Part #21 : Petualangan Sexs Liar Ku
Aku sedang merebahkan diri ku di atas ranjang apartemen yang empuk sembari mendengarkan suara yang keluar dari ponsel ku.
“Meskipun dia darah daging mu bukan berarti dia itu anak mu, bukannya kamu dulu gak mau mengakui dia sebagai anak mu!”
~~~~~
“Iya aku ngerti, tapi bukannya sekarang Reza udah dapat karmanya dengan bertanggung jawab atas apa yang harusnya jadi tanggung jawab mu!”
~~~~~
“Tapi dulu kita pernah menjebak Reza dan sampai sekarang dia gak sadar dengan hal itu kan.”
~~~~~
“Enggak, aku gak mau melakukan itu, sudah cukup aku jadi orang jahat dan hina, kalau kamu mau lakukan itu, jangan libatkan aku ataupun Annisa!”
Rekaman percakapan itu aku putar dan ku dengar dengan seksama. Aku tanpa sepengetahuan icha diam-diam merekam semua percakapan yang kami lakukan.
Aku tak berniat untuk menunjukkan rekaman itu pada keluarga Reza, hanya untuk berjaga-jaga agar Icha berada di bawah kendali ku.
“Dengan rekaman ini Icha gak punya pilihan lain selain nurutin apa yang gue mau.”
Senyum smink tersemat di bibir ku. Saat sedang memikirkan rencana itu tiba-tiba ponsel ku berbunyi.
Beep…beep…beep…
Ternyata itu telepon dari Tante Dewi. Maka ku angkat takut ada hal yang penting.
“Halo Randy!” sapa Tante Dewi dari arah ponsel ku.
“Halo Tante, ada apa?”
Ku sapa dengan normal karena om Ginanjar ada di sana juga.
“Bisa ke sini gak sekarang, ada hal yang mau diomongin.”
“Bisa Tante, sekarang Randy otw ya!”
Terdengar dia tertawa kecil.
“Santai aja Ran, gak buru-buru kok,” ucapnya seraya berpamitan lalu menutup telepon itu.
Aku dengan sigap langsung pergi menuju rumah Tante Dewi. Dalam hati aku bertanya ada apakah gerangan.
Tok…tok…tok…
Aku mengetuk pintu rumah yang sudah tak asing lagi bagi ku. Seperti biasa Bu Lastri membukakan pintu dan mempersilahkan aku untuk masuk.
“Ayo Ran, silahkan duduk.”
Om Ginanjar menyuruh ku untuk duduk. Aku melihat dia dan Tante Dewi sudah berpakaian rapi dan dua koper telah berjejer di samping mereka.
“Jadi gini Ran, om mau berangkat lagi ke Tangerang, tapi gak tau kenapa nih istri saya minta ikut,” ujar om Ginanjar dengan menyunggingkan senyum lebar.
“Awalnya Reihan mau diajak ikut tapi dia gak mau, katanya mau sama om Randy aja gitu, jadi…”
Om Ginanjar menggantung kata-katanya, sejenak ia menoleh ke arah Tante Dewi.
“Jadi kami mau titip Reihan sama kamu, apa kamu keberatan?” lanjutnya.
Aku masih terdiam belum menjawab pertanyaan dari om Ginanjar. Bukan karena aku keberatan, tapi karena merasa aneh tiba-tiba Tante Dewi minta ikut dengan suaminya.
Apa dia sedang menghindari ku? apakah dia menyesal telah menjalin hubungan yang begitu dalam dengan ku? apakah dia berniat untuk menyudahi hubungan itu dan kembali ke dalam pelukan suaminya?
Berbagai macam pertanyaan terkumpul di kepala ku. Ada rasa kecewa di dalam hati ku tapi itu adalah keputusan dari Tante Dewi, jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa.
“Bagaimana Randy? kalo kamu memang keberatan gak papa, nanti kami paksa Reihan untuk ikut dengan kami.”
Lamunan ku buyar seketika.
“E…eh gak sama sekali om, justru saya senang kalo bisa main sama Reihan, anaknya lucu dan asik,” jawab ku dengan senyum canggung.
Mereka tersenyum lalu mengangguk.
“Ya sudah kalo begitu, jadi mulai besok kamu datang pagi ke sini ya, temani Reihan tapi kalo lagi gak ada acara aja, nanti bi Lastri yang beres-beres rumah.
“Siap om!”
Sejenak aku tatap Tante Dewi yang sedari tadi diam saja, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Namun urung dia ucapkan.
Setelah percakapan itu aku langsung pamit untuk pulang karena ku lihat mereka sudah bersiap untuk berangkat dengan menggunakan mobil yang om Ginanjar kendarai.
•••
Side story
Seorang lelaki yang baru saja pulang kerja tengah menarik paksa istrinya ke dalam kamar.
“Aduh mas sakit, lepasin mas tolong!”
“Dah sini aku mau ngomong sama kamu!” timpalnya seraya mendorong istrinya hingga terjatuh di atas kasur.
Kemudian pria itu berbalik sejenak untuk mengunci pintu lalu kembali. Ditatapnya wajah istrinya yang setengah ketakutan.
“Tadi waktu aku jemput Annisa, dia cerita tentang orang yang namanya Randy.”
Pria yang bernama Reza itu menghentikan sejenak kata-katanya.
“Kenapa dia bisa ada di sini?! dan kenapa Annisa bilang kalo kamu sama Randy punya hubungan dekat, apa kamu yang kasih tau dia tentang keluarga ku hah?!” bentak Reza kepada istrinya.
Mata Icha sudah berkaca-kaca, dia menahan tangis sekuat tenaga, entah kenapa setelah dia berumah tangga dia jadi mudah sekali menangis, padahal kalau itu terjadi saat dia masih kuliah, dia akan balik membentak bahkan tidak segan menampar orang yang berani melawan dirinya.
“Enggak mas, aku gak kasih tau apa-apa Randy soal keluarga kita, aku juga kaget kenapa dia tiba-tiba bisa ada di sini,” sanggah Icha sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Reza sedikit menunduk, tangannya ia gunakan untuk menarik dagu Icha agar mendongak menatap wajahnya.
“Aku gak tau apa yang udah Randy kasih ke kamu sampai-sampai kamu mau nurutin semua perkataan dia,” tukasnya berspekulasi.
Reza memang tidak memiliki bukti apa-apa. Ucapannya barusan hanya berdasarkan dugaan dan kecurigaan.
“Kamu ngomong apa mas, aku gak ada hubungan apa-apa sama dia, aku…”
“BOHONG!!!” bentak Reza yang membuat Icha tersentak kaget.
Plakkkk…!!!
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Icha yang membuat dirinya tersungkur di atas ranjang.
Pipinya memerah membentuk cap tangan. Wajahnya memanas, tamparan ini begitu menyakitkan baik fisik maupun hati.
Hal itu membuat Humaira yang tengah tertidur di boks bayi terbangun lalu menangis.
Dengan sigap dan mengesampingkan rasa sakitnya Icha bangkit hendak menenangkan bayinya itu.
Namun sebelum ia berdiri sempurna, Reza mencekal tangannya dan menarik hingga dia kembali dalam posisi semula.
“Aduh mas, Aira nangis, aku mau nenangin dia dulu.”
“Biarin! aku belum selesai ngomong sama kamu!” cegahnya.
Icha terpaksa menuruti perintah dari Reza meskipun hatinya menjerit ingin mendekap anaknya yang sedang menangis.
“Aku emang udah curiga dari awal, dari saat Tante Rose (ibunya Randy) nangkep basah kita waktu di kost, gak mungkin dia bisa dateng sama si brengsek Randy itu kalo bukan ada bantuan dari kamu!”
Icha tidak dapat mengelak, dia lebih memilih untuk menangis dengan keras daripada menyanggah ucapan Reza yang nantinya malah akan membongkar semua kenyataan yang saat ini masih menjadi dugaan dari suaminya itu.
“Aku tau apa tujuan Randy datang ke sini.”
Reza menggenggam leher Icha layaknya sedang mencekik.
“Kalo sampai terjadi apa-apa sama keluarga ku, kamu yang pertama bakal terima akibatnya!” ancam Reza.
Dari balik pintu kamar mereka, Annisa mendengar percakapan itu. Saat tiba di rumah, Reza memang menyuruh Annisa untuk segera masuk ke kamar dan berganti pakaian, namun saat hendak mengambil minum di kulkas dirinya mendengar samar-samar pertengkaran dari arah kamar kakaknya.
Annisa pun menghampiri kamar mereka untuk menenangkan pertengkaran tersebut, tetapi saat akan mengetuk pintu, dirinya dibuat terdiam oleh perkataan Reza dari dalam.
Dia kemudian memutuskan untuk menguping percakapan mereka.
“Aku emang udah curiga dari awal, dari saat Tante Rose nangkep basah kita waktu di kost, gak mungkin dia bisa dateng sama si brengsek Randy itu kalo bukan ada bantuan dari kamu!”
Mata Annisa terbelalak, bibirnya ia tutup dengan telapak tangannya sendiri. Ternyata benar apa yang menjadi kecurigaannya selama ini bahwa orang yang bernama Randy bukanlah orang yang bukan siapa-siapa. Dia punya andil yang cukup besar dalam konflik keluarganya yang belum dia ketahui secara jelas.
“Hah?! Tante Rose? Tante Rose siapa? maksudnya Tante Rosmala? istri dari om Solikin yang jadi saudara jauh bunda? yang anaknya mau dijodohin sama kak Reza? tapi apa hubungannya dia dengan masalah ini?” batin Annisa.
Tiba-tiba kepalanya menjadi pusing kala serpihan puzzle yang sedikit demi sedikit ia kumpulkan ternyata tidak ia letakkan pada tempat yang semestinya dan harus ia ulangi dari awal.
Annisa pun lalu mempersiapkan dirinya untuk masuk takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan mengingat kakaknya sedang dalam emosi yang tinggi.
Tok…tok…tok…
Sejenak Reza menoleh ke arah pintu. Dengan terpaksa dia mendorong Icha yang tadi dicekiknya hingga jatuh ke atas ranjang.
Reza berbalik untuk membukakan pintu. Setelah pintu terbuka terlihat Annisa yang sedang berdiri di depan pintu sambil menatap mata kakaknya yang memerah.
Sontak Annisa pun menunduk karena takut dengan wajah Reza yang baru pertama kali ia lihat dalam kondisi seperti itu.
Tanpa satu kata pun Reza berlalu melewati Annisa yang masih berdiri mematung di sana.
Setelah Reza menghilang dari pandangan, Annisa kemudian masuk ke dalam kamar kakaknya untuk mengecek kondisi Icha.
Di dalam sana Icha masih menangis sesenggukan sambil meraih Humaira yang berada di boks bayi.
“Kak, m…maafin Nisa!”
Sungguh dia merasa bersalah telah mengadu tentang hal itu kepada kakaknya sehingga membuat Reza murka kepada Icha.
Dia tidak menyangka kalau apa yang dia lakukan akan membuat kakaknya marah besar, yang ingin dia lakukan semata-mata hanya untuk mencari tahu akar permasalahan yang sampai saat ini masih menjadi misteri.
“Kak, kakak gak papa?” tanya Annisa yang merasa kalimat pertama yang ia lontarkan tidak mendapat respon sama sekali dari Icha.
Icha lebih fokus kepada Humaira yang sedang menyusu di payudaranya. Dia benar-benar mengabaikan adik iparnya itu.
Merasa diabaikan, Annisa lalu mencoba mendekat ke arah mereka. Dia menunduk untuk melihat wajah kakak iparnya itu.
“Astaghfirullah kak, pipi kakak bengkak dan merah,” ucapnya khawatir seraya mencoba untuk mengecek kondisi pipi Icha yang memar bekas ditampar suaminya.
Namun Icha langsung menepis tangan Annisa.
“Kamu gak usah pedulikan kakak, lebih baik kamu urusi rasa penasaran kamu, cari tau sedetail mungkin biar kamu puas! Kakak udah gak akan ngelarang kamu lagi.”
Tangis Icha kembali lolos membuat Annisa semakin merasa bersalah.
“M…maafin Nisa kak, Nisa gak tau kalo kak Reza sampai bisa Semarah itu sama kakak.”
Annisa kemudian terdiam, wajahnya menunduk menunggu respon dari Icha, namun yang ditunggu tak kunjung berbicara.
Setelah menghembuskan nafas kasar, Annisa pun bangkit dan meninggalkan kakak iparnya yang dalam situasi terguncang, mungkin lebih baik dia membiarkan waktu Icha untuk sendiri.
Di luar kamar Annisa mendapati Reza tengah duduk di kursi meja makan sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Dia lalu menghampirinya. Rasa takut akan kemarahan Reza harus ia lawan agar masalah ini cepat selesai.
“Kak, kenapa kakak marah sama kak Icha? sampai kakak nampar istri kakak sendiri, bukannya dalam agama seorang suami dilarang berbuat kekerasan sama istrinya!”
Kini ia beranikan diri untuk menatap mata kakaknya itu. Raut wajah amarah yang Annisa lihat saat Reza keluar dari kamarnya sudah tidak nampak lagi dan berganti dengan wajah gelisah.
“Kamu gak ngerti apa-apa Annisa, kamu gak usah ikut campur urusan kakak!”
“Gimana Nisa gak ikut campur kak, orang yang namanya Randy itu…”
“Stop Nis!” potong Reza.
Dia kemudian berdiri dari duduknya.
“Kakak ingetin sama kamu ya, jangan sekali-sekali kamu berurusan sama orang yang namanya Randy itu. Dia orang yang berbahaya!” terang Reza memperingati.
Matanya tajam menatap ke arah adiknya itu. Dengan wajah kesal Annisa berbalik dan pergi menuju kamarnya.
Bagaimana tidak kesal, niat hati ingin mencari tahu tentang akar permasalahan yang terjadi pada kakaknya, tapi yang ia dapat hanya peringatan tanpa penjelasan.
Dia melemparkan tubuhnya di atas kasur seraya menutup wajahnya dengan bantal.
Rencananya untuk mencari tahu dari kakaknya gagal total. Bukannya memperjelas, justru hal itu menimbulkan masalah yang baru.
Sekarang kakaknya bertengkar dengan istrinya. Hal yang membuat Annisa merasa bersalah karena dirinya yang menyebabkan Icha mendapat kekerasan dari kakaknya.
Annisa merutuki dirinya sendiri, tapi rasa penasaran bukannya lenyap malah semakin menjadi. Dia memang orang yang apabila menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya.
Sejenak dia berpikir.
“Memang seberbahaya apa sih dia, sampai-sampai kakak ngelarang keras buat berurusan sama dia.”
Kini tatapannya mengarah ke langit-langit kamarnya. Bantal yang sedari tadi ia gunakan untuk menutupi wajahnya sudah tersemat di belakang kepalanya.
“Selama aku punya Tuhan, gak ada yang perlu aku takuti,” ujar Annisa memantapkan hati.
Bersambung