya di atas paha.

“Bunda mau berangkat dulu. Kamu jangan hubungi kakak mu apalagi Randy. Bunda gak akan lama.”

Adibah bersiap dan pergi meninggalkan Annisa yang memilih mengambil air wudhu dan mengaji. Berdoa agar dibukakan pintu hati bagi ibunya.

Adibah berjalan ke depan komplek pesantren. Dia memilih posisi yang agak jauh agar tidak terlalu mencolok bagi orang-orang yang berlalu lalang.

Randy menjemput Adibah dengan menggunakan mobil milik Justin. Saat berada di depan komplek pesantren, mata Randy mengedar di sekitar sana.

Tampak seorang wanita yang mengenakan gamis dan masker tengah berdiri di atas trotoar. Randy tertegun karena penampilan Adibah yang anggun meski wajahnya tertutup.

Apakah Adibah juga mempersiapkan diri dengan berdandan? Batin Randy terus bertanya-tanya.

“Teteh dandan ya? Udah nyiapin diri buat malam ini.”

“Saya baru pulang habis kondangan. Kamu jangan kege’eran dulu jadi orang,” kilah Adibah.

Dia langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalam karena tidak ingin ada orang yang mengetahui dirinya pergi dibawa oleh seorang pria.

Adibah duduk di kursi depan di samping Randy. Padahal Randy tidak memintanya untuk duduk di sana.

Randy kemudian menjalankan mobil itu ke rumah Justin. Di perjalanan tidak ada satu katapun terlontar dari mulut keduanya. Baru ketika mobil memasuki sebuah kompleks perumahan yang cukup familiar oleh Adibah, dia baru berkata.

“Ini kan kompleks perumahan Reza. Kamu mau bawa saya ke rumah anak saya?”

Randy pun menoleh sesaat.

“Mau mampir?” tawar Randy.

Adibah tidak menjawab. Dia sudah tahu kalau bukan rumah Reza yang mereka tuju, jadi tidak perlu berbasa-basi lagi.

Namun saat melewati depan rumah Reza, seketika Adibah mengamati dengan seksama. Dahi Adibah mengernyit kala melihat adegan di teras rumah itu.

Saat itu kebetulan Reza baru saja pulang dari bekerja. Dirinya disambut oleh istri sirinya di depan pintu. Wanita itu mengambil tas kerja suaminya seraya mengecup punggung tangan Reza. Mereka tampak sangat mesra dan harmonis.

“Dia istrinya Reza teh,” celetuk Randy menjawab pertanyaan Adibah yang tak pernah keluar dari mulutnya.

“Apa?!” Adibah terbelalak mendengar ucapan Randy.

“Jangan asal nuduh kamu. Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan!”

“Kalo teteh gak percaya, teteh bisa tanya ke mbak Sari. Dia satu-satunya yang udah tau tentang hal itu. Lagian teteh gak liat tadi mereka melakukan hal yang hanya dilakukan oleh pasangan suami-istri.”

Adibah tidak menjawab. Dalam hati dia membenarkan apa yang diucapkan oleh Randy. Tapi wanita yang dilihatnya tadi tampak sudah berumur.

“Ah, nanti aku akan memastikannya sendiri,” batin Adibah.

Saat wanita itu tengah memikirkan tentang apa yang baru saja dilihatnya, tiba-tiba mobil berhenti di depan rumah yang cukup elit.

“Udah sampai teh.”

Mereka berdua turun dari mobil. Adibah masih sibuk mengamati rumah yang akan dimasukinya.

“Ayo tunggu apalagi teh?” ujar Randy yang melihat Adibah hanya berdiri dalam diam.

“Kita selesaikan dengan cepat. Setelah itu kita sudah tidak ada urusan lagi,” ketusnya.

Randy hanya tersenyum dan mengangguk seraya membukakan pintu rumah itu untuk Adibah.

Saat memasuki rumah tersebut mereka langsung mendapat sambutan dari si pemilik rumah. Justin tampak mengenakan kemeja biru dengan seluruh kancing baju terbuka menampakkan otot tubuhnya yang kokoh.

Adibah sontak menghentikan langkahnya. Masih belum paham situasi yang sedang dia hadapi saat ini. Dia pun menoleh kepada Randy untuk meminta sebuah jawaban.

Randy tersenyum menampakkan giginya yang tertata rapi sebelum lengannya ditarik oleh Justin.

“Heh Ran, lu yakin dia ini orangnya? Kaya orang baik-baik,” tanya Justin sambil berbisik-bisik.

“Yakin lah, kan gue yang bawa sendiri dia ke sini, emang ada lagi? Enggak kan?”

“Oh…oke,” respon Justin singkat sambil senyum-senyum.

“Gimana?” Randy bertanya kembali.

“Sempurna, anggun. The best.”

Justin menautkan jari telunjuk dan jempolnya membentuk huruf ‘o’.

Kemudian Justin beranjak ke depan wanita paruh baya itu yang masih membeku di sana. Dia berlutut dengan salah satu kakinya seperti sedang melamar seseorang, lalu tangan kanannya ia tengadahkan ke atas.

Adibah menelan salivanya dengan susah payah. Sejenak dia lirik Randy. Pria itu hanya menaikkan salah satu sudut bibirnya sambil memberikan isyarat untuk menerima uluran tangan Justin.

Setelah itu pandangan Adibah kembali beralih ke arah lelaki yang sedang berlutut di bawahnya. Bau parfum yang maskulin merebak ke dalam indera penciuman Adibah.

Tiba-tiba rasa aneh itu muncul. Sepertinya ada sesuatu yang sedang berusaha mengambil alih tubuhnya. Ditatapnya wajah blasteran itu dalam-dalam.

Wajahnya sangat tampan. Mungkin lelaki tertampan yang pernah dia lihat secara langsung di depan mata. Secara insting, dia meletakkan telapak tangannya di atas telapak tangan Justin.

Pria itu kemudian mengecup punggung tangan perempuan yang lebih pantas menjadi ibunya ketimbang kekasihnya. Jantung Adibah berdebar kencang tak menentu.

Dia seolah terlempar ke masa mudanya dulu. Dia pernah memiliki kekasih yang sangat baik dan romantis. Namun cintanya terhalang restu dan akhirnya berakhir di pelukan almarhum suaminya.

Justin lalu berdiri masih menggenggam tangan Adibah. Dia kemudian menuntun wanita itu untuk memasuki ruang peraduan. Bagai anak ayam, Adibah menuruti begitu saja.

Saat melewati Randy, Justin menepuk-nepuk pundak pria itu seraya berkata.

“Gue duluan. Kalo mau cemilan minuman ada di kulkas.”

Randy merespon dengan acungan jempol. Setelah itu mereka berdua melanjutkan langkahnya. Adibah seperti terhipnotis hingga mengikuti semua kemauan lelaki itu. Terlepas dari dirinya yang sudah lama tidak diperlakukan begitu lembut seperti ini oleh seorang pria.

Saat memasuki suatu kamar, Adibah mengedarkan pandangan di seluruh penjuru ruangan. Dia mengernyitkan dahinya ketika melihat sebuah kayu berbentuk tanda plus dengan ujung bagian bawah yang lebih panjang dari lainnya.

Saat itulah Adibah baru sadar kalau dirinya dan lelaki itu berbeda keyakinan. Namun belum sempat berpikir jernih tiba-tiba tubuhnya tertarik ke dalam pelukan Justin hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.

Adibah terpana melihat detail wajah Justin yang begitu sempurna. Dia tak kuasa menahan gejolak yang muncul dalam dirinya. Aroma maskulin yang keluar dari tubuh Justin membuat Adibah kian mendesir.

“Saya panggil Tante apa nih?” tanya Justin.

“Emm…apa aja…ahmmpp…”

Belum sempat Adibah menyelesaikan kata-katanya, Justin sudah beraksi dengan memagut bibir ranum wanita itu.
Adibah sontak mencoba mendorong dada bidang Justin agar terlepas, namun pelukan tangan Justin di pinggangnya benar-benar kuat sehingga dia tidak memiliki peluang untuk lolos.

Adibah memejamkan matanya erat. Perlahan dorongan yang dilakukan oleh tangannya berganti dengan remasan di kemeja yang dikenakan Justin.

Bibir mereka saling bersautan. Justin menghapus lipstik Adibah yang tidak terlalu tebal dengan menggunakan lidahnya.

Wanita itu mulai terbuai dalam nafsu yang muncul karena perlakuan Justin. Dia buka gerbang giginya untuk mempersilahkan benda lunak milik pria itu masuk bertamu di relung rongga mulutnya.

Benda itu disambut oleh penghuni yang juga bertekstur lunak di dalam. Lidah mereka saling melilit dan bergulat bertukar saliva yang begitu nikmat.

Dada Adibah bergejolak keras. Akal sehatnya mulai menghilang diterbangkan oleh nafsu yang kini mulai mengambil alih tubuhnya.

Tangan yang tadinya meremas kemeja kini sudah mengalung di leher Justin. Dia berusaha untuk membuat ciuman itu semakin dalam.

Karena saking menikmati, Adibah tidak sadar kalau tubuhnya telah diputar oleh Justin. Hingga akhirnya Adibah merasa bahwa dirinya jatuh ke belakang bersama pria itu dan…

Bughhh…

Kedua tubuh itu jatuh di atas kasur yang empuk. Kedua pasang mata mereka bertemu. Justin tengah menindih tubuh wanita paruh baya itu yang masih sangat sekal.

“Ayo kita lakukan, sayang?” ucap Justin dengan lembut.

Adibah menggigit bibir bawahnya. Tanpa sadar dia mengangguk pelan.

Bersambung

mahasiswi cantik
Mahasiswi cantik terkena hipnotis di entot di mobil
gila sexs
Kisah sexs ku yang gila waktu ngerjain dua penjaga vila
pegawai apotik
Menikmati tubuh pegawai apotik waktu dia jaga malam
berbagi kasih sayang
Berbagi kehangatan dengan wanita lain
Cerita Dewasa Desahan Manja Seorang Janda Seksi
pijat plus
Menikmati pijatan yang membuat ku jadi terangsang
Foto memek mulus guru smp bersih tanpa bulu
cewek toge
Keinginanku Menikmati Gadis Bertoket Gede Kini Menjadi Kenyataan
Ngentot adik kakak
Adik Dan Kakak Jadi Pemuas Nafsu Ku
Jembut lebat pembantu
Main Dengan Pembantu Sebagai Balas Budi Bagian Dua
Foto Bugil Jilbab Calon Ustazah Korek Memek
abg sexy
Cerita ngentot kegadisan ku yang di renggut pakdhe ku sendiri
adik kelass cantik
Ceritaku dengan adik kelas yang menawan
Bercinta Dengan Yuli Wanita Yang Baru Kenal
Foto Tante Toge Mandi Toket Bekas Cupang
Pembantu Tetangga Minta Di Ajarin ML Bagian Kedua