Part #11 : Kesalahpahaman
Sekilas tentang masa lalu pasti kita berbicara tentang masa yang pernah kita lewati. Masa – masa dimana kita berkumpul saling bercerita dan tertawa bersama. Indahnya sebuah kebersamaan membuat kita ingin mengulanginya lagi dan lagi.
Saat kesendirian datang ada banyak hal yang dapat dinikmati dan disyukuri dengan menghabiskan waktu seorang diri, walaupun sebenarnya kita sedang tidak ingin sendiri. Tapi aku tidak ingin mempermasalahkannya, di saat Dini, Monic dan Nisa yang selalu menghindariku serta Ferdi yang dipaksa Farah untuk tidak bergaul denganku lagi. Aku dengan tenang menjalaninya.
Hari ini aku sedang di kantin melihat Monic, Nisa dan Farah yang duduk satu meja tidak jauh dari tempatku. Aku tidak melihat adanya Dini disana, apa dia tidak masuk? Entahlah.. aku sebenarnya ingin bertemu dan menjelaskan pada Dini, tapi ya sudahlah, aku hanya bisa berusaha dan belum tau untuk hasil akhirnya.
Aku yang biasanya sendiri sekarang ditemani oleh seseorang yang duduk bersamaku kantin.
“bro.. ane jadi kasihan sama Ferdi..” ucap Yudha padaku.
“sudahlah kita gak usah ikut campur..” balasku ke Yudha.
“tapi kan mereka gak tau yang sebenarnya..” ucap Yudha merasa tidak terima.
“sudahlah..” balasku agar Yudha tidak membahasnya lagi.
Yudha tau cerita permasalahanku dengan Doni yang sampai membuat Dini marah. Aku menceritakannya saat aku dan Yudha sedang nongkrong di cafe. Aku juga memintanya untuk tidak ikut campur karena ini adalah masalahku.
Saat jam istirahat selesai, kami kembali ke kelas masing – masing. Sebelumnya aku menyempatkan diri ke kamar mandi belakang untuk kencing. Setelah selesai, aku kemudian bergegas untuk kembali ke kelasku.
Ditengah perjalanan menuju kelas, ada seseorang yang memanggilku. Saat aku menoleh dan melihatnya, ternyata yang memanggilku adalah Nisa.
Aku kemudian berjalan menghampiri Nisa yang berdiri di lorong dekat kelasnya. Aku yakin dia akan membahas saat melihatku yang bersama Monic di warung soto dekat stasiun tempo hari.
“ada apa Nis..?” tanyaku pada Nisa.
“apa maumu Rik..?” balas Nisa yang terlihat geram.
“apa yang sebenarnya ingin kamu tanyakan..?” balasku berbalik bertanya.
“kenapa kamu tega mempermainkan perasaan Dini, dan sekarang kamu mempermainkan perasaan Monic.. kenapa..??!! Mereka sahabatku.. aku gak mau mereka bersedih gara – gara kamu..!!” ucap Nisa yang terlihat emosi.
“aku tidak pernah mempermainkan perasaan siapa pun..” balasku dengan tenang.
“bisa – bisanya kamu mengelak dengan semua yang sudah terjadi..” ucap Nisa sinis.
“apa kamu pernah mendengarkan penjelasanku..?” ucapku yang membuat Nisa diam.
“dimana Nisa yang aku kenal selalu tenang, sabar dan berfikir dewasa..” ucapku kembali kemudian meninggalkan Nisa yang masih diam.
Aku kemudian menuju kelasku dan kembali mengikuti pelajaran.
Aku kembali teringat oleh nasihat dari mbah Wongso dan bu Asih, jika kita bisa berpikir dengan tenang kita bisa mengatur perasaan kita, seperti yang baru saja terjadi. Nisa menghakimi dan menuduhku dengan sesuatu yang tidak aku lakukan. Mungkin jika aku belum mendapat pencerahan dari bu Asih, aku bisa saja marah atau sakit hati mendapat perlakuan seperti itu. Aku juga merasakan lebih sabar saat menghadapi masalah dengan tenang tanpa menjadikannya beban.
Bel berbunyi tanda berakhirnya kegiatan belajar mengajar untuk hari ini. Para siswa berbondong – bondong keluar kelas dan bergegas untuk pulang ke rumah masing – masing. Aku yang masih bersantai keluar kelas agak belakangan.
Saat berjalan menuju parkiran, tiba – tiba aku melihat Akbar yang berlari ke arahku.
“gawat bro.. kita diserang..!!” ucap Akbar dengan ngos – ngosan.
“siapa yang nyerang..?” tanyaku kemudian berjalan lebih cepat ke depan.
“gak tau..!! Anjing.. banyak banget mereka..!!” ucap Akbar yang berjalan bersamaku.
Saat sampai di halaman suasana sangat riuh dan mencekam. Banyak yang ketakutan dan tidak sedikit ada yang sampai menangis. Banyaknya anak SMA yang menyerang berada di luar sekolah membuat kami tertahan dan tidak bisa pulang. Sebagian dari mereka ada yang melempari batu ke kami yang ada di dalam, sebagian juga membawa kayu yang digunakan sebagai senjata dan hampir semua dari mereka memakai jaket atau sweeter, pantas saja Akbar tidak bisa mengenali mereka dari mana.
Aku melihat Bimo yang berada di halaman berdiri paling depan bersama beberapa anggota genk yang lain, tapi aku tidak melihat adanya Doni disana. Aku kemudian melihat sekelilingku ada Angga yang aku lihat berada dibelakang dan sedikit bersembunyi. Aku juga melihat beberapa guru berusaha menenangkan para siswa dan ada guru yang terlihat sedang menelpon, pasti beliau sedang menelpon polisi. Jika sampai polisi datang, maka anak – anak yang menyerang itu akan langsung bubar dan kami tidak tau dari mana yang menyerang kami.
Aku kemudian memutar otakku untuk berbuat sesuatu agar aku bisa tau siapa yang menyerang dan tujuan mereka menyerang. Aku kemudian melihat jam tanganku dan memikirkan dimana posisi kantor polisi terdekat, aku juga menghitung kira – kira butuh berapa menit untuk polisi sampai ke sini.
Sekolahku lokasinya agak masuk dari jalan utama, dan lokasi kantor polisi berada di sebelah timur sekolahku dan pasti polisi akan datang dari arah timur juga. Akhirnya aku memutuskan berjalan menuju samping sekolah di sisi bagian barat.
“woi Rik.. mau kemana ente..??!!” teriak Akbar yang melihatku berjalan pergi.
“kalau ente takut disini aja gak usah kemana – mana..” balasku ke Akbar.
“siapa yang takut bangsat..!!” ucap Akbar yang kemudian mengikutiku.
Aku kemudian berjalan agak cepat karena mengingat waktuku yang tidak banyak. Aku melihat kebelakang ternyata bukan hanya Akbar yang mengikutiku, tapi kulihat ada Samo, Yudha dan ada seorang adik kelasku namanya Sony.
Aku melihat ada beberapa kursi dan meja bekas yang sudah tidak terpakai. Aku kemudian mengambil kursi yang sudah reot dan tidak layak pakai lalu aku hantamkan ke lantai sampai kursi itu pun pecah dan terpisah – pisah bagiannya.
“woi Rik.. kita mau ngapain..?” tanya Akbar yang bingung.
“cari info.. cepet ambil itu kayu buat senjata..” jawabku yang kemudian menyuruh teman – temanku membawa kayu untuk senjata.
Aku kemudian mengambil satu kursi yang masih terlihat kokoh dan membawanya menuju pagar sekolah. Pagar sekolahku tingginya hanya sekitar 2 meter, jadi kita tidak terlalu susah untuk memanjat pagar dengan bantuan kursi.
“cepet naik.. kita nanti kumpul dulu..” ucapku pada teman – temanku.
Yudha yang pertama naik melewati pagar kemudian disusul oleh Akbar. Saat giliran Samo, dia terlihat menggerutu.
“Sam.. cepet..!!” ucapku yang melihat Samo kesusahan untuk naik karena badannya yang gemuk.
“sabar Rik.. susah ini..” balas Samo yang masih berusaha.
“makan doank banyak tapi naik aja gak kuat..” ucapku yang kemudian mendorong pantat Samo ke atas membantunya naik.
“tuiittt..” terdengar suara kentut dari Samo.
“bangsaattt…!!” teriakku.
“sory Rik kelepasan.. hehe..” ucap Samo merasa seperti tidak bersalah.
“anjing.. makan apa sih bau banget..!!” ucapku sambil menahan nafas karena bau kentut Samo.
Setelah Samo berhasil naik, aku melihat Sony yang terlihat masih menahan tawa dan aku melihatnya tidak membawa kayu seperti yang lain.
“kamu kenapa gak ambil kayu..?” tanyaku pada Sony.
“gak ada yang panjang kak.. patah semua..” balas Sony menjelaskan.
“ya udah cepet naik..” ucapku yang menyuruhnya memanjat pagar.
Setelah semua berkumpul, aku kemudian mengajak teman – temanku ke sudut tembok untuk mengintip.
“nanti kalau aku bilang maju, kalian langsung culik orang sedapatnya. Tahan jangan sampai mereka kabur, terserah mau kalian apain..” ucapku pada temen – temenku dan hanya Yudha dan Sony yang mengangguk.
“ini berarti kita nyerang mereka..?” tanya Akbar yang heran.
“iya..” balasku sambil melihat situasi.
“berlima doank..?” tanya Akbar kemudian dan aku hanya mengangguk.
“bangsat.. nyari penyakit ini..” gerutu Samo.
“anjing.. kita ngikutin orang gila..” sahut Akbar.
“kalau kalian takut tunggu sini aja..” ucapku kemudian.
“pantang bagi seorang Akbar takut, kalau Samo iya..” balas Akbar mengejek Samo.
“eh anjing.. ente yang dari tadi ngomel… dasar kribo..!!” sahut Samo yang tidak terima.
“udah.. udah.. diem..” ucap Yudha melerai.
Aku masih mengamati situasi menunggu waktu yang tepat untuk menyerang.
“Rik.. ini nunggu apa sih..? Kapan majunya..?” tanya Akbar yang bingung karena kami hanya berdiam di sudut luar tembok.
“ssttt…” balasku menyuruhnya diam.
Aku masih berdiam dan menunggu. Saat aku samar – samar mendengar suara sirine polisi, aku langsung berlari maju ke arah kerumunan musuh.
“maju sekarang..!!” ucapku yang langsung berlari.
“woi anjing.. gak kasih aba – aba dulu..” terdengar suara Akbar yang memaki.
Aku yang berlari langsung merangsek masuk ke arah kerumunan memukul, menendang, menabrak yang ada di depanku. Aku merasa tubuhku terasa ringan dan setiap gerakanku menjadi lebih cepat. Aku juga bisa berfikir dengan cepat dan merasa sikapku lebih waspada, jadi aku bisa menghindari setiap serangan balasan musuh.
Aku sengaja melakukan ini karena ingin mengacaukan mereka dan menahan mereka sampai polisi datang. Aku kemudian melihat Akbar, Yudha dan Samo yang sedang memukul siapa saja yang ditemuinya dengan kayu. Alasan aku tadi menyuruh teman – temanku untuk menahan beberapa orang agar bisa digali keterangan.
Gerombolan musuh terlihat kalang kabut karena tiba – tiba ada yang menyerang dan dalam waktu yang bersamaan mendengar suara sirine polisi. Mereka terlihat panik dan terburu – buru kabur sampai ada yang tabrak – tabrakkan. Ada yang langsung pergi memacu motor mereka, ada juga yang berlari karena ditinggal teman boncengannya.
Aku melihat ada yang berhasil dilumpuhkan oleh teman – temanku karena mereka mengeroyoknya. Aku kemudian melihat Sony yang dikeroyok karena dia maju agak terpisah dengan kami. Aku melihat Sony yang terlihat masih berusaha menahan seorang musuh, akibatnya dia dipukuli dan dikeroyok beberapa orang karena teman – temannya mencoba menolong orang yang ditahan Sony.
Aku kemudian berlari dan menerjang musuh yang mengeroyok Sony. Saat musuh terjatuh, aku kemudian berusaha menolong Sony dengan menariknya agar dia berdiri. Tiba – tiba aku merasakan seperti ada yang akan menyerangku dari belakang. Saat aku menoleh, reflek aku mengangkat tanganku dan..
“BEGH”
Sebuah pukulan dengan kayu mengenai tanganku, walau sempat aku tahan tapi ujung kayu yang siku mengenai pelipis kananku sampai robek. Walau aku tidak merasakan sakit, tapi darah yang mengalir cukup mengganggu penglihatanku.
Tiba – tiba orang yang memukulku dengan kayu itu ditendang oleh seseorang yang membuatnya jatuh terjungkal. Ternyata orang itu adalah Bimo yang datang bersama teman – temannya membantu kami. Mereka kemudian ikut menghajar dan menahan musuh yang tertinggal.
Beberapa saat kemudian polisi tiba dan mengamankan lokasi. Aku kemudian membantu Sony yang berhasil menahan satu orang sampai dia tadi sempat di injak – injak. Terlihat kakinya kesakitan yang membuatnya susah untuk berdiri. Aku kemudian membantunya berdiri dan memapahnya masuk ke area sekolah, terlihat beberapa siswa berlari ke arahku kemudian membantu membawa Sony.
Saat penyerang sudah berhasil diamankan dan dikumpulkan, aku sempat menghitung jumlahnya yang sekitar 10 orang. Saat sedang di interogasi oleh polisi, ternyata mereka tidak hanya dari sekolah yang sama. Ada 4 orang dari SMA 17 dan sisanya dari SMA 6. Pantas saja jumlah mereka sangat banyak karena ternyata mereka gabungan.
Saat aku sedang mendengarkan alasan mereka menyerang, tiba – tiba ada yang menarikku dari belakang. Orang itu adalah Monic.
Monic yang diam dan bersikap dingin terus menarikku berjalan menuju ke ruang kesehatan. Aku yang ditarik hanya bisa menurut dan mengikutinya. Saat masuk ke ruang kesehatan, aku melihat ada Sony yang sedang berbaring di tempat tidur sedang dirawat. Aku kemudian duduk tidak jauh dari Sony.
Monic kemudian mengambil peralatan untuk membersihkan lukaku. Selama membersihkan dia hanya diam dan tidak menatapku. Aku kemudian melihat Sony yang terlihat masih kesakitan.
“Son.. besok lagi jangan terlalu nekat..” ucapku pada Sony.
“i.. iyyaa.. kak..” balas Sony menjawabku.
“aww..” teriakku kesakitan karena Monic menekan lukaku dengan keras.
“sakit Mon.. aduh..” ucapku saat Monic yang menekan – nekan lukaku makin keras.
“kamu bilang besok lagi.. hah..!!” ucap Monic geram.
“kamu nyuruh orang lain jangan nekat.. kamu gak liat apa kamu sendiri gimana..!!” ucap Monic kemudian yang masih menekan – nekan lukaku.
“aduh.. aduh.. iya.. iyaa.. ampun..” ucapku memelas.
Aku kemudian melihat Sony dan seorang yang merawat Sony menahan tawa.
“kalian gak usah ketawa..” ucapku pada mereka.
“aww..” teriakku kesakitan karena lukaku kembali ditekan dengan keras oleh Monic.
“gak usah ngurusin orang lain..!!” ucap Monic dingin.
“iya maaf..” balasku ke Monic.
Selama mengobati lukaku Monic hanya diam dan sikapnya terlihat dingin. Saat selesai mengobatiku, Monic langsung akan pergi tanpa mengucapkan sesuatu. Aku sempat menahan tangannya.
“Mon.. aku antar pulang ya..” ucapku ke Monic.
Monic hanya menggelengkan kepala dan melepaskan pegangan tanganku kemudian pergi meninggalkanku. Hufh.. pasti ini ada hubungannya dengan Nisa yang tadi pagi marah – marah padaku. Aku kemudian melihat Sony yang terlihat melirikku.
“apa kamu liat – liat..!!” ucapku kesal pada Sony.
Sony hanya nyengir melihatku yang kesal. Aku kemudian bergegas untuk keluar ruangan. Karena aku yang sedikit terburu – buru saat keluar, tanganku tanpa sengaja menyenggol gagang pintu ruang kesehatan.
“aarrgghh.. anjing.. anjing..!!” teriakku kesakitan.
Saat aku melihat tanganku ternyata memar karena kena pukul kayu tadi. Kenapa waktu ada Monic tadi tidak terasa sakit. Kalau tadi terasa sakit juga kan sekalian dirawat juga. Hehehe..
Saat aku sudah berada di halaman, suasana terlihat sudah agak sepi dan anak – anak yang ditahan tadi sudah tidak ada, mungkin sudah di bawa sama polisi. Aku yang sudah mengambil motorku kemudian bergegas untuk pulang.
***
Sampainya di rumah, aku kemudian ganti pakaian dan mengambil es batu. Aku mengompres tanganku yang memar di belakang rumah. Tiba – tiba Om Heri datang dan melihatku dengan tersenyum jahat.
“Bun.. Riki berantem lagi..” teriak Om Heri pada Tante Septi.
“biasa aja Om gak usah teriak – teriak..” ucapku yang membuat Om Heri bengong.
Om Heri seperti kaget melihatku karena biasanya aku yang takut karena habis berkelahi, ini malah aku santai – santai saja.
Tak berapa lama Tante Septi datang dan melihatku dengan tatapan sedih, kemudian Tante Septi masuk lagi ke dalam rumah.
“Rik..?” panggil Om Heri.
“kenapa Om..” balasku.
“otakmu gak geser kan..?” tanya Om Heri dan aku hanya tersenyum.
Kemudian Tante Septi datang membawa baskom yang berisi air. Tanpa aba – aba Tante Septi langsung menarik lepas perban yang menutupi luka di pelipisku.
“aaww…” teriakku kesakitan.
“kenapa di lepas Tan.. uhh..” ucapku yang mengaduh karena terasa perih.
“kelamaan nanti sembuhnya..” jawab Tante Septi yang kemudian mengambil handuk kecil.
Setelah dibasahi dengan air yang dibaskom, kemudian Tante Septi menempelkan handuk itu ke lukaku.
“aarrgghhh…” teriakku yang merasa kesakitan.
“hahaha…” suara Om Heri yang tertawa terbahak – bahak.
“waktu berantem aja gak sakit, masa pas diobatin sakit..” ucap Tanteku yang masih menahan handuk di lukaku.
Kemudian Tante Septi membasahi lagi handuk itu dan menempelkan kembali ke lukaku.
“aduh.. aduh.. pelan – pelan Tan..” ucapku yang masih merasa sakit.
“dasar manja..” ucap Om Heri mencibir.
“dah ini terusin sendiri.. aku mau nyiapin makan siang dulu.. itu nanti tanganmu di obati juga..” ucap Tanteku menyerahkan handuk dan pergi ke dalam.
“kamu berantem sama siapa lagi Rik..?” tanya Om Heri yang membakar rokok.
“gak tau Om..” jawabku sambil membasuh lukaku dengan handuk basah.
“kok bisa gak tau..?” tanya Om Heri yang heran.
“lha aku belum kenalan.. jadi ya aku gak tau..” balasku ke Om Heri.
“lha yang berantem sama kamu tuh orang apa bukan..” ucap Om Heri yang telihat kesal.
“ya orang Om.. sekolahku tadi diserang SMA lain..” balasku.
“ooouww… ngomong dari tadi..” ucap Om Heri.
“makanya kalau tanya tuh yang jelas..” ucapku kemudian dan Om Heri hanya melirikku.
“Om.. ngomong – ngomong ini airnya kok kayaknya sama seperti yang ditempat Mbah Wongso..?” tanyaku ke Om Heri.
“ya emang dari sana..!!” balas Om Heri melotot.
“ohh.. ya biasa aja donk Om ngomongnya..” ucapku pada Om Heri.
“CTAKK..” bunyi tanganku yang di sentil.
“aww..” teriakku yang kesakitan karena tanganku yang memar di sentil Om Heri.
“sakit Om..” ucapku memprotes.
“hehehe..” balas Om Heri yang terkekeh.
“Rik.. nanti di lanjut lagi, sekarang makan dulu..!!” teriak Tante Septi dari dalam rumah.
“iya Tan..” balasku.
Aku dan Om Heri kemudian masuk untuk makan siang. Selesai makan siang aku kemudian melanjutkan lagi mengobati lukaku dengan air ramuan dari Mbah Wongso.
***
Aku berangkat sekolah seperti biasa dan aku melihat keadaan sekolah juga biasa saja, tidak terlihat seperti ada yang ketakutan atau trauma setelah kejadian penyerangan kemarin.
Aku kemudian masuk ke kelasku dan melihat Akbar yang sudah datang terlihat cengar – cengir melihat aku datang.
“kenapa ente senyum – senyum..?” tanyaku ke Akbar.
“ane lagi bahagia.. hehe..” balas Akbar yang masih senyum – senyum sendiri.
“oh.. kenapa..?” ucapku bertanya.
“ane masih gak nyangka dengan kejadian kemarin.. aku seperti mimpi bro bisa melakukan itu..” ucap Akbar yang terlihat senang.
“dan yang ane gak habis pikir, kok bisa – bisanya ente ngatur itu semua sampai punya ide buat nahan orang.. kalau kita kemarin gak nyulik orang, kita gak tau siapa yang nyerang kita…” ucap Akbar yang heran.
“hanya kebetulan aja bro..” balasku tersenyum.
“haahhh… gila – gila.. ane masih gak nyangka bisa nekat gitu.. lima orang nyerang puluhan orang..” ucap Akbar yang terlihat senang.
“terus alasan mereka nyerang apa..?” tanyaku ke Akbar karena aku kemarin di ruang kesehatan jadi tidak tau.
“mereka cuma di suruh Rik.. ada orang yang bayar mereka..” jawab Akbar menjelaskan.
Aku kemudian kembali berfikir, pasti ini ada hubungannya dengan ayah Benny yang datang tempo hari yang marah karena keinginannya tidak terpenuhi.
“Rikiii… Rikiii.. kita jadi terkenal.. hahaha…” ucap Akbar yang bergembira sambil menggoyang – goyangkan badanku.
Aku hanya tersenyum melihat Akbar yang terlihat sangat senang. Memang tindakan yang kami lakukan kemarin terlihat mencolok dan cukup menyita perhatian karena tiba – tiba ada yang menyerang dari samping. Tindakan yang kami lakukan juga tergolong nekat dan bisa membahayakan diri kami. Tapi aku sudah memikirkannya masak – masak dengan bergerak di waktu yang tepat saat polisi sudah dekat.
Polisi datang dari sisi timur dan kami menyerang dari sisi barat, dengan mengacaukan dan melumpuhkan sebagian yang berada di sisi barat, membuat mereka yang akan kabur jadi terhambat dan menjadi sedikit lama. Hal itu menguntungkan kami untuk bisa menahan yang tertinggal di sisi timur dan membuat mereka tidak bisa kabur.
Saat jam istirahat aku menuju kantin dan meninggalkan Akbar yang masih menikmati kebahagiaannya. Aku duduk di kantin bersama dengan Yudha, dan di meja yang lain aku melihat ada Dini, Monic, Nisa dan Farah yang acuh saat melihatku.
“Rik.. kalau ente mau, ane bisa bantu jelasin..” ucap Yudha yang melihatku sedang memperhatikan ke arah Dini dan teman – temannya duduk.
“gak usah bro..” balasku tersenyum.
“ane kenal Dini dari SMP bro, dia pasti mau dengerin ane..” ucap Yudha kemudian.
“kalau pun Dini mau dengerin ente, apa yang lain mau dengerin ente juga..?” balasku ke Yudha dan dia hanya diam.
“udahlah bro… kenapa ente gak ngikut Akbar yang lagi girang..” ucapku ke Yudha.
“girang kenapa..? Gara – gara kemaren..?” balas Yudha dan aku hanya mengangguk.
“kalau ane sih gak kaget sama yang ente lakuin..” ucap Yudha sinis.
“kenapa bisa begitu..?” tanyaku heran.
“ya cuma orang gila yang berani mukulin Benny sama Doni..” balas Yudha yang membuatku mengerutkan dahi seolah bertanya.
“ayah Doni itu seorang pengusaha yang memiliki sedikit bisnis kotor, dan ayahnya Benny yang jadi bekingannya..” ucap Yudha menjelaskan.
“makanya bisa ada aliansi antara KOMBAT dan MEDUSA, padahal seumur – umur gak ada yang namanya aliansi bagi MEDUSA” ucap Yudha melanjutkan.
Sekarang aku bisa menyimpulkan siapa dalang penyerangan dan siapa yang membayar mereka.
“dari mana ente tau ini semua..?” tanyaku ke Yudha.
“kakakku yang bilang.. makanya ane gak mau gabung sama MEDUSA..” balas Yudha menjelaskan.
Setelah jam istirahat selesai, kami kemudian kembali ke kelas masing – masing.
“bro.. nanti pulang sekolah ikut ane ya..” ucap Akbar mengajakku.
“kemana..?” balasku bertanya.
“udah ikut aja.. tenang.. gak pakai berantem – berantem lagi bro..” ucap Akbar tersenyum.
Kami kemudian mengikuti kegiatan belajar mengajar. Saat bel tanda pulang sekolah berbunyi, aku dan Akbar kemudian ke parkiran untuk mengambil motor kami.
Aku mengikuti Akbar yang berjalan lebih dulu dengan motornya, hingga kemudian kami berhenti di warung belakang sekolah tempat nongkrong anak – anak MEDUSA.
Saat aku masuk ke dalam bersama Akbar, aku melihat Bimo, Sigit dan beberapa anggota MEDUSA yang sedang duduk disana. Bimo kemudian menyuruh aku dan Akbar untuk duduk.
“aku disini berbicara sebagai perwakilan dari MEDUSA. Setelah Doni mundur, terjadi kekosongan untuk ketua MEDUSA karena Doni tidak menunjuk pengganti. Tradisi dari genk apabila seorang ketua kalah dalam berduel satu lawan satu, secara otomatis yang menang langsung menggantikan sebagai ketua. Jujur kami masih ragu dan tidak terima melihatmu mengalahkan Doni. Dan saat kami melihat yang kamu lakukan kemarin, kami semua langsung sepakat dan setuju menunjuk Riki sebagai ketua genk MEDUSA” ucap Bimo menjelaskan panjang lebar.
“apa tidak ada orang lain..?” tanyaku pada Bimo.
“kami sudah kelas 3 Rik, dan sebentar lagi kami lulus. Walau kamu masih tergolong murid baru, tapi kami melihat hanya kamu yang cocok menjadi ketua.. jadi sekarang tinggal bagaimana keputusanmu..” balas Bimo yang kemudian menjulurkan tangan mengajakku bersalaman.
Aku kemudian berfikir sejenak tentang keputusanku. Aku sebenarnya ragu untuk menerimanya, tapi aku akan merasa sangat bersalah kalau sampai menolaknya. Awal permasalahan secara tidak langsung berawal dariku, mulai dari aku yang menghajar Benny dan Doni, kemudian pecahnya aliansi dan yang terakhir penyerangan sekolah dari SMA lain.
Jika aku menerima dan menjadi ketua MEDUSA, mungkin nantinya akan menjadi beban buatku, tapi aku di didik oleh orang tuaku untuk bertanggung jawab dengan apa yang sudah aku lakukan. Dengan menunjukku langsung tanpa adanya pemilihan, membuatku sadar bahwa mereka mempercayakan jabatan ini padaku.
“aku menerimanya..” ucapku yang menjabat tangan Bimo.
Prok.. prok.. prok.. prok.. prok..
Semua orang bertepuk tangan dan mengucapkan selamat padaku termasuk Akbar yang berada di sampingku yang terlihat sangat gembira.
“terima kasih semuanya.. terima kasih sudah mempercayakan ini padaku.. dan aku harap aku bisa menjaga kepercayaan kalian dan tidak mengecewakan kalian..” ucapku berterima kasih dan menyampaikan harapanku.
“tapi… aku tidak bisa menjalankan ini sendirian, dan aku meminta bantuan Akbar untuk membantuku menjalankan ini..” ucapku yang dibalas anggukan oleh semuanya.
Akbar yang terlihat senang berkali – kali menepuk pundakku, dan akhirnya keinginannya selama ini tercapai yaitu menjadi salah satu pimpinan MEDUSA.
Setelah dirasa cukup, aku kemudian pamit untuk pulang dan Akbar masih ingin tetap tinggal bersama anggota yang lain. Bimo kemudian mengikutiku berjalan keluar.
“Rik.. penyerangan kemarin hanya sebuah permulaan, dan pasti mereka akan mencari cara untuk menghancurkanmu. Aku harap kamu hati – hati karena aku yakin kamu juga pasti sudah tau siapa dibalik ini semua..” ucap Bimo memperingatkanku.
“terima kasih bro..” balasku ke Bimo.
Aku kamudian pamit dan pergi meninggalkan markas MEDUSA. Aku memacu motorku menuju tempat selanjutnya untuk menemui seseorang, tempat itu adalah cafe tempat aku biasa nongkrong.
Sesampainya disana, aku kemudian menuju tempat dimana teman – temanku biasa nongkrong. Aku melihat Reno, Yudha, Ratna dan seorang lagi cewek yang pernah aku lihat bertengkar dengan Reno waktu itu.
“woi Rik.. dari mana ente baru datang..” ucap Reno saat melihatku datang.
“ada urusan bentar tadi..” balasku tersenyum.
“oh iya ini kenalin cewek ane..” ucap Reno memperkenalkan pacarnya.
“Anggi..” ucap cewek itu memperkenalkan diri.
“Riki..” balasku tersenyum.
“udah baikan ente sob..” ucapku berbisik pada Reno dan dia hanya melirikku.
“gimana..?” tanya Yudha padaku.
“ane kesini mau nagih janji ente bro..” balasku tersenyum.
“siap..” balas Yudha yang mengangguk tersenyum.
Aku dan Yudha saat di kantin sempat berbincang tentang ketua MEDUSA. Yudha yang bilang padaku kalau kabarnya aku akan ditunjuk sebagai ketua menggantikan Doni. Aku yang sempat berfikir akan menolak jika ditunjuk malah mendapat dukungan dari Yudha. Maka dari itu aku kemudian membuat perjanjian dengan Yudha jika aku menerima jabatan ketua, dia harus bersedia menjadi salah satu wakilku dan membantuku mengurus genk.
“eh ada apaan sob..?” tanya Reno yang penasaran.
“gak ada apa – apa sob..” balasku ke Reno.
“Riki jadi ketua MEDUSA..” sahut Yudha kemudian.
Reno dan Anggi langsung melihatku seakan tidak percaya dan Ratna malah melihatku dengan tatapan yang tidak aku mengerti.
“serius sob..?” tanya Reno yang masih belum percaya.
“hmm..” balas Yudha dan aku hanya tersenyum.
“biasa aja..” ucap Ratna tiba – tiba yang membuat semua melihatnya.
“maksudnya apa beb..?” tanya Yudha ke Ratna mempertanyakan ucapannya.
“enggak.. “ balas Ratna sinis.
Aku merasa heran dengan Ratna, sejak pertama bertemu dia terlihat sinis dan judes padaku. Aku tidak tau apa yang membuatnya bersikap seperti itu padaku, padahal aku merasa tidak berbuat salah padanya. Huffhh… ya sudahlah nikmati saja, toh aku juga baru kenal sama dia.
Setelah berbincang sebentar, aku kemudian pamit pada mereka untuk pulang ke rumah.
***
Hari demi hari kulewati dengan biasa – biasa saja. Aku merasakan seperti kehilangan sejak Dini, Monic, Nisa dan Farah yang selalu menghindar dan menjauhiku. Sedangkan Ferdi, diam – diam sudah mulai berkumpul lagi dengan kami tanpa sepengetahuan Farah.
“dasar lemah..” sindir Yudha kepada Ferdi.
“ente gak tau sih kalau cewek ane marah..!!” balas Ferdi membela diri.
“galakan mana coba sama Ratna..?” balas Yudha membandingkan dengan pacarnya.
“ya masih galak Ratna sih.. hehe..” ucap Ferdi nyengir.
“emang dasarnya ente lemah..” ucap Yudha mengejek Ferdi.
Aku tersenyum mendengarkan percakapan Yudha dan Ferdi yang membahas tentang pacar mereka, sedangkan aku..? Hehehe… Ferdi juga tidak pernah menyinggung permasalahanku dengan cewek – cewek termasuk pacarnya, aku juga tidak berusaha bertanya padanya karena aku takut malah akan menambah permasalahan baru.
Aku dan Yudha sekarang lebih sering nongkrong di kamar mandi belakang, sedangkan Akbar dan Samo lebih sering di warung belakang sekolah tempat anak – anak MEDUSA berkumpul. Yudha sering memberiku masukan tentang genk yang menurutku bagus dan bisa diterima, maka dari itu tak salah aku meminta bantuan Yudha untuk ikut mengurusi MEDUSA mendampingi Akbar yang sedikit ceroboh dan tidak terkontrol.
***
Hari ini adalah hari terakhir kami anak kelas 1 dan 2 mengikuti ujian kenaikan kelas. Sedangkan untuk anak kelas 3 sudah menjalani ujian nasional dan tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Kami mengikuti ujian dengan tertib hingga ujian berakhir, terlihat kelegaan terpancar dari wajah teman – temanku setelah usai menjalani ujian sekolah yang cukup membebani pikiran.
“bro.. nanti ikut datang ke markas ya..” ucap Akbar padaku menyebut markas adalah warung belakang sekolah.
“ngapain..?” balasku bertanya kepada Akbar.
“kak Bimo sama temen – temen mau pamitan..” ucap Akbar menjelaskan.
Aku sebenarnya malas untuk nongkrong di warung belakang, tapi karena Akbar menjelaskan bahwa Bimo yang akan pamit akhirnya aku menyanggupi untuk menghormatinya. Pamit yang dimaksud disini adalah menyerahkan sepenuhnya urusan genk kepada penerusnya dan sudah tidak ikut terlibat lagi dengan segala permasalahan yang berurusan genk.
Aku bersama Akbar, Samo dan Yudha berserta anggota yang lain dari kelas 1 dan 2 turut ikut berkumpul di warung belakang. Aku melihat disana sudah berkumpul Bimo dan teman – teman yang lain yang segera akan lulus. Tapi lagi – lagi aku tidak melihat kehadiran Doni disana.
Kami duduk membaur sambil minum dan ngobrol dengan santai. Tidak ada senior junior karena yang kami rasakan adalah kebersamaan, tidak ada rasa dendam atau permusuhan yang terasa walau dulu kami pernah berselisih. Hal itu dilakukan oleh semua kakak kelasku seperti Bimo, Sigit dan yang lainnya, kecuali satu orang yang memperlihatkan rasa ketidak sukaan dan melihatku dengan tatapan sinis. Siapa lagi kalau bukan Angga, cowok yang diam – diam suka sama Dini tapi tidak berani mengungkapkan, dan nampaknya Dini juga tidak menerima Angga kalau dilihat dari sikap Angga yang terlihat muram.
Saat kami sedang mengobrol sambil memutarkan minuman, tiba – tiba datang seseorang yang berjalan masuk dengan santai.
“Doni..!!” ucap Bimo yang melihat kedatangan Doni.
“silahkan dilanjut, aku cuma ada urusan sebentar..” ucap Doni yang tersenyum.
Aku yang melihat Doni jadi merasa tidak enak, dan aku rasa dia pasti akan menyelesaikan urusannya denganku. Aku juga merasa sudah siap dan pasrah jika Doni menghajarku, aku rela dibalas oleh Doni asalkan itu bisa membuat Dini lega dan tidak marah lagi denganku.
Aku kemudian melihat Doni yang terlihat masih santai, saat Doni melihatku dia malah tersenyum dan sama sekali tidak terlihat marah atau pun dendam padaku.
Kami semua dikagetkan oleh Doni yang tiba – tiba menarik Angga dengan kasar kemudian menghajarnya. Kami yang melihat kejadian itu hanya diam terbengong dan anehnya tidak ada satu orang pun yang melerainya. Aku yang melihat Angga yang sudah kepayahan dan tidak bisa melawan menjadi kasihan padanya. Walau Angga bersikap tidak suka dan membenciku, tapi aku tetap tidak tega melihatnya dihajar sampai babak belur dan tidak berdaya.
“cukup kak..” ucapku menghentikan Doni yang menghajar Angga.
Doni kemudian berhenti memukuli Angga dan tersenyum padaku.
“maaf sudah mengganggu pesta kalian..” ucap Doni yang kemudian pergi.
Aku yang melihat Doni pergi kemudian ikut menyusulnya keluar.
“kak..” panggilku saat Doni yang sudah berada di atas motornya.
“ini hanya sebuah kesalahpahaman..” ucap Doni padaku.
“tapi..” balasku terpotong.
“aku melakukannya karena aku dan Angga sudah bukan anggota MEDUSA lagi..” ucap Doni tersenyum.
Kemudian Doni menyalakan motornya dan pergi meninggalkan aku yang masih terdiam. Aku kembali berfikir dengan ucapan Doni yang mengatakan bahwa “ini hanya sebuah kesalahpahaman”. Apakah ini ada hubungannya dengan Dini..?
Pov Doni
Perasaan bersalah selalu menghantuiku. Aku merasa bersalah pada Riki terlebih pada Adikku Dini. Aku secara tidak langsung membuat mereka berpisah dan membuat adikku sedih. Hubunganku dengan adikku baik – baik saja seperti tidak terjadi apa – apa, tapi setiap aku menyinggung tentang Riki dan mencoba menjelaskan pada adikku tentang apa yang sebenarnya terjadi, dia langsung marah dan memintaku untuk jangan menyebut nama Riki lagi.
Aku jadi bingung dengan adikku, apa yang membuatnya sampai begitu marahnya dia sampai aku yang akan menjelaskan saja langsung ditolak olehnya. Aku diam – diam mencoba bertanya pada Nisa sahabat adikku saat dia berkunjung ke rumah. Pada suatu kesempatan aku menghampiri Nisa yang sedang sendiri di dapur disaat teman – teman yang lain di kamar adikku di lantai atas.
“Nis..” panggilku ke Nisa.
“eh.. iya kak.. ada apa..?” jawab Nisa yang kaget karena aku tiba – tiba menghampirinya.
“bolehkah aku bertanya sesuatu dan aku harap kamu mau jujur saat menjawabnya..” ucapku pada Nisa.
“iya kak..” balas Nisa mengangguk.
“tolong ceritakan yang kamu tau tentang permasalahan Dini dengan Riki..” ucapku pada Nisa.
“hmm.. baik kak.. tapi sebenarnya aku gak boleh cerita kak” balas Nisa agak ragu.
“aku tidak akan bilang ke Dini.. kamu bisa pegang omonganku..” ucapku meyakinkannya.
“baiklah..” ucap Nisa setuju.
“jadi.. saat kakak pulang dalam kondisi babak belur, Dini bertanya pada kak Angga siapa yang melakukannya. Kak Angga menjelaskan bahwa Riki tiba – tiba menyerang kak Doni. Saat itu Dini sempat tidak percaya kalau yang melakukannya adalah Riki, tapi kak Angga meyakinkan Dini dengan menunjukkan luka di hidungnya saat akan menolong kak Doni. Saat itu juga kak Angga memperingatkan Dini untuk menjauhi Riki karena dia orang yang berbahaya..” ucap Nisa menjelaskan.
“kamu percaya dengan semua itu..?” tanyaku pada Nisa.
“aku percaya pada Dini karena dia sahabatku..” balas Nisa yakin.
“baguslah.. terima kasih ya..” ucapku pada Nisa kemudian pergi meninggalkan Nisa.
“kak..” panggil Nisa yang membuatku menghentikan langkah.
“apa benar seperti itu kejadiannya..?” tanya Nisa padaku.
Aku hanya tersenyum dan meninggalkannya. Aku sengaja tidak memberi tau Nisa karena aku takut malah membuat Nisa dan Dini ribut. Untuk permasalahan Dini dan Riki, biarlah nanti pelan – pelan terjawab dan semoga mereka bisa menyelesaikannya.
Dari penjelasan Nisa aku bisa menyimpulkan bahwa permasalahan sebenarnya bukan dari aku dan Riki yang berduel, tapi dari omongan si bangsat Angga. Bisa – bisanya dia mengarang cerita dan mengadu domba yang menjadikan masalah semakin rumit, aku yang ingin menjelaskan pada Dini saja sampai tidak bisa gara – gara adikku sudah termakan omongan Angga.
Suatu hari, papaku tiba – tiba mengajak aku dan Dini untuk pergi ke luar kota. Aku sempat heran karena papaku yang mengajak kami pergi bukan pada hari libur. Papa beralasan bahwa itu acara penting dan kami harus ikut, papa juga sudah meminta ijin tidak masuk ke sekolah untuk aku dan Dini. Karena itu permintaan papaku, maka aku tidak bisa menolak dan mengikuti kemauan papaku.
Aku, papa dan adikku dengan di antar supir pergi ke kota sebelah, setelah menempuh waktu beberapa jam sampailah kami di sebuah perusahaan. Papa kemudian bertemu seseorang yang aku tau kalau itu rekan bisnis papaku. Aku dan Dini sempat bingung, kenapa juga kami di ajak papa kesini? Dari percakapan yang aku tangkap mereka hanya membicarakan masalah bisnis dan kerja sama. Setelah beberapa waktu kemudian, papa kemudian pamit dan mengajak aku dan Dini pergi.
Aku dalam hati bertanya – tanya, sebenarnya aku dan Dini itu ngapain ikut kesini? Acara penting? Penting dari mana coba, kita cuma disuruh duduk dengerin orang ngomong dan yang dibahas juga gak penting, apa yang sebenarnya terjadi.
Saat perjalanan pulang, aku sempat bertanya pada papaku kenapa kami disuruh ikut. Papaku beralasan ingin memperkenalkan kami pada dunia bisnis, dia juga menjelaskan cara bernegosiasi dan menjalin hubungan baik dengan rekan bisnis. Setelah mendapat penjelasan dari papaku, aku sedikit bisa menerimanya karena aku yang sebentar lagi akan kuliah, tapi yang membuatku heran, kenapa juga Dini di ajak? Lagian perjalanan dia juga masih jauh karena adikku yang masih sekolah.
Esok harinya, aku mendapat cerita dari Bimo kalau kemarin sekolah di serang. Dia juga bercerita kalau yang menyerang gabungan SMA 6 dan SMA 17. Aku seketika itu langsung sadar, jadi alasan sebenarnya papaku mengajak aku dan Dini pergi karena tau kalau sekolahku akan di serang. Dan siapa lagi kalau bukan pak Surya yang memerintahkan itu, karena Bimo sempat bilang kalau anak – anak yang menyerang itu dibayar.
Bimo kemudian bercerita padaku tentang apa yang dilakukan oleh Riki dan beberapa temannya yang tiba – tiba menyerang sampai bisa menahan beberapa orang sehingga polisi dan pihak sekolah jadi tau siapa yang menyerang dan alasan mereka menyerang.
Aku tersenyum mendengar cerita Bimo karena aku jadi tau kalau Riki tidak hanya bernyali, tapi dia juga pintar. Aku seketika itu langsung bilang ke Bimo kalau Riki yang cocok jadi ketua MEDUSA dan Bimo juga sependapat denganku. Setelah Bimo mengadakan rapat dengan anggota yang lain, mereka sepakat menunjuk Riki sebagai ketua tanpa adanya pemilihan, dan yang membuatku senang karena Riki mau menerimanya.
Pada hari terakhir ujian kenaikan kelas untuk anak kelas 1 dan 2, Bimo mengajakku untuk ke acara perpisahan terakhir sebagai anggota MEDUSA. Acara itu di adakan oleh kami anak kelas 3 yang menunggu kelulusan sebelum kami disibukkan oleh pendaftaran kuliah dan lain – lainnya. Aku sempat meminta Bimo untuk mengundang semuanya tanpa terkecuali termasuk Angga, karena aku akan datang dan menemuinya.
Aku mendapat pesan dari Bimo yang menanyakan kenapa aku belum datang, aku beralasan pada Bimo karena aku sedang ada urusan. Aku sebenarnya sengaja melakukannya karena aku tidak ingin berlama – lama disana, jujur aku masih merasa bersalah pada Riki terutama pada adikku Dini karena secara tidak langsung, akibat ulahku yang membuat hancur kebahagiaan mereka.
Aku datang ke warung belakang sekolah dan langsung masuk ke dalam. Saat Riki yang melihatku datang, dia terlihat kaget dan merasa canggung. Aku hanya tersenyum padanya karena tujuanku datang bukan untuk menemuinya, tapi menemui si bangsat Angga yang dari tadi senyum – senyum saat melihatku datang.
Aku yang sudah muak melihat muka Angga langsung menyeretnya dan memukulinya dengan brutal. Aku merasa emosiku tersalurkan setiap aku memukul muka Angga. Aku sangat marah karena selama ini dia yang berpura – pura baik di depanku ternyata busuk di belakang, sampai mengarang cerita yang membuat adikku mempercayainya.
Tiba – tiba Riki menyuruhku berhenti untuk memukul Angga yang sudah pingsan. Aku salut pada Riki karena hanya dia yang menghentikanku disaat temanku yang lain hanya diam melihat. Aku sempat meminta maaf karena sudah membuat keributan kemudian pergi meninggalkan tempat itu.
Saat aku sudah menaiki motorku, tiba – tiba Riki memanggilku. Aku menjelaskan padanya kalau ini hanya sebuah kesalahpahaman. Saat dia akan bertanya, aku menjelaskan padanya karena aku dan Angga sudah bukan anggota MEDUSA. Hal itu menjelaskan bahwa kami sudah bukan satu kelompok dan aku melakukannya karena aku ingin menyelesaikan kesalahpamahanku dengannya.
Bersambung