Part #57 : Petualangan Sexs Liar Ku
Beberapa hari telah berlalu. Randy saat ini sedang latihan bersama tim GB. Icha seperti biasa sedang berkutat di area dapur memasak makanan untuknya dan Randy.
Pria itu juga sudah membelikan Aira sebuah box bayi yang diletakkan tidak jauh dari ranjangnya. Icha menjadi tidak terlalu khawatir jika Aira mendadak terbangun.
Sedang asik memasak tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara bel pintu apartemen. Randy kah itu? Tapi kenapa tidak langsung masuk saja? Kenapa harus memencet bel?
Rasa penasaran Icha semakin besar. Dia lalu bergegas menuju pintu dan membukanya secara perlahan. Terlihat seorang wanita seumuran dengan Sari tengah berdiri di depan pintu.
Perempuan itu sontak membulatkan bola matanya kala melihat seseorang yang membuka pintu bukanlah orang yang ia cari.
“Siapa kamu? Kenapa ada di apartemen Randy?” sentak wanita itu kepada Icha.
Icha pun bingung tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia tidak tahu siapa perempuan itu tapi sepertinya dia kenal dekat dengan Randy.
“Sa…saya…” balas Icha dengan gugup.
Belum sempat meneruskan kata-katanya, orang yang dicari akhirnya datang juga.
“Tante Dewi!”
Merasa dipanggil namanya, wanita itu menoleh.
“Randy!”
Pria itu menghampiri mereka berdua.
“Siapa wanita ini Ran?” tanya Dewi dengan penuh penekanan.
Tidak langsung menjawab namun Randy memindahkan pandangannya ke arah Icha dan Dewi secara bergantian.
“Dia kakak Randy yang pernah Randy ceritain,” jawabnya tenang.
“Bukannya kakak mu masih kuliah?”
“Iya lagi liburan. Iya kan kak?”
Icha tersentak mendengar Randy memanggilnya kakak.
“I…iya.”
Dewi mengangguk mencoba untuk mempercayainya.
“Tante gimana kondisinya? Udah baikan?”
Dewi hanya mengangguk saja. Terlihat jelas bahwa dirinya masih lemah dan wajahnya pucat. Mungkin ada masalah penting yang membuatnya memaksakan diri untuk bertemu dengan Randy.
“Ada perlu apa Tante Dewi menemui Randy? Ada masalah penting?”
“Emm…Tante mau bicara sama kamu. Apa kamu ada waktu?”
Sejenak Randy terdiam. Apa yang mau dibicarakan oleh Dewi? Mereka sudah bukan supir dan majikan. Seharusnya tidak ada lagi yang perlu untuk dibahas. Atau jangan-jangan Tante Dewi ingin meminta kembali apartemen yang sudah dia kasih kepada Randy?
“Gimana Ran?”
Randy menggeleng cepat mengusir pikiran yang memenuhi kepalanya.
“Bisa kok Tante,” respon Randy mengiyakan ajakannya.
“Ya sudah Tante tunggu di lobby.”
Setelah menyelesaikan perkataannya Dewi langsung pergi meninggalkan Randy dan Icha. Randy pun berbisik kepada Icha.
“Siap-siap aja kali nanti kita pindah tempat tinggal ya.”
Icha menatap manik mata Randy. Dia kemudian mengangguk pelan.
“Asalkan sama kamu, tinggal dimana pun gak akan jadi masalah buat ku,” batin Icha.
Randy lalu masuk ke dalam apartemen dan mengganti pakaian sebelum menemui Dewi.
Di lobby Randy menghampiri Dewi yang tengah duduk di salah satu sofa di sana. Wanita itu mendongak menatap wajah Randy yang berdiri tepat di hadapannya.
“Mau bicara di sini atau…?”
Dewi kemudian berdiri dan menyerahkan kunci mobil kepada Randy.
“Kita cari tempat yang nyaman buat ngobrol,” celetuk Dewi diikuti dengan langkahnya keluar gedung apartemen kemudian disusul oleh Randy.
Di dalam mobil suasana sedikit canggung. Dengan berinisiatif memulai pembicaraan, Randy bertanya.
“Tante yakin udah baikan?”
Lagi-lagi Dewi hanya mengangguk.
“Apa om Ginanjar tau kalo Tante ketemu Randy sekarang?”
Dewi menggelengkan kepalanya.
“Dia udah berangkat lagi ke Tangerang,” balasnya tidak bersemangat.
“Apa Tante nemuin Randy karena urusan apartemen?”
Dengan cepat Dewi menoleh sambil mengerutkan keningnya.
“Maksud kamu?”
“Apa Tante mau ambil apartemen itu lagi? Kalo iya, kasih Randy waktu buat nyari kontrakan dulu. Mungkin sekitar 3 hari,” ujar Randy kembali memfokuskan perhatiannya ke jalanan.
Entah kenapa perkataan Randy membuat dadanya sesak. Apakah Randy berpikiran kalau dia hanya memanfaatkannya dan membuangnya ketika tidak dibutuhkan?
“Siapa yang mau ambil apartemen itu Ran? Gak ada pikiran sama sekali ke arah situ.”
“Terus?”
Dewi tidak menjawab pertanyaan Randy, namun dia hanya memberitahukan sebuah restoran yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka berada.
Setelah sampai di tempat tujuan, mereka duduk di salah satu meja makan. Randy hanya memesan jus mangga karena dia ingin makan bersama Icha di apartemen. Icha sudah memasak untuknya.
“Jadi Tante mau cerita apa?” lontar Randy kepada mantan majikannya.
Tiba-tiba wajah Dewi berubah sendu. Dia menghela nafas dalam sebelum menjawab pertanyaan Randy.
“Tante mau minta maaf sama kamu Ran. Karena Tante, kamu jadi dipecat.”
“Itu bukan karena Tante kok. Randy sendiri yang mutusin untuk melakukan itu. Kita lupakan aja.”
“Maaf juga karena Tante gak bisa jaga anak kita,” lanjutnya lagi dengan setetes air mata mengalir di pipinya.
Jujur, Randy juga merasakan sakit dan kecewa mengetahui anaknya sudah tiada. Tapi semua sudah terjadi, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.
“Itu sudah jadi takdir. Jadi gak ada yang perlu disesali.”
Wanita itu menelan salivanya dengan susah payah kemudian mengangguk pelan.
“Yang kedua…”
Dewi terlihat ragu untuk melanjutkan kata-katanya. Itu membuat Randy penasaran.
“Apa kamu mau kembali lagi sama Tante?” ungkap Dewi sembari menundukkan kepalanya.
Lelaki itu mendesah pelan.
“Randy udah dipecat sama om Ginanjar.”
“Bukan sebagai supir tapi sebagai kekasih?”
Randy tertegun mendengar permintaan Dewi itu. Apa-apaan ini? Apa wanita itu ingin bermain api sekali lagi? Apakah dia tidak kapok? Mungkin sekarang suaminya akan memantaunya lebih ketat mulai dari sekarang.
“Kenapa?”
Dewi kembali mengangkat kepalanya.
“Kenapa Tante ingin kembali lagi? Randy kira Tante punya rencana menikah dengan om Pram. Bukannya Tante gak ingat sama Randy waktu Tante bersama om Pram?” sindir Randy membuat Dewi mati kutu.
“Itu semua udah berakhir. Tante sama Pram udah gak punya hubungan apa-apa.”
Hal itu membuat Randy heran. Kenapa mereka membuat keputusan yang seperti itu dengan cepat? Padahal sebelumnya mereka kabur berdua dan tidak memperdulikannya yang lain.
Tiba-tiba dia teringat akan kecelakaan yang menimpa Dewi dan Pram. Sepertinya ada sesuatu yang melatarbelakangi kejadian itu.
“Sebenarnya apa yang terjadi waktu itu? Waktu Tante mutusin untuk pergi dengan om Pram?”
Dewi menelan salivanya dengan susah payah. Sejenak dia ragu untuk menceritakannya. Namun dia berpikir, mungkin Randy akan kembali padanya apabila dia berterus-terang.
Flashback…
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 wib. Pram yang baru selesai lembur karena siang dia meninggalkan pekerjaannya sedang membereskan beberapa berkas di dalam kubikel miliknya saat tiba-tiba Dewi menelfon.
Sebelumnya saat siang hari mereka sempat bertemu dan memadu kasih di salah satu hotel. Namun setelah mereka menyelesaikan pergulatan panas itu, Dewi memutuskan untuk kembali ke rumah karena suaminya akan pulang.
Saat itu mereka sempat bertengkar karena Dewi yang lebih memprioritaskan suaminya ketimbang dirinya. Hal itu membuat Pram seolah tersisih.
Karena ponsel yang terus menerus berbunyi, akhirnya Pram mengangkatnya dengan malas.
“Ada apalagi Wi? Apa suami mu gak jadi pulang, makannya kamu telfon aku?”
Sambutan yang sangat tidak ramah. Begitulah sifat buruk Pram, kalau sedang merajuk dia bisa jadi sangat menyebalkan.
“Pram! Aku lagi gak mau debat. Aku mau minta maaf. Kamu tau kan aku cinta sama kamu. Aku begini karena keadaan.”
“Aku gak tau Wi, aku bingung mau dibawa kemana hubungan ini. Jujur aku juga cinta sama kamu. Aku penginnya kita nikah. Kita gak usah pedulikan orang lain toh kita yang menjalani.”
“Aku juga maunya gitu. Tapi gimana lagi, aku gak punya pilihan.”
“Selalu ada pilihan kalo kamu berani melangkah,” sergah Pram dengan nada tinggi.
Sesaat tidak ada suara diantara mereka berdua.
“Gini deh, aku tanya sekali lagi. Apa kamu bener-bener cinta sama aku? Apa kamu yakin mau nikah sama aku?” tanya Pram dengan tegas.
“I…iya aku cinta sama kamu. Aku mau nikah sama kamu,” jawab Dewi ragu-ragu.
Dia tidak punya pilihan lain. Kalau dia tidak menjawab seperti itu bisa dipastikan Pram akan semakin ngambek. Tapi bukan berarti yang dikatakan Dewi itu hanya bualan. Dia berkata jujur.
Apa yang dikatakan Dewi barusan membuat Pram tersenyum bahagia. Entah apa yang merasuki Pram saat itu. Yang ada di pikirannya hanya Dewi semata. Sari yang notabenenya sebagai istri sahnya pun seakan-akan terkubur dalam bayang-bayang mantan kekasihnya.
“Baiklah kalo gitu aku pulang dulu. Kamu kemasi barang-barang mu! Setelah itu aku jemput kamu. Kita akan pergi dari sini.”
Mata Dewi terbelalak mendengar perkataan Pram. Dia tidak habis pikir dengan ide gila kekasih gelapnya.
“A…apa Pram! Maksudnya???”
Belum mendapat jawaban yang pasti, telepon sudah ditutup secara sepihak oleh Pram.
Dewi hanya bisa mendengus kesal. Dia mendadak menjadi cemas. Wanita itu berharap Pram tidak serius akan ucapannya.
Namun harapannya ternyata tidak terkabulkan. Pram benar-benar datang menjemputnya.
“Ayo mana barang-barang mu?” tanya Pram heran melihat Dewi yang belum bersiap-siap.
“Jadi kamu serius?!”
Pram tidak menjawab dan hanya memandangi wanita itu dari atas sampai bawah.
“Udah lah, gak usah dipikirin. Kita berangkat sekarang juga,” tukas Pram sambil menarik tangan Dewi untuk mengikuti langkahnya.
“Pram!” panggilnya lagi.
Namun seolah pria itu menulikan pendengarannya.
“Nyonya! Nyonya mau kemana?”
Dari dalam rumah bi Lastri bertanya karena merasa khawatir dengan majikannya.
“Saya pergi cuma sebentar aja kok bi!” seru Dewi yang sudah dibawa masuk ke dalam mobil oleh Pram.
Mobil pun melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Di dalam sana Dewi hanya menggigit bibir bawahnya cemas akan situasi ini.
“Kita mau kemana sih Pram?! Kok arahnya ke luar kota?”
Pram menyunggingkan senyumnya kemudian menumpuk telapak tangannya di atas punggung tangan Dewi.
“Kita emang mau ke luar kota. Kita tinggalkan kehidupan kita di sini dan memulai kehidupan baru di sana.”
Mata Dewi terbelalak. Pram benar-benar nekat! Ya, karena cinta, lelaki itu kehilangan akal sehatnya. Atau boleh dibilang dia ingin balas dendam karena dahulu kekasihnya direbut secara paksa oleh orang lain. Sekarang dia ingin merebut apa yang seharusnya jadi milik dia.
“Pram! Kamu udah gila ya?! Aku punya anak di rumah. Aku gak bisa ninggalin dia gitu aja. Lagian…”
“BISA!” bentak Pram.
Sontak Dewi merasa ketakutan. Itu pertama kalinya dia dibentak oleh kekasihnya semenjak mereka saling mengenal. Dewi merasa tidak mengenal Pram saat itu. Entah setan apa yang sedang merasuki pikirannya.
“Aku juga punya anak! Kita tinggalkan anak kita masing-masing. Kita akan punya anak kita sendiri nanti,” ucapnya dibarengi dengan senyuman smink.
Dewi membuang muka ke arah kiri. Dadanya berdegup kencang. Bukan! Bukan karena jatuh cinta atau semacamnya, tapi karena dia merasa takut akan situasi ini. Dia harus menemukan cara untuk keluar dari sini.
Pram sudah tidak lagi mencintainya. Ini bukanlah rasa cinta, melainkan obsesi ingin memiliki seutuhnya, hanya untuk dirinya.
“Pram!” panggil Dewi lirih.
“Iya sayang?”
“Aku mau bilang sesuatu sama kamu.”
“Apa? Bilang aja. Kan gak ada rahasia di antara kita.”
“Sebenarnya…”
Dewi terlihat ragu. Namun ini harus dikatakan sebelum pria itu mengetahuinya sendiri. Pram hanya mengerutkan keningnya.
“Sebenarnya aku lagi hamil Pram!”
“Hah?!” pekik Pram.
Namun beberapa saat kemudian tepi bibirnya terangkat ke atas.
“Serius? Kamu hamil? Secepat itu?”
Pram sangat bahagia mengetahui kekasihnya sedang hamil.
“Aku gak nyangka kita diberikan titipan secepat ini, aku bakal…”
“Pram! Aku belum selesai ngomong!” potong Dewi cepat.
Sejenak mata pria itu berputar ke samping.
“Aku hamil…”
“Ini anak suami ku!”
Deggg…
Dada Pram mendadak nyeri seolah ditusuk oleh pedang panjang. Dia menggelengkan kepalanya. Fokusnya buyar.
“Enggak…enggak! Kamu pasti bohong kan? Aku tau suami mu jarang pulang. Aku juga tau kalo suami mu mandul! Itu gak mungkin anak Ginanjar, itu pasti anak aku!”
Pram tersenyum kecut mencoba untuk mempercayai pikirannya sendiri. Namun lagi-lagi wanita yang dicintainya mengungkapkan sebuah pernyataan yang menyakiti hatinya.
“Ini bukan anak mu Pram! Aku sudah dinyatakan hamil sebelum acara reuni SMA kita.”
Mata Pram nyaris meloncat keluar mendengar ucapan Dewi. Tangan yang berada di setir kemudi bergetar hebat. Emosinya membuncah ingin keluar sekarang juga.
“Ja…jadi selama ini kamu bohongi aku?! Jadi waktu kita bercinta kamu sudah hamil?! Waktu kamu bilang ingin menikah dengan ku, waktu kamu bilang ingin punya anak dari aku. Waktu itu juga kamu sedang hamil anak laki-laki lain?!” bentak Pram sambil memukul setir mobil yang tidak bersalah sama sekali.
Wajah Dewi sudah pucat pasi. Dia sama sekali tidak menyangka akan respon Pram yang demikian marah. Dada lelaki itu naik turun dengan cepat.
Tiba-tiba Pram menginjak penuh pedal gas yang membuat mobil melaju dengan sangat cepat.
“Pram! Apa-apaan ini! Berhenti!” sergah Dewi sembari menahan lengan kiri Pram.
“Diam! Dasar penipu! Wanita jalang!” ucap Pram penuh emosi.
Dia menepis tangan Dewi lalu menjambak rambutnya hingga tertarik ke samping. Dewi hanya bisa memekik kesakitan.
Saat itulah mobil yang sedang melaju kencang menjadi tidak terkendali. Mobil pun oleng ke samping melewati trotoar. Di depan mereka terdapat pohon besar yang berdiri di pinggir jalan.
“Pram! Awassss…!!!”
Braaaakkkkk…!!!
Flashback end.
Randy menatap Dewi sambil mengusap dagunya. Tampak wanita itu sedih ketika mengingat kejadian yang ingin dia lupakan.
Jadi begitu kejadiannya. Itulah mengapa saat di rumah sakit mereka berdua tidak saling mengkhawatirkan satu sama lain. Pram justru malah mengemis-ngemis meminta pada Sari untuk kembali bersamanya.
“Apa kamu masih mau memaafkan Tante, Ran?” tanya Dewi membuyarkan lamunan Randy.
“Maksud Tante apa? Emang Tante salah apa sama Randy? Kalo soal dipecat, gak perlu minta maaf, kan itu atas kemauan Randy sendiri,” ucap Randy sambil menyesap jus pesanannya.
“Karena Tante udah khianatin kamu.”
Randy mendengus seraya menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
“Yang Tante khianati itu suami Tante, bukan Randy. Harusnya Tante minta maaf sama om Ginanjar.”
Randy terus menatap Dewi yang masih terdiam sambil menundukkan kepalanya.
“Terus kenapa Tante mau balik lagi sama Randy?”
“Tante merasa kamu orang yang tulus menyayangi Tante dan Reihan. Kamu mau berkorban menolong Tante waktu itu dengan resiko kamu dipecat.”
“Kalo itu maksudnya, Tante gak usah khawatir. Randy akan bantu Tante kalo dibutuhkan tanpa harus menjalani hubungan khusus. Randy juga akan tetap menyayangi Reihan seperti Randy menyayangi anak Randy sendiri.”
Bukan munafik tapi Randy punya harga diri. Berhubungan dengan Dewi selama ini hanya membuat Randy seperti gigolo yang datang di saat dibutuhkan dan dibuang setelah mendapatkan mainan baru. Sesaat Randy melihat jam tangannya, Randy lantas bangkit dari duduknya.
“Randy kira masalah ini udah clear. Randy mau pamit pulang dulu.”
Pria itu kemudian mengembalikan kunci mobil yang tadi dia pegangan kepada Dewi.
“Ran tunggu! Kamu mau pulang naik apa? Biar Tante yang anter,” cegah Dewi hendak menahan pergelangan tangan Randy namun gagal.
“Randy pulang naik ojek online aja.”
Randy terus melangkah menjauhi Dewi tanpa menoleh sedikitpun. Baginya wanita itu sudah menjadi masa lalu. Randy tidak habis pikir setelah dia dilupakan begitu saja tiba-tiba wanita itu datang lagi meminta cintanya setelah dicampakkan oleh kekasih gelapnya.
Di apartemen Icha sudah menunggu suami tidak sahnya. Saat pintu terbuka Icha kemudian berjalan menuju pintu. Namun baru beberapa langkah dia sudah dibuat berhenti karena pria yang dia tunggu-tunggu sudah ada di depan matanya.
“Ran…emphh…”
Baru satu kata yang keluar, mulut Icha sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan bibirnya. Icha heran kenapa Randy tiba-tiba menciumnya.
Ciuman itu terasa hambar tidak seperti biasanya. Ada apa dengan Randy? Pertanyaan itu muncul di kepalanya.
Belum menemukan jawaban apapun, tubuh Icha sudah didorong hingga terjatuh di atas kasur. Randy langsung menindihnya dan menahan tangan Icha di samping.
Randy kembali melancarkan aksinya dengan ciuman yang lebih ganas dan menuntut. Icha diam saja tidak merespon bahkan matanya masih menatap wajah Randy yang begitu dekat.
Ciumannya berpindah ke leher jenjang Icha. Randy memagut daerah itu dengan buas.
Tapi, hey! Icha punya perasaan, dan perasaannya mengatakan ada yang tidak baik-baik saja dengan Randy. Dia merasa apa yang dilakukan pria itu hanya sebatas pelampiasan akan sesuatu yang tidak didapatkannya.
Tangan Icha yang sudah bebas dari kungkungan tangan Randy menangkup kedua pipi laki-laki itu lalu mengangkatnya ke depan wajahnya.
Di sana Icha mampu melihat bulir bening yang menggenang di pelupuk mata Randy yang kemudian mengalir turun di pipinya.
“Kamu kenapa? Jangan nangis. Aku ada di sini buat kamu,” ucap Icha seraya menghapus jejak air mata itu dari pipi Randy.
Bersambung