Part #28 : But you’re already promise

Lidya​

“Jangan bilang kalau kamu, udah macem-macem sama mbak Viona?”

“Ii,, itu…”

“Tuh kan, bener ya? Kamu udah macem-macem sama mbak Viona ya? Hayoo ngaku!!”

“Lid Lid Lid, aduuh lepasin dong sakit nih..”

Haris tak sempat menghindar saat Lidya tiba-tiba melancarkan serangan cubitan di pinggangnya. Cubitan ini hampir seperti cubitan Viona, meskipun menurut Haris masih lebih sakit cubitan Viona.

“Hayoo ngaku dulu entar baru aku lepasin!”

“Iya iya aku ngaku…”

“Ngaku apa?”

“Iya aku udah pernah macem-macem sama mbak Viona. Udah dong Lid lepasin sakit nih.”

“Macem-macem apa?”

“Hadeeh, iyaa udah, gituan. Sama kayak kita.”

“Huh dasar cowok, sama aja!”

Lidya akhirnya melepaskan cubitannya, tapi kemudian membuang mukanya. Haris masih meringis memegangi pinggangnya yang sakit bekas cubitan Lidya.

“Liiid…”

“Apa?”

“Jangan marah dong.”

“Siapa yang marah?”

“Lha itu? Kamu marah sama aku kan?”

“Ih pede. Ngapain juga marah sama cowok cabul kayak kamu!”

“Kok cabul sih?”

“Lha emang gitu kan kenyataannya? Setelah aku, mbak Viona juga kamu embat!”

“Yaa tapi kan…”

“Apa? Mau bilang karena kami yang minta? Apa mbak Viona minta itu juga ke kamu?!”

Haris tak menjawab. Dia ingin mengatakan iya, karena memang Vionalah yang waktu itu memintanya. Tapi, ada rasa tak enak juga, kalau harus menyalahkan Viona.

“Kenapa diam? Jadi bener mbak Viona yang minta?”

“Hmm… iya.”

“Cerita!”

“Hah?”

“Cerita!!”

“Cerita apaan?”

“Cerita apa yang udah kamu lakuin sama mbak Viona!”

“Loh Lid, masak mau diceritain sih kayak gitu?”

“Cerita nggak!!! Kalau nggak aku marah beneran nih!!!”

“Eh jangan dong… iya iya aku cerita.”

Haris sudah tak punya pilihan lagi. Akhirnya diapun menceritakan semua yang pernah dia lakukan dengan Viona. Mulai sejak kedatangan Viona, sampai akhirnya terjadi hal yang tidak seharusnya mereka lakukan itu. Lidya hanya terus diam mendengarkan cerita Haris, tapi tatapannya sudah tidak setajam tadi.

“Jadi gitu Lid ceritanya.”

“Kamu tuh ya Ris. Emang nggak bisa ya kamu tolak? Masak semua yang minta kayak gitu kamu kasih? Entar kalau ada yang minta lagi, kamu kasih juga?”

“Yaa bukan gitu Lid. Aku sebenarnya juga ngerasa nggak enak. Sama kamu aja dulu kan juga, tapi aku milih buat menikmati karena aku sayang sama kamu. Tapi sama mbak Viona, aku bener-bener nggak enak Lid. Aku sayang sama dia, tapi sebagai kakak. Aku pengen melindungi dia, tapi aku bener-bener kalah sama nafsuku waktu itu.”

“Tapi kan, harusnya kamu bisa nolak Ris..”

“Iya aku tau, dan aku juga udah berusaha nolak. Tapi disaat yang bersamaan, aku juga ngerasa kasian sama mbak Viona. Sejak mas Aldo masuk penjara, mbak Viona kan belum pernah disentuh lagi. Aku nggak tega ngeliat dia kayak gitu. Waktu itu aku mikir, daripada sama orang lain, ya udah mending sama aku aja.”

“Ris Ris, kamu tuh ya… Apa kamu waktu kamu lakuin itu, kamu udah sama Anin?”

“Belum, aku belum kenal sama Anin.”

“Terus, kalau sekarang ada yang minta kayak gitu lagi, apa kamu mau?”

“Nggak Lid, aku nggak mau lagi. Aku udah janji sama sama Anin, dan sama diriku sendiri.”

“Termasuk kalau aku yang minta?”

“Maaf Lid, tapi bener, aku nggak mau lagi. Aku nggak mau menghianati Anin.”

“Yang bener?”

“Lid, please, bantu aku buat menjaga komitmenku.”

“Haha, iya iya. Aku hargai kok itu, aku hargai hubunganmu sama Anin, dan aku hargai juga niat kamu buat berubah. Tapi kamu harus bener-bener megang omonganmu lho, jangan nakal lagi.”

“Iya Lid.”

Haris kembali terdiam, Lidya juga. Kondisi saat ini memang kurang tepat untuk membahas hal seperti itu, terlebih setelah tadi Lidya cerita tentang kejadian yang menimpa Viona dan Andi.

“Eh Lid…”

Haris terkejut karena tiba-tiba Lidya bergerak maju dan memeluknya. Dia berusaha melepaskan pelukan Lidya, tapi gadis itu memeluknya sangat erat.

“Lid, jangan kayak gini please.”

“Bentar Ris, aku cuma pengen meluk kamu. Aku kangen sama kamu.”

Haris tak punya pilihan lain. Dia akhirnya membiarkan Lidya memeluknya, dengan sangat erat. Sebenarnya, Haris juga merindukan Lidya, dia juga ingin membalas pelukan itu, tapi hatinya melarang, karena teringat sekarang ada Anin.

Untuk beberapa saat, mereka hanya terus berdiam dalam posisi seperti itu. Haris tak berusaha melepaskan pelukan Lidya. Dia membiarkan saja Lidya menumpahkan semua kerinduannya, asal tidak lebih dari ini. Tapi kemudian, Haris merasakan nafas Lidya agak berat, seperti sedang terisak.

“Lid, kamu kenapa?”

“Nggak, nggak papa. Udah diem dulu.”

Lidya makin mempererat pelukannya di tubuh Haris. Haris merasa ada sesuatu yang salah, karena isak Lidya semakin jelas terdengar di telinganya. Dan saat itu juga, tangan Haris reflek membalas pelukan Lidya, mencoba menenangkannya. Dia usap punggung dan kepala Lidya, yang malah membuat gadis itu membenamkan kepala di dadanya. Haris bahkan mulai bisa merasakan kaos yang dipakainya mulai basah. Lidya benar-benar menangis.

“Lidya, kamu kenapa?”

“Hiks, aku.. aku kangen sama kamu..”

“Iya, aku juga kangen sama kamu. Tapi kamu kenapa nangis gini?”

“Nggak tau Ris. Hiks, aku cuma ngerasa, kayak nggak rela kita kayak gini.”

“Maksud kamu?”

Lidya tak menjawab, tapi malah semakin menangis. Haris tak bertanya lagi, dia tau percuma saja menanyakan apapun saat Lidya sedang menangis. Lebih baik dia tenangkan dulu gadis itu, baru nanti dia tanyakan lagi.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya tangisan Lidya mulai mereda. Sesekali masih terdengar isaknya, dan Haris masih terus berusaha menenangkannya. Lidya mengangkat wajahnya menatap Haris, dan Haris dengan perlahan mengusap air mata Lidya. Dia mencoba tersenyum, tapi Lidya tak membalasnya. Ekspresi Lidya membuat Haris bingung, dia tak bisa memahami maksud ekspresi itu.

“Lid, udah ya nangisnya. Sekarang kamu bilang sama aku, kamu kenapa?”

“Aku…” Lidya juga terlihat bingung mau menyampaikan maksudnya.

“Maaf, mungkin ini salah. Tapi, jujur, jauh di dalam hatiku, ada rasa nggak rela kamu sama orang lain. Tau kamu deket sama cewek lain, rasanya aku cemburu. Apalagi semakin tau, kalau kamu mau nikah sama cewek itu. Rasanya, aku nggak bisa ngerelain kamu gitu aja Ris.”

“Lid…”

“Aku tau ini salah, dan aku minta maaf. Aku cuma mau nyampein apa yang aku rasain Ris.”

Haris diam, bingung mau menjawab apa. Memang tidak ada salahnya seseorang menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya, apa yang dia rasakan. Semua orang punya hak untuk itu, dan dia tidak bisa melarangnya. Hanya saja, mendengar sebuah pengakuan seperti itu untuknya, Haris merasa serba salah. Ada sedikit rasa penyesalan karena dulu telah menjalani hubungan yang tidak seharusnya terjadi dengan Lidya. Tapi semua sudah terjadi.

“Ris, nggak usah terlalu dipikirin. Mungkin semua ini karena aku terlalu sayang sama kamu, bahkan sampai sekarang.”

“Tapi Lid, kita kan udah punya pasangan masing-masing.”

“Iya, tapi namanya juga rasa sayang Ris, mana bisa aku atur gitu aja? Dulu datangnya gimana aku nggak tau, dan sekarang ngilanginnya gimana aku juga nggak tau. Aku udah mencoba, tapi tetep nggak bisa.”

“Iya, aku tau. Aku juga, masih ada perasaan itu sama kamu. Tapi sekarang aku mencoba untuk bisa menyayangi Anin setulus hati, dan kamu juga harus bisa gitu ke pacar kamu.”

Lidya hanya mengangguk, lalu memeluk Haris lagi. Dan Haris kembali membiarkannya, bahkan diapun membalas pelukan Lidya. Kembali mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Haris merasa bersalah dengan situasi ini. Di benaknya, bayangan Anin muncul, seolah sedang mengingatkan, agar tidak lebih jauh lagi daripada ini.

“Ris…”

“Iya?”

“Malem ini, kamu nginep sini ya?”

“Maaf Lid, aku nggak bisa.”

“Please, sekali ini aja. Ini mungkin bakal jadi yang terakhir. Kita nggak akan ngapa-ngapain kok, cuma tidur aja.”

“Tapi Lid…”

“Please Ris, sekali ini aja. Setelah ini aku nggak akan minta apa-apa dari kamu.”

Haris bimbang. Permintaan Lidya terlalu sulit untuk diturutinya. Jika dia belum ada Anin, mungkin tanpa dimintapun dia akan menawarkan diri untuk menemani Lidya malam ini. Tapi kondisinya sekarang, dia sudah punya Anin, dan sudah berjanji untuk tidak melakukan kesalahannya di masa lalu. Mungkin permintaan Lidya hanya menemaninya tidur saja, tapi hanya berdua di dalam sebuah kamar seperti ini, apapun bisa terjadi nantinya.

“Ris, please…”

“Tapi besok kan aku kerja Lid.”

“Please…”

Haris menghela nafas panjangnya. Dia tahu, kalau Lidya sudah ada maunya, dia ingin selalu dituruti, tidak ada kata tidak. Tapi untuk kali ini, Haris benar-benar tak ingin menuruti Lidya, dia tak mau nantinya akan terjadi apa-apa.

“Riiiss…”

“Cuma tidur aja ya? Nggak ngapa-ngapain?”

“Iya, cuma tidur aja.”

“Hhh, baiklah.”

Dengan berat hati Harispun meluluskan permintaan Lidya. Dia tahu, Lidya tak akan melepaskannya sebelum mengatakan iya. Dan dia berharap, malam ini hanya sekedar menemani tidur, tanpa melakukan apapun diluar itu.

Maafin aku Nin, cuma sekali ini aja, dan nggak akan lebih.’

Rani​

“Sluuurrpp… aahh slurrpp…”

“Eumpphh aaahh yaank, mmpphh…”

Di dalam kamar Gavin, di atas ranjangnya. Rani sedang berbaring ditindih oleh pacarnya itu. Pakaian atasnya sudah terbuka, bahkan sudah berserak di lantai. Tubuhnya bagian atas kini benar-benar terbuka, dan sedang dicumbui oleh Gavin. Kedua bukit payudaranya yang ranum sudah nampak beberapa bekas kemerahan karena kelakuan Gavin. Rani sendiri tak bisa apa-apa, hanya terus mendesah menikmati setiap sentuhan dan rangsangan dari pacarnya itu.

Gavin masih terus mencumbui buah dada Rani, sambil sesekali salah satu tangannya turun ke selangkangan Rani yang masih tertutup celana panjang untuk mengusapnya. Beberapa kali juga tangan Rani menahan dan menarik lagi tangan Gavin ke atas. Dia masih belum merelakan daerah paling pribadinya itu dijamah. Namun Gavin tak menyerah begitu saja, dia sudah kenyang pengalaman menggauli perempuan, beda dengan Rani yang belum punya pengalaman apa-apa, bahkan Gavinlah pria pertama yang membuatnya seperti ini sekarang.

Gavin kembali mencumbui dada Rani. Dicium dan dijilati kedua gundukan ranum itu, membuat desahan Rani semakin keras terdengar. Puting susu Rani yang sudah sangat sensitif berkali-kali dimainkan oleh jari dan lidah Gavin. Kadang Gavin mengangkat tangan Rani untuk menjilati daerah ketiaknya, dan itu benar-benar membuat Rani begitu geli. Dia bisa merasakan daerah kewanitaannya sudah semakin basah karena diperlakukan seperti itu oleh Gavin.

Gavin kembali mengarahkan tangannya turun. Rani juga kembali mencoba menarik tangan Gavin, tapi tak mampu menariknya. Akhirnya dia harus merelakan bagian tubuhnya yang paling sensitif itu disentuh oleh Gavin, meskipun masih terlindungi oleh celana.

“Aaahh sayaaaang, kamu ngapaiiin??”

“Nikmati aja sayang.”

Gavin melumat bibir Rani sebelum gadis itu sempat protes lagi. Dan kali ini serangan tangannya di daerah kewanitaan Rani dimulai. Rani sempat tersentak, merasakan sesuatu yang aneh, yang baru kali ini dia rasakan. Dia ingin meronta tapi Gavin menahan tubuhnya. Akhirnya Rani hanya mengatupkan kakinya. Tapi hal itu malah membuat sentuhan jari Gavin semakin bisa dia rasakan.

Ranipun semakin terpejam. Dia melampiaskan perasaan anehnya itu dengan membalas ciuman Gavin dengan semakin panas. Lidah mereka bertemu, saling mengait. Rani dibuat terbang ke awang-awang oleh Gavin, hingga tak menyadari kalau kancing dan resleting celananya sudah tidak pada posisi yang seharusnya. Gavin memasukkan tangannya di balik celana panjang Rani, dan kembali mengusap daerah yang sudah terasa basah itu.

Rani yang mulutnya masih dilumat oleh Gavin tak bisa protes, hanya mendesis saat sentuhan di bibir vaginanya semakin terasa. Bahkan Rani sampai memeluk Gavin dengan erat, untuk melampiaskan rasa aneh nan nikmat dari sentuhan Gavin. Melihat itu Gavinpun tahu kalau pertahanan Rani hanya tersisa sedikit lagi sebelum mampu dia taklukan, dan Gavinpun semakin gencar menggesek permukaan celana dalam Rani yang sudah semakin basah.

“Ssshhh aaahh saayaank, udaaah, aku mau pipiiiis..”

“Keluarin aja sayang, biar lega..”

“Yaaaankkk, akhuuuu aaahhhhh…”

Sebuah desahan panjang diiringi dengan tubuhnya yang mengejang, menandakan Rani mengalami orgasme pertama dalam hidupnya. Matanya terpejam erat, pelukannya di tubuh Gavin juga begitu erat. Nafasnya terengah-engah. Sebuah sensasi yang begitu nikmat, yang baru kali ini dia rasakan.

Gavin tersenyum puas melihat pacarnya yang lugu itu mencapai klimaks. Tangannya masih belum beralih dari sana, tapi sedang berhenti sejenak, memberi kesempatan pada Rani untuk mengatur nafasnya.

“Aahh sayaang, mau apa lagiiii?”

Kembali tubuh Rani tersentak saat dirasakan jari-jari Gavin kembali bergerak di daerah kewanitaannya. Dia kembali memeluk erat tubuh Gavin, tapi kemudian Gavin mendorongnya. Akhirnya Rani hanya bisa meremasi sprei ranjang ini saja. Sambil tubuhnya menggeliat tak karuan. Mulutnya terus mendesah dan matanya kembali terpejam. Saking menikmati apa yang dilakukan oleh Gavin dia tak sadar kalau celana panjangnya sudah ditarik turun oleh Gavin. Geliat tubuhnya yang beberapa kali sampai pantatnya terangkat memudahkan Gavin melakukan itu.

Kini, Rani hanya tinggal memakai celana dalamnya saja, itupun sudah basah oleh cairannya sendiri. Dia masih terus dirangsang oleh Gavin di daerah itu, sehingga belum menyadari keadaannya kini. Dia bahkan tidak menyadari kalau Gavin sudah mulai menelanjangi dirinya dengan tangan yang satunya, dan kini sama-sama hanya menyisakan celana dalam saja.

Gavin kembali berbaring di samping Rani yang masih terpejam dan menggeliat dirangsang olehnya. Merasakan tubuh Gavin berada di sampingnya, reflek Rani bergerak memeluk tubuh pacarnya itu. Karena masih terbuai dengan kenikmatan dari jemari Gavin, dia tak menyadari kalau sekarang yang menempel di dadanya adalah kulit tubuh Gavin, bukan bajunya lagi.

“Aaaahh yaaaank, pipis lagiiiiiii…”

Kembali tubuh Rani terkejat-kejat. Kembali dia mencapai klimaksnya, dan kembali nafasnya memburu tak beraturan. Kali ini Gavin menarik tangannya dan memeluk pacarnya itu, menciumi keningnya.

Setelah birahi Rani sedikit mereda dari orgasmenya, saat membuka mata barulah dia menyadari kalau ternyata kondisinya sudah hampir telanjang bulat, hanya tinggal menyisakan celana dalam yang sudah sedemikian basah, begitu juga Gavin. Betapa terkejutnya dia dengan kondisi mereka sekarang, dimana bagian dadanya menempel pada dada Gavin tanpa penghalang apapun.

“Yaank… ini…”

“Sssttt, tenang aja sayangku, kita nikmati aja malem ini ya…”

“Tapi yank, aku nggak mau sampai kayak gini, aku nggak mau sampai kelewatan..”

“Nggak sayang, nggak akan kelewatan kok, aku nggak akan masukin punyaku ke punyamu, cuma digesek aja kok. Ini yang namanya petting sayang.”

“Tapi yank…”

Belum selesai Rani memprotes, bibirnya kembali dilumat oleh Gavin. Rani sempat mau berontak, tapi kemudian tangan Gavin meraih buah dadanya dan meremasnya dengan lembut. Dimainkan puting payudaranya, membuatnya lemah kembali. Perlahan, tangan Gavin meraih tangan Rani, dan mengarahkan ke selangkangannya. Rani terkejut saat merasakan memegang sesuatu yang besar dan keras. Sebagai gadis yang sudah beranjak dewasa, tentu saja dia tahu benda apa itu. Tapi tetap saja dia terkejut, karena baru kali ini memegangnya secara langsung, hanya dibatasi oleh celana dalam Gavin saja.

Rani sempat menarik tangannya, tapi kemudian diraih lagi oleh Gavin dan diarahkan kesana lagi. Beberapa kali seperti itu, tapi akhirnya Rani kembali menyerah, dan membiarkan tangannya tetap memegang benda itu, tanpa melakukan apapun.

Gavin sendiri mulai kembali mencumbui Rani, hingga gadis itu dibuatnya terbuai kembali. Semakin lama, semakin jauh Rani dari kesadarannya, dan bahkan tangannya sudah bergerak meremas sesuatu di balik celana dalam Gavin itu. Rani merasakan beda itu semakin mengeras, tapi dia tak punya waktu untuk berpikir lebih jauh lagi karena saat ini jemari Gavin kembali menggesek bibir vaginanya, yang terhalang oleh celana dalam.

Tubuh Rani saat ini sudah ditindih oleh Gavin lagi. Kedua kaki Rani sedikit dibuka, membuat kemaluan Gavin yang masih tertutup celana dalam, dapat menggesek bibir kewanitaan Rani yang juga masih tertutup celana dalam. Nafas Rani semakin berat. Bibirnya hanya bisa terus mendesis dan mendesah, mendapatkan serangan sekaligus di kedua buah dadanya dan juga kewanitaannya. Sebagai gadis yang tak punya pengalaman sama sekali, hal itu benar-benar membuatnya tak berdaya.

Gavin mulai bergerak membuat gesekan antar kemaluan mereka mulai semakin terasa. Setiap gesekan itu semakin lama semakin membuat desahan Rani tambah tak karuan. Kemaluannya digesek kemaluan Gavin, kedua payudaranya dimainkan oleh kedua tangan Gavin, dan daerah leher dan telinganya diciumi oleh bibir Gavin. Akhirnya dia hanya bisa memeluk Gavin dengan erat sekali saat kembali diterjang oleh puncak kenikmatan.

Beberapa saat kemudian Rani melepaskan pelukan itu, merentangkan kedua tangan dan kakinya. Nafasnya masih terengah-engah, badannyapun juga sudah basah oleh keringatnya. Gavin bangkit dan melihat tubuh indah kekasihnya itu. Dari sekian banyak wanita yang sudah ditiduri Gavin, bentuk tubuh Rani memang masih kalah dengan mereka. Tapi mengingat bahwa Rani adalah seorang gadis lugu yang belum pernah terjamah sedikitpun sebelumnya, membuatnya menjadi lebih istimewa.

Gavin kemudian bangkit dan keluar kamar, tak lama kemudian dia sudah kembali dan membawakan minuman untuk Rani. Dia duduk di samping Rani yang masih berusaha mengatur nafasnya.

“Ini yank, minum dulu, pasti haus kan?”

Gavin membantu Rani untuk bangkit, lalu memberikan gelas minuman itu kepadanya. Rani yang memang sudah merasa sangat haus langsung saja meminum isi gelas itu sampai habis, lalu memberikan kembali gelasnya pada Gavin. Dia kemudian terbaring lagi, karena masih merasa capek. Gavinpun membelai kepalanya dengan lembut.

“Capek sayang?”

“Iya yank. Sayang, udah ya, kita udah kelewat batas jauh banget, aku nggak mau kayak gini lagi, entar bener-bener nggak bisa nahan diri.”

“Tapi kamu menikmatinya kan?”

“Ii,, iya, tapi udah ya yank? Sekali ini aja. Kamu kan udah janji.”

“Aku janji bakal jagain kamu kok sayang. Tapi kalau kayak gini lagi, boleh ya?”

“Tapi yank…”

Kembali Gavin mencium bibir Rani untuk membuatnya diam. Hanya sebentar saja mereka berciuman, lalu Gavin melepaskannya. Dia kemudian berbaring di samping Rani.

“Yank, kamu udah beberapa kali keluar, akunya belum. Bantuin aku ya?”

“Bantuin? Bantuin gimana yank?”

Tanpa menjawab, Gavin menarik turun celana dalamnya. Rani sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Gavin. Dia bisa melihat dengan jelas, penis Gavin yang tegak mengacung. Baru kali ini dia melihat penis seorang pria dewasa secara langsung. Dia langsung bergidik, bulu kuduknya meremang, dia ketakutan.

“Yank, kamu ngapain? Kenapa dibuka?”

“Bantuin aku sayang.”

“Bantuin gimana?”

“Kamu pegang kontolku, terus kocokin.”

“Aa,, aku nggak bisa yank.”

“Coba aja pegang dulu, nanti aku ajarin.”

Rani sebenarnya tidak ingin melakukan hal itu. Hatinya mengatakan kalau ini salah, dan sudah semakin jauh. Tapi entah kenapa tangannya malah bergerak menggapai penis itu. Dengan sangat gemetaran, tangan Rani akhirnya menyentuh secara langsung penis Gavin. Melihat betapa lugunya Rani itu membuat Gavin tersenyum.

“Iya, pegang gitu yank, jangan takut. Kontolku punya kamu sekarang.”

Rani tak menjawab, hanya diam menelan ludahnya. Tangannya juga masih belum bergerak, hanya sekedar memegang saja, karena dia memang tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi. Gavin kemudian membimbing tangan Rani untuk digerakkan, naik turun mengocok penisnya. Dada Rani berdegup sangat kencang, matanya tak lepas dari penis Gavin yang sedang dipegangnya.

“Kocokin kayak gitu terus ya sayang, sampai aku keluar.”

Rani yang masih terdiam, kemudian disambar bibirnya oleh Gavin. Dia menciumi Rani dengan ganas. Tangannya juga meremas buah dada Rani lagi. Nafsu birahi Rani yang tadi sudah mereda, perlahan-lahan mulai naik lagi. Gavin benar-benar sangat mudah membangkitkan nafsunya, apalagi minuman yang tadi diberikan sudah dicampur dengan obat perangsang. Gavin hanya memberikan dosis yang kecil saja, karena dia tahu Rani hanya butuh disentuh sedikit untuk kembali membuatnya bernafsu. Dia tahu, Rani terlalu lugu untuk menolaknya.

Rani sendiri kembali dibuat melayang oleh Gavin dengan semua sentuhannya. Tangan Rani juga semakin tak terkontrol mengocok penis Gavin yang semakin keras. Sentuhan tangan Gavin di kedua buah dada dan juga kewanitaannya makin membuatnya lupa diri, makin membuatnya dikuasai oleh birahinya. Rani sudah tak ingat apa-apa lagi, dan dia juga tidak sadar waktu celana dalamnya dipelorotkan Gavin pelan-pelan.

Kini, keduanya sudah sama-sama telanjang bulat. Rani memeluk tubuh Gavin dan menciuminya dengan rakus, meluapkan apa yang dia rasakan akibat rangsangan dari Gavin. Pinggulnya makin bergerak tak karuan saat jari Gavin menemukan dan memainkan biji kelentitnya. Rasa yang tadi sudah sangat nikmat rasanya semakin bertambah nikmat, dan benar-benar membuat Rani lupa diri.

“Aaaahh yaaaaaaankkk…”

Sebuah desahan panjang kembali terdengar dari bibir Rani, bersamaan dengan tubuhnya yang mengejang beberapa kali menandakan orgasmenya kembali datang. Tubuh Rani langsung lemas, setelah dibuat orgasme untuk yang kesekian kalinya oleh Gavin. Pelukannya di tubuh Gavin melemah, nafasnyapun terengah-engah. Dia masih membenamkan kepalanya di dada Gavin.

Tak membuang waktu lebih lama, Gavin mendorong tubuh Rani hingga terlentang. Dia kemudian menindih tubuh Rani, dan menempatkan penisnya yang sudah sangat tegang itu di bibir kemaluan Rani. Saat itulah baru Rani sadar dengan kondisinya sekarang, karena betul-betul terasa kepala penis Gavin di bibir vaginanya.

“Loh yank, kamu mau ngapain?”

“Cuma mau gesek-gesek aja yank, biar cepet keluar.”

“Jangan yank, entar kebablasan. Aku kocokin aja.”

“Nggak papa yank, cuma aku gesek kok, nggak dimasukin.”

“Yaank aahhh…”

Protes dari Rani terpotong karena penis Gavin mulai digerakkan. Permukaan kulit penis itu menggesek bibir vagina Rani yang sudah becek. Rani yang tadi protes kini merasakan geli yang teramat sangat di daerah paling sensitivnya. Dia ingin menghentikan Gavin, tapi sulit karena badannya yang ramping ditindih oleh Gavin yang badannya cukup kekar itu.

“Yaank, udaaahh aaahhh…”

“Bentar sayang, sampai aku keluar yaa…”

Rani tak lagi memprotes. Dia berpikir, asal tidak masuk penis itu ke vaginanya, mungkin memang tidak apa-apa. Harusnya Rani memang tak berpikir seperti itu, tapi akal sehatnya suadh diambil alih oleh nafsu birahinya. Diapun membiarkan Gavin melakukan itu, yang pada akhirnya kembali membuat nafsunya naik lagi. Rani bahkan beberapa kali membalas gerakan Gavin dengan menggerakkan pinggulnya sendiri. Melihat reaksi dari Rani membuat Gavin tersenyum, tujuannya malam sudah hampir sampai di garis akhir.

“Aaaahh yaaank, jangaan dimasukiin…”

Rani memekik saat tiba-tiba bibir vaginanya ditekan. Kepala penis Gavin mencoba untuk masuk membelahnya.

“Dikit doang sayang, kepalanya doang, biar cepet keluar.”

“Jangan yaaank, sakiiit, aku nggak mauuu…”

“Nggak papa sayang, dikit doang kok. Biar aku cepet keluar dan ini cepet selesai.”

Mendengar hal itu kembali Rani terdiam. Pikirannya membenarkan perkataan Gavin. Lebih cepat ini selesai, maka akan lebih baik sehingga mereka tak perlu sampai melakukan hal yang lebih jauh lagi. Rani yang polos dan sudah dikuasai nafsunya tentu tak tahu kalau itu hanya akal-akalan Gavin saja.

“Aaahh yaaaankkkk…”

Pekikan dan desahan Rani bercampur saat kepala penis Gavin sudah berhasil membuka bibir kemaluannya. Dia merasakan sakit. Ukuran penis Gavin standar saja, tapi tetap saja terasa sakit karena vaginanya belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.

“Tahan bentar sayang, nanti sakitnya ilang kok.”

Gavin mendiamkan sejenak penisnya. Dia menciumi bibir Rani dan meremas lembut buah dadanya, mencoba memberikan rasa nyaman kepada Rani. Setelah beberapa saat, Gavin bisa melihat sepertinya rasa sakit Rani sudah mulai reda. Diapun menggerakkan penisnya. Rani sempat terbelalak, tapi sebelum protes dia sudah dicium oleh Gavin lagi.

Memang rasa sakit Rani sudah berkurang, berganti menjadi sebuah sensasi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Apalagi Gavin juga tidak melakukan penetrasi lebih dalam lagi, sehingga dia masih membiarkannya saja.

“Sayang…”

“Iya yank?”

“Aku masukin semua ya?”

“Jangan yank, aku nggak mau. Kamu kan udah janji.”

“Tapi yank, udah nanggung banget ini. Aku masukin ya? Kamu sayang sama aku kan?”

“Jangan. Aku nggak mau yank.”

“Aku akan bertanggung jawab yank, aku nggak akan ninggalin kamu. Aku sayang banget sama kamu.”

“Tapi yank, kamu kan udah janji.”

“Iya, dan aku juga janji nggak akan ninggalin kamu. Aku bakal nikahin kamu yank, dan jadi satu-satunya lelaki buat kamu. Aku masukin ya?”

Batin Rani berperang sekarang. Di satu sisi dia masih ingin menjaga kesuciannya, tapi disisi lain dia juga ingin merasakan sesuatu yang baru, yang selama ini hanya pernah dia dengar dari cerita teman-temannya saja. Apalagi saat ini kepala penis Gavin masik terus bergerak-gerak di vaginanya. Dia benar-benar bimbang.

“Kamu janji, nggak bakal ninggalin aku dan bakal nikahin aku?”

“Iya sayang, aku janji. Boleh ya yank?”

Kembali Rani terdiam. Satu sisi batinnya tetap berteriak agar menolak, tapi sisi lainnya berusaha untuk mempercayai janji Gavin barusan. Akhirnya, pikiran sehatnya benar-benar kalah oleh nafsunya sendiri, dan janji dari Gavin. Perlahan diapun menganggukan kepalanya.

“Pelan-pelan yank…”

“Makasih sayang. Aku sayang banget sama kamu, aku cinta sama kamu.”

Gavin tersenyum lebar penuh kemenangan, sedangkan Rani wajahnya nampak sekali sedang cemas. Gavinpun dengan sangat perlahan memasukkan penisnya sedikit-sedikit ke dalam vagina Rani. Meskipun dia memang dari awal mengincar keperawanan Rani, dia juga ingin melakukannya dengan selembut mungkin, agar Rani tak terlalu merasakan kesakitan. Penis itupun masuk perlahan, diiringi dengan Rani yang memejamkan matanya dan menggigit bibirnya sendiri, menahan sakit.

“Sayang, kalau sakit bilang ya…”

Rani hanya mengangguk. Gavin menangkap itu sebagai sebuah lampu hijau untuk meneruskan aksinya. Diapun kembali memasukkan penisnya, sangat perlahan.

“Aahh yaaank, tahan dulu, sakiiiit…”

Pekik kesakitan dari Rani membuat Gavin berhenti. Diapun kembali merangsang buah dada Rani sambil menarik penisnya perlahan. Setelah itu dimajukan lagi perlahan, kemudian ditarik, dimajukan lagi. Gavin melakukan itu berulang kali, dan selalu dengan sangat perlahan, agar rasa sakit di vagina Rani berkurang.

“Masih sakit sayang?”

“Ii,, iya, masih dikit.”

“Aku lanjutin ya, aku bakal pelan-pelan kok, kamu tahan dulu ya…”

Rani mengangguk. Gavin kembali memajukan penisnya. Rani kembali menahan rasa sakit yang dia rasakan. Kali ini dia mencoba menahan sebisanya. Sampai kemudian penis Gavin terhenti karena merasakan ada sesuatu yang menghalanginya. Gavin tahu, itu adalah selaput dara Rani, yang seharusnya baru boleh dirobek oleh suaminya.

“Yank, kamu tahan ya, ini bakal sedikit lebih sakit, tapi entar nggak lama kok.”

Rani yang tak mengerti maksud Gavinpun hanya mengangguk. Gavin menarik sedikit penisnya, lalu tiba-tiba dengan gerakan yang kasar dia hentakkan penisnya.

“Aaaaaarrrgghhhhh…”

Rani berteriak panjang. Rasa sakit yang luar biasa terasa dari vaginanya. Dia merasakan sesuatu yang robek disana, hingga terasa mentok di rongga kewanitaannya.

“Sakiiiiitt yaaaank…”

Rani mulai menangis, tapi kemudian Gavin yang menenangkan Rani dengan membelai kepala dan mengecup keningnya. Dia mendiamkan penisnya yang sudah tertanam sempurna di vagina sempit Rani. Gavin sebenarnya merasakan suatu kenikmatan luar biasa, seperti saat sebelumnya dia pernah memerawani beberapa gadis. Tapi kali ini dia mencoba menahan diri, untuk membuat Rani merasa lebih nyaman dulu, baru dia bergerak.

Mereka berdua, terutama Gavin, masih terus diam untuk beberapa saat, hanya tangisan Rani saja yang terdengar. Hingga akhirnya tangis Rani sudah mulai mereda, dan Gavin bisa merasakan remasan dinding vagina Rani di penisnya mulai agak berkurang, tidak seketat tadi.

“Udah nggak sakit yank?”

“Masih yank, masih sakit dikit.”

“Aku gerakin pelan-pelan ya, biar sakitnya lama-lama ilang.”

“Iya yank, pelan-pelan aja ya…”

Gavin mengangguk. Dia kemudian bergerak pelan, memaju mundurkan penisnya. Rani terlihat kembali mengernyit, sepertinya masih ada rasa sakit. Tapi tak lama kemudian ekspresi Rani seperti sudah semakin rileks. Gavin yang sudah pengalaman soal hal itu, tentu tahu. Diapun perlahan meningkatkan temponya, tapi tanpa membuat Rani merasa kesakitan.

Setelah sekitar 2 menit, akhirnya gerakan Gavin sudah mulai cepat, dan Rani juga sudah tidak merintih kesakitan lagi. Kali ini desahan nikmat yang sudah mulai keluar dari mulut Rani. Dia sudah mulai bisa menerima penis pacarnya itu. Kadang diapun menggerakkan pinggulnya, meskipun tak sampai mengimbangi gerakan Gavin.

Desahan Rani dan Gavin saat ini sudah memenuhi kamar ini. Gerakan dari Gavinpun semakin cepat. Dia memang tak pernah bisa bertahan lama jika mendapatkan vagina perawan seperti milik Rani ini. Diapun juga tak pernah melakukan variasi gerakan saat menjebol keperawanan seorang gadis. Karena itulah dari tadi posisi mereka tak berubah. Apalagi mengingat Rani adalah seorang yang sangat pemula, maka tak perlu yang aneh-aneh dulu, yang penting bagi Gavin adalah memperkenalkan kenikmatan bersetubuh kepada gadis itu.

Setelah hampir 10 menit penisnya berada di dalam vagina Rani, Gavinpun semakin tak tahan. Sempit dan nikmatnya lubang perawan Rani membuatnya benar-benar menyerah, hingga diapun menyentak dengan sedikit kasar. Tapi Gavin masih mampu berpikir jernih, dia tak ingin ejakulasi di dalam vagina Rani, yang mungkin akan menimbulkan masalah nantinya. Penis Gavin kemudian menghentak dengan keras, lalu ditarik keluar dan langsung dikocoknya. Dalam hitungan detik menyemburlah cairak spermanya yang hangat dan kental di perut dan bahkan sampai ke buah dada Rani.

“Aaaaahh yaaankkkk…”

Badan Gavin mengejang, begitu juga Rani. Karena beberapa saat sebelum Gavin menarik penisnya tadi, Ranipun juga mendapatkan orgasmenya.

Beberapa saat mereka terdiam. Gavin menatap Rani yang pandangannya kosong ke arah langit-langit kamar. Di perut dan dadanya nampak lelehan sperma Gavin, dan di bibir vaginanya yang terbuka, masih nampak bercak darah keperawanannya. Gavin tersenyum puas. Dia baru saja menaklukkan gadis buruannya, yang akan dia gunakan untuk tujuan selanjutnya.

 

+++
===
+++​

Sementara itu, kembali ke hotel tempat Lidya menginap, kondisinya sudah berbeda dengan yang tadi. Saat ini, terlihat Lidya yang sudah tak memakai apa-apa, sedang bergoyang dengan sensual di atas tubuh Haris, yang juga sudah tidak memakai apa-apa. Harispun terlihat sedang meremasi kedua payudara Lidya yang bergerak naik turun dengan indahnya.

Malam ini, Haris sudah melanggar janjinya. Dia sudah melanggar kesetiannya kepada Anin. Tadi, setelah makan malam yang mereka pesan dan diantar ke kamar ini, mereka berdua tiduran dengan berpelukan. Lidya memang minta untuk dipeluk oleh Haris, karena dia benar-benar rindu tidur dalam kondisi seperti itu.

Tapi pada akhirnya, mereka hanyalah sepasang manusia biasa. Di dalam kamar sebuah hotel, hanya berduaan dalam posisi itu, perlahan nafsu mereka bangkit. Awalnya mereka sama-sama berusaha menahan, tapi lama-lama kalah juga. Berawal dari saling bergesekan badan, Haris kemudian mengecup kepala Lidya beberapa kali, dan Lidya membalas dengan menciumi daerah leher Haris.

Ciuman mereka akhirnya bertemu antar bibir, dan dari situlah semuanya sudah tak terkendali lagi, hingga sampai sekarang keduanya sudah sama-sama telanjang bulat, dan kedua kemaluan mereka beradu. Lidya tadi sudah sempat orgasme sekali dan kemudian mereka berganti posisi seperti saat ini, Lidya yang berada diatas.

Haris saat ini benar-benar melupakan semuanya, termasuk Anin. Yang dia rasakan saat ini hanyalah untuk meluapkan rindunya kepada Lidya. Begitupun sebaliknya. Lidya nampak begitu bergairah, meluapkan kerinduannya yang sangat mendalam kepada Haris. Semua yang dia pendam sejak pertemuan terakhir mereka, dia keluarkan semuanya malam ini. Haris bisa merasakan hal itu, dan dia menerimanya.

“Aaahh yaank, aku keluar lagiii…”

“Keluarin sayang, keluarin semua…”

Kembali badan Lidya menegang, dia orgasme lagi. Keduanya berhenti, untuk memberi waktu kepada Lidya menikmati orgasmenya. Tak lama kemudian Haris bangkit untuk merubah posisi mereka kembali. Dia meminta Lidya tiduran tengkurap, lalu menarik sedikit pantat indahnya keatas.

“Posisi favorit ya sayang?” tanya Lidya sambil mengerling.

“Hehe iya, biar kamu makin KO sama aku.”

“Haha, aku kapan sih yank nggak KO sama kamu?”

Haris hanya tertawa, lalu tanpa membuang waktu lagi, dia kembali memasukkan penisnya di vagina Lidya.

“Uuuuughh yaank, enaaak…”

Erangan Lidya langsung direspon oleh Haris dengan langsung menggerakkan penisnya dengan cepat. Seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya beberapa bulan yang lalu, dalam posisi ini beberapa kali Lidya menerima orgasme-orgasme kecil. Dan Haris sepertinya memang benar-benar ingin membuat Lidya KO malam ini. Dia terus saja menggenjot Lidya meskipun gadis itu sudah berkali-kali orgasme. Lidyapun membiarkannya saja, karena dia juga menginginkan ini, dia merindukannya.

“Aaahh Lidya sayang, aku mau keluar nih, dimana?”

“Dalem aja yank, aku aman kok.”

“Beneran?”

“Iya, di dalem aja yank.”

Mendapat lampu hijau dari Lidya, Harispun semakin cepat dan keras menggenjotnya. Lidya sudah semakin kesetanan diamuk birahi yang diberikan oleh Haris. Desahan mereka berdua makin tak terkendali, tak peduli kalau terdengar sampai keluar kamar. Hingga pada sebuah titik dimana Haris tak bisa menahannya lagi, dia menghentakkan penisnya dengan keras sambil menjatuhkan diri memeluk Lidya yang tengkurap.

“Aaaaaaaaaahhhh…”

Desahan panjang dari kedua, diiringi tubuh mereka yang mengejang bersamaan. Kedua orgasme dengan sangat nikmat, sampai-sampai mereka memejamkan matanya. Haris masih terus memeluk Lidya, dan membiarkan penisnya di dalam vagina yang masih terus berkedut itu, seolah sedang meremas penisnya agar semua cairannya keluar.

“Ris, geser ih, berat,” ucap Lidya setelah mereka berdiam cukup lama.

“Eh iya, maaf, hehe.”

Haris kemudian bergerak, mencabut penisnya lalu meraih kotak tissu di dekat mereka. Lidya membalikkan badannya dan membuka kedua kakinya, membiarkan Haris membersihkan vaginanya. Setelah itu Haris berbaring di samping Lidya. Mereka berdiam untuk beberapa saat.

“Ris, maafin aku ya, aku udah bikin kamu melanggar janjimu.”

“Iya, aku juga minta maaf nggak bisa menahan diri. Tapi, ini yang terakhir ya Lid? Aku…”

“Iya, ini yang terakhir. Aku juga kasihan sama Anin, aku bener-bener ngerasa bersalah sama dia.”

“Ya udah, nggak usah dibahas lagi.”

Merekapun kembali berpelukan dalam keadaan masih telanjang bulat. Haris menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka, yang artinya juga, tidak ada permainan lanjutan setelah ini. Mereka mencoba untuk tidur, tapi sulit. Keduanya masih terjaga, dengan pikiran mereka masing-masing. Tapi yang pasti, mereka tidak melakukan apa-apa lagi disisa malam ini.

Malam ini, 2 orang lelaki telah mengingkari janji mereka ke pasangan masing-masing. Yang 1 karena memang sudah direncanakan, dan ada tujuan lain di balik itu semua. Diapun memastikan, bahwa ini bukan yang terakhir kalinya. Sedangkan yang 1 lagi, karena keadaan dan tak kuasa menahan dirinya. Dan dia memastikan, ini adalah untuk yang terakhir kali dia melanggar janjinya, setelah ini, dia akan berusaha sekuat tenaga, untuk terus memegang janjinya untuk bisa berubah.

Bersambung

Foto Ai mizushima di entot rame rame
Foto Sperma Dicrot Diatas Memek Tante Jablay
janda bohay
Berpacaran dengan janda montok yang sudah punya tiga anak
Cerita Dewasa Belajar Enak-Enak Dari Tante Lilis
cerita remaja
Pengalaman masa muda yang tak akan pernah terlupakan bagian 2
cerita sex foto model bugil
Audisi Jadi Model Yang Mengharuskan Ku Foto Bugil
gadis bugil
Gara Gara Belajar Ilmu Hipnotis Kakak Dan Pembantu Ku Jadi Korban
Siti SPG cantik aku menikmati tubuhmu
Foto bugil ABG SMA cantik toket gede pamer memek pink
sex Sedarah dengan mama
Keperjakaanku Di Ambil Mama Ku Sendiri
Foto bugil anje gadis SMA montok bugil
dua gadis sexy
Nonton Bokep Bareng Saudara Tiri Yang Cantik-Cantik
Cerita Dewasa Enak-Enak Dengan Dosen Di Kampus
Cerita Dewasa Selingkuh Sama Tante Sampai Hamil
masturbasi
Cerita sex menikmati puncak gairah di warnet
mahasiswi nakal
Ku beri kan tubuh molek ku kepada petugas ronda sebagai balas budi