Part #34 : Waktu berjalan dengan begitu cepat
Waktu berjalan dengan begitu cepat. Tak terasa, sudah 2 bulan Haris dan Anin menjalani kehidupan mereka yang baru sebagai suami istri. Anin sudah pindah, sekarang tinggal bersama dengan Haris, dan tentu saja Rani. Sejak awal kepindahan Anin, Rani tampak senang sekali, dan langsung dekat terus dengan Anin. Anin sendiri juga terlihat sangat senang. Maklum saja, Anin adalah anak tunggal yang tak pernah merasakan punya seorang adik, jadi dengan adanya Rani dia bisa merasakan menjadi seorang kakak.
Haris melihat hal itu tentu saja merasa sangat senang. Sebelumnya, dia sempat khawatir kalau kehadiran Anin akan mengganggu bagi Rani, atau sebaliknya, adanya Rani akan mengganggu Anin. Atau bisa jadi juga, Rani tidak akan menyukai kehadiran Anin. Tapi ternyata sampai sekarang ketakutannya itu sama sekali tak terbukti. Bahkan kalau dipikir-pikir, justru Rani terlihat lebih dekat dengan Anin ketimbang dirinya. Bahkan hampir setiap hari mereka berangkat ke kampus bersama dengan menggunakan mobil Haris, sementara Haris tetap pulang pergi kantor naik motor, lebih cepat katanya. Hanya saja bedanya kalau pulang tidak selalu bersama, karena perbedaan jadwal Anin dan Rani. Saat tidak pulang dengan Anin, biasanya Rani akan dijemput oleh Gavin.
Dan satu hal lagi yang membuat Haris semakin bahagia adalah bahwa Anin telah positif hamil. Kabar bahagia itu langsung saja dia beritahukan ke orang tuanya, dan juga mertuanya. Tentu saja mereka senang mendengarnya, dan tak sedikit memberikan nasehat kepada Anin bagaimana untuk menjaga kandungannya. Usia kandungan Anin kini sudah memasuki minggu ke 6. Haris juga bersyukur selama hamil Anin tak pernah ngidam macam-macam. Apa yang diinginkan Anin selama ini masih batas wajar sehingga Haris tak perlu kerepotan. Selain itu sampai saat ini Anin juga tidak pernah mengeluh mual atau sampai muntah-muntah yang membuatnya lemas, semua masih wajar-wajar saja.
Aktivitas mereka sudah kembali seperti biasa. Haris dengan kesibukan kantornya, Anin yang mulai sibuk mengajar karena sudah diangkat menjadi dosen tetap dan dibebani mata kuliah, dan Rani dengan kuliahnya. Hanya Haris yang harus menghabiskan waktu lebih banyak di tempat kerjanya. Hal ini karena seperti yang pernah dikatakan oleh Eva kepadanya, bahwa saat dia kembali masuk setelah cuti menikah, Tommy yang merupakan seniornya disitu langsung dipindah tugas ke luar pulau untuk diangkat ke posisi yang lebih tinggi. Ditambah lagi kabar kurang mengenakkan dari Eva yang baru saja dia terima kemarin, kalau ternyata proses rekrutmen karyawan baru harus tertunda, yang membuat dia harus lebih lama bekerja sendirian di divisinya.
Namun selain hal itu, ada hal baik lain yang juga telah dialami oleh Haris. Hanya seminggu setelah dia kembali masuk kerja lagi setelah cutinya, dia mendapatkan SK promosi dari kantor pusat. Sekarang, dia resmi menjadi kepala divisi personalia menggantikan kedudukan Eva.
Selain itu, karena dia mencover pekerjaan 3 orang sekaligus selama belum ada tambahan karyawan baru ini, dengan semua beban tambahan yang diberikan kepadanya, dia mendapatkan insentif yang tidak sedikit. Gaji pokoknya saja sudah naik cukup banyak, belum lagi ditambah uang lemburnya yang dihitung dari gaji pokoknya sekarang. Akhir bulan lalu, Haris sampai terbengong melihat berapa uang yang masuk ke rekeningnya. Dia sama sekali tak menyangka kalau jumlahnya sampai sebesar itu.
Tapi di sisi lain, ketika menerima SK promosi jabatannya, Haris sudah menyadari kalau nama Viona sudah pasti dicoret dari perusahaan. Jika dia sudah menempati posisi ini sekarang, artinya Eva sudah tak mungkin lagi kembali kesini, sudah akan menetap di kantor pusat. Sempat beberapa hari yang lalu dia nekat menghubungi Lidya lagi, untuk menanyakan perkembangan kasus Viona, tapi jawabannya masih sama, sama sekali tidak ada petunjuk.
“Nggak tau Ris, bener-bener nggak bisa dilacak ada dimana dia sekarang. Kami juga udah bingung harus gimana lagi,” jawab Lidya kala itu.
Terasa sekali kalau Lidyapun seperti sudah putus asa mencari keberadaan Viona, begitu juga Haris yang sekarang hanya bisa pasrah, sambil berharap tidak ada hal buruk yang terjadi pada wanita itu.
Untuk saat ini, Haris lebih memikirkan untuk fokus pada pekerjaannya sendiri, dan juga untuk keluarga kecilnya, terutama istrinya yang sedang hamil muda. Di kantor, Haris tadinya sempat khawatir kalau promosinya yang terlalu cepat ini akan menimbulkan kecemburuan dari karyawan lain yang sudah lebih lama bekerja daripada dirinya. Tapi ternyata kekhawatirannya tidak terjadi. Yang ada malah mereka ikut senang dan sangat mendukung Haris menempati posisi itu.
“Mereka tidak melulu melihat masa kerja Ris, tapi yang paling penting adalah kinerja kamu. Selama ini kamu sudah membuktikan kalau kamu layak di posisi itu, makanya semua orang di kantor ini sangat mendukung,” ucap pak Eko beberapa waktu lalu saat Haris mengutarakan isi hatinya.
“Hehe iya pak. Tadinya saya udah takut mereka bakal nggak suka dengan ini, tapi ternyata mereka malah mendukung.”
“Ya wajar kalau kamu punya ketakutan seperti itu. Tapi sebaiknya nggak usah dipikirin terlalu jauh. Lagian kan kamu dan mereka sudah beda bagian, dan di bagianmu, hanya tinggal kamu satu-satunya orang. Apalagi selama ini kamu udah nunjukin walaupun cuma sendiri, pekerjaan di bagianmu selalu bisa selesai tepat waktu, jadi nggak ada alasan buat mereka iri sama kamu.”
“Iya pak. Saya bener-bener makasih sama pak Eko, yang udah banyak banget ngebantu saya selama ini.”
“Yaa itu berkat kinerja kamu juga Ris.”
Tapi meskipun sudah mulai bisa menikmati posisi barunya, Haris masih tetap berharap kalau dia bisa segera mendapatkan karyawan baru untuk membantunya. Saat ini memang dia sudah tidak terlalu keteteran dengan harus mengcover pekerjaan 3 orang sekaligus. Dia sudah bisa memanage dengan baik pekerjaan-pekerjaan itu sehingga tidak lagi pulang larut malam seperti sebelumnya. Tapi tetap saja, dia masih pulang melebihi dari jam pulang yang seharusnya.
Haris tidak ingin terlalu lama seperti itu, karena dia ingin menghabiskan lebih banyak waktunya di rumah, mencurahkan segala perhatiannya untuk istrinya yang sedang hamil. Sayang, sampai sekarang dia belum bisa melakukan itu. Tapi beruntung Anin sangat pengertian dengan kesibukan suaminya. Dia sudah tahu bagaimana kondisi di kantor Haris, baik itu dari cerita Haris sendiri maupun dari pak Eko.
Satu hal lagi yang membuat Haris lega, selama ini sejak kemunculan Titus di hari pernikahannya, tidak pernah ada gangguan yang datang ke dia, ataupun Anin. Haris tidak tahu apakah semua ini karena penjagaan yang diberikan oleh ayah mertuanya atau memang Titus tidak melakukan apapun untuk menganggunya. Dia memang benar-benar tak tahu siapa yang ditugaskan untuk menjaga mereka, tapi dia tak ambil pusing. Yang penting adalah selama ini tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Semua berjalan dengan normal, seperti apa yang diinginkan oleh Haris dan Anin.
===
+++
Perubahan yang terjadi tidak hanya dirasakan oleh Haris dan Anin, tapi juga oleh Rani. Sejak Anin pindah ke rumah itu, dia memang merasa sangat senang dengan kehadiran kakak iparnya itu. Dia bisa banyak cerita hal-hal yang selama ini tidak bisa dia ceritakan pada Haris. Karena sama-sama perempuan, itulah yang membuat Rani begitu terbuka dengan Anin, dan justru lebih dekat dengan Anin ketimbang dengan Haris. Tapi tentu saja, tetap ada hal yang tidak bisa dia ceritakan kepada Anin, yaitu sejauh mana hubungannya dengan Gavin.
Selain itu, Anin yang sekarang sudah menjadi dosen di kampusnya, sangat membantunya dalam mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Dia jadi punya tempat bertanya yang pas, dan selalu mendapat jawaban yang tepat dari Anin. Bahkan tak jarang jika ada tugas kelompok, mereka mengerjakan itu di rumah Rani, dengan adanya Anin yang membimbing mereka, apalagi beberapa dari teman Rani ada yang kelasnya diajar oleh Anin.
Tapi ada satu hal yang saat ini cukup mengganggu pikiran Rani, yaitu waktu bertemu dengan Gavin yang semakin berkurang. Sejak adanya Anin di rumah, geraknya memang lebih terbatas. Dia tak bisa lagi bebas keluar rumah. Kalau dulu paling hanya sekedar ijin kepada Haris, malah lebih seringnya dia tidak ijin, langsung pergi saja. Tapi sekarang karena ada Anin di rumah, ditambah lagi Anin juga tahu jadwal-jadwal kuliah Rani, maka dia agak kesulitan untuk meminta ijin untuk bertemu Gavin.
Bagi Rani sendiri, sebenarnya dia tidak terlalu masalah, malahan dia merasa lebih baik seperti itu. Meskipun telah menyerahkan tubuhnya kepada Gavin, dan mulai dibuat menyukainya, tapi sebagian hati Rani yang selama ini menolak dan memberontak seperti mendapat dukungan dengan adanya Anin. Perlahan dia mulai menyadari kesalahannya itu, meskipun kemudian tak bisa menolak sama sekali jika sudah bersama dengan Gavin.
Yang membuat Rani agak bingung adalah sekarang Gavin sering mengeluh kepadanya tentang waktu mereka yang sangat jauh berkurang ketimbang sebelum Anin pindah ke rumahnya. Seperti beberapa hari yang lalu saat Rani main ke rumah Gavin.
“Yank, kayaknya waktu kita berduaan udah makin berkurang aja nih?”
“Yaa mau gimana lagi yank? Aku kan nggak bisa sembarangan pergi kayak dulu, sekarang ada mbak Anin di rumah.”
“Yaa tapi kan bisa alesan apa gitu.. emang kamu nggak kangen sama aku?”
“Yaa kangen lah yank. Tapi kan sekarang kalau pulang pergi kampus aku sering bareng mbak Anin. Cuma beberapa kali aja bisa bohongin dia, soalnya dia kan tau jadwalku kayak gimana.”
“Tapi ya kalau bisa diusahain lah yank. Nggak enak banget ini, biasanya seminggu kita bisa main 3-4 kali, ini seminggu 2 kali aja udah sukur.”
“Iya, sabar ya yank, entar aku coba pikirin ya gimana caranya.”
Rani merasa bingung. Di satu sisi, dia memang sangat mencintai Gavin. Bagaimana tidak, dia sudah menyerahkan hartanya yang paling berharga kepada pria itu, tentu saja dia takut Gavin akan meninggalkannya karena dianggap mulai berubah karena jarang bisa menemuinya. Tapi disisi lain, dia juga merasa sungkan dengan Anin. Apalagi sekarang kakak iparnya itu sedang hamil muda. Dengan masih sibuknya Haris di kantor, maka Ranilah yang selama ini sering membantu apa saja yang diperlukan oleh Anin, meskipun Anin sendiri sebenarnya tidak pernah meminta.
Rani dengan senang hati membantu kakak iparnya itu, karena menyadari suatu saat dirinya akan mengalami hal itu juga, yaitu hamil. Dia ingin tahu bagaimana kondisi orang ketika hamil, apa saja yang dirasakan, apa saja yang dikeluhkan, dan hal-hal semacam itu. Meskipun pastinya setiap wanita beda-beda, tapi paling tidak dengan seperti ini dia bisa sedikit mengambil pengalaman.
Dengan adanya Anin di rumah juga, dia yang dulunya rela bolos kuliah untuk menemui Gavin sekarang tidak pernah lagi melakukannya. Bukan hanya karena Anin bisa tahu kalau dia bolos, tapi dia juga mendapat semangat dari Anin untuk bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Hal yang diharapkan oleh Rani, tapi tidak disukai oleh Gavin, yang membuat mereka sempat bertengkar kecil.
“Ya kamu ngertiin aku dong sayang, kalau aku lulus kuliahnya tepat waktu, kita kan bisa secepatnya nikah. Emang kamu nggak pengen kayak gitu?”
“Ya pengenlah yank. Tapi sesekali bolos kan nggak papa, nggak akan terlalu ngaruh juga kan?”
“Iya memang. Tapi aku beneran pengen fokus sama kuliahku yank.”
“Jadi kamu mau fokus sama kuliah aja? Bukan sama hubungan kita juga?”
“Sayang, kamu kok gitu sih ngomongnya?”
“Ya habisnya, kamu kayak udah nggak mentingin aku lagi sih. Tiap diajak ketemu, alesannya urusan kuliah mulu. Sementara aku, udah berapa kali coba bela-belain bolos kerja cuma buat bisa berduaan sama kamu?”
Rani sempat terdiam waktu itu. Dia mulai tersulut emosinya, dan bahkan hampir melontarkan sebuah pilihan kepada Gavin, mau mengerti dengan kondisinya sekarang, atau lebih baik memutuskan hubungan saja. Tapi kemudian hal yang dia takutkan kembali menghantuinya. Dia tak ingin Gavin meninggalkannya, setelah apa yang dia berikan untuknya.
“Ya udah iya, aku minta maaf. Aku akan usahain cari waktu yank, tapi kamu yang sabar ya, tolong yank ngertiin aku,” pinta Rani memelas.
Gavin terdiam, tapi dalam hati dia tertawa. Sebenarnya dia tidak serius marah kepada Rani, hanya ingin mengetes gadis itu saja, sejauh mana dia tidak ingin ditinggalkan. Ternyata sesuai dengan prediksinya, bahwa Rani memang takut untuk ditinggalkan.
“Ya udah yank, aku juga minta maaf kalau kesannya maksain. Tapi beneran deh yank, aku tuh nggak bisa lama-lama nggak ketemu kamu, kamu juga ngertiin aku ya?” ucap Gavin menurunkan nada bicaranya.
Rani hanya mengangguk kemudian memeluk Gavin sambil sesenggukan. Sementara di dalam hati, Gavin makin lebar tertawa. Dia sudah berhasil membuat Rani takluk padanya. Paling tidak, rasa takut untuk ditinggalkan olehnya sudah ada, tinggal bagaimana membuat Rani benar-benar lebih mementingkannya daripada urusan lain. Gavin tidak ingin buru-buru melakukan itu, dia ingin melakukannya perlahan. Selain itu, ada hal lain yang sekarang menjadi tujuannya.
Sebenarnya sempat terpikir oleh Rani untuk mencari tempat kost saja, seperti dulu sebelum Haris membeli rumah ini. Dia bisa bebas tanpa ada yang mengawasi sehingga bisa bebas menentukan kapan bertemu dengan Gavin, dan dia juga masih bisa mengunjungi kakak dan kakak iparnya. Tapi itu adalah hal yang mustahil untuk saat ini. Dia tidak punya alasan yang cukup kuat untuk mengatakan keinginannya itu kepada Haris.
Bisa jadi Haris akan berpikir ada sesuatu yang terjadi antara dia dan Anin, padahal selama ini hubungan mereka baik-baik saja. Lagipula, Rani memang sangat patuh terhadap Haris. Selama ini yang membiayai kuliahnya adalah Haris. Uang sakunya juga Haris yang memberikan, dia tak pernah meminta lagi kepada kedua orang tuanya. Rasanya jika bermasalah dengan Haris ataupun Anin, atau sengaja membuat masalah dengan keduanya, salah-salah orang tuanya juga akan ikut marah padanya.
Mereka nantinya pasti berpikir kalau yang membuatnya seperti itu adalah Gavin. Dan bisa jadi, mereka akhirnya malah akan melarang dia berhubungan dengan Gavin, padahal sudah jelas dia tidak ingin ditinggalkan oleh pacarnya itu.
Tapi, baru semalam Gavin mempunyai ide yang dikatakan kepada Rani. Dia bilang, akan mencoba untuk lebih mengakrabkan diri dengan Anin. Rani sempat bertanya untuk apa, tapi Gavin bilang jika dia sudah mendapatkan kepercayaan penuh dari Anin, bisa saja Anin akan dengan mudah memberi ijin kepada Rani juga dia ajak keluar. Setelah memikirkan ide itu, Ranipun akhirnya setuju.
===
+++
“Pa, udah 2 minggu ini Gavin sering main kesini lho,” ucap Anin saat sedang berbaring di ranjang bersama dengan Haris.
Panggilan merekapun sudah berubah, dengan panggilan mama papa. Yang pertama kali memanggil seperti malah Anin, saat dia memberikan kejutan kepada Haris berupa testpack yang menunjukkan kalau dirinya positif hamil, kurang lebih 2 bulan yang lalu.
“Oh ya? Kapan? Kok papa nggak pernah ketemu?” Haris masih terus mengusapkan tangannya ke perut istrinya, meskipun belum terlalu ada perubahan berarti.
“Yaa kan papa pulangnya malem-malem terus. Dia kesininya sore, kalau pulang kerja pa. Kadang suka bawain mama makanan juga.”
“Wah, iya tho?”
“Iya pa. Dan tau nggak, entah kebetulan, atau mungkin Rani yang ngasih tau, tapi makanan yang dia bawa itu selalu pas banget sama yang lagi mama pengenin pa.”
“Wah, haha. Jadi ngidamnya mama udah dapet dari Gavin dong?”
“Iya, hehe.”
Memang sejak mengatakan idenya kepada Rani, mulai keesokan harinya Gavin mulai datang ke rumah ini. Dia beralasan mampir ingin menemui Rani yang memang saat itu sudah berada di rumah dengan Anin. Dan waktu itu Gavin juga sudah mulai membawakan makanan, persis seperti apa yang diinginkan Anin.
Anin sempat melirik ke arah Rani, tapi Rani sendiri juga kelihatan kaget karena makanan itu memang yang diinginkan Anin, yang baru saja dibilang Anin kepada adik iparnya itu. Jadi saat itu Anin tidak tahu apakah itu hanya hanya kebetulan atau memang Rani yang meminta Gavin membawakannya, tapi saat itu Anin yakin dari ekspresi Rani kalau itu hanya kebetulan.
Tapi keesokan harinya, ketika Gavin datang lagi, dia membawakan makanan yang berbeda, yang lagi-lagi sama persis dengan yang diinginkannya. Dan Anin mulai curiga kalau Rani yang memberi tahu Gavin, meskipun ketika di desak Gavin tidak mau mengakuinya. Tapi akhirnya Anin tak ambil pusing dengan semua itu, dia hanya berpikir kalau Gavin hanya berniat baik kepadanya, jadi tak perlu curiga macam-macam.
“Kalau itu sih pasti Rani yang ngasih tau ma. Terus, si Gavinnya gimana?”
“Ya nggak gimana gimana sih pa. Tapi, Gavin tuh kayak lagi ngedeketin mama gitu pa. Apa mungkin biar mama bener-bener kasih restu ke dia ya?”
“Loh, maksudnya gimana ma? Emang selama ini mama nggak setuju kalau Rani sama Gavin?”
“Bukan gitu pa, bukannya nggak setuju, tapi gimana yaa.. hmm gini, maaf ya pa kalau mama baru cerita sekarang.”
Haris terdiam sebentar menatap istrinya. Tiba-tiba Anin berkata seperti itu, apa yang dia pendam selama ini darinya? Bukankah selama ini mereka saling terbuka satu sama lain?
“Emang ada apa ma? Ada yang mama sembunyiin dari papa?”
“Sebenarnya bukan disembunyiin pa. Mama juga udah sempet mau kasih tau, tapi mama belum yakin aja.”
“Ya udah kalau gitu, sekarang sampein aja ma. Soal apa emangnya?”
“Soal Gavin pa.”
“Kenapa dengan Gavin?”
“Jadi gini, sebenernya waktu pertama kali kita diajak ketemu sama Gavin, mama waktu itu ngerasa, ada sesuatu sama dia.”
“Sesuatu? Maksud mama?”
“Tadinya mama juga bingung. Entah kenapa mama kok ngerasa nggak sreg aja sama dia pa.”
“Hmm, bentar deh. Kayaknya waktu itu nggak ada yang salah sama Gavin ma? Kita kan ngobrol biasa-biasa aja. Dan kayaknya mama waktu itu juga setuju-setuju aja soal Gavin sama Rani?”
“Iya pa, makanya mama bilang tadi masih ragu.”
“Hehe, papa jadi bingung ma. Jadi sebenarnya ada apa?”
“Dari awal itu, kan mama udah ngerasa kurang sreg sama dia, tapi mama juga nggak tau kenapa, makanya mama belum mau ngomong sama papa. Apalagi waktu itu dia sikapnya baik gitu, seolah nggak dibuat-buat, apa adanya.”
Haris mengangguk. Dia sepakat dengan Anin, karena saat itu dia memang tidak melihat ada yang salah dengan Gavin, meskipun dilihat dari kacamata psikologi yang dimiliki Haris. Aninpun melanjutkan ceritanya.
“Nah sampai kemarin itu, mama juga masih ngerasa bingung pa, padahal kan Gavin mulai sering kesini, yaa mencoba untuk lebih akrab gitu lah. Dan baru kemarin itu mama ngerasa kalau perasaan mama dulu beralasan.”
“Jadi udah ketemu alasannya kenapa mama nggak sreg sama dia?”
“Iya pak.”
“Apa alasannya?”
“Papa sadar nggak, selama ini tiap ketemu sama Gavin pasti dia pakai pakaian lengan panjang?”
Haris diam, mencoba mengingat-ingat pertemuan-pertemuannya dengan Gavin.
“Iya juga sih ma, kayaknya pakai lengan panjang terus deh. Emang kenapa ma? Mama liat sesuatu?”
“Iya. Jadi kemarin waktu dia kesini, dia kan ijin numpang kamar mandi. Kebetulan waktu itu mama lagi di dapur. Nah pas dia keluar, lengan kemejanya itu diangkat agak tinggi pak, disitu mama ngelihat kalau tangannya Gavin ada tatonya.”
“Tato?”
“Iya pa.”
“Dimananya?”
“Di sekitar sikunya gitu pa, di tangan kirinya.”
“Hmm, terus?”
“Yaa mungkin Gavin nggak sadar kalau mama liat itu, dia diem aja.”
Haris kembali terdiam, mencoba menarik kesimpulan dari cerita Anin. Jadi istrinya menjadi yakin setelah melihat tato di tangan Gavin. Dia yakin dengan perasaan kurang sregnya pada pacar Rani itu.
“Jadi karena itu ma, mama jadi kurang sreg sama dia?”
“Iya. Kemarin juga waktu si Gavin pulang, mama sempet nanya sama Rani, dia tau nggak kalau Gavin punya tato.”
“Terus, apa kata Rani?”
“Dia tau pa. Dan pernah nanya ke Gavin juga. Katanya itu tato udah lama, dan tatonya permanen. Tapi Gavin bilang nanti bakal dihapus. Emang bisa dihapus ya pa?”
“Hmm, pernah denger sih ma. Katanya bisa, tapi harus operasi atau pake laser gitu.”
“Yaa gitu deh pa, yang bikin mama kurang sreg sama dia.”
“Hmm, mungkin gini sih ma. Kalau menurut papa nih ya, Gavin bisa jadi dulunya emang punya kenakalan, sampai ada tato di tubuhnya. Yaa sama kayak papa lah, dulu kan pernah nakal juga. Tapi kalau bener yang mama bilang tadi, Gavin janji sama Rani bakal hapus tato itu, mungkin sekarang dia emang udah berubah ma.”
Anin hanya terdiam, mendengar ucapan suaminya.
“Apalagi selama ini, di depan kita dia udah begitu baik. Dan papa nggak melihat kalau sikapnya itu dibuat-buat ma. Entah dulunya dia seperti apa, kalau dia memang mau berubah jadi lebih baik, ya sebaiknya kita kasih dukungan ma.”
“Lagian dia sekarang kan udah dewasa, dan Rani juga sempat cerita sama papa kalau Gavin bilang mau serius sama dia. Lagian Gavin juga udah ketemu sama orang tuaku kan. Kalau emang Gavin nggak serius sama Rani, mana mau dia ketemu mereka.”
“Hmm, iya juga sih pa.”
“Yang penting sekarang kita mikirnya positif aja. Sambil kita juga tetep ingetin Rani, supaya dia hati-hati. Kan waktu itu mama sendiri yang bilang ke papa, kalau setiap orang punya masa lalu, dan berhak untuk berubah jadi lebih baik.”
“Iya sih pa. Tapi bedanya gini, dulu waktu pertama kali mama ketemu sama papa, mama udah ngerasa kalau papa itu sebenarnya orang baik. Ya mama sempet kaget waktu papa cerita soal masa lalu papa. Tapi begitu papa janji untuk berubah, disitu mama langsung percaya. Nah untuk si Gavin ini, kesan pertama mama ke dia udah kurang bagus sih. Dan selama ini, feeling mama jarang salah pa.”
“Hmm ya udah, papa sih nggak nyalahin mama. Malah bagus mama punya feeling kayak gitu, bisa jadi pengingat buat kita agar lebih hati-hati. Seperti yang papa bilang tadi, kalau dia mau berubah, kita dukung, kalau perlu kita bantu. Sambil kita juga harus ingetin Rani untuk hati-hati dan jaga diri.”
“Iya pa.”
“Ya udah, udah malem nih, kita istirahat aja yuk.”
Anin menganggukkan kepalanya. Haris mengecup keningnya dan setelah itu merebahkan kembali tubuhnya ke kasur. Hari memang sudah larut malam, Harispun juga sudah terlihat sangat capek, apalagi dia harus lembur lagi hari ini. Tak berapa lama kemudian Haris sudah langsung tertidur.
Anin hanya tersenyum menatap wajah suaminya. Dia sebenarnya kasihan juga dengan Haris saat melihat wajah letihnya tadi. Meskipun sudah mandi dan makan, tapi sepertinya tidak cukup untuk menghilangkan kelelahan Haris, dia memang butuh istirahat. Hanya saja Anin ingin cepat-cepat menyampaikan apa yang menjadi pikirannya. Memang apa yang menjadi perkiraannya itu belum bisa dibuktikan, tapi tetap saja hal itu membuatnya gelisah.
Selama ini Anin jarang salah dalam menilai seseorang. Feelingnya jarang meleset. Salah satunya adalah feelingnya ketika bertemu dan berkenalan dengan Haris. Sejak awal dia sudah bisa menilai kalau Haris ini orangnya baik, meskipun belum terlalu mengenalnya. Tapi lama kelamaan penilaiannya itu terbukti benar. Apalagi didukung dengan cerita dari pak Eko dan Eva, yang masih saudaranya, yang selama ini bekerja sekantor dengan Haris. Tanpa Haris tahu, kedua orang itu sering menceritakan tentang Haris bagaimana dia selama di kantor. Dan selama itu pula tidak pernah ada cerita miring tentang suaminya itu.
Dan sekarang, entah kenapa dia merasakan ada yang mengganjal dengan Gavin. Sejak pertama bertemu, sikap Gavin memang selalu baik. Sampai kemarinpun, saat mulai sering berkunjung ke rumah ini, sikapnya tidak berubah, bahkan bisa dibilang semakin baik, terutama kepadanya. Tutur kata dan sikap Gavin selalu terjaga. Melontarkan candaanpun masih dalam batas yang wajar.
Tapi tetap saja, perasaannya tak bisa dibohongi. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak baik dalam diri Gavin, entah apapun itu, dia sendiri juga belum tahu. Dia ingin membuktikan perasaannya itu, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Menanyakan langsung pada Gavin, jelas tidak mungkin. Tidak sopan rasanya menuduh yang bukan-bukan terhadap seseorang tanpa bukti sama sekali. Bahkan kalau dugaannya ternyata salah, bisa-bisa Gavin justru tersinggung, dan bisa saja berbuat yang tidak-tidak kepadanya, ataupun Rani.
Anin menghela nafas panjang. Diapun akhirnya memutuskan untuk menuruti kata-kata suaminya saja. Berharap kalau Gavin tidak seburuk dugaannya. Kalaupun pernah buruk di masa lalu, semoga Gavin sedang dalam proses untuk memperbaiki diri, seperti Haris. Dan dia berjanji dalam hatinya akan mulai mengingatkan Rani agar hati-hati dan lebih menjaga diri. Kali ini dia berharap, feelingnya itu salah.
‘Huft, moga-moga bener apa yang dibilang mas Haris. Semoga Gavin tidak seburuk yang aku pikirkan. Dan kamu Ran, semoga kamu nggak bosen dengan semua nasehat-nasehatku. Aku bener-bener cemas sama kamu. Aku bener-bener punya feeling yang nggak enak sama Gavin, tapi semoga feelingku kali ini salah.’
Bersambung