Part #29 : Congratulation Dear
Sebulan berlalu sejak Haris mengingkari janjinya kepada Anin dengan berhubungan dengan Lidya lagi. Semua sudah kembali seperti biasa, karena saat itu, setelah dia dan Lidya melakukan hubungan terlarang itu, keesokan harinya Lidya langsung pulang ke Jakarta. Harispun hari itu juga kembali masuk kerja. Tapi karena terburu-buru saat pulang dan bersiap berangkat ke kantor, sampai-sampai dia tak menyadari kalau Rani tidak berada di rumah, karena menginap di rumah Gavin, untuk menghabiskan malam dengan penuh gelora.
Rani sendiri, setelah diperawani oleh Gavin, dia menangis sejadi-jadinya. Tapi dengan semua bujukan dan rayuan Gavin berhasil membuatnya luluh, hingga mengulangi pergumulan malam itu hingga menjelang fajar. Hari itu Rani bolos kuliah dan baru pulang dari rumah Gavin lewat dari tengah hari. Meskipun masih merasakan nyeri di sekujur tubuh, terutama di daerah selangkangan, dia mencoba bersikap biasa-biasa saja, sehingga Haris tak menaruh curiga kalau terjadi apa-apa dengan adiknya itu.
Setelah hari itu, beberapa kali Rani dan Gavin mengulanginya. Sebenarnya Rani sempat menolak, tapi dia tak kuasa menahan bujuk dan rayu Gavin. Apalagi setelah bersama dengan Gavin, dia merasa keraguan dan penolakannya hilang begitu saja. Rani tak habis pikir, tubuhnya bereaksi sangat cepat ketika disentuh oleh Gavin, dan akhirnya semua itu terulang lagi. Semua dilakukan di rumah Gavin. Mereka belum berani melakukannya di tempat lain, terutama di rumah Haris. Gavin memang sempat berpikir untuk melakukan disana, tapi kemudian dia mempertimbangkan lagi, dan memutuskan untuk tidak melakukannya.
Hubungan antara Haris dan Lidyapun tak berlanjut, hanya sampai malam itu saja. Setelah Lidya pulang ke Jakarta, hanya beberapa kali mereka sempat berkomunikasi. Haris sekedar menanyakan perkembangan soal kasus Viona dan Andi. Karena memang belum ada perkembangan sama sekali, Lidyapun menjawab seadanya.
Haris merasa sangat bersalah kepada Anin dengan apa yang sudah terjadi antara dirinya dengan Lidya. Saat bertemu, dia beberapa kali merasa salah tingkah, tapi berusaha sebisa mungkin untuk menutupinya. Beruntungnya, Anin tak menyadari semua itu. meskipun sebelumnya dia sudah berjanji untuk bercerita apapun kepada Anin, tapi untuk yang satu ini, sepertinya hanya akan dia simpan sendiri saja. Hubungannya dengan Anin sudah begitu dekat, dia takut kalau semua itu diceritakan akan merusak semuanya.
Anin sendiri baru saja dinyatakan lulus S2 setelah kemarin menjalani sidang tesisnya. Dia masih punya waktu sebulan sampai hari wisudanya nanti. Hari yang dimana Haris juga akan melamarnya, seperti yang sudah disepakati oleh kedua keluarga. Setelah acara lamaran, selang seminggu kemudian mereka akan menikah.
Meskipun masih cukup lama, mereka sudah mulai mempersiapkan semuanya. Untuk gedungnya nanti, sudah beres karena sudah diurus oleh ayah Anin. Catering dan segala macamnya sudah diserahkan kepada pihak wedding organizer, yang kebetulan pemiliknya adalah teman baik dari ibunda Anin. Mereka sudah membahas konsep yang diinginkan Haris dan Anin. Termasuk juga urusan undangan, dokumentasi sampai baju pengantin sudah dipercayakan kepada wedding organizer itu, karena mereka memang menawarkan paket lengkap, dengan biaya yang sudah dinego tentu saja.
Dan hari minggu ini, Haris bersama Anin dan ibunya sedang dalam perjalanan menuju ke tempat bu Rahmi, teman ibunda Anin sekaligus pemili wedding organizer. Hari ini mereka akan melakukan foto prewed, dan juga melihat sudah sampai mana pembuatan baju untuk acara mereka. Karena selain untuk acara lamaran dan pernikahan, Anin juga memesan kebaya untuk dia pakai wisuda bulan depan di tempat bu Rahmi.
“Mas, ini jumlah undangannya udah fix segini aja? Nggak ada tambahan lagi?” tanya Anin yang nampak memegang buku berisi daftar nama yang akan mereka undang.
“Hmm, kayaknya sih udah deh Nin. Kan udah dilist semua yang mau diundang.”
“Iya mas. Ini dari keluargaku, keluargamu, sama temen-temen kita. Eh tapi, teman mas Haris yang di Jakarta nggak diundang?”
Sejenak dada Haris berdesir. Ucapan Anin mengingatkannya pada sosok Lidya, yang bulan lalu membuatnya lupa akan janjinya kepada Anin.
“Hmm, kalau yang di Jakarta, sama temen-temen kita juga yang kerja di kota lain, entar dikirim WA aja deh Nin. Kan kita juga nggak tau alamat mereka semua.”
“Iya juga sih ya. Gitu juga nggak papa mas.”
“Iya Nin, Ris, ibu setuju. Meskipun nggak dapet undangan cetak, tapi paling nggak kalian kabarin mereka. Meskipun nggak bisa dateng kan paling nggak bisa ngasih doa ke kalian,” sahut ibu Anin yang duduk di belakang.
“Iya bu, nanti kalau undangannya udah jadi desainnya, saya minta softcopynya buat dikirim,” jawab Haris.
Tak lama kemudian mereka sudah sampai di tempat yang dituju. Sebuah rumah dengan 2 bangunan besar. Yang pertama digunakan untuk rumah pribadi sedangkan bangunan yang satunya lagi digunakan untuk kantor dari wedding organizer milik bu Rahmi. Mereka langsung masuk ke bangunan pertama yaitu rumah bu Rahmi karena tadi memang sudah membuat janji untuk bertemu.
Mereka disambut dengan hangat oleh bu Rahmi. Mereka ngobrol santai di ruang tamu rumah itu. Ini adalah kali kedua Haris datang kemari. Yang pertama adalah saat dia diukur untuk membuat baju pernikahannya. Haris terlihat masih agak canggung, sementara Anin dan ibunya terlihat begitu akrab dengan bu Rahmi, yang memang berteman baik dengan ibu Anin sejak masih muda dulu.
Setelah beberapa saat mengobrol merekapun diajak bu Rahmi untuk ke bangunan sebelah, untuk melihat progres pengerjaan baju pesanan mereka. Saat ini yang sudah hampir jadi adalah kebaya yang akan dipakai Anin untuk wisuda, sedangkan yang lain masih belum. Tapi mereka tak terlalu memaksa untuk cepat-cepat dijadikan karena acara mereka juga masih agak lama.
“Jadi untuk kebaya wisudamu mungkin minggu depan udah jadi Nin. Yang untuk lamaran kira-kira 2 minggu lagi. Dan gaun pernikahan kamu akan siap seminggu sebelum hari H. Kalau punyanya Haris, 2 minggu lagi udah jadi kok,” bu Rahmi menjelaskan detail progresnya kepada mereka.
“Wah cepet juga ya tante?” sahut Haris.
“Iya. Makanya kamu jaga tuh berat badan kamu, biar nggak perlu dipermak lagi nanti jelang hari H.”
“Haha, iya tante.”
“Kalian jadi foto prewed hari ini kan?”
“Iya tante, yang motoin udah siap kan?”
“Udah kok. Bentar lagi dia sampai. Kalian udah bawa bajunya?”
“Udah kok tante.”
“Ya udah tunggu aja bentar. Kalian kalau mau ganti baju disini aja, sekalian make up.”
Haris dan Aninpun menuruti kata-kata bu Rahmi. Mereka berganti baju dengan pakaian yang sudah mereka siapkan. Masing-masing diikuti oleh seorang perias. Haris yang memang tidak perlu make up neko-neko sudah siap, tapi masih menunggu Anin. Selang setengah jam kemudian barulah Anin keluar bersama ibunya.
Pada saat yang bersamaan, beberapa orang datang ke tempat itu. Ada 2 orang, pria dan wanita yang usianya masih muda, seumuran dengan Haris. Haris terkejut melihat salah satunya, yang ternyata adalah temannya kuliah dulu.
“Loh, Seno? Ngapain disini Sen?”
“Ngapain piye? Ya mau motoin kalian prewed tho yo.”
“Loh, kamu yang motoin tho?”
“Iyo. Emang bu Rahmi nggak bilang po?”
“Enggak tuh. Aku juga nggak nanya sih, hehe. Yoweslah, kebetulan banget kalau gitu, jadi kan sekalian bisa ngasih tahu kamu Sen.”
“Haha iyo, nggak perlu ngundang, wong nantinya aku yang motoin di kawinan kalian kok.”
“Haha, iyo iyo. Makasih yo.”
“Selow bro, yang penting bayarannya sesuai, haha. Yowes, kalian udah siap belum?”
“Udah kok. Sekarang aja yo?”
“Ayo kalau gitu.”
Haris dan Anin kemudian pergi dengan Seno dan temannya. Sedangkan ibu Anin dan bu Rahmi menunggu di tempat itu. Sebenarnya mereka juga tidak pergi jauh, karena lokasi yang digunakan untuk foto prewed adalah halaman belakang rumah bu Rahmi. Halaman ini memiliki taman yang sangat bagus, yang membuat Anin menjatuhkan pilihannya untuk foto prewed disini.
Seno dan temannya mempersiapkan tempat, dan memilih titik-titik mana saja yang sekiranya bagus sebagai latar belakang. Cuaca hari ini cukup cerah sehingga mendukung kegiatan mereka. Setelah sekitar 1 jam waktu yang dihabiskan untuk berfoto-foto merekapun menyudahinya.
“Eh Sen, kamu terima foto wisuda juga nggak?” tanya Haris saat Seno sedang beres-beres.
“Wisuda ya? Belum pernah sih, selama ini motoin orang kawinan doang. Siapa? Anin ya?”
“Iya. Tapi bisa kan? Ada studionya kan?”
“Ada kok. Emang kapan acaranya?”
“Sebulan lagi, pas acara lamaran. Jadi paginya dia wisuda, malamnya lamaran, gitu. Piye, kamu bisa?”
“Ooh hari itu? Bisa kok. Ya udah nanti sekalian ngomong sama bu Rahmi aja.”
“Yowes, entar aku bilang sama Anin dulu kalau gitu.”
Mereka kemudian kembali ke kantor menemui bu Rahmi dan ibunda Anin. Mereka juga memilih beberapa foto yang akan ditaruh di undangan mereka. Setelah beres semua, Seno dan temannya kemudian pamit.
“Nin, untuk foto wisuda nanti udah booking tempat belum? Kalau sama Seno sekalian aja gimana?”
“Oh iya mas, aku belum pesen tempat buat foto. Emang mas Seno bisa? Tadi kok nggak bilang sih?”
“Aku tadi udah bilang sama Seno, dan dia mau. Tinggal kamu aja, kalau iya, sekarang kita ngomong ke tante Rahmi.”
“Ya udah deh mas, biar aku ngomong ke tante Rahmi aja.”
Setelah itu Anin kemudian menemui pemilik tempat itu, dan sekalian dia memesan untuk foto wisuda. Setelah semua urusan beres, merekapun pulang. Haris mengantarkan Anin dan ibunya dulu, sekalian makan siang disana, setelah itu barulah dia pulang. Tidak ada siapa-siapa di rumah, karena karena tadi Rani sempat pamit akan pergi bersama Gavin hari ini.
===
+++
Seminggu setelah melakukan foto prewed, Haris dan Anin kembali dengan rutinitas harian mereka. Saat ini mereka punya lebih banyak waktu untuk bertemu karena kesibukan mereka, terutama Anin, sudah jauh berkurang. Dia hanya tinggal melengkapi beberapa syarat saja untuk wisuda S2nya. Sedangkan Haris, pekerjaannya juga masih itu-itu saja.
Undangan pernikahan merekapun sudah jadi. Haris sudah meminta softcopy undangan itu lalu mengirimkan ke teman-temannya, termasuk Lidya. Lidya hanya mengucapkan selamat, tidak ada yang lainnya. Haris membalasnya dengan emot senyum, tapi tak ada balasan lagi dari Lidya.
“Ris, dipanggil pak Eko,” ucap Eva tiba-tiba mengagetkan Haris.
“Eh iya mbak.”
Haris kemudian mengikuti langkah Eva yang juga masuk ke ruangan pak Eko. Pimpinannya itupun mempersilahkan mereka untuk duduk.
“Haris, sebelumnya ini minta maaf banget ya kalau mendadak dan mungkin agak sedikit menganggu kamu,” ucap pak Eko membuka pembicaraan mereka.
“Hmm, ada apa ya pak? Kok kayaknya penting banget gitu?”
“Gini Ris, mulai besok, dan sampai nanti kamu cuti nikah, kamu bisa tolong isi posisinya Eva dulu ya?”
“Isi posisinya mbak Eva? Lha mbak Eva mau kemana? Cuti ya? Barengan sama mas Tommy?”
Tommy adalah rekan kerja Haris di divisi yang sama, sama-sama anak buah Eva. Tommy mulai hari sudah cuti karena ada kepentingan keluarga, dan baru akan kembali saat Haris mulai cuti menikah 2 minggu lagi.
“Bukan, Eva nggak cuti Ris. Aku tadi pagi dapat email dari kantor pusat, dari pak Doni. Isinya dia akan narik Eva ke kantor pusat.”
“Oh gitu. Lha bukannya mbak Eva juga belum lama disini pak? Kok udah ditarik aja?”
“Iya Ris. Aku ditarik buat gantiin posisinya Viona. Kami rasa kamu udah tau kan apa masalahnya?” sahut Eva.
Haris hanya mengangguk. Sejak diberi tahu oleh Lidya tentang menghilangnya Viona, dia memang masih merahasiakan hal ini dari siapapun. Tapi dia juga tahu, cepat atau lambat hal ini pasti diketahui oleh orang lain juga, terutama orang kantor. Apalagi posisi Viona memang cukup penting disana. Dengan tidak adanya kejelasan dari Viona, maka harus secepatnya ditunjuk orang untuk menggantikan posisinya. Dan ternyata Evalah yang ditunjuk oleh pak Doni.
“Hmm, iya aku tau kok mbak. Terus, ini buat sementara atau seterusnya?”
“Soal kepindahanku?”
“Iya.”
Eva tak menjawab, menoleh ke arah pak Eko, meminta pak Eko yang menjawabnya.
“Kita juga belum tau Ris, di email yang dikirim pak Doni, nggak ada keterangannya. Kemungkinan sih, bakal seterusnya. Kecuali, kalau Viona tiba-tiba kembali ke kantor.”
“Iya juga sih pak. Eh, tapi kalau mbak Viona kembali ke kantor, emang masih diterima kerja? Ini kan udah sebulan lebih dia menghilangnya?”
Pak Eko tak menjawab, lalu menatap Eva, meminta Eva untuk gantian menjawab.
“Ris, menurutmu kenapa Viona menghilang?”
“Eh, itu, hmm..” Haris tampak ragu untuk menjawab.
“Kita udah tau dari pak Doni Ris. Kemungkinan hilangnya Viona itu kan bukan kabur, tapi diculik. Memang masih belum bisa dibuktiin sih, tapi rasanya nggak ada alasan kan untuk Viona tiba-tiba kabur gitu?”
‘Ada mbak. Bisa aja mbak Viona kabur dari Titus,’ batin Haris, tapi dia tak mengucapkan karena akan memperumit masalah jika semakin banyak orang yang tahu.
“Hmm, yaa bisa jadi sih mbak. Aku juga mikirnya gitu sih.”
“Nah, karena itulah pimpinan di kantor pusat ngasih kebijakan untuk hal ini. Mereka kasih waktu selama 3 bulan dihitung sejak menghilangnya Viona. Kalau Viona emang bener-bener nggak kembali, ya berarti aku akan disana seterusnya.”
Haris kembali mengangguk. Beruntung para pimpinan kantor ini masih memberi toleransi kepada Viona, meskipun Haris sendiri tak yakin, apakah Viona akan kembali bekerja di kantor itu lagi setelah nanti berhasil ditemukan.
“Jadi gimana Ris? Kamu siap kan?”
“Eh, hmm, gimana ya pak? Kayaknya sih mau nggak mau saya harus siap deh. Tapi, jadinya saya harus menghandle kerjaan 3 orang gitu pak?”
“Iya, terpaksanya begitu. Tapi nanti aku cariin orang buat bantuin kamu deh, biar nggak terlalu keteteran. Lagian, ini bisa buat latihan kamu kan?”
“Latihan gimana pak?”
“Hmm, jadi gini Ris. Selain Eva yang ditarik ke kantor pusat, ada kemungkinan dalam waktu dekat Tommy juga akan dipromosikan dan ditempatin di kantor cabang kita di luar pulau.”
“Loh, kok diluar pulau pak? Kenapa nggak disini aja? Disini kan juga kosong?”
“Karena disana lebih butuh Ris. Cabang itu termasuk baru, jadi butuh orang yang berpengalaman. Dan pak Doni bilang sama aku, setelah dipertimbangkan dari semua karyawan, hanya Tommy yang memenuhi syarat.”
“Oh gitu. Terus, nanti yang disini siapa dong pak?”
“Ya siapa lagi.”
“Eh.. maksudnya, saya?”
Pak Eko tersenyum dan mengangguk. Evapun ikut tersenyum. Kebalikannya dengan Haris, yang malah tampak syok.
“Ini serius pak? Tapi kan saya baru berapa bulan kerja disini..”
“Yaa mau gimana lagi. Itu pak Doni sendiri lho yang ngomong ke aku. Soalnya, mungkin yang belum kamu tau, bulan ini lumayan banyak karyawan yang mengundurkan diri di beberapa kantor cabang Ris, dan semua itu dari divisi yang sama dengan kamu.”
“Hah? Kok bisa gitu?”
“Ya entahlah, macem-macem sih alasannya. Yang jadi masalah, udah beberapa periode ini perusahaan nggak ngadain rekrutmen untuk divisi kamu karena menganggap jumlah karyawan udah cukup. Eh ternyata malah pada berhenti masal. Ya itu salah satu sebab kenapa Tommy bakal ditarik ke tempat lain.”
Haris menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memang Haris dan Lidya adalah orang terakhir di divisi itu yang direkrut oleh perusahaan. Saat itu jumlah karyawannya memang sudah cukup. Tapi kalau situasinya seperti ini, mau tak mau orang baru seperti Harispun sudah harus siap jika sewaktu-waktu mendapat tantangan baru berupa promosi jabatan.
“Ris, kok bengong? Nggak seneng apa mau dipromosiin?” tegur Eva.
“Eh, yaa bukan gitu mbak. Seneng sih, tapi kan, ini terlalu cepet.”
“Mau nggak mau Ris. Lagian, meskipun baru, aku pikir kamu udah tau banyak soal pekerjaan di divisi kita kan? Kamu juga udah lumayan paham semua jobdes, sampai jobdesku juga.”
“Yaa, iya sih.. tapi…”
“Udah, nggak usah dipikirin dulu yang itu Ris. Yang penting, mulai besok kamu harus siap gantiin posisi Eva.”
“Mbak Eva perginya besok ya?”
“Malem ini aku berangkat Ris, soalnya besok ada rapat penting disana, bawa barangnya juga seperlunya aja. Besok sabtu balik lagi buat bawa barang-barang yang lain.”
“Huuft, yaah mau gimana lagi. Tapi, saya mohon bantuannya nanti ya pak?”
“Tenang aja, pasti aku bantu kok. Kepala divisi lain tadi juga udah aku panggil, dan mereka siap buat bantuin. Mereka ngerti kok dengan kondisi perusahaan kita saat ini.”
Kembali Haris mengangguk. Dia terdiam, membayangkan seperti apa nantinya harus mengerjakan pekerjaan 3 orang sekaligus. Apalagi dia juga sedang dalam masa persiapan pernikahannya dengan Anin. Untungnya, persiapan pernikahan mereka sudah banyak dibantu oleh wedding organizer, kalau tidak, Haris tak dapat membayangkan bagaimana pusingnya dia nanti.
“Ya udah, itu aja yang mau aku sampein, kalian bisa kembali ke tempat. Atau mungkin Haris ikut sama Eva dulu, biar dijelaskan apa aja yang perlu dikerjakan mulai besok. Sekali lagi maaf Ris kalau semua ini momennya nggak pas banget, padahal kamu lagi nyiapin buat nikahan kamu kan.”
“Iya pak, nggak papa kok. Kalau gitu kami permisi dulu pak.”
“Oh iya, satu lagi Ris, hampir kelupaan.”
“Apa itu pak?”
“Tadi ada informasi dari pak Doni juga, karena kamu bakal menghandle kerjaan 3 orang sekaligus, ada insentif khusus yang disiapin buat kamu. Jumlahnya berapa aku juga belum tau, pak Doni nggak bilang, tapi yang jelas, itu cukup besar.”
“Oh gitu. Iya pak terima kasih.”
Haris dan Eva kemudian keluar dari ruangan pak Eko. Haris tak terlalu memikirkan tentang insentif yang akan dia peroleh. Dia lebih memikirkan bagaimana capeknya nanti mengurus kerjaan 3 orang sekaligus. Yang pasti bakal capek badan dan pikiran. Haris tak kembali ke mejanya, tapi menuju ke ruangan Eva, yang mulai besok akan menjadi ruangannya, paling tidak untuk 2 minggu kedepan.
“Soal kerjaan, kamu udah paham semua kan Ris?” tanya Eva saat sudah duduk di kursinya, Haris berada di kursi di hadapannya, terpisah meja kerja Eva.
“Iya mbak. Tiap sore kan kita review bentar, jadi aku udah tau sampai dimana progresnya.”
“Jadi, nggak ada yang perlu aku jelasin lagi kan?”
“Hmm, belum sih kayaknya. Tapi, nanti kalau mbak Eva udah di Jakarta, aku boleh ya kalau mau nanya-nanya gitu?”
“Haha, ya bolehlah. Telpon aja kalau emang butuh bantuan, aku bantuin sebisaku.”
“Hehe, makasih mbak.”
“Iya. Yang jelas, selamat ya..”
“Selamat apa nih mbak?”
“Yaa selamat, karena bentar lagi, kursi ini bakal kamu tempatin, haha.”
“Ealah, kirain apaan, haha. Tapi kan cuma buat sementara mbak.”
“Kok sementara piye tho? Kamu masih nggak paham sama yang kita bicarain sama pak Eko tadi?”
“Oh, yang nantinya aku akan beneran diangkat buat gantiin mbak Eva? Paham kok mbak. Cuma kan, siapa tau nanti mbak Viona beneran balik, terus mbak Eva dibalikin kesini, hehe.”
“Ris, apa menurutmu, Viona bakal kembali ke perusahaan ini?”
“Ya namanya kemungkinan, pasti bisa aja kan mbak?”
“Menurutmu, seberapa besar kemungkinannya?” tanya Eva, dengan sorot mata tajam ke Haris. Haris sempat terkejut saat mendapat tatapan seperti itu dari Eva, seperti ada sesuatu.
“Aku nggak tau apa yang sebenarnya terjadi, aku juga nggak begitu kenal dengan Viona. Tapi aku yakin kamu tau sesuatu, yang itu kamu sembunyiin dari kami. Dan sepertinya, sesuatu yang kamu tau itu, bukan sesuatu yang biasa,” ucap Eva, masih dengan tatapan tajam pada Haris.
Haris tak menjawab, hanya diam dan membalas tatapan Eva. Dia tahu, Eva pasti sadar kalau diamnya itu karena mengiyakan apa yang dia katakan tadi.
“Nggak masalah kalau kamu nggak mau kasih tau. Dan kalau memang itu begitu penting, memang sebaiknya jangan beritahu kami, dan akupun juga nggak akan berusaha untuk mencari tau. Jadi, seberapa besar menurutmu kemungkinan Viona kembali ke perusahaan ini?” ucap Eva mengulangi pertanyaannya tadi.
“Kecil mbak,” jawab Haris singkat.
Kemudian mereka berdua terdiam. Eva tak lagi menatap tajam ke arah Haris. Dia memang tidak tahu banyak tentang Viona, dan tidak mau tahu apalagi menyangkut hal yang membuat Viona saat ini menghilang, atau mungkin diculik. Dia tidak ingin melibatkan diri dalam masalah orang lain, yang masalah itu diluar jangkauannya.
Sementara Haris jadi terpikir, bagaimana nasib Viona sekarang. Ada dimana dia, dan apa yang terjadi padanya. Persiapan pernikahannya dengan Anin memang sedikit banyak membuatnya melupakan masalah itu. Apalagi kabar dari Lidya, tidak ada perkembangan yang berarti, baik itu tentang menghilangnya Viona, ataupun pembunuhan Andi.
===
+++
“Jadi, mas Haris mau dipromosiin gitu buat gantiin mbak Eva?”
“Yaa, kurang lebih begitulah Nin.”
“Waah selamat ya mas.”
“Hehe, makasih. Hmm, tapi, untuk beberapa hari kedepan aku bakalan sibuk banget Nin. Dan mungkin buat ngurusin buat pernikahan kita aja, nggak ada waktu.”
“Ya ampun mas, nggak usah dipikirin masalah itu, lagian kan udah diurus sama tante Rahmi dan timnya. Kita kan tinggal mantau aja. Ayah sama ibu juga pasti ngerti kok, nanti biar aku yang kasih tau mereka.”
“Makasih ya Nin, maaf lho disaat seperti ini malah aku bakal sibuk banget sama kerjaan.”
“Iya mas, nggak papa kok.”
Malam ini, Haris dan Anin sedang makan malam bersama. Haris sengaja mengajak Anin keluar karena memang ingin menceritakan masalah ini. Padahal baru sebentar mereka punya banyak waktu luang setelah kemarin Anin disibukkan dengan tesis dan sidangnya, sekarang justru Haris yang harus disibukkan dengan pekerjaannya. Tapi memang benar apa yang dikatakan oleh Anin. Untungnya untuk persiapan pernikahan mereka semua sudah ada yang mengurus, tinggal memantaunya saja.
Haris dan Anin menganggap semua ini sebagai berkah untuk mereka. Karena beberapa hari yang lalu, Anin sendiri juga sudah diangkat menjadi dosen tetap di kampusnya. Meskipun belum wisuda, tapi dia sudah dinyatakan lulus, sudah memenuhi syarat untuk menjadi dosen tetap di kampusnya. Benar-benar sebuah berkah yang luar biasa jelang rencana pernikahan mereka.
“Oh iya Nin, ngomong-ngomong, udah nggak ada yang gangguin kamu lagi kan?”
“Maksud mas Haris, Mira?”
“Iya.”
“Nggak kok mas, nggak pernah lagi dia hubungin aku. Kalaupun dia nantinya hubungin aku, paling nggak tak respon.”
“Baguslah. Dan emang seharusnya gitu, nggak usah direspon kalau dia hubungin kamu lagi. Atau nanti kalau dia sampai ganggu kamu, kasih aja nomernya ke aku, biar aku yang ngomong sama dia.”
“Iya mas. Nanti kalau ada apa-apa aku langsung omongin semuanya ke kamu.”
Deg. Lagi-lagi Haris merasa salah tingkah mendengar ucapan Anin. Dia kembali teringat dengan apa yang terjadi antara dirinya dengan Lidya. Dia juga kembali teringat ucapan Anin tempo hari, yang memintanya untuk tidak terlalu banyak berjanji karena takut tidak bisa ditepati. Dan ternyata benar, Haris telah melanggar janji itu. Padahal dia sudah bertekad tidak akan berbuat seperti itu lagi, tapi entah kenapa, saat bersama Lidya semua itu hilang.
Saat ini, dia tidak lagi ingin berjanji apapun, karena takut tak akan bisa memenuhinya lagi. Yang pasti, dia bertekad untuk menjaga komitmennya kepada Anin. Dia akan berusaha untuk tak lagi tergoda melirik wanita lain, siapapun itu. Dia ingin memberikan semua yang dia punya kepada Anin. Yang kemarin dengan Lidya itu, akan dia jadikan pelajaran agar kedepan tidak sampai terulang lagi.
‘Maafin aku Nin, nggak bisa nepati janjiku ke kamu. Tapi semoga saja, itu yang terakhir, tidak akan terjadi lagi dikemudian hari.’
Setelah selesai makan dan mengantar Anin, Harispun pulang ke rumah. Terlihat Rani sedang sibuk dengan laptopnya di ruang tengah.
“Lagi ngerjain apa Ran?”
“Ini mas, bikin makalah buat presentasi.”
“Sendirian? Biasanya kelompok?”
“Kelompok kok mas. Tadi temen-temenku kan udah dari sini, ini giliranku yang bagian bikin power pointnya.”
“Emang presentasinya kapan?”
“Masih 3 hari lagi sih mas.”
“Oh gitu. Eh Ran, ada yang pengen aku omongin nih.”
Rani menatap kakaknya, dan wajah Haris nampak serius. Diapun menyimpan file yang sedang dia kerjakan itu, lalu menjauh dari laptopnya.
“Ada apaan mas?”
“Hmm gini, mulai besok kayaknya aku bakal sering lembur, soalnya harus ngerjain pekerjaan 3 orang sekaligus.”
“Loh, lha kok gitu?”
“Iya, soalnya ada yang mendadak ditarik ke Jakarta, terus ada yang udah cuti juga. Jadi mau nggak mau kan aku yang harus kerjain semua.”
“Hmm gitu, terus gimana mas?”
“Jadi kan sampai aku cuti nanti, sepertinya waktuku bakal tersita di kantor, dan nggak bisa bantuin Anin buat persiapan acara kami nanti. Nah kamu bisa kan kalau misalnya Anin butuh bantuan?”
“Oalah, ya bisa lah mas, nanti pasti aku bantuin.”
“Kamu sering komunikasi sama Anin nggak?”
“Ya lumayan sih mas.”
“Nah kalau gitu, kamu sering-sering aja nanya dia lagi ngapain. Terus kamu juga nggak usah nawarin bantuan, kalau dia bilang lagi ngurusin persiapan acara pernikahan, kamu langsung dateng aja buat bantuin, gimana?”
“Beres itu mas, tenang aja. Serahin sama Rani, hehe.”
“Makasih banyak ya Ran.”
“Iya mas sama-sama, santai aja.”
“Oh iya Ran, nanti kalau Anin tinggal disini juga, kamu gimana?”
“Lah, gimana apanya?”
“Yaa gimana kamunya, keberatan atau enggak?”
“Ya enggaklah mas. Malah aku seneng kalau mbak Anin tinggal disini. Sekarang kan statusnya dia udah dosen mas, jadi kalau ada masalah kuliah kan aku bisa nanya-nanya sama mbak Anin. Sama satu lagi, hal-hal yang nggak bisa aku share ke mas Haris kan bisa aku share ke mbak Anin yang sesama cewek.”
“Ya bagus deh kalau gitu, aku kan jadi bisa tenang, hehe.”
“Iya mas. Tapi ada syaratnya lho.”
“Lho kok pake syarat segala? Apa syaratnya?”
“Hmm, itu mas. Kalian kan nanti pengantin baru, pasti lagi asyik-asyiknya gitu-gitu. Kalau pas gituan jangan berisik ya, hehe.”
“Hah, gituan apaan? Kayak ngerti aja kamu, haha.”
“Ya ngertilah mas, aku kan juga udah dewasa. Emang dipikir aku masih anak kecil apa?”
“Haha iya iya, beres itu. Aku lupa kalau adikku ini udah dewasa. Tapi kamu nggak macem-macem sama Gavin kan?”
“Emang boleh mas kalau aku macem-macem?”
“Woo yaa jelas nggak boleh lah. Awas kamu ya kalau ketauan macem-macem.”
“Yee enggaklah mas, hehe.”
“Ya udah, aku mau istirahat dulu. Kamu jangan tidur malem-malem lho.”
“Iya mas.”
Selepas Haris masuk kamar, Rani kembali melanjutkan pekerjaannya. Dia sempat merasa bersalah sebenarnya karena sudah berbohong pada Haris. Dia bahkan sudah melakukan berbagai macam hal dengan pacarnya, yang seharusnya baru bisa dia lakukan setelah menikah. Awalnya Rani memang menyesal, tapi sekarang penyesalan itu sudah benar-benar hilang. Bahkan Rani sudah mulai ketagihan, dan selalu merindukan kapan bertemu dengan Gavin.
Bersambung