Part #38 : Petualangan Sexs Liar Ku
Siang itu setelah mengantar Annisa, Randy pulang ke apartemen. Tidak lupa dia membeli beberapa perlengkapan untuk Humaira dan ibunya.
Dia membeli beberapa setelah baju serta hijab yang biasa dikenakan oleh Icha. Dia tidak bisa terus-terusan melihat Icha mengenakan pakaiannya karena bisa membangkitkan nafsu binatang Randy yang sedang ia tahan.
Bukan apa-apa tapi terlalu banyak mengeluarkan sperma dapat membuat stamina menurun yang akan berpengaruh pada karirnya sebagai pebasket profesional.
Lagi pula hubungannya dengan Icha hanya sebatas mengasuh dan merawat anak mereka bersama, meskipun dalam lubuk hati yang paling dalam dia ingin kembali merasakan kehangatan tubuh Icha.
“Halo, nih papa bawa apa!” sergah Randy saat masuk ke dalam apartemen miliknya.
“Jajaja!” gumam Humaira senang ketika melihat Randy datang.
Tangannya ia kepah-kepahkan di permukaan ranjang. Setelah menaruh seluruh barang bawaannya di atas meja, Randy langsung merebahkan dirinya di samping Humaira sambil menghujani seluruh penjuru wajah anaknya dengan ciuman.
Tak berselang lama Icha keluar dari dapur sambil membawa botol susu yang ia kocok-kocok. Randy mendengus seraya merebut botol susu dari tangan Icha.
“No! Gue gak ijinin lu kasih susu formula ke Aira. Apa gunanya asi lu?”
Icha mencebikkan bibirnya.
“Randy, Aira itu minumnya banyak, asi aku tuh gak cukup, harus ada tambahannya.”
Randy masih pada pendiriannya.
“Mana ada gak cukup, lu nya aja yang males nyusuin. Apa mau gue peresin asi lu buat Aira?”
Mendadak wajah Icha berubah merah. Dia menggeleng cepat lalu berusaha merebut botol itu kembali, namun dengan reflek yang cepat Randy menepis tangan Icha.
“Udah terlanjur dibikin Ran!” keluh Icha.
“Susu ini biar gue yang minum, lu susuin Aira gih!” perintah Randy.
Icha mendengus kesal. Padahal sudah semalaman ia memberikan asi eksklusif kepada Aira dan Icha ingin sebentar saja beristirahat.
“Apa mau dituker?! Yang ini buat Aira, yang ini buat gue?!” ujar Randy seraya menggenggam benda bulat nan kenyal yang menggantung di dada Icha.
Sontak mereka berdua terkejut secara bersamaan. Icha terkejut karena salah satu area sensitifnya disentuh secara tiba-tiba. Randy terkejut karena Icha ternyata tidak mengenakan bra.
Icha mematung tak bergerak. Dengan cepat Randy menarik tangannya dari benda itu.
“Lu gak pake bh ya?”
Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu untuk dijawab.
“Bh darimana? Aku cuma punya 1 dan masih basah.”
Darah seolah berkumpul seluruhnya di wajah Icha, membuat warnanya merah merona. Disentuh begitu oleh orang yang emm…ia cintai membuat jantungnya seolah melompat ingin keluar.
“Gue udah beliin pakaian buat lu. Dicoba ya, kalo gak cukup entar biar gue tuker.”
Icha menunduk dan mengangguk pelan. Ia menyimpan senyumnya di dalam hati. Perhatian yang ditunjukkan Randy membuat dadanya menghangat, namun di lain sisi ia merasa sesak. Sesak karena mengetahui Randy tidak akan bisa dia miliki.
“Sekarang susuin Aira tuh. Anaknya udah kelaparan,” tunjuk Randy kepada Aira yang sedang tiduran di atas ranjang sambil mengulum jari-jari tangannya.
Icha menurut tanpa banyak protes. Terkadang pria itu sangat menyebalkan, tapi sifat menyebalkannya itu justru membuat setiap wanita tergila-gila.
Randy dengan santainya meminum susu formula yang sudah dibuatkan Icha untuk Humaira langsung dari dot-nya. Hal itu memicu gelak tawa dari anaknya. Humaira tertawa renyah melihat tingkah ayahnya yang bag bayi besar.
Randy melirik Humaira dengan mengangkat kedua alisnya. Humaira yang sudah disuguhi puting ibunya langsung mencaplok benda mungil nan kenyal itu, namun bola matanya masih fokus terhadap Randy.
Setiap kali Randy memasukkan dot itu ke dalam mulutnya, Humaira langsung tertawa membuat asi yang keluar dari buah dada Icha muncrat kemana-mana.
Dengan sengaja Randy melakukan itu berkali-kali. Icha yang semula kesal justru ikut tertawa melihat interaksi antara ayah dan anak itu, membiarkan asinya berceceran di atas ranjang.
“Ayo kita minum susu sama-sama Aira.”
Randy sudah berpindah ke samping Humaira. Dia telentang sambil mengenyot dot itu layaknya seorang bayi. Humaira menoleh menatap Randy sambil tertawa riuh, mengabaikan sumber makanannya sendiri.
Tanpa sengaja pandangan Randy dan Icha bertemu. Randy tahu itu hal yang konyol, tapi selama itu dapat menghibur anaknya, itu tidak menjadi masalah baginya.
Berbeda dengan Randy, Icha sama sekali tidak berpikir bahwa hal itu konyol, tapi itu adalah rasa kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya. Dan Icha saat ini sangat bahagia.
Pepatah yang mengatakan, habis gelap terbitlah terang mungkin ada benarnya. Setelah Icha melalui waktu yang berat, kini ia bisa merasakan kebahagiaan memiliki keluarga yang utuh. Dia sadar kalau Randy dan Humaira adalah semua yang ia butuhkan.
Setelah acara bercanda itu Humaira benar-benar menyusu pada Icha hingga tertidur. Randy juga sudah menghabiskan susunya yang ada di botol Humaira.
Randy kemudian bangkit untuk mandi karena tubuhnya sudah terasa lengket. Selesai mandi Randy dan Icha tengah duduk bersama di kursi meja makan. Sebelumnya memang Randy mengajak Icha untuk makan siang.
“Nih Cha, gue beliin khusus buat lu, dimakan ya.”
Randy menyerahkan kotak makan yang masih tertutup rapat. Dahi Icha mengernyit saat melihat isinya.
“Apa ini?!” heran Icha ketika ia hanya mendapati daun-daunan di kotak tersebut.
“Lu harus banyak sayur-sayuran biar badan lu seger. Liat nih kulit lu agak kendor, pasti deh sebelumnya lu kurang nutrisi,” sergah Randy sembari mencubit kulit Icha.
“Lu juga harus banyak olahraga, lari-lari de sekitaran apartemen aja pagi-pagi kan ada taman tuh, gak usah jauh-jauh,” imbuhnya lagi.
“Aduh Ran, aku pengin makan nasi. Mana kenyang makan sayur-sayuran doang.”
Randy mengeluarkan satu kotak lagi dari dalam tasnya.
“Ini nasi ayam bumbu pesmol, mau makan ini syaratnya jatuh habisin itu dulu.”
Icha mendengus kesal. Kenapa Randy jadi posesif begini dengan Icha? Tapi mengingat Icha numpang dan dapat makan secara gratis, dia tidak punya hak untuk protes.
“Tapi aku gak doyan sayur Ran.”
“Mulai sekarang lu harus doyan, karena tiap hari bakal gue kasih ini ke elu.”
Randy mengambil sumpit dari tempat peralatan makanan. Dia jepit sayuran itu dan mengarahkannya ke mulut Icha.
“Aaa….!!!” perintah Randy sambil membuka lebar mulutnya sendiri.
Icha terpaksa membuka mulutnya. Satu helai sayur berhasil masuk ke dalam mulutnya. Ia kunyah dengan memejamkan mata kuat berusaha tidak menghiraukan rasanya namun gagal.
“Gak enak Ran!”
Icha berusaha sekuat tenaga untuk menelan benda itu. Randy terkekeh singkat melihat perjuangan Icha hanya untuk memakan sayuran itu.
“Gak enak lah, kan gak ada bumbu sama sekali.”
Randy kembali menyuapi Icha lagi. Kali ini Icha hampir saja mengeluarkan isi dalam mulutnya. Buru-buru Randy bekap agar hal itu tak terjadi.
Air mata keluar dari sudut mata Icha. Randy benar-benar berhasil menyiksanya.
Setelah memberikan suapan terakhir, Randy baru menyerahkan nasi beserta lauknya. Icha memakannya dengan lahap. Meskipun lauknya tidak digoreng tapi ada rasa dilidah yang bisa ia nikmati.
“Ran!”
“Iya?”
“Gimana pendapat mu kalo aku cari kerja?”
Randy yang sedari tadi memandang Icha makan dengan lekat pun mengernyitkan dahinya.
“Kerja apa?” tanya Randy singkat.
“Ya apa aja, aku gak mau terus-terusan jadi beban mu, terus terang aku gak bisa balas semua kebaikan kamu, aku gak bisa bayar semua yang udah kamu kasih sama aku dan Aira.”
Randy mendengus kesal mendengar ucapan Icha. Ia majukan duduknya sembari menumpuk tangannya di atas tangan Icha yang berada di meja.
“Denger ya Cha, gue gak pernah anggap lu sebagai beban buat hidup gue. Lu gak perlu balas apapun, lu gak perlu bayar apapun. Cukup lu dan Aira ada di sini, itu udah bayaran yang cukup buat gue.”
Icha termangu, mulutnya membuka yang langsung ditutup oleh salah satu tangannya. Dia tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut Randy. Sebesar itu kah cintanya pada Aira?
Randy kemudian menyelipkan telapak tangannya di bawah jari jemari tangan Icha, hingga kini posisinya saling menggenggam.
Jantung Icha mendadak berdetak semakin keras membuat aliran darah yang ada di pembuluhnya mengalir dengan cepat.
“Aira sekarang udah jadi bagian dari hidup gue. Gue gak mau kehilangan dia lagi. So please, jangan pisahin gue sama Aira. Gue gak bisa hidup tanpa dia.”
Deggg…
Jantung Icha nyaris melompat. Untung dia tidak memiliki riwayat penyakit jantung, kalau iya mungkin sekarang dia sudah tidak ada.
Mata Icha berair. Dia mulai menangis terharu, terharu dengan kata-kata yang keluar dari mulut Randy.
Randy yang semula duduk kini berdiri masih menggenggam tangan Icha, membawanya ikut berdiri. Tanpa bisa ditahan lagi, Icha langsung menghambur ke pelukan Randy. Dibalasnya pelukan itu dengan erat. Icha membenamkan wajahnya di dada Randy yang bidang.
“Udah jangan nangis, kita bisa besarin anak kita sama-sama.”
Wajah Icha mendongak menatap mata Randy namun pelukan tak kunjung dilepaskan.
“Annisa?!” sebut Icha tanpa ada embel-embel apapun.
“Gue bakal terus terang sama dia. Kalo dia gak terima, gue bakal pilih kalian.”
Icha buru-buru menggelengkan kepalanya.
“Enggak, Annisa gak boleh tau kalo Aira itu anak mu. Dia bakalan sedih dan kecewa,” tolak Icha dengan yakin.
“Ssstttt…!!! Jangan merusak suasana dong, masalah itu kita pikirin nanti. Sekarang, cuma ada gue, lu, dan Aira.”
Perlahan kedua wajah mereka bergerak semakin mendekat. Randy bisa merasakan detak jantung Icha yang keras menghujam di dadanya.
Tanpa perlawanan Icha mengikuti arus yang ditimbulkan Randy. Hingga akhirnya bibir mereka saling bertemu.
Cuppp…
Icha merasakan waktu seolah berhenti saat itu juga. Tak ada gerakan, tak ada suara. Ini seperti mimpi, terlalu indah untuk menjadi kenyataan.
Icha kaitkan kedua tangannya di pinggang Randy, begitupun juga sebaliknya. Mereka berdua sama-sama memejamkan mata, menikmati momen itu bersama.
Rasa ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan saat mereka melakukan seks yang liar untuk pertama kalinya dahulu. Mungkin karena saat ini Icha telah jatuh cinta kepada Randy.
Sore itu Randy memutuskan untuk nge-gym agar staminanya bugar. Setelah mendaftar Randy berlatih dengan intens. Hari pertama memang selalu berat namun hal itu tidak mengurungkan niatnya untuk meningkatkan performa tubuhnya.
Kata dokter, Randy memiliki sistem metabolisme yang baik. Jadi tidak sulit bagi Randy untuk membentuk otot tubuh. Tanpa latihan pun Randy sudah memiliki tubuh yang atletis.
Selepas latihan gym, Randy mampir ke rumah Dewi. Sengaja dia membawa susu ibu hamil yang salah dibelinya tempo hari karena Dewi sedang hamil.
Tok…tok…tok…
Pintu dibuka oleh bu Lastri.
“Ehh Randy, kamu darimana? Kok tadi nyonya pulang bareng orang lain?” tanya Bu Lastri to the poin.
Randy mengangkat kedua bahunya seraya berkata.
“Gak tau, tanya aja sama Tante Dewi.”
Bu Lastri mendehem.
“Mana berani nanya masalah itu, tapi kayaknya tadi nyonya ceria banget waktu pulang.”
“Mana ku tau, inih!” ucap Randy sambil menyerahkan satu dus susu yang telah dibungkus rapi.
“Apa ini?”
“Kepo! Tinggal kasihan sama dia, jangan dibuka awas loh.”
“Iya,” jawab Bu Lastri singkat.
“Ehh Ran, emang semalam kalian habis kemana?”
“Emang kenapa?”
“Gak papa, soalnya den Reihan nangis terus karena dari tadi malam sampe siang ini ibunya belum pulang, baru pulang beberapa jam yang lalu. Kamu juga gak ada, bikin dia tambah marah,” jelas Bu Lastri panjang lebar.
“Tapi sekarang udah enggak papa kan?”
“Den Reihan lagi tidur.”
Randy mengangguk pelan.
“Kalo gitu Randy permisi dulu.”
Belum sempat Randy melangkahkan satu jengkal pun tiba-tiba namanya dipanggil.
“Randy!”
Sontak dia menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari dalam. Dewi muncul di hadapan Randy dengan mengulas senyuman.
“Eh bi, tolong ke dapur ya, tadi lagi manasin sup lupa belum dimatiin.”
“Baik nyonya.”
Setelah Bu Lastri pergi, Dewi langsung menarik tangan Randy masuk ke dalam, namun sejenak Randy menahannya. Hal itu membuat Dewi terkejut.
“Masuk dulu Ran!” ajak Dewi.
“Gak usah Tante, Randy ke sini cuma mau kasih susu ibu hamil aja buat Tante.”
Mendengar itu, Dewi menarik sudut bibirnya ke samping.
“Makasih sayang, kamu perhatian banget deh sama calon bayi mu,” ujar Dewi sembari mengelus pipi Randy.
Randy menurunkan tangan Dewi seraya tersenyum kecut. Hal itu membuat Dewi terkejut.
“Lebih baik kita akhiri aja hubungan gelap ini Tante.”
Deggg…
Dewi membuka mulutnya. Senyum yang tadi tersungging lenyap dalam sekejap. Rasa sesak tiba-tiba saja menyeruak di dalam dada.
“Apa maksud kamu Ran? Tante gak ngerti.”
Randy mengusap-usap dahinya sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Randy rasa Tante udah menemukan pengganti Randy, kan?”
Dewi tak merespon perkataan Randy. Ia tutupi mulutnya dengan telapak tangan. Matanya sudah berkaca-kaca hendak menangis.
“Randy gak pernah liat Tante sebahagia itu saat sama om Pram, itu udah jadi bukti kalo apa yang dirasain Tante ke om Pram beda dengan apa yang dirasain ke Randy.”
“M…maaf…”
“Gak usah minta maaf Tante,” potong Randy sambil memaksakan senyuman.
“Tante gak salah, mungkin perasaan Tante sama Randy tumbuh karena kedekatan Randy sama Reihan. Tapi yang namanya perasaan cinta gak bisa dibohongi, kan?”
“Ran…Randy ini…”
“Randy gak papa kok, saya udah seneng pernah jadi bagian dari hati Tante. Mulai sekarang kita buka lembaran baru. Saya sebagai supir pribadi Tante, Tante sebagai majikan saya.”
Randy memeluk Dewi yang menangis sesenggukan.
“Lakukan apa yang buat Tante bahagia. Randy gak akan ngadu apa-apa soal om Pram, tapi Tante tetap harus hati-hati.
“Ran, jangan bilang gitu hiks… Tante bener-bener sayang sama kamu hiks…”
Dielusnya rambut Dewi yang hitam dan lurus.
“Tante tenang aja, apapun yang terjadi sama kita gak akan merubah rasa sayang saya sama Reihan, karena rasa sayang Randy tulus sama Reihan.”
“Bu…bukan itu masalahnya Ran, tapi…”
“Papa!”
Tiba-tiba Reihan keluar dengan senyum lebar namun mata sayu. Randy lepaskan pelukan Dewi lalu merendahkan tubuhnya hingga sejajar dengan Reihan sembari merentangkan tangannya. Dengan cepat Reihan melompat ke dalam pelukan Randy kemudian diangkatnya ke gendongan.
“Kirain Reihan lagi tidur.”
“Dah angun!” jawab Reihan cepat.
Reihan memandang ibunya dengan melongo.
“Mama angis?”
Dewi buru-buru menggeleng.
“Enggak kok, mama gak nangis,” jawab Dewi dengan memaksakan senyuman.
“Papa angen ain aset!” (Papa kangen main basket)
Randy terkekeh, diciumnya pipi Reihan yang tembem membuat Dewi yang melihatnya tersentil. Randy benar-benar tulus menyayangi anaknya.
“Iya nanti kapan-kapan Reihan ikut papa main basket lagi ya, tos dulu!”
Mereka pun melakukan tos di udara.
“Ya udah papa pulang dulu ya, kapan-kapan papa ke sini lagi.”
“Papa kut!” ujar Reihan menggeleng sembari memegangi kerah Randy dengan kuat.
“Mama kasihan sendiri kalo Reihan ikut sama papa.”
Setelah dibujuk beberapa kali akhirnya Reihan mau turun dari gendongan Randy. Meskipun mereka bukan sedarah namun ikatan mereka cukup kuat. Reihan juga mulai tertarik dengan profesi yang ditekuni oleh Randy.
Randy pulang dengan perasaan berkecamuk. Tapi dia meyakini kalau ini jalan yang terbaik. Ada beberapa hal yang Randy pertimbangkan atas keputusannya ini, salah satunya adalah istri Pram sekaligus anak pertama Adibah. Dia memiliki rencana.
“Annisa?!” panggil seorang wanita paruh baya dengan lembut dan tenang seolah tidak terjadi apa-apa siang tadi.
“Iya bunda?”
Annisa mendekati Adibah yang tengah duduk di sofa panjang ruang tengah. Selepas isya Adibah memilih untuk bersantai untuk memulihkan kakinya yang pegal. Ada yang mau dibicarakan Adibah kepada anak perempuannya itu.
“Duduk dulu nak,” pinta Adibah sambil menepuk-nepuk permukaan sofa yang ada di sebelahnya.
Annisa pun menuruti permintaan ibunya itu. Tiba-tiba perasaannya tidak tenang. Biasanya kalau Adibah bersikap begitu pasti ada hal yang akan diminta olehnya yang harus dituruti.
“Ada apa Bun?” tanya Annisa dengan gelisah.
Bagaimana pun juga dia masih mengingat kejadian tadi siang antara ibunya dan kekasihnya. Dia takut kalau hal itu akan dibahas lagi, soal apakah dia tertekan atas semua sikap Adibah terhadapnya.
“Bunda mau cerita, tapi kamu janji jangan potong pembicaraan bunda dulu, dengerin sampai selesai.”
Annisa hanya mengangguk pelan. Sungguh dia tidak bisa mengatur irama jantungnya sendiri. Pandangan ibunya lembut namun auranya penuh dengan tekanan.
“Begini, kamu tau kan kiai Jamal?”
Annisa mengernyitkan dahinya seraya menganggukkan kepala. Dia tahu kiai Jamal adalah guru dari almarhum ayahnya sekaligus sahabat kakeknya. Dia adalah pemilik salah satu pondok pesantren terkenal di Semarang dan co-owner dari pesantren milik keluarganya ini.
Dia adalah salah satu sosok yang paling berpengaruh terhadap berkembangnya pesantren ini. Tapi yang jadi masalah, kenapa tiba-tiba bundanya membicarakan tentang dia?
“Jadi sejak kamu SMP beliau sudah menanyakan kamu terus. Beliau berterus-terang kalau beliau tertarik sama kamu, tapi dulu kamu masih SMP jadi bunda belum bisa balas apa-apa sama beliau.”
Deggg…
Annisa tertegun mendengar penuturan Adibah. Dia tahu arti kata tertarik yang bundanya maksud, tapi tidak ada salahnya untuk memastikan, sambil berharap bahwa apa yang dipikirkan tidak sesuai pada kenyataan.
“M…maksud bunda?”
Adibah menghembuskan nafas dalam seraya menyentuh kedua bahu Annisa dari belakang, mengantisipasi reaksi anaknya yang berlebihan.
“Beliau ingin mempersunting kamu sebagai istrinya.”
Jedarrr…!!!
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Annisa terdiam dengan mulut membuka sempurna. Matanya menatap sebuah toples yang berada di atas meja, seolah benda itu sangat menarik di matanya.
“Tadi siang sebelum pulang ke rumah, bunda bertamu ke rumah kiai Jamal untuk membahas masalah ini. Beliau juga sudah tau mengenai keadaan kamu yang sudah tidak perawan lagi. Awalnya kiai Jamal agak kecewa tapi setelah mempertimbangkan semuanya, beliau mau menerima kamu dengan keadaan ini,” jelas Adibah panjang lebar.
Tubuh Annisa melemas dengan sekejap. Dia tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang lebih pantas menjadi kakeknya ketimbang suaminya.
“Bunda, Nisa gak mau nikah sama dia. Lagi pula kiai Jamal udah punya empat istri, dalam agama seseorang lelaki cuma bisa beristri maksimal empat dan gak boleh nambah lagi,” bela Annisa ngotot.
“Kamu lupa ya, istri pertama kiai Jamal wafat beberapa bulan yang lalu dan sekarang beliau cuma punya tiga istri, kamu bisa menikah sama beliau.”
Tangan Annisa bergetar. Bukan hanya hatinya yang menolak namun tubuhnya pun bereaksi serupa. Air mata tak mampu lagi dibendung oleh Annisa. Dia tahu betapa susahnya untuk membantah perkataan ibunya itu.
“Tapi bunda, umur dia itu hampir tujuh puluh tahun, bedanya hampir setengah abad sama Nisa. Nisa gak mau nikah sama dia, Nisa gak cinta!” sergah Annisa dengan nada tinggi.
Itu untuk pertama kalinya Annisa berkata demikian keras. Biarlah dia dikatakan anak durhaka, dia tidak bisa tinggal diam begitu saja. Ini urusan kebahagiaan dan masa depannya.
“Annisa! Apa artinya cinta kalo kamu masuk neraka?! Bunda ingin kamu nikah dengan orang yang bisa bimbing kamu masuk surga! Bukan dengan berandalan seperti Randy. Sadar kamu sudah di perdaya sama dia!” balas Adibah tidak kalah keras.
Sungguh apapun yang dikatakan oleh Annisa sama sekali tidak bisa merubah pendirian Adibah. Dadanya sesak, Annisa sudah lelah hidupnya terus disetir oleh bundanya.
“Nisa, kalo kamu mau bahagia diakhirat, kamu harus melupakan yang namanya cinta, cinta itu berasal dari hawa nafsu. Kalo kamu bisa mengontrolnya kamu bisa hidup bahagia. Ini semua bunda lakukan demi kebaikan kamu!”
Annisa menatap wajah Adibah dengan tajam. Hal itu membuat Adibah terkejut karena baru pertama kali ditatap seperti itu oleh anaknya.
“Kebaikan?! Kebaikan apa? Mungkin kebaikan untuk bunda sendiri, bunda ngejual anaknya sendiri!”
Plakkk…!!!
Satu tamparan sukses mendarat di pipi kiri Annisa. Adibah tersulut emosi.
“Annisa! Sejak kapan kamu berani membantah bunda!? Pasti ini gara-gara doktrin dari berandalan itu ya! Dia sudah membawa pengaruh buruk sama kamu! Itu membuat bunda semakin yakin atas keputusan bunda ini.”
Annisa masih terisak sambil memegangi pipinya yang barusan ditampar. Rasa sakit dihatinya jauh lebih besar daripada sakit difisiknya.
“Perlu kamu tau Annisa, bunda gak dapet apa-apa dari pernikahan kalian. Ini semua murni demi kebaikan kamu!”
Annisa tak bergeming. Dia menangis tanpa suara. Lidahnya kelu tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi untuk menyanggah ucapan Adibah.
Adibah bangkit dari duduknya. Sebelum melangkah pergi dia kembali berkata.
“Bunda sudah menyetujui pernikahan kamu sama kiai Jamal. Sekarang kamu dalam proses ta’aruf sama beliau. Nanti bunda yang urus masalah khitbahnya,” ucap Adibah dijeda.
“Besok kiai Jamal mau silaturahmi ke sini. Kamu temui dulu beliau, carilah kecocokan di antara kalian.”
Adibah memutar kepalanya ke arah Annisa.
“Bunda pesen sama kamu, jangan lihat dari paras atau usianya, tapi lihat dari ilmu agamanya,” cetus Adibah lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar meninggalkan Annisa yang diam membeku.
Ini adalah mimpi buruk bagi Annisa!
Bersambung