Part #46 : Petualangan Sexs Liar Ku
Hari Senin adalah hari yang sibuk bagi Randy. Dulu biasanya dia bangun pagi, mandi, sarapan di luar, dan pergi latihan basket.
Sejak kehadiran Icha dan Humaira, Randy memiliki tanggung jawab baru. Tapi dirinya tidak mengeluh dan justru bersyukur dapat bersatu dengan anaknya.
Setelah selesai dengan pekerjaan di apartemennya Randy kemudian pergi untuk latihan basket. Karena motornya mogok kemarin dia jadi pergi naik ojek online.
Dia tidak melupakan janjinya pada Reihan untuk mengajaknya pergi ke tempat latihan.
Saat berada di rumah Reihan, Randy bertemu dengan Dewi yang saat itu masih mengenakan kimono tidurnya. Perutnya tampak sedikit membulat karena sedang hamil.
“R…Randy?!” panggil Dewi gugup.
Berbeda dengan Randy yang santai.
“Ehh Tante. Kemarin Randy udah titip nomor hp baru Randy ke Bu Lastri apa udah dikasih tau?”
“Ehh…emm…iya udah kok,” jawab Dewi sambil mengangguk pelan.
“Kenapa gak hubungi Randy? Apa gak butuh supir lagi?”
“Eng…enggak bukan gitu. Ta…tapi Tante kira kamu…”
“Papa…!!!”
Belum sempat menjawab, seorang anak kecil berteriak dari dalam rumah Dewi. Sontak Randy langsung mengangkat tubuh anak itu saat menghambur di pelukannya.
“Kalian udah janjian?” tanya Dewi heran.
“Iya rencananya Randy mau ajak Reihan ke tempat latihan. Boleh kan?”
Dewi masih terdiam malah menatap mata Randy dalam. Ada kerinduan di sana namun kini semuanya sudah berakhir.
Meskipun hubungan mereka selesai tapi Randy menepati janjinya untuk menyayangi Reihan dengan tulus. Itu yang membuat Dewi menjadi gagal move on.
“Bo…boleh kok! Motor kamu mana?”
“Motor Randy mogok kemarin, jadi untuk sementara naik ojol dulu.”
Wanita itu mengangguk paham.
“Ya udah Tan. Randy berangkat dulu.”
“Tunggu dulu Ran!” cegat Dewi menahan tangannya.
“Emm…maaf!”
Kata itu keluar begitu saja dari mulut Dewi.
“Maaf untuk apa?”
Dewi masih mematung tak merespon. Ia gigit bibir bawahnya.
“Kalo soal om Pram, Tante tenang aja. Kalo Tante memang lebih nyaman sama dia, Randy gak papa kok. Tapi Randy pesan sama Tante, baik Tante ataupun om Pram sudah sama-sama berkeluarga. Pada akhirnya pasti akan ada yang tersakiti jika hubungan itu diteruskan. Entah itu om Ginanjar, istri om Pram atau kalian berdua. Randy harap Tante udah siap dengan konsekuensinya.”
Dewi seolah merasakan tulang tumbuh di dalam lidahnya yang membuat dirinya sulit untuk menimpali perkataan dari Randy.
“Kalo gitu Randy permisi dulu.”
Randy kemudian pergi membawa Reihan meninggalkan Dewi yang masih membeku tak bisa merespon apa-apa.
Di tempat latihan, Randy menggandeng Reihan dengan percaya diri. Beberapa tatapan heran terpaku pada mereka berdua.
Namun rasa percaya diri itu seketika sirna ketika melihat seorang wanita yang tengah duduk di tribun sedang memakan es krim.
Randy reflek menutupi wajahnya dengan telapak tangan agar wanita itu tidak melihatnya tapi terlambat.
“Randy!” panggil si wanita itu keras hingga menggema di dalam stadium.
Randy menghembuskan nafas dalam dan terpaksa menoleh. Ia pun tersenyum meringis menampakkan giginya seperti saat murid yang ketahuan mencontek oleh gurunya.
Wanita itu melambangkan tangan pada Randy dan menyuruhnya untuk mendekat. Terpaksa Randy menurut.
“Ehh Anes kok tumben ada di sini?” tanya Randy canggung.
“Sama Justin,” jawabnya singkat.
“Oh udah balikan?”
Anes tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Lalu pandangan berpaling ke arah anak kecil yang digandeng Randy.
“Ini siapa?”
“Emm…ini…”
“Papa!” panggil Reihan seperti menjawab pertanyaan dari Anes secara tidak langsung. Anes mengernyitkan dahinya heran.
“I…ini anak lu?”
Anes membuka mulutnya yang langsung ia tutupi dengan telapak tangannya.
“Anggap aja gitu, hehehe…” jawab Randy sekenanya.
Latihan sudah hampir dimulai. Awalnya Reihan akan diajak duduk di bench selagi dirinya latihan, tapi karena ada Anes jadi Randy meminta dia untuk menjaga anak itu untuk sementara. Itu lebih baik daripada membiarkan Reihan duduk di dekat para pemain basket GB yang sebagian besar punya otak geser.
Latihan dimulai, Randy terlihat fokus bermain dan hanya sesekali melirik ke arah Reihan dan Anes untuk memastikan keadaan anak itu. Tampaknya tidak masalah, Reihan memang mudah akrab dengan siapapun termasuk Anes. Sepertinya saat besar nanti anak itu tidak jauh beda dengan Randy.
Saat itu ada Justin juga yang sedang beraksi di atas lapangan. Entah apa yang dipikirkannya saat itu tapi yang jelas Randy tahu diri dan sebisa mungkin menjaga jarak dengan Anes. Dia sudah menyesali tindakan yang pernah ia lakukan yang membuat hubungannya dengan Justin meregangkan.
Performa Randy saat itu benar-benar luar biasa. Beberapa kelemahannya sudah bisa ia handle. Baik kekuatan maupun stamina sudah meningkat drastis berkat latihan gym yang ia jalani. Kalau soal teknik dan mental Randy sudah tidak perlu untuk diragukan lagi.
Hal itu membuat coach Roy senang. Setelah latihan Randy dipanggil ke ruangannya. Dirinya terkejut karena diakhir masa kontrak trialnya, dia ditawari full kontrak dengan durasi dua tahun. Tanpa ragu lagi Randy kemudian menandatangani kontrak itu di atas materai tanpa membaca rinciannya terlebih dahulu.
Setelah bersalaman dengan coach Roy, Randy pergi menemui Reihan dan Anes dengan perasaan senang. Namun langkahnya berhenti ketika melihat Justin bersama mereka berdua.
Dia lihat Justin dan Anes tertawa bersama saat Reihan dengan gayanya mencoba mendribble bola basket yang terlalu besar untuk ukurannya. Randy pun mendekat.
“Hey Ran! Anak lu lucu juga. Berbakat dia jadi pemain basket,” ujar Justin sambil mengusap kepala anak itu.
Justin bersikap biasa saja. Padahal ada Randy dan Anes yang dulu pernah membuatnya sakit hati.
“Dia bukan anak gue kok. Cuma ponakan.”
“Tapi katanya dia panggil lu papa.”
“Ya emang dia terobsesi punya papa ganteng kaya gue, hehehe…”
“Gitu ya? Tapi gue gak pernah tau kalo lu punya saudara di Bandung?”
“Ceritanya panjang, gak usah dibahas.”
Randy lalu mengajak Reihan untuk pulang. Dia tidak ingin mengganggu waktu Justin dan Anes yang sudah berbaikan.
“Oh ya lu tadi kenapa dipanggil coach?” tanya Justin sebelum Randy melangkahkan kakinya pergi.
“Tadi gue baru tanda tangan kontrak.”
“Wah mantap. Harus dirayain nih!” respon Justin antusias.
Dia lalu melirik ke arah Anes sambil menaik turunkan salah satu alisnya yang mendapatkan anggukan kecil dari perempuan itu.
“Entar malem lu bisa ke rumah gue gak?”
“Ngapain?”
“Main aja lah, kan udah lama lu gak main ke rumah gue.”
Randy menatap Justin dan Anes secara bergantian. Justin tahu apa yang ada di dalam hati Randy.
“Yang dulu gak usah diungkit-ungkit. Gue juga udah pernah bilang sama lu kan kalo gue udah gak ada masalah. Sekarang kita mulai lagi dari awal.”
Justin tersenyum lebar dan merentangkan kedua tangannya. Tangan kiri merangkul bahu Anes dan tangan kanan memberikan isyarat Randy untuk mendekat. Anes mengikuti Justin dengan tangan kirinya.
Randy mengangguk kemudian mendekati mereka berdua. Ketiganya berpelukan dengan Reihan yang berada di tengah-tengah mereka.
Randy merasa lega karena hubungannya dengan Justin kini kembali seperti sedia kala. Dirinya berjanji untuk tidak melakukan kesalahan bodoh seperti dulu lagi.
Setelah bertukar kontak Randy lalu pamit dan mengantarkan Reihan ke rumahnya.
Saat di sedang menunggu taksi online datang, tiba-tiba ponsel Randy berdering. Ternyata itu dari Sari.
“Assalamualaikum,” sapa Randy hangat.
“Waalaikumusalam Randy, apa kamu bisa ke rumah mbak sekarang?”
“Bisa mbak. Mau ngajar ngaji sekarang? Memangnya om Pram ada di rumah?”
“Gak ada. Mas Pram lagi kerja. Bukan mau belajar kok. Nanti mbak jelasin deh,” ungkap Sari.
“Oke deh mbak.”
Randy lalu menutup telponnya bersamaan dengan datangnya taksi online yang sebelumnya ia pesan.
Setelah mengantarkan Reihan, Randy langsung bergegas menuju rumah Sari. Dalam hati ia bertanya-tanya ada apakah gerangan wanita itu menyuruhnya datang di saat suaminya tidak ada di rumah.
Sesampainya di rumah Sari, Randy langsung di sambut di depan rumah. Sari tengah duduk di teras rumah menunggu kedatangannya.
“Assalamualaikum!” sapa Randy.
“Waalaikumusalam.”
Randy mendekati Sari yang sudah berdiri dari duduknya.
“Maaf Ran. Mas Pram belum sempet masukin motor kamu ke bengkel. Tadi mau mbak bawa ke bengkel sendiri ternyata motornya berat. Mbak gak kuat, makannya mbak hubungi kamu,” lanjutnya sedikit malu.
“Waduh gak usah mbak, biar Randy aja yang bawa motornya.”
“Ya udah. Kamu tau bengkelnya? Kalo gak mbak anterin deh.”
“Gak tau mbak. Ehh tapi Randy bau mbak, belum mandi mbak habis latihan basket,” ujar Randy yang tidak mau kalau Sari jadi ilfill karena bau badannya.
“Mana? Gak bau sama sekali.”
Sari mengendus-endus bahu Randy yang lebih tinggi dari tubuhnya sehingga kepalanya mendongak ke atas. Itu malah terlihat seperti Sari mencium ketek Randy.
Sadar apa yang barusan ia lakukan membuat wajahnya memerah. Apalagi ketika melihat Randy tampak tersenyum menahan tawa.
“Maaf Ran. Mbak suka kelewatan yah.”
Sari merutuki dirinya sendiri.
“Enggak kok mbak, malak kelihatan gemesin. Seneng deh punya istri kaya mbak gitu. Apa om Pram sering diendus-endus juga mbak?”
Pertanyaan itu seolah membuat urat malunya melebar membuat darah mengalir deras menuju wajahnya sehingga menjadi merah merona.
“Udah ahh kok bahas itu sih. Kalo mau mandi di rumah mbak aja sana. Nanti mbak siapin kaosnya mas Pram, kan kalian badannya hampir sama,” celetuk Sari mengalihkan pembicaraan.
Sungguh tawaran itu keluar dari mulutnya tanpa pertimbangan. Dia hanya ingin keluar dari topik itu. Membuatnya lagi-lagi harus menepuk jidat. Apalagi setelah Randy menyetujui tawarannya itu.
“Gak papa deh mbak kalo boleh. Lagian badan Randy juga udah kerasa lengket banget.”
Sari hanya mengangguk lalu masuk ke dalam rumah diikuti oleh Randy.
“Oh ya Keelan mana mbak? Kok gak keliatan?”
“Tadi pagi dibawa adiknya mas Pram jemput kakek neneknya yang baru pulang di bandara. Paling hari ini suruh nginep di sana. Soalnya katanya neneknya kangen sama Keelan,” jelas Sari.
Randy hanya mengangguk pelan.
Selagi Randy mandi, Sari menyiapkan kaos dan celana pendek milik suaminya. Hatinya berdebar tak karuan. Bagaimana bisa ia memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah sedangkan suaminya tidak ada.
Jantungnya nyaris melompat keluar saat Randy sudah selesai mandi dan keluar hanya dengan handuk yang dililitkan di pinggangnya.
Lelaki itu sungguh mempesona. Otot tubuh yang atletis dan proporsional, rambut basah yang dikibas-kibaskan membuat dirinya tampil maskulin.
Pram juga bertubuh besar seperti Randy tapi tidak berotot. Beda jauh dengan Randy. Apalagi sebuah benda yang panjang tercetak jelas di permukaan handuk itu.
Sari bag sebuah patung yang terdiam tanpa bisa bergerak sedikitpun. Dia terpana atas tubuh yang nyaris sempurna sebagai seorang lelaki perkasa.
Sari menahan nafasnya kala Randy dengan menyunggingkan senyum tipis mendekatinya hingga kedua tubuh mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.
Tiba-tiba saja Randy menarik salah satu tangan Sari dan menempelkannya di dadanya.
“Rasakan detak jantung Randy mbak. Sama kan ritmenya dengan detak jantung mbak?”
Sari merasakan jantung Randy berdetak dengan sangat cepat seperti dirinya. Dia hanya mengangguk pelan tanpa bisa menjawab.
Randy kemudian sedikit menurunkan tangan Sari lalu menariknya melewati celah di antara tangan dan tubuh Randy hingga tubuh Sari semakin tidak berjarak. Wajah Randy sudah tepat berada di depan wajahnya.
“Gimana kalo kita buat jantung kita bekerja lebih keras?” ungkap Randy sembari memegang tengkuk Sari.
Lalu bibir mereka yang sudah sangat dekat itu pun akhirnya bertemu.
Cuppp…
Sari merasakan bibir lembut Randy untuk yang pertama kalinya. Hatinya bergejolak ingin melepaskannya namun raganya seolah mengkhianati. Sentuhan-sentuhan yang dibuat Randy menjadi candu baginya untuk terus melakukan aktivitas terlarang itu.
Sari memejamkan mata seraya membalas ciuman Randy yang mulai menari di rongga mulutnya. Satu tangan Randy yang tadi memegang tangannya berpindah ke pinggul Sari kemudian menekannya hingga perut Sari dapat merasakan tonjolan yang begitu keras di selangkangan Randy.
Sari masih memejamkan mata merasakan sensasi ciuman yang baru pertama kali ia rasakan meskipun dia sudah sering melakukannya dengan Pram.
Tangan kiri Sari secara naluriah menyongsong batang perkasa Randy yang berada di balik handuk yang melilit di tubuhnya.
“Ohh besarnya!” batin Sari.
Ia gosok-gosok menara itu ke atas dan ke bawah dengan cepat sehingga handuk itu tidak sengaja terlepas dan jatuh ke lantai.
Sari dapat merasakannya! Iya dapat merasakan kulit batang Randy di telapak tangannya. Terlalu besar untuk ukuran tangannya. Dia remas-remas dengan gemas benda itu.
Ini lah batang yang sudah menaklukkan Annisa. Dia tidak heran kenapa hal itu bisa terjadi. Baru dipegang saja rasanya nikmat apalagi kalau sampai masuk. Ahh mungkin dia akan terbang.
Randy memajukan pinggulnya membuat tongkat itu menyodok-nyodok area permukaan segitiga rahasianya.
“Ohh Randy, mbak pengin dimasuki. Mbak pengin merasakan apa yang Annisa rasakan. Pastinya nikmat sekali!” pekik Sari dalam hati.
Sari semakin terbuai dengan perasaan itu sampai akhirnya…
“Mbak! Mbak! Halo?!”
Sari melonjak kaget saat Randy menepuk-nepuk bahunya. Dia membuka matanya dan melihat Randy berdiri di sana masih mengenakan handuk di pinggangnya.
“Astaghfirullah! Aku ini kenapa sih,” rutuknya kepada dirinya sendiri.
Randy tersenyum melihat apa yang dilakukan oleh Sari. Dia bisa menerka-nerka apa yang sedang dipikirkan olehnya.
“Ehh…bajunya ada di kamar.”
Sari berusaha mengusir rasa malu di wajahnya. Randy mengangguk lalu mengikuti arahan Sari. Dia mengganti bajunya di dalam kamar sedangkan Sari duduk di sofa ruang tengah sambil terus mencoba membuang jauh bayangan itu.
“Kenapa aku bisa memikirkan hal seperti itu?! Secara biologis aku tidak mendapatkan masalah sama sekali dari mas Pram. Dia selalu memberikan kepuasan terhadap ku! Tapi Randy?! Ahh…”
Dia menyentuh area segitiga bermuda miliknya yang sudah basah meski hanya membayangkan saja.
“Apakah aku sebegitu rendahnya hingga merindukan belaian dari pria lain yang bukan muhrim?”
Tak berselang lama Randy keluar dari kamar Sari dengan mengenakan kaos coklat dan celana pendek sedikit di atas lutut.
“Udah?”
Randy mengangguk kemudian mereka pergi ke bengkel yang letaknya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat pula.
Di bengkel sembari menunggu motor Randy diperbaiki, Sari dan Randy kembali berceloteh akrab seolah kejadian tadi tidak pernah terjadi.
Sari mencurahkan isi hatinya kepada Randy tentang perubahan suaminya akhir-akhir ini yang menjadi lebih jarang di rumah. Randy mengetahui alasan perubahan itu tapi dia tidak mungkin untuk menceritakannya karena dia tidak membawa bukti apapun.
Kalau ia ceritakan justru akan membuat Sari marah karena menganggap Randy adalah orang yang suka membual. Ini bukan waktu yang tepat.
Sari juga tidak tahu mengapa dia mau menceritakan tentang masalah rumah tangganya. Namun mengobrol dengan Randy membuatnya jauh lebih plong. Dia seolah mengangkat beban yang ada di bahunya.
Sari senang memiliki teman curhat seperti Randy yang mampu memperlakukan wanita dengan sangat baik.
Kalau Randy bilang Pram sangat beruntung mendapatkan istri seperti dirinya, Sari justru berpikir bahwa Annisa beruntung memiliki calon suami seperti Randy.
Setelah motor Randy selesai diperbaiki, dia mengajak Sari untuk pulang membonceng dirinya. Awalnya dia menolak, tapi Randy terus membujuknya yang membuat dia mengiyakan tawaran itu.
‘Nyaman’ hanya itu yang terlintas di benak Sari saat berada di belakang Randy. Dia tidak ingin situasi itu cepat berlalu. Jadi dia mencari alasan agar tidak langsung pulang ke rumah.
“Ran, bisa anterin mbak ke rumah Reza? Udah lama gak ada kabar.”
“Boleh mbak,” ucap Randy menyetujui permintaannya.
Dengan ragu-ragu Sari melingkarkan tangannya di pinggang Randy karena motor yang dipacunya begitu kencang.
Sesampainya di rumah Reza, Sari mengetuk pintu rumah itu sedangkan Randy menunggu di motor.
Beberapa saat tidak ada jawaban. Apakah Reza sedang kerja? Tapi mobilnya ada di rumah.
Baru akan mengetuk pintu lagi tiba-tiba seorang wanita paruh baya yang mengenakan kimono membuka pintu rumah itu. Usianya diperkirakan sudah berkepala empat dengan guratan wajahnya masih terlihat cantik namun sedikit mengendur.
Sari begitu terkejut melihatnya. Bagaimana bisa ada seorang wanita yang tidak ia kenal berada di rumah adiknya?
“Maaf anda siapa ya?” tanya wanita itu.
“Maaf seharusnya saya yang tanya sama anda. Anda itu siapa? Kenapa ada di rumah adik saya?” ujar Sari dengan penuh penekanan.
“Saya istri sirinya,” jawab wanita itu enteng.
“Apa?!” pekik Sari begitu terkejut.
Pekikan itu mengundang satu orang lagi dari dalam rumah. Dia begitu terkejut mendapati siapa yang ada di depan pintunya.
“K…kakak! kenapa bisa ada di sini?” ucap Reza terbata-bata.
“Reza! Siapa wanita ini?! Kenapa dia bisa ada di rumah kamu?” tanya Sari emosi.
“D…dia istri ku kak!”
Mata Sari membulat sempurna. Dia tidak habis pikir dengan Reza. Umur wanita itu bahkan hanya berjarak beberapa tahun dengan ibu mereka.
“Lalu gimana dengan Icha?! Kamu menelantarkan dia?”
“Dia pergi sama Annisa ke rumah bunda! Itu bukan salah ku.”
“Icha gak ada di sana! Dia udah pulang ke rumah orang tuanya!”
Reza membuang muka seolah tidak peduli dengan keadaan istrinya.
“Aku gak cinta sama dia kak! Aku nikahin dia karena terpaksa. Aku lebih cinta sama Lina. Dia yang berhasil sentuh hati ku kak. Apalagi dia sekarang sedang mengandung anak aku,” ucapnya sembari melingkarkan tangannya di pinggang sang wanita paruh baya itu.
Plakkk…
Sebuah tamparan mendarat di pipi Reza. Dia tidak berani menatap mata sang kakak. Baru pertama kali dia melihat Sari begitu murka.
“Kamu udah sinting Reza!” ungkap Sari lalu dengan cepat berbalik meninggalkan mereka berdua.
Sejenak Reza berusaha menyusul kakaknya itu namun di tahan oleh Lina.
“Biarin aja sayang. Cepat atau lambat pasti keluarga mu akan tau. Apa kamu menyesal nikah sama aku?”
Reza menatap wajah istri sirinya dalam.
“Bagaimana mungkin aku bisa menyesal sayang. Menikah dengan mu itu kado terindah dalam hidup ku!” sergah Reza seraya memeluk wanita itu.
Lina tersenyum lalu mengangguk.
“Kalo gitu biarkan kakak mu pergi. Aku yakin suatu saat keluarga mu pasti akan menerima ku sebagai keluarga mereka juga.”
“Ya sudah. Jangan pernah lagi bilang kalo aku menyesal nikah sama kamu. Sakit tau hati ku ini kalo kamu bilang begitu.”
Wajah wanita itu memerah seketika. Reza kemudian mengajaknya masuk lagi kemudian menutup pintunya.
Bersambung