Part #22 : Petualangan Sexs Liar Ku
Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Karena aku sekarang memiliki jadwal latihan basket di tim GB.
Meskipun kontrak ku masih trial tapi aku harus menunjukkan performa terbaik ku agar aku dapat lolos ke tim utama.
Namun sebelum berangkat latihan aku sempatkan untuk mengunjungi Reihan karena orang tuanya sudah mengamanatkan dia untuk aku jaga selama mereka pergi.
Saat aku sampai di sana aku ketuk pintunya namun tidak ada jawaban, maka aku langsung masuk saja, kebetulan pintu tidak dikunci.
Setelah aku cari-cari ternyata Reihan dan Bu Lastri sedang berada di kamar mandi. Pintu kamar mandi itu terbuka, Bu Lastri sedang memandikan Reihan.
Tapi yang membuat ku terkejut dia hanya mengenakan handuk yang dililitkan di tubuhnya.
Sontak melihat kedatangan ku Bu Lastri langsung memekik lalu berdiri dari posisi jongkok.
“Ahh Randy! masuk gak bilang-bilang!” protesnya sambil menutupi dada dan selangkangannya.
Padahal area itu sudah tercover oleh handuknya, hanya saja saat dia berjongkok tadi samar-samar aku dapat melihat rambut lebat yang menutupi vaginanya.
Aku bersikap biasa saja malah aku lebih fokus ke Reihan.
“Papa!” panggilnya seraya menengadahkan kedua tangannya.
Aku pun langsung mengangkat tubuh basah itu ke dalam pelukan ku, hingga jaket yang aku kenakan sedikit basah.
“Hmm…lagi mandi, pantesan papa panggil-panggil gak ada yang nyaut.”
Pandangan ku kini beralih ke Bu Lastri yang masih mematung di sana.
“Ngapain Bu diem di situ, hehehe…”
“Ta…tadi niatnya habis mandiin Reihan, ibu mau mandi sekalian,” jawabnya canggung.
Aku hanya tersenyum singkat, sejenak aku pandangi tubuh Bu Lastri dari atas sampai bawah. Yah memang sudah kendor sana-sini.
“Ya udah bu lanjut mandi aja, biar Reihan aku yang urus, ini Reihan udah selesai dimandiin kan?”
“U…udah kok.”
“Ya udah kalo gitu.”
Aku pun berbalik meninggalkan kamar mandi untuk pergi menuju ke kamar Reihan.
Di dalam kamar Reihan melompat-lompat di atas kasur saat aku sedang mengambil pakaian gantinya.
“Reihan kenapa gak mau ikut sama mama?” tanya ku kepadanya.
Reihan menggeleng pasti.
“Da papa lek!” (Ada papa jelek!)
Aku setengah tertawa mendengar jawabannya.
“Emang Reihan gak suka sama papa Ginanjar?”
Reihan kembali menggelengkan kepalanya.
“Papa…mama!” tunjuknya kepada diri ku lalu kepada foto Tante Dewi yang berada di dinding kamarnya.
Maksudnya aku adalah papanya lalu Tante Dewi adalah mamanya.
Setelah selesai memakaikan baju untuk Reihan, aku hendak pamit kepada Reihan dan Bu Lastri yang baru selesai mandi untuk pergi latihan.
“Papa mo ana?” (Papa mau kemana?”) tanya Reihan.
“Papa mau latihan basket, biar nanti kamu bisa nonton papa di TV,” jawab ku sekenanya.
“Iyut!” (Ikut!)
Reihan langsung merentangkan tangannya minta digendong saat aku hendak beranjak pergi.
“Den Reihan sama bibi dulu yah, papa mau latihan, nanti habis latihan papa ke sini lagi,” bujuk Bu Lastri.
“Iya Reihan, papa cuma sebentar kok,” timpal ku.
Namun Reihan tetap ngotot ingin ikut dengan ku. Malah sekarang dia sudah setengah menangis sambil merengek.
“Da! eyan mo iyut!” (Gak! Reihan mau ikut!)
“Tapi papa bawa motor, bukan mobil.”
Dia tetap kekeh ingin ikut, sampai akhirnya aku mengalah dan membawanya berangkat latihan bersama ku.
Aku pun memacu motor ku dengan sangat pelan karena Reihan terlihat takut saat menaiki motor. Sepertinya itu adalah pertama kalinya dia naik di atas motor karena biasanya dia menaiki mobil.
Sesampainya di tempat latihan tim GB, aku terlebih dahulu pergi menuju ruang coach sesuai arahan dari coach Roy tempo hari.
Saat aku berjalan di pinggir court aku mengedarkan pandangan ku ke arah pemain yang sedang melakukan pemanasan di sana.
Mata ku berhenti saat aku melihat sosok yang telah berjasa membantu ku namun ku buat kecewa. Ya, dia adalah Justin.
Justin menatap ku sesaat kemudian berpaling, aku memaklumi itu karena memang itu salah ku.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di depan ruang coach. Sambil menggendong Reihan aku mencoba mengetuk pintu.
Namun belum sempat aku melakukannya tiba-tiba keluar seorang wanita yang pernah ku temui sebelumnya. Melihat ku datang dia melemparkan senyuman.
“Randy ya, lu mulai latihan hari ini?” ucap wanita itu.
“Iya nih, ehh lu anaknya coach Roy kan, nama lu siapa? kemarin kita belum sempat kenalan.”
Aku mengulurkan tangan kanan ku. Dia memanggil ku dengan kata lu gue, mungkin dia bisa jadi teman yang asik.
“Nama gue Aprilia, biasa dipanggil Prilly,” jawabnya seraya meraih tangan ku.
“Kok lu ada di sini?”
“Itu ada barang yang ketinggalan, papah minta dianterin barangnya ke sini.”
Kemudian tatapannya berpindah ke arah seorang anak kecil yang sedang aku gendong.
“Loh ini kan Reihan, anaknya Tante Dewi sama om Ginanjar,” tunjuk Prilly ke arah sepupunya itu.
“Hehehe…iya nih, om sama Tante lagi pergi ke luar kota jadi gue dititipin suruh jagain Reihan buat sementara waktu sampe mereka balik.”
“Hai Reihan, uhh…tambah imut aja nih sekarang,” ujar Prilly sambil mencubit pipi Reihan namun segera ditepisnya.
“Was, ngan egang-egang, dah akep!” (Awas, jangan pegang-pegang, udah cakep!)
Kami berdua terkekeh dengan ucapan Reihan yang belum sempurna itu. Prilly kemudian kembali menyeletuk.
“Nanti kalo lu latihan Reihan mau ditaroh dimana? di loker? hahaha…” canda Prilly yang di sambut oleh manyunan bibir dari Reihan.
“Hahaha…iya juga yah, emm…kalo gitu gue titip sama lu gak papa kan, lu ada acara gak?”
“Dua jam lagi gue ada kuliah sih…”
Sejenak Prilly menautkan alisnya.
“Boleh deh, tapi nanti anterin gue ke kampus ya!” katanya memberi syarat.
“Kalo itu sih gampang, nih gue mau ngadep bokap lu dulu.”
Aku menyodorkan Reihan kepada Prilly yang langsung disambut olehnya. Reihan tidak menolak hanya menjulurkan lidahnya yang dibalas dengan hal yang sama oleh Prilly.
Setelah itu aku masuk menemui coach Roy. Di dalam dia hanya berpesan bahwa aku harus berlatih dengan semaksimal mungkin dan yang paling terpenting adalah aku harus memperbaiki hubungan ku dengan Justin.
Karena mau sebaik apapun performa ku tetap akan kalah apabila dirinya harus memilih salah satu di antara aku dan Justin.
Selesai briefing dengan coach aku berganti pakaian dan bergabung dengan yang lain di lapangan basket.
Di sana aku kembali bertemu dengan Justin. Aku hampiri sebentar dirinya untuk meminta maaf, aku singkirkan ego ku terlebih dahulu.
“Tin, gue mau ngomong sama lu,” pungkas ku mengawali pembicaraan yang sudah lama tidak kami lakukan.
Justin melirik sejenak kepada ku.
“Mau ngomong apa?” balasnya sambil melemparkan bola basket ke dalam jaring.
“Soal gue, lu, sama Anes.”
Justin memutar bola matanya malas.
“Bukannya semua udah jelas ya, lu udah nusuk gue dari belakang, tepatnya kalian berdua.”
Deggg
Apa maksudnya? apakah Justin sudah tau kalau hubungan ku dengan Anes atas dasar suka sama suka dan mau sama mau. Padahal saat diri ku dan Anes tertangkap basah waktu itu aku mengaku kalau aku telah memperkosa Anes demi melindunginya.
“Anes udah cerita semuanya, dan sekarang gue udah putus sama dia, jadi kalo lu mau ambil dia silahkan!” ucap Justin ketus.
“Apa? lu putus sama Anes? terus sekarang dia tinggal dimana?”
“Bukan urusan gue!” jawab Justin dengan nada meninggi.
“Tin, kayaknya kita harus selesaiin masalah ini.”
“Lu gak liat sekarang kita lagi apa? jangan bawa urusan pribadi ke lapangan.”
Justin kemudian beranjak dari tempatnya untuk melanjutkan latihan di susul dengan diri ku. Mungkin benar, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya.
Kami pun berlatih di lapangan dengan instruksi dari coach Roy. Di samping lapangan ada Reihan dan Prilly yang sedang mengamati aktifitas ku.
Sesekali Reihan meneriaki kata ‘papa’ yang membuat Prilly sedikit memicingkan mata namun setelah itu dia justru tertawa terbahak-bahak karena menganggap sepupunya itu sedang halu.
•••
Hari itu latihan aku lewati dengan performa yang tidak terlalu baik tetapi tidak terlalu buruk juga. Aku masih mencoba beradaptasi dengan intensitas latihan yang tinggi terlebih lagi tubuh ku sudah lama tidak dipakai untuk olahraga kecuali di atas ranjang.
“Gimana latihannya barusan?”
Prilly yang sedang menggendong Reihan berjalan mendekati ku.
“Lumayan lah,” jawab ku singkat sambil menerima botol minuman dari Prilly.
“Lumayan untuk seorang amatiran ya, hahaha…”
“Hmm…”
Aku mendengus kesal, kemudian kami duduk di tribun bawah untuk beristirahat sejenak sambil meneguk air agar aku tidak dehidrasi.
“Papa bat!” (Papa hebat!) ucap Reihan sambil mengacungkan jempolnya.
“Papa papa mulu dari tadi, papa dari Hongkong?!” canda Prilly yang dibalas tatapan kesal dari Reihan.
“Iya kan emang itu cita-cita Reihan, ya gak Rei?” balas ku sambil menaikkan kedua alis ku.
“Hah?! cita-cita apaan?
“Cita-cita punya papa ganteng, hahaha…”
Kini aku yang giliran tertawa lepas. Prilly memajukan bibir bawahnya.
“Kepedean lu,” timpal Prilly remeh.
Sesaat kami bercanda lepas. Karakter Prilly yang periang dan humble membuat kami cepat akrab. Dia seolah mengingatkan ku kepada Lisa, sahabat ku saat masih SMA.
“Ehh ayo deh, tiga puluh menit lagi gue ada kuliah nih.”
Obrolan kami terputus karena Prilly harus berangkat ke kampus karena ada jam kuliah.
“Ya udah ayo!”
Aku lalu pergi mengantar Prilly bersama Reihan sebagai balas budi karena telah menemani Reihan selama aku latihan tadi.
Sesampainya di kampus Prilly yang tidak lain adalah kampus tempat Justin, Anes dan Annisa kuliah, Prilly berpamitan kepada kami.
“Bye Randy, makasih ya udah dianterin,” ucap Prilly berterima kasih kepada ku sambil tersenyum manis yang ku jawab dengan anggukan.
“Ngan enit-enit ma papa we!” (Jangan genit-genit sama papa gue!) ujar Reihan menirukan kosa kata kami.
Sejenak kami saling berpandangan, kemudian…
“Bhahahha…!!!”
Serentak kami tertawa bersama-sama.
“Sok gaul lu Rei,” timpal Prilly sambil mencubit pipi Reihan gemas.
“Yarin!” (Biarin) balasnya sembari menjulurkan lidah.
“Ya udah kalo gitu, kakak masuk dulu ya, bye Reihan, bye Randy.”
Prilly melambaikan tangan ke arah kami.
“Husss…husss…husss…”
Reihan bukannya membalas malah mengusirnya untuk segera pergi.
“Papa ngan uka ma ka pilly!” (Papa jangan suka sama kak Prilly!)
“Iya papa kan sukanya sama mama Dewi.”
Dia tersenyum mendengar jawaban dari ku. Namun di dalam hati aku merasa ragu, secara sekarang aku merasa kalau Tante Dewi mencoba menghindari ku, bahkan dari kemarin dia sama sekali tidak menghubungi ku.
Saat kami sedang berjalan menuju parkiran tempat motor ku di parkir tiba-tiba ada seseorang yang memanggil ku.
“Randy!”
Aku pun langsung menoleh ke arah sumber suara.
Deggg…
Aku terkejut, ternyata orang yang barusan memanggil ku adalah…
Bersambung