Part #12 : Membantu Pipit
Pulang dari rumah Yuli waktu petugas takmir mesjid mulai menghidupkan sound systemnya dan lantunan ayat suci berkumandang. Ya ngantuk, ya gempor juga. Kalau digabung dengan yang tadi siang di penginapan aku sudah ngecrot 5 kali totalnya.
Sehabis nembak, istirahat sekitar 15-20 menit, Aseng junior sudah mulai menggeliat bangun lagi karena terus menerus dirangsang Yuli dengan berbagai cara dan variasi. Pokoknya Aseng junior gak dikasih istirahat malam itu sampe dini hari. Lama-lama ngilu juga ya. Si Aseng junior terasa panas karena bolak-balik disuruh gesek trus udah kek ulekan sambal. Tapi mau pulak dia bangun lagi dan lagi. Enak-la pulak si Yuli ini. Jepitan liang kawinnya memang paten kali walo udah punya lakik sampe tiga kali. Yang paten-la dia merawat onderdilnya itu. Udah kek pengantin baru kami ngentot berulang-ulang. Terakhir sama Aida paling banyak cuma 4 kali-nya semalam.
Pagi itu aku membawa Salwa keliling gang dengan mata sepet. Pedih dan gak enak rasanya. Tumben-tumbenan aku minta dibuatin kopi untuk mengganjal mataku. Ngantuk berat itu gak ada obat yang paling manjur kecuali tidur. Tapi itu gak mungkin. “Salah papa sendiri kan yang buat kebiasaan sama anaknya… Kalo gak jalan-jalan, mana senang hatinya…” kata istriku. Benar sih salahku sendiri yang menciptakan kebiasaan itu. Mana harus berangkat kerja lagi nanti.
Rumah Yuli sepi karena dia sedang mengantar anaknya sekolah dengan motor barunya. Entah bagaimana caranya ia mengatasi rasa kantuk yang sedang ia rasakan sekarang. Mungkin abis ngantar itu dia akan tidur abis-abisan. Yah… dianya enak. IRT. Aku?
Eh? Pada kepo gak kenapa istriku gak ngerasa aneh aku sering keluar malam? Senyenyak-nyenyaknya tidur pastinya akan terbangun sesekali dan mendapati si suami tak ada di tempat tidur. Itu karena istriku sebenarnya juga sudah paham siapa suaminya. Kami sudah kenal lama dan ia tau aku luar dalam sak baret-baretnya. Ia tau aku seorang Menggala yang sering berlatih pada malam hari. Pernah kuberitau padanya dulu bagaimana cara aku berlatih tapi ia seperti acuh tak acuh dengan penjelasanku. Jadi hanya kuberitau secara garis besar aja. Aku seringnya berlatih di malam hari karena masalah waktu sih sebenarnya. Pulang kerja, istirahat sebentar, main bareng keluarga terutama istri, baru bisa latihan. Sesimpel itu kok. Dan di situ letak keuntungan yang kudapatkan saat ini. Jadi istriku maklumnya kalo aku tidak ada di sampingnya di malam hari, berarti aku sedang latihan. Latihan seringnya kulakukan di dimensi alam lain juga yang kumiliki sendiri.
Kangen juga ketemu Aida. Beberapa waktu ini hanya ngeliat dia sekilas-sekilas aja. Dia bukannya menghindariku, hanya saja ia tidak tahan berlama-lama berdiri karena keadaan berbadan duanya. Paham sih. Tapi ya itu tadi, kangen. Ngobrol sebentar aja pun jadi-lah. Gak usah pun merasakan pelukannya, lembut halus kulitnya, hangat sentuhannya. Eh itu dia.
“Pagi bu Aida… Udah sehat, nih?” sapaku sebaik dan normal mungkin. Ia sepertinya bermaksud membeli sesuatu di warung.
“Eh, bang Aseng… Salwaaa… Dah lama yaa… gak gendong Salwa… Kangen ibu Aida-nya…” jawabnya nanggung malah meminta gendong Salwa. Dengan senang hati kuoperkan bayiku padanya tanpa ada insiden apapun karena ada beberapa orang yang lalu lalang. Ia menciumi rambut, pipi Salwa dengan gemes karena tak lama lagi ia akan punya bayi sendiri.
“Kangen Salwa atau yang lain?” godaku kala orang-orang itu lewat. Pakek suara pelan tentunya.
“Kangen Salwa-lah, bang…” jawabnya kembali menciumi rambutnya yang lebat. “Kalau sama papanya… kangen ditidurin…” bisiknya nakal. Ia mengucapkan itu sambil meleletkan lidahnya. Tetap menggairahkan kamu Aida.
“Abang-pun rindu juga… Tapi masih muda gini jangan sering-sering… Takut kenapa-napa…” jawabku pelan juga agar enggak kedengaran siapa-siapa.
“Iya, bang… Agus-pun gak kukasih…” katanya tentang jatah untuk suaminya. Tidak lama kami berbincang karena tiba-tiba ia merasa pusing dan masuk lagi ke dalam rumah. Kami melanjutkan jalan-jalan pagi ini keliling gang.
Jalan-jalan dan kami tiba di depan kede Iva yang ramai dikerubungi anak-anak kecil yang membeli jajan. Anakku Rio tidak ada di sana karena kami mengusahakan agar ia tidak jajan di pagi hari. Biarpun cuma doyan telor, cukuplah itu sebagai sarapannya ditambah susu formula. Salwa senang melihat anak-anak di sana rame-rame dan membuat bising hingga kami berhenti sekadar ngeliat aja. Salwa melihat keramaian dan aku melihat keindahan. Keindahan yang punya kede. Saat itu ia pasti belum mandi karena memakai baju tanpa lengan dan celana pendek longgar kostum tidurnya tadi malam. Kulit putihnya tetap cemerlang di pagi ini walau belum mandi.
Iva dengan antusias melayani anak-anak kecil yang udah bedakan cemong-cemong tebal. Sabar ia meladeni permintaan mereka yang terkadang menyebalkan. Awalnya minta yang itu, ganti dengan yang ini. Ada yang duitnya kurang tapi mau jajanan yang banyak. Lebih ekstrim lagi bermodalkan duit mainan yang gambar Barbie juga mau beli. Hadeeh. Sabar lah si Iva ini. Orang sabar pantatnya lebar, Pa.
“Mei-Mei mau beli juga, ya?” tanyanya akrab seperti biasa. “Udah bisa jajan dia, bang?” tanya Iva sambil merapikan beberapa galon air mineral yang ada di depan kedenya.
“Ada-ada aja kau, Pa… Enggaklah…” jawabku mengikuti gerakannya. Gerakan menunduknya. Ia melirikku sebentar dan malah memperbaiki posisinya. Ia berlama-lama membereskan galon-galon air mineral itu. Ini tentunya pemandangan indah buatku karena Iva mempertontonkan dadanya yang terlihat jelas dari balik kerah longgarnya. Ukurannya tidak terlalu besar dan proporsional dengan tubuh langsingnya. Dan beruntungnya lagi, bra yang dipakainya sepertinya longgar jadi tidak terlalu ketat membungkus payudaranya. Sebagian besar payudara itu menjadi santapan pagi untukku. Cukup lama ia menunduk di hadapanku sampai serombongan anak kecil lainnya datang untuk jajan lagi. Ia melirikku dan tersenyum lagi. Aku kenyang susumu, Pa.
Ah. Aku teringat dengan foto-foto yang sudah dikirimkannya padaku di chatting kami sebelumnya. Foto-foto seksi dirinya terutama. Belum ada yang bugil sih memang. Tapi bagian ini, tampilan live barusan bahkan lebih mendebarkan jantung. Lemah jantungku dibuatnya. Berdebar-debar tak menentu. Udah kek mau melompat semua tadi payudaranya untuk pamer padaku. Sedikiiiit lagi tadi sudah hampir nip-slip kalo tuyul-tuyul berbedak cemong ini gak muncul. Aaahh… Jadi kotor pikiranku dibuatnya.
Kotor kenapa? Cucilah! Kepala otak kao dicuci. Apa gak ada puas-puasnya? Udah Aida… Yuli… Sekarang mau Iva pulak? Kenapa gak sekalian Pipit juga? Ide bagus itu, terus semua aja binik orang kao buntingin. Teros semua anak-anak tuyul yang keliaran di gang ini semua anak kao. Puas kao?
Gitu kalok aku lagi ngobrol sama Aseng junior yang bandel. Kalo sekedar goyang-goyang tros ngecrot itu memang enak kali, kan? Semua laki-laki di dunia ini kujamin pasti mau. Buaya dikasi bangke? Buaya mana yang nolak bangke? Bangkenya sedap pulak kek Aida, Yuli, Iva dan lain-lain. Kek mana aku bisa nahan dan gak mendonasikan spermaku pada mereka. Apalagi casing-casing MILF-MILF itu kelas wahid semua. Kalo yang gembrot-gembrot, jelek pulak bauk belacan (terasi) tak-lah mau aku. Tak-lah pulak Aseng junior-ku mau ngaceng dan memasuki mereka. Masih pilih-pilih-nya aku kan?
Gimana kalok binik orang yang normal-normal bisa bunting sama lakiknya sendiri minta dibuntingin juga? Aa… Kalok itu lain ceritanya. Lain lagi masalahnya itu. Itu kegatelan namanya binik orang itu. Itu udah penyakit ujungnya. Kalok itu akupun takut juga jadinya. Gak ada pembelaan lagi kalok aku juga ikut berminat. Tapi aku gak bisa bilang gak akan kejadian juga karena sudah kubilang di atas sebelumnya, kalo imanku ini lemah. Iminku yang kuat. Aseng junior inilah si imin itu. Plak! Ketawa kao! (Ngeplak si Aseng junior)
“Eh… Mau kemana, Imran?” sapaku pada tetanggaku yang sedang bersiap-siap di depan rumahnya. Pipit juga.
“Bang Aseng… Iya nih… Ada tugas ke luar kota…” jawabnya mengangkat koper yang lumayan besar. Keknya mau pergi jauh dan lama. “Dapat tugas pendidikan dari kerjaan, bang… Ke Jakarta…” lanjutnya. “Tadi udah mesan taksi… mungkin bentar lagi sampe depan gang taksinya…”
“Oo…” pahamku. Pekerjaan Imran juga cukup lumayan. Kalau ia dapat proyeksi pendidikan seperti ini mungkin gak lama lagi dia akan mendapat promosi. Aku gak perlu nanya kenapa dia gak nyetir aja ke bandara Polonia (bandara lama Medan, sekarang menjadi Kuala Namu yang berada di luar kota sejak tahun 2013) karena pastinya Pipit nantinya gak akan bisa membawa mobil mereka kembali pulang. Pipit cuma tau naik motor, itupun gak bisa jauh-jauh. Takut katanya. Ia dan Pipit pamitan padaku.
Skip-skip
Ppt: bg Aseng?
Aseng: ya Pit masih di polonia
Ini kondisinya aku sudah masuk kantor dan kerjaan lagi seru-serunya nih. Apa lakinya sudah berangkat ke Jakarta? Udah jam 11. Kayaknya si Imran naik pesawat jam 10 gitu.
Ppt: iya bg bisa ketemuan sm abg ga?
Aseng: he? ketemuan? ada apa?
Loh ini kok terulang lagi? Kemaren diminta ketemuan sama Yuli karena mau beli motor. Dan malah berlanjut ke ranjang. Ini sekarang diajak ketemuan lagi sama Pipit. Ini perempuan spesifikasi dan masalahnya juga mirip-mirip. Gak panjang berpikir ia menjawab…
Ppt: ada yg mau Pipit ceritain sm minta pendapat curhat gt
Aseng: harus skrg y Pit? abg lg kerja lo
Ppt: skrg jg kl bisa bg. SEKARANG
Kok pakek maksa? Apa-lah ini? Mengernyit antara alisku membaca tulisan dalam huruf besar itu untuk beberapa detik menyusul getar pesan masuk berikutnya yang berupa sebuah foto. Ada jeda sampai semua foto itu terbuka sempurna dan terlihat jelas.
PUKIMAK!
Kan pakek caps lock juga kan aku? Kenapa aku sampe hampir teriak di depan komputer saat melotot melihat foto yang dikirimkan Pipit lewat BBM ini? Foto itu adalah foto diriku sedang memasuki pintu depan penginapan Ard*na kemaren dengan seorang perempuan semok yang memakai masker hijau. Kan KIMAK kali kubilang. Gimana caranya dia bisa mendapat foto itu? Apa dia gak sengaja sedang melintasi jalan Krakatau juga dan memergokiku sedang berduaan dengan Yuli kemaren siang? Sejauh apa dia melihat kami?
AAARRGGHHH! KIMAK!
Aseng: dimana?
_______________
Berhubung bu Sandra masih belum kembali ke pabrik karena masih keluar kota untuk keperluan pekerjaan, baru besok masuk, aku kembali permisi keluar. Tepatnya mempermisikan diriku keluar lagi. Dari KIM 2 ke tujuan yang ditentukan Pipit itu lumayan jauh karena berada di tengah kota. Apalagi ini sedang jam sibuk-sibuknya kota Medan. Lalu lintas pasti sedang padat merayap ke arah sana.
Aku sampai disana dalam waktu 1 jam 14 menit. Ini adalah sebuah hotel besar yang sudah lama berdiri di Medan. Hotel Da**u T**a yang ada di jalan Imam Bonjol. Aku parkir di belakang hotel dan segera menuju sebuah cafe yang ada di lingkungan hotel dimana Pipit menunggu. Apa yang dia mau? Kenapa dia malah ngajak ketemuan di tempat yang sangat jauh begini? Pasrah sebenarnya aku. Entah apa maunya.
Itu dia. Duduk sendiri masih dengan pakaian yang tadi pagi dipakainya saat mengantar lakiknya ke bandara Polonia. Ia sudah memesan teh dan cemilan kecil sambil maen HP. Dari jauh ia sudah melihatku dan mengangguk. Aku berjalan dengan sedikit gontai ke arahnya. Aku harus siap-siap.
“Jauh ya, bang Aseng?” sapanya tersenyum. Ia mempersilahkanku duduk di depannya. Meja ini hanya untuk dua orang. Musik kafe adalah lagu easy listening yang tidak terlalu keras sehingga cocok untuk mengobrol. Senyumannya sebenarnya biasa. Tetapi aku merasa ngeri karena kebodohanku sendiri sebenarnya. Lebih pada kesalahanku. Perasaanku jelas tidak karuan. Perutku terasa gak enak karena suasana hatiku jauh lebih buruk. Yang jelas mukaku terlihat suntuk.
“Lumayan, Pit… Jam berapa pesawat Imran take off-nya?” tanyaku basa-basi. Pastinya ia juga merasakan intonasi gugupku. Guguplah anak mudanya kan woi. Cak lah kelen dalam situasi kek gini. Apalah yang kelen buat?
“Jam setengah sepuluh, bang… Gak usah seperti itu, bang… Kalem aja… Pesan dulu… Abang mau minum atau makan… Pipit traktir, deh…” tawarnya memanggil pelayan yang entah dari mana datang. Mungkin gak ada lagi kerjanya karena ternyata hanya kami pengunjung kafe ini. Udah pakek start melayang mungkin dia dari nunggu dipanggil. Aku pesan teh juga seperti yang dipesan Pipit. Gak ada pulak kafe ini nyediain orong-orong sama lapet.
“Sori dulu, bang Aseng kalo cara Pipit seperti ini… Sebab kalo gak seperti ini… bang Aseng bakalan gak mau dateng dan nyamperin Pipit disini… Pipit sudah hapus semua foto-foto itu dari HP Pipit… Abang boleh cek di sini…” katanya sambil menyerahkan HP BB-nya padaku yang sudah terbuka. Ragu aku mengambilnya dan memeriksa galerinya. Tak ada foto itu di mana-mana. “Itu cuma alat untuk menarik perhatian bang Aseng aja… tidak lebih…” lanjutnya. Aku periksa berulang-ulang HP itu sampek hapal aku dengan isi HP itu. Isinya hanya foto-foto pribadi.
Kukembalikan HP itu pada Pipit kembali dan diletakkannya di atas meja. “Jadi ada apa, Pit?” tanyaku agak mereda gemuruh di dadaku. Aku sebenarnya merutuki kebodohan dan kecerobohanku. Aku seharusnya lebih berhati-hati dalam melangkah. Aku malu menjadi diriku sendiri saat ini.
“Pipit gak akan nanya siapa perempuan itu… atau apa yang kalian lakukan di sana… Yang Pipit mau adalah… Tolong bantu selesaikan masalah yang Pipit hadapi saat ini… Bang Aseng tidak usah tanya karena Pipit udah tau… Bang Aseng boleh nanya sama yang ada di samping kiri Pipit ini… Pipit gak bisa liat tapi bang Aseng bisa…” katanya membingungkan.
Yang ada di samping kirinya? Ke arah sana aku melihat, hanya ada kekosongan dan dinding yang dapat kulihat saat ini. Apa maksudnya entitas ghaib yang ada di samping kirinya ini?
Kembali aku fokus pada Pipit. “Maksudnya itu…” tunjukku pada entitas yang berdiri diam melayang. Sosoknya adalah seorang lelaki tua kurus ceking dengan kulit abu-abu keriput dengan pakaian batik lama sedikit lusuh tetapi cukup bersih. Yang menarik perhatian dari penampilan sosok ghaib ini adalah ada libatan sejenis akar tebal di tubuhnya. Dari kaki, melilit beberapa kali, lalu nyambung ke pinggang, membetot kedua tangan sekaligus perut hingga dada, ke leher lalu menutup mulutnya hingga berakhir di kening. Mulutnya tertutup, lebih tepatnya terberangus. Bagaimana aku bisa bertanya padanya kalau entitas ini tidak bisa memberitahuku info apa yang dimaksud Pipit barusan.
“Abang bisa ngeliat dia, kan?” kata Pipit sedikit melirik kekosongan di samping kirinya.
“Coba Pipit aja yang ngomong langsung… awak ini sedang bingung kali ini… Abang gak bisa berpikir sekarang… Apalagi orang tua itu mulutnya tertutup… jadi dia-pun gak bisa ngomong juga kalaupun kutanya…” kataku runyam. Sukak kali-lah perempuan ngomong pakek nanggung-nanggung kek gini. Langsung aja bilang dia mau apa, gak usah pakek teka-teki kek gini, napa?
“Mulutnya tertutup? Terikat akar-akaran itu ya, bang Aseng?” kaget Pipit tak terduga. Cemana-nya? Katanya dia gak bisa ngeliat tapi tau-nya dia mulutnya terikat akar.
“Apa mahluk ini khodam dari nenek moyang Pipit?” tebakku. Hanya itu jawaban yang masuk akal tentang mahluk itu. Khodam jenis ini hanya suruhan dari pemiliknya. Dalam hal ini untuk menjaga anggota keluarga tertentu dari marabahaya. Levelnya rendah begitu juga kekuatannya.
“Kata yang ngerti… iya… Dia biasanya menjadi pelindungku… Tapi sesuatu terjadi padanya, kan?” jelas Pipit. “Dulu dia sering membisikiku kalau ada sesuatu yang berbahaya… Tapi sudah beberapa tahun ini dia bungkam…”
Kupandangi khodam malang itu. Ada yang mengerjai mahluk pelindung ini. Libatan akar pohon ini sangat kuat sampai bisa memberangus pergerakannya. Terutama fungsi utamanya, komunikasi. Ia tidak bisa melepaskan libatan berangus ini sehingga fungsinya tidak lagi maksimal. Apa yang mengerjai khodam ini juga yang mencelakai Pipit hingga sakit parah di waktu lalu?
“Kista yang dioperasi beberapa tahun lalu itu… apa masih sering kambuh?” tanyaku berpaling kepada Pipit sekarang. Aku curiga ini ada hubungannya. Udah kek dokter pulak aku nanya-nanyain penyakit lamanya. Tapi memang aliran Lini perempuan ini memang terganggu. Penyakitnya cukup kompleks. “Kista itu bisa jadi yang menyebabkan Pipit belum bisa punya anak…”
“Masih terasa sakit kadang-kadang, bang… Menstruasiku-pun gak lancar… Kadang mens bisa sampai 2-3 minggu… Abis itu dua bulan gak dapet… Pernah juga sebulan malah dua kali… Gak menentu, bang…” jelasnya. Para perempuan pastinya kelimpungan kalau dapat jadwal gak jelas kek gitu. Awak yang laki aja dengarnya pening. Kek mana jatahnya si Imran kalo semuanya gak jelas kek gitu?
“Jadi cemana-lah kita buat nih? Awak udah nyuruh Pipit minta maaf sama semua, kan? Sama orang tua… keluarga… Sama yang sudah menyakiti Pipit… dan yang sudah Pipit sakiti… Sudah semua itu?” tanyaku tentang obrolan kami lewat chatting BBM beberapa waktu lalu.
“Udah hampir semuanya, bang Aseng… Kecuali satu mantanku… Mantan suamiku yang sudah kujebak untuk menikahiku itu…” jawabnya lalu menunduk. Ia diam sebentar karena kutau ia akan melanjutkannya lagi. Ada sesuatu yang menggantung. Tapi tak kunjung diucapkan.
“Dia sudah meninggal, kan?” tebakku.
Pipit tiba-tiba menangis tanpa suara. Ia menutupi mulutnya tetapi setitik air mata menetes, mengalir dan jatuh dari dagunya. “Dosa Pipit besar banget ya, bang Aseng… Sampe Pipit gak sempet minta maaf padanya… Pipit sudah menipunya… menjebaknya… menjerumuskannya… Padahal dia dulu sudah punya pacar tapi terpaksa ditinggal karena harus menikahi Pipit…” ia menceritakan itu dengan suara parau. Untung kafe ini sepi jadi tidak ada yang memperhatikan kami yang udah kek pasangan yang sedang bertengkar. Pelayan tadi-pun gak keliatan batang kontolnya-eh idungnya.
Aku tidak tau harus bersikap gimana. Apa harus empati dan mengusap air matanya. Jarak kami cukup jauh karena dibatasi sebuah meja. Gak etis juga kalau aku bergeser ke sampingnya dan melakukan itu. Jadinya aku hanya diam dan melihat. Lalu perhatianku berpaling ke khodam berbentuk pria tua itu lagi. Matanya melotot memandangi Pipit seakan ingin meneriakkan sesuatu. “WOY! DA PADA NGOPI BELOM?” Paok! Mana mungkin khodam itu mau ngomong kek gitu. Paok kao, Seng. Udah senget (gila) kurasa kepala otak kao tuh.
“Jadi gimana, bang… Abang bisa bantu Pipit, kan?” katanya beberapa saat kemudian. Air matanya tidak menitik lagi tapi isakannya masih ada.
Aku terdiam.
“Maafkan Pipit, bang Aseng. Pipit gak seharusnya melakukan ini… Pipit kebetulan lewat di depan Ard*na kemaren sehabis dari belanja… Waktu itu Imran nelpon sehingga Pipit menepi tepat di depan Ard*na… Imran ngasih tau kalau ia dapat tugas untuk pendidikan singkat di Jakarta selama 3 minggu… Abis nelpon… Pipit ngeliat bang Aseng sama perempuan itu masuk ke penginapan… Entah kenapa Pipit malah memfoto kejadian itu beberapa kali… Maafin Pipit, bang…” jelasnya tentang asal-muasal foto yang sudah sukses membuatku galau. Puih!
“Ya udah-lah, Pit… Itu salah awak juga… yang gak ati-ati… Jadi apa yang bisa awak bantu, awak bantu-lah…” kataku pasrah saja. Paling dimintai tolong nyari dukun lagi ato apalah gitu.
“Pipit mau minta tolong sama bang Aseng… untuk mengobati Pipit… Sepertinya bang sangat paham sekali masalah-masalah seperti ini… Abang Aseng bahkan bisa tau siapa yang nyolong burung yang kemaren itu… Bahkan juga tau kalau ilmu dukun di Belawan itu palsu… Pipit mau cerita sebentar… Tunggu bang…” ia minta jeda sebentar dan mencari sesuatu di HP-nya lalu menunjukkannya padaku. Apa lagi ini?
Ini adalah foto cermin yang berembun tipis di dalam kamar mandi. Pipit menyuruhku memperbesar gambarnya dan mengarahkan pada sudut kiri atas cermin. Ada goresan berbentuk tulisan disana. Embun ini berasal dari uap air panas water heater karena mataku malah fokus pada pantulan perempuan yang sedang memotret cermin itu. Pipit sedang memegang HP-nya yang sedang menjepret terlihat dari lampu flash. Ia hanya memakai handuk pendek menutupi tubuhnya sampai setengah pahanya. Rambut merahnya basah abis keramas. “… tulisannya boso Jowo, bang Aseng…”
Bahasa Jawa? Buru-buru aku men-zoom kembali goresan tulisan di embun tadi. Tulisannya… “… ja… jalu… jaluk… Jaluk?” ejaku pada tulisan yang acakadut itu. Jaluk itu artinya minta, kan? “Minta?”
“Liat foto berikutnya, bang… Ada tiga foto totalnya…” instruksi Pipit lagi menyuruhku melihat ke 2 foto berikutnya. Segera kugeser ke foto berikutnya. Masih Pipit berfoto yang lumayan artistik di cermin berembunnya dengan balutan handuk yang sama. Ini foto berturut-turut ternyata. Pipit yang abis mandi setelah ehem-ehem dengan lakiknya dan keramas, foto-foto abis itu. Lalu ku-zoom kembali tulisan tadi.
Tulisan jaluk tadi masih ada dan disampingnya ada tulisan baru. “… to… long… tolong…” masih tulisan acak yang uuuelek tenan tapi untung masih bisa terbaca. Minta tolong? Coba liat foto berikutnya.
Foto ini lebih mendekat karena Pipit lebih mepet ke arah objeknya dan ia menunduk. Pantulannya di cermin lebih jelas diantara embun. Belahan dadanya keliatan seger karenanya, terjepit erat di lilitan handuk yang membungkus tubuhnya. Fokus Seng sama tulisan, woy! “…cin… cino… Cino? Cappuccino?” setan jaluk tolong buatin cappuccino? Kimak setannya ini ngelunjak.
“Maksudnya cino itu bang Aseng… Dia minta tolong sama bang Aseng… Bang Aseng dikiranya Cino… Cina…” jelas Pipit mengartikan teka-teki bahasa itu. Masuk akal sih. Lah ngapain itu khodam minta cappuccino ya? Paok kali kao, Seng!
“Iyooo? Kuwi jaluk tolong karo aku, toh? (Iya? Kamu minta tolong kepadaku, ya?)” tanyaku langsung menatap entitas khodam malang yang melayang tetapi terbelenggu itu. Pipit memandangi pada sebelah kirinya dimana khodam itu berada. Lalu beralih padaku.
Bahkan untuk mengangguk saja khodam itu tidak bisa. Sebagai gantinya, ia menutup matanya yang melotot lebar lalu terbuka lagi. Fix dia minta tolong buatin cappuccino, eh minta tolong padaku untuk membuka belenggunya.
“Jadi Pipit juga minta tolong sama awak untuk membantu dia?” tanyaku menyimpulkan.
“Intinya begitu, bang Aseng… Jadi gini bang…” ia lalu menceritakan bagaimana biasanya khodam ini selalu memberinya peringatan apa-apa yang berpotensi menjadi bahaya atau ancaman paska kejadiannya dulu di masa lalunya. Sang khodam biasanya memberikan bisikan langsung pada Pipit dengan suara yang mirip dengan suara mbah buyutnya yang sudah lama tiada. Bisikan ini sirna tak lama setelah ia menikah untuk pertama kalinya. Awalnya Pipit mengira itu bukanlah hal perlu dirisaukan tetapi malahan masalah demi masalah terus melandanya. Berujung pada ia keguguran, bercerai, bertengkar hebat dengan keluarganya, kabur dan kabur hingga kemari, menikah lagi, sakit parah dan sampai sekarang. Beberapa bulan ini, ada percobaan kontak yang dilakukan sang khodam yang ternyata masih ada. Awalnya ia hanya bisa meniup-niup rambut Pipit, telinga dan pipinya untuk menarik perhatiannya. Dan akhirnya bisa melakukan sentuhan di objek material dengan menuliskan pesan di cermin yang berembun. Itu terjadi asli tadi pagi.
“Tadi pagi?” ulangku berpikir sok serius. Padahal aku mikirnya gini, kan?… Karena ini hari terakhir Pipit ketemu sama lakiknya, mereka enak-enakan dulu sepuasnya tadi malam. Nyetor sperma sebanyak-banyaknya sapa tau ada yang bisa jadi anak. Kalo enak sudah pasti kalo anak belum tau. Ini menjelaskan kenapa dia mandi keramas tadi pagi di tiga foto itu. Dan di saat itu pulalah si khodam kakek buyutnya ini berkesempatan menitipkan pesan jaluk/minta tolong ini. (Khodam ini sepertinya adalah jin khorin kakek buyut Pipit. Jin khorin adalah jin yang terlahir persis sama saat seorang jabang bayi lahir kedunia. Seumpama kembaran kita dalam bentuk jin. Penampakan seseorang yang telah tiada seringnya karena melihat jenis jin khorin ini)
“Gimana, bang?” tanya Pipit berharap-harap cemas.
Kalo cuma membantu si khodam itu melepaskan belenggu akar tebal itu tidak ada masalah untukku. Aku akan dengan senang hati membantunya. Monggo… Apalagi kita bisa tau duduk permasalahannya gimana. Sang khodam bisa memberi tau informasi apa yang sebenarnya terjadi pada Pipit.
“Bisa aja, Pit… Tapi ini makan waktu, loh… Ini masih siang… Ini tadi awak-pun permisi cuma sebentar aja dari kerjaan… Harus balik lagi, kan?” kataku memberi alasan yang benar-benar loh. Ini gak boong.
“Tapi abang mau nolongin Pipit, kan pokoknya?” desaknya lebih berharap. Aku mengangguk membenarkan. Atur saja waktunya.
Bersambung