Part #11 : How Much To Pay ?
Sudah 3 hari Haris terus di rumah menemani Viona. Mereka, terutama Haris merasa tenang tidak masuk kerja karena sudah mendapat ijin dari pak Doni. Lidya juga dari kemarin selalu menyempatkan diri untuk datang ke rumah menjenguk Viona.
Kondisi Viona sebenarnya sudah mulai terlihat segar, wajahnya tidak lagi terlihat pucat. Tapi memang kondisi mentalnya masih belum pulih. Masih ada ganjalan di hatinya karena Aldo saat ini harus ditahan di penjara. Ada rasa malu juga pada Viona sehingga sampai sekarang belum masuk kantor juga. Beruntung ada Haris, yang selalu membantunya mengerjakan pekerjaan rumah yang sebenarnya juga tidak seberapa. Untuk urusan makan, mereka lebih sering memesan dari luar, terutama sarapan dan makan siang. Kalau makan malam, Lidya yang selalu datang bersedia memasak.
Malam ini, Haris kembali menemani Viona. Kali ini mereka duduk di ruang tengah menonton TV, setelah kemarin lebih banyak menghabiskan waktu di kamar Viona. Tidak ada percakapan dari keduanya. Haris menonton TV, sedangkan pandangan Viona kadang kosong, kadang sibuk dengan handphonenya. Sebenarnya tadi Haris sudah mencoba mengajak Viona ngobrol, tapi hanya dijawab singkat-singkat, sampai Haris bingung harus ngomong apa, dan diapun memilih untuk diam saja.
“Ris…”
“Iya mbak? Ada apa?”
“Besok kamu masuk kerja aja, udah 3 hari kan nggak masuk.”
“Iya mbak. Mbak Viona juga mau masuk besok?”
“Nggak, aku di rumah aja dulu.”
“Ya kalau gitu aku nggak usah masuk dulu aja mbak, nggak papa kan udah diijinin sama pak Doni?”
“Nggak Ris, kamu masuk aja. Kamu kan statusnya masih training, kalau kelamaan bolos nggak enak juga sama yang lain, meskipun udah dapat ijin dari pak Doni.”
“Tapi, mbak nggak papa ditinggal sendirian?”
“Nggak papa. Aku udah lebih baik kok, tapi kalau untuk masuk kerja, kayaknya belum, mungkin butuh sehari atau 2 hari lagi.”
“Hmm, tapi mbak…”
“Udah nggak papa. Aku tau kamu pasti khawatir sama aku, tapi aku udah nggak papa kok, tenang aja.”
“Hmm, ya udah deh kalau gitu.”
Haris memang merasa seperti apa yang dikatakan oleh Viona tadi. Meskipun sudah mendapat ijin dari pak Doni, tapi tetap saja ada perasaan tidak enak terhadap teman-temannya sesama anak training. Dia takutnya mereka akan mengira Haris mendapatkan perlakuan istimewa, padahal dia tidak masuk kerja memang karena ada hal seperti ini.
Dari kemarin dia sebenarnya juga ingin menyampaikan ini kepada Viona, tapi melihat kondisi Viona yang seperti itu Haris tak tega juga. Mau bilang sama Lidya, paling Lidya juga bakal tetap melarangnya masuk dulu, sampai kondisi Viona benar-benar pulih. Tapi kali ini Viona sendiri yang meminta, jadi dia merasa kalau istri kakak sepupunya ini sudah bisa ditinggal sendiri.
Viona sendiri sejak meminta Haris untuk masuk kerja tadi tangannya sibuk dengan handphonenya, entah apa yang dilakukannya Haris tak tahu. Tapi buatnya yang penting adalah Viona sekarang sudah jauh lebih baik ketimbang beberapa hari belakangan ini. Dia sebagai adik sepupu dari Aldo juga merasa ikut bertanggung jawab untuk menjaga dan menguatkan Viona, apalagi sejak pertama kali tiba di kota ini, dia tinggal di rumah ini.
“Ris, aku tidur dulu ya.”
“Iya mbak, mau ditemenin lagi?”
“Nggak usah, kamu tidur di kamar aja.”
“Ya udah kalau gitu mbak.”
Viona berdiri dan melangkah ke kamarnya. Terlihat dia sudah lebih kuat, karena sebelum-sebelumnya Haris selalu membantu memapahnya kalau berjalan. Begitu Viona masuk ke kamar dan menutup pintunya, Haris tak langsung masuk ke kamar. Dia menghubungi Lidya dan mengatakan kalau besok akan masuk kerja.
to : Lidya Wijaya said:
Setelah menunggu beberapa saat, masuk balasan dari Lidya.
from : Lidya Wijaya said:
to : Lidya Wijaya said:
from : Lidya Wijaya said:
to : Lidya Wijaya said:
from : Lidya Wijaya said:
to : Lidya Wijaya said:
from : Lidya Wijaya said:
Haris meletakkan lagi handphonenya. Dia bangkit untuk memeriksa pintu-pintu rumah dan menguncinya. Setelah itu dia masuk ke kamar untuk beristirahat. Sebenarnya masih ada rasa khawatir kalau dia meninggalkan Viona sendiri. Takutnya kalau ada kabar yang kurang baik tentang Aldo, dia bisa-bisa pingsan lagi seperti kemarin-kemarin. Karena itulah sebelum tidur Haris mengirimkan pesan kepada Andi, kalau ada apa-apa agar menghubunginya terlebih dahulu sebelum ke Viona.
===
+++
Pagi harinya, Haris sudah selesai mandi dan sedang bersiap-siap di kamarnya. Masih jam 6 pagi, masih banyak waktu sebelum jam kantor di mulai, apalagi kalau dia naik ojek, tidak akan terlalu kejebak kemacetan. Begitu selesai dia keluar kamar, ingin membuat kopi dulu. Tapi ternyata ada Viona di dapur terlihat sedang memasak.
“Udah siap-siap Ris?”
“Iya mbak. Mbak Viona lagi ngapain?”
“Ini, buatin sarapan buat kamu.”
“Eh lho, nggak usah mbak. Mbak masih lemes kan? Udah biar aku sendiri aja.”
“Udah nggak papa, udah mau jadi kok ini. Tapi mie instant aja ya? Nggak papa kan?”
“Iya mbak nggak papa, makasih ya.”
Harispun membuat kopi sambil menunggu sarapan untuknya disiapkan. Viona terlihat masih memakai pakaiannya yang semalam. Saat berbalik dan menyiapkan makanan untuk Haris, terlihat matanya merah, dan sembab, seperti habis menangis. Haris bingung melihatnya, kenapa Viona seperti itu? Apa semalam dia tak bisa tidur? Atau malah benar-benar habis menangis?
“Mbak?”
“Ya, kenapa?”
“Hmm, itu, mata mbak Viona, kok merah gitu?”
“Iya Ris, semalem tidurku nggak nyenyak, bolak balik bangun, jadi ya ini masih agak ngantuk sebenarnya, tapi dipakai buat tidur juga nggak bisa.”
“Hmm, apa aku nggak usah jadi masuk aja mbak?”
“Heh nggak usah, kamu masuk aja, aku nggak papa kok, beneran. Palingan nanti juga ketiduran kalau ngantuknya udah nggak nahan. Ayo dimakan dulu.”
“Mbak Viona nggak sekalian?”
“Nggak, aku nanti aja gampang, yang penting kamu, kan kamu yang mau berangkat.”
Haris tak lagi membantah. Diapun segera melahap makanan yang sudah disiapkan oleh Viona. Viona sendiri hanya duduk disitu menemani Haris. Rasanya sungkan juga sebenarnya, tapi Haris tetap melanjutkan makannya.
“Kamu naik apa Ris?”
“Mau naik ojek online aja mbak, biar nggak kena macet.”
“Ooh, Lidya nggak jemput?”
“Nggak mbak, dia hari ini berangkat sama pak Doni, jadi langsung ke kantor.”
“Hmm gitu. Oh iya, nanti sekalian tanyain sama Lidya ya, udah dapet belum pengacaranya. Mau nanya lewat telpon kok rasanya kurang pantes.”
“Oke mbak, entar sekalian aku tanyain deh. Terus mbak, kalau udah dapet, hmm, itu kan pasti, mahal kan ya?”
“Iyalah, pasti mahal, tapi tenang aja, mbak udah persiapan kok. Ya moga-moga aja tabungan cukup.”
“Hmm, maaf mbak, apa mbak nggak ngasih tau keluarga aja?”
“Jangan dulu Ris. Kalau bisa cepet diberesin, dan bisa kita beresin sendiri, mungkin nggak perlu deh.”
“Tapi kalau keluarga tau kan, siapa tau mereka malah bisa bantuin biar mas Aldo bisa lebih cepet keluar mbak.”
“Nggak Ris, mbak masih ada uang kok.”
“Bukan itu maksudku mbak. Yaa, siapa tau, mereka malah ternyata punya kenalan, atau apa gitu yang bisa bikin proses pembebasan mas Aldo bisa lebih cepet, iya kan?”
“Hmm, iya juga sih, aku nggak kepikiran sampai kesana Ris. Aku udah takut duluan mereka malah marah.”
“Marah sih pasti mbak, kalau emang mas Aldo salah. Tapi kalau mbak Viona bisa ngejelasin ke mereka, aku yakin mereka pasti bakal bantu kita kok. Daripada nanti, setelah mas Aldo bebas, mereka baru denger, dari orang lain lagi, apa nggak malah tambah repot? Maaf lho mbak, ini cuma saran aja.”
“Iya deh Ris, entar aku coba. Moga-moga mereka mau ngerti dan bantuin kita.”
“Ya udah mbak, kalau gitu aku berangkat dulu ya.”
“Iya hati-hati.”
Setelah selesai makan, rupanya hampir bersamaan dengan ojek yang dipesan oleh Haris sampai di depan rumah. Setelah berpamitan Harispun berangkat. Entah kenapa dia merasa sesuatu yang tidak enak. Mungkin dia hanya merasa khawatir dengan Viona saja karena setelah 3 hari terus menemaninya sekarang harus meninggalkannya sendiri.
Sesampainya di kantor, masih cukup sepi. Haris langsung masuk ke ruangannya, dan Lidya juga belum datang. Haris menyalakan komputer di meja Viona, melihat-lihat pekerjaan apa yang sempat tertunda sejak mereka tidak masuk, dan ingin mencoba membantu Viona mengerjakannya sedikit demi sedikit.
“Hei, udah dateng aja Ris?” suara Lidya mengagetkannya.
“Eh iya Lid, hehe. Baru dateng ya?”
“Iya nih, padahal udah berangkat pagi masih aja kena macet. Biasalah Jakarta. Oh iya, kamu beneran ninggalin mbak Viona sendirian di rumah?”
“Iya, dia yang bilang gitu kok. Lagian aku juga nggak enak kalau kelamaan nggak masuk, entar dikiranya aku diistimewakan lagi sama yang lain. Apalagi kan status juga masih training, entar kalau nggak lulus gara-gara ini gimana?”
“Emang siapa yang bakal nggak ngelulusin kamu gara-gara ini?” tiba-tiba suara seorang pria terdengar persamaan dengan orang itu masuk ke ruangan.
“Eh pak Doni, pagi pak,” Haris yang salah tingkah berdiri dan menyalami pak Doni.
“Iya pagi. Itu siapa yang bilang ke kamu kayak gitu tadi Ris?”
“Hehe, nggak ada sih pak, cuma mbak Viona yang nyuruh saya buat masuk, biar nggak ketinggalan terlalu banyak.”
“Halah, alasan macam apa itu? Emangnya kuliah, kalau nggak masuk ketinggalan materi? Ada-ada aja kamu. Orang yang nyuruh kalian, termasuk kamu buat nggak masuk itu aku lho. Nanti yang nentuin kamu lulus atau nggak juga mentormu, yang nggak lain adalah Viona sendiri, ngapain pake takut nggak dilulusin?”
“Hehehe…” Haris hanya bisa nyengir, tak tahu harus menjawab apa.
“Ya udah, mumpung kalian udah disini, nanti siapin buat meeting mingguan ya. Lid, kamu yang siapin materinya. Haris, nanti kamu ikut aja, biar tau meetingnya kayak gimana. Itung-itung kalian berdua gantiin Viona.”
“Baik pak,” jawab Haris dan Lidya bersamaan.
Begitu pak Doni keluar, Haris langsung menghampiri Lidya untuk menanyakan apa saja yang bisa dibantu. Lidya membagi tugas dengan Haris. Setelah siap, mereka menunggu sampai sekitar jam 9 baru bersama-sama ke ruang rapat. Disana sudah duduk beberapa orang yang jabatannya setingkat dengan pak Doni, yang masing-masing ditemani oleh satu orang asisten. Haris agak minder juga sebenarnya, karena dia masih training, harus ikut rapat seperti ini. Tapi positifnya hal ini bisa dijadikan pengalaman, yang belum tentu didapatkan oleh temannya yang lain.
Memang hadirnya Haris dan Lidya di ruang rapat itu adalah untuk menggantian Viona. Tapi Haris lebih banyak diam dan memperhatikan, sedangkan Lidya yang lebih banyak berperan. Dia banyak menyediakan data, kemudian mencatat hal-hal penting dari rapat hari ini. Posisi Haris dan Lidya yang berada di departemen personalia membuat mereka harus mencatat hampir semua yang disampaikan oleh bidang-bidang lainnya.
Rapat baru berakhir 15 menit sebelum jam makan siang. Dari rapat yang hampir 3 jam itu, banyak sekali hal yang didapatkan oleh Haris. Dia kembali ingat kata-kata dosennya dulu, bahwa memang penting untuk memahami teori di kuliah, tapi lebih penting lagi mengasah soft skill yang akan sangat berguna di dunia kerja. Dan kali ini, dia mendapatkan hal itu, hal-hal yang tidak diajarkan selama di kampus dulu, yang hanya bisa diperoleh berdasarkan pengalaman.
“Ris, mau makan siang di kantin atau dimana?”
“Nggak tau nih, enaknya gimana?”
“Kita keluar aja yuk, tapi yang deket-deket aja.”
“Ayo deh.”
Haris dan Lidya kemudian keluar untuk mencari tempat makan siang yang tak terlalu jauh dari kantor mereka. Beruntung di daerah situ banyak rumah makan sehingga mereka tak perlu berjalan terlalu jauh. Saat sedang menunggu pesanan mereka datang Haris terlihat beberapa kali menelpon seseorang.
“Nelpon siapa?” tanya Lidya.
“Nelpon mbak Viona, mau tau aja keadaannya, tapi kok nggak diangkat ya.”
“Lagi istirahat mungkin Ris. Udah di sms atau WA aja, entar kalau dia udah bangun pasti dibales.”
“Iya Lid, tapi aku kok khawatir ya..”
“Lha kamu tadi kan bilang kalau dia udah nggak papa? Kamu juga udah bilang sama mas Andi kan kalau ada kabar apapun soal mas Aldo suruh ngabarin kamu dulu?”
“Iya sih. Ya udah lah, mungkin emang mbak Viona lagi istirahat, lagian belum ada kabar juga dari mas Andi. Oh iya Lid, tadi mbak Viona nitip pesen, sekalian suruh nanyain.”
“Apaan?”
“Soal pengacara yang kemarin kita bahas, udah dapet belum?”
“Belum sih, aku sama papa juga masih nyariin. Papa bilang sih ada beberapa pilihan, tapi mereka semua lagi pada sibuk, yah biasalah ngurusin kasus korupsi.”
“Ooh gitu ya? Hmm ya udah deh, tapi moga-moga aja bisa cepet dapet ya. Aku kasian sama mas Aldo, sama mbak Viona juga.”
“Iya, moga-moga aja deh.”
Tak lama kemudian makan siang mereka sudah datang. Merekapun menyantapnya sambil ngobrol ringan dan tukar informasi tentang pekerjaan di kantor selama Haris dan Viona tidak masuk selama 3 hari. Untungnya tidak ada pekerjaan yang terlalu berat sehingga bisa diatasi oleh Lidya sendiri.
===
+++
Disaat yang bersamaan, di lain tempat, seorang wanita berpakaian seragam kantor lengkap, sedang menggerakkan tubuhnya naik turun di atas tubuh seorang pria yang sudah telanjang bulat. Wanita itu bergerak dengan pelan, sementara si pria terlihat menikmati sekali setiap goyangan si wanitanya.
“Oouugh Vi, gila memek lu enak banget. Terus kayak gitu sayang, nggak usah buru-buru, waktu kita masih banyak..”
“Uuggghh, mainin memek lu Vi, aaahh iyaa gitu, pinter lu, teruss Viii, aaahhh aahhhh…”
Lelaki itu terus mengerang dan mendesah kenikmatan, sedangkan wanitanya lebih banyak diam. Dia menggigit bibirnya, menahan desahannya. Meskipun dia melakukan ini dengan terpaksa, tapi tak bisa dipungkiri rasa nikmat perlahan menjalar di sekujur tubuhnya yang kini semakin basah oleh keringat, membasahi pakaian yang dia pakai.
Wanita itu tak lain adalah Viona, dan lelaki yang sedang berada di bawahnya adalah Andi. Mereka melakukan persetubuhan terlarang itu di kamar Viona, di ranjang yang biasa dia pakai untuk beradu kasih dengan suaminya, Aldo.
Ini adalah ronde kedua dari permainan mereka, dan Andi menginginkan Viona memakai seragam kerjanya lengkap. Saat ini rok spannya hanya diangkat sampai ke pinggang, sedangkan celana dalamnya juga hanya digeser sedikit, memberikan jalan bagi penis Andi untuk menikmati jepitan vagina Viona.
Inilah alasan kenapa Viona menyuruh Haris untuk masuk kerja hari ini. Semalam, waktu sedang nonton TV dengan Haris, Viona sedang chating juga dengan Andi. Andi mengatakan dia bisa melakukan sesuatu untuk membebaskan Aldo, tapi dengan syarat. Viona sudah menanyakan syaratnya semalam, tapi Andi tak menjawab dan mengatakan akan menemui Viona hari ini di rumah. Andi juga meminta agar Viona sendirian saja di rumahnya.
Dari permintaan Andi itu sebenarnya Viona sudah bisa menebak apa yang diinginkan oleh Andi. Hanya ada 2 kemungkinan, yaitu uang, atau tubuhnya. Dan ternyata, pilihan kedualah yang diinginkan oleh Andi.
“Gue bisa bebasin Aldo, dengan melakukan sesuatu yang sangat beresiko, dan karena itulah gue minta imbalan yang layak dari lu,” ucap Andi tadi pagi waktu baru datang.
“Berapa yang lu mau?” tanya Viona to the point.
“Bukan berapa, tapi apa.”
Jawaban itu sudah cukup untuk membuat Viona paham.
“Apa jaminannya kalau gue ngasih yang lu mau, lu pasti bebaskan suami gue?”
“Gue nggak bisa kasih jaminan, karena ini bakalan sulit, sulit sekali.”
“Kalau lu nggak bisa ngasih jaminan, gue juga nggak bisa ngasih apa yang lu mau.”
“Itu pilihan lu Vi, gue nggak maksa. Kalau lu nggak mau, gue nggak bisa bantu apa-apa, dan itu artinya, Aldo bakal mendekam di penjara untuk waktu yang sangat lama, itupun kalau dia bisa terbebas dari ancaman hukuman mati. Ingat, barang bukti yang ditemukan banyak banget, cukup untuk membuat dia dihukum maksimal.”
Viona terdiam sejenak. Dia memikirkan matang-matang tawaran Andi ini.
“Tapi gimana kalau gagal? Gue udah rugi 2 kali.”
Andi tak segera menjawab, tapi dia mengeluarkan handphonenya. Dia menggeser-geser layar handphonenya, dan kemudian terdengar rekaman pembicaraan mereka. Viona kaget mendengarnya, karena harusnya dia yang melakukan itu sebagai bukti bahwa Andi melakukan pemerasan kepadanya.
“Gue mungkin emang bajingan, tapi gue nggak akan pernah ingkar janji. Lu boleh milikin rekaman ini, sebagai bukti buat nuntut gue, kalau ternyata gue bohong, atau gagal bebasin suami lu.”
Viona masih terdiam. Dia sedang meraba-raba, apa maksud dari Andi yang sebenarnya. Memeras, memanfaatkan situasi, tapi dia membuat dirinya sendiri dalam posisi sulit, orang yang aneh. Karena Viona tak kunjung menjawab, Andi mengirimkan rekaman suara itu melalui WA.
“Tuh, lu sudah pegang bukti rekaman itu.”
“Apa yang bikin lu ngelakuin ini?”
“Gue cuma pengen bantuin lu Vi, tapi apa yang gue lakuin ini akan sangat beresiko. Kalau gagal, justru gue akan keseret kasus ini. Karena itulah, ada harga mahal yang gue minta dari lu, dan itu bukan uang. Anggap aja ini pengorbanan buat Aldo.”
Viona berpikir keras. Dia bisa saja menolak bahkan menuntut Andi dengan berbekal rekaman suara itu. Tapi jika itu dilakukan, Andi memang akan ditangkap, tapi suaminya juga akan lebih lama mendekam di penjara. Saat ini yang paling diinginkan Viona adalah, Aldo cepat bebas dari penjara.
Jika dia menolak Andi, dia harus menunggu kabar dari Lidya, sudah dapat pengacara apa belum. Kalaupun sudah, Lidya tahu, dia harus mengeluarkan uang yang sangat besar, karena kasus yang menjerat Aldo termasuk berat.
Akhirnya, dengan berat hati dia memutuskan untuk menerima tawaran Andi. Dia tidak ingin berkhianat kepada suaminya, tapi dia ingin suaminya segera dibebaskan.
‘Maafkan aku mas, kalau ini bisa mengeluarkanmu secepatnya dari penjara, aku akan berkorban apapun.’
“Kalau gue terima tawaran lu, berapa waktu yang dibutuhkan buat bebasin dia? Dan berapa kali gue harus nurutin keinginan lu?”
“Mungkin sekitar 3-4 minggu. Gue nggak akan minta banyak, seminggu sekali, sampai suami lu bebas,”
“Kenapa lama banget?”
“Itu udah yang terbaik yang bisa dilakuin. Lu mau pake pengacara hitam terbaikpun, waktu yang dibutuhin gue rasa akan lebih dari 2 bulan, karena perkaranya termasuk berat, dan barang bukti jelas adanya. Itupun, lu harus ngeluarin duit yang nggak sedikit.”
Viona kembali menunduk. Memang benar apa yang dikatakan oleh Andi. Dia sudah sering mendengar tentang pengacara hitam yang sering menangani kasus korupsi dan kasus berat lainnya, butuh waktu berbulan-bulan dan menghabiskan uang yang sangat banyak, bahkan bisa menyentuh angka ratusan juta hingga milyaran rupiah. Kalau dia menerima tawaran Andi, waktunya maksimal sebulan, tanpa mengeluarkan banyak uang, meksipun dia harus melayani Andi paling tidak selama 3-4 kali.
“Oke, gue terima tawaran lu, tapi gue minta lu bener-bener bebasin Aldo.”
Andi tersenyum mengiyakan. Dan disinilah mereka sekarang, di kamar yang seharusnya menjadi tempat paling menyenangkan untuk Viona dan Aldo, harus digunakan untuk melayani nafsu orang lain.
Di ronde pertama tadi, Andi sudah berhasil membuat Viona berkali-kali orgasme, dan yang terakhir bersamaan dengan pria itu melepaskan benihnya di dalam rahim Viona. Untungnya Viona sedang tidak dalam masa suburnya, jadi tak perlu khawatir. Kali ini, Andi menginginkan sesuatu yang lain, dimana dia sudah lama punya hasrat untuk bercinta dengan perempuan kantoran yang masih memakai seragamnya.
Setelah di ronde pertama menyetubuhi Viona dengan sedikit kasar, kali ini Andi menginginkan permainan yang lembut, dan Viona melakukannya. Dia masih terus bergerak di atas tubuh Andi. Naik turun, maju mundur, kadang hanya diam tapi otot vaginanya yang bekerja, dan itu semua begitu dinikmati oleh Andi.
Vionapun sebenarnya sudah mulai menikmatinya, tapi hati kecilnya melarang untuk menunjukkannya di depan Andi, meskipun Andi juga sudah bisa merasakannya. Viona masih tetap menutup erat bibirnya, tapi gerakannya mulai dipercepat. Dia merasakan penis Andi yang memenuhi vaginanya telah memancing puncak orgasmenya untuk datang, dan Andi bisa merasakan itu.
“Aahh Vii, cepetin aja nggak papa kalau lu mau keluar.”
Tanpa menjawab, Viona mempercepat gerakannya. Dia bergerak naik turun, dengan kedua tangannya bertumpu di dada Andi. Tangan Andi juga mulai bergerak, meremas kedua payudara Viona yang masih terbungkus blazzer dan kemeja ketat.
“Hmmmp ahhh hmmm aaahhh aaahhh ghueeeehh aaaahhhh…”
Pada akhirnya Viona tak mampu lagi menahan desahannya. Dengan sebuah sentakan dia membenamkan penis Andi dalam-dalam di vaginanya. Tubuhnya mengejang, mengejat beberapa kali, dan disaat yang bersamaan Andi bisa merasakan penisnya tersiram sesuatu yang hangat di dalam vagina Viona.
Andi membiarkan Viona istirahat sebentar untuk mengambil nafas. Setelah itu Andi menggeser tubuh Viona hingga penisnya terlepas. Penis Andi tidak terlalu besar, seukuran dengan milik Aldo, hanya saja Andi memiliki ketahanan yang jauh lebih baik daripada Aldo.
“Nungging Vi.”
Tanpa diperintah 2 kali, Viona melakukannya. Dia berposisi merangkak sekarang, menunggu apa yang akan dilakukan Andi. Dia tersentak saat jari Andi menyentuh bibir anusnya. Diapun menoleh ke belakang.
“Gue pake pantat lu ya?”
“Jangan Ndi, please jangan disitu, lu pake memek gue aja.”
“Nggak, gue pengen pantat lu.”
“Andi jangaaaahhh…”
Kepala penis Andi langsung ditempelkan dan ditekan di bibir anus Viona.
“Basahin dulu Ndi, sakiiit..”
“Iya sayang.”
Andi menggesek vagina Viona, memasukkan 2 jarinya untuk mengorek cairan vagina Viona untuk dia oleskan di penisnya dan di lubang pantat Viona. Bagi Viona, ini sebenarnya bukan yang pertama kali dia melakukan anal sex, tapi terakhir kali dia melakukannya itu sudah lama sekali, saat dia terjebak dengan narkoba dan pesta sex beberapa tahun silam. Sejak itu dia tak pernah melakukan lagi, dan Aldo juga tak pernah memintanya, jadi dia kembali terbayang rasa sakit yang akan dia rasakan.
“Uuuggghhh Ndiii, pelaaaann…”
Andi masih berusaha untuk memasukkan kepala penisnya di bibir anus Viona. Cukup sulit karena memang begitu sempit.
“Aaaarrrkkkhhh periiiiihhh…”
Viona memekik saat kepala penis Andi berhasil masuk. Tapi Andi tak ingin buru-buru, karena ingin membuat Viona menikmatinya juga, sama seperti saat akhirnya tadi dia menikmati penis Andi yang berhasil memompa vaginanya, meskipun air mata terus mengalir di pipi Viona.
“Gue masukin Vi..”
“Pelaan Ndiii..”
Andi menurutinya. Dia masukan perlahan, ditarik lagi. Didorong lagi, ditarik lagi, begitu terus hingga akhirnya seluruh penisnya berhasil masuk di lubang anus Viona.
“Uuugghh.. sempit banget Viii… gue goyang ya..”
“Bentar Ndiii, jangan dulu aaaahhh Andiiiii…”
Tak mendengar permintaan Viona, Andi mulai menggerakkan penisnya maju mundur, tapi masih perlahan agar Viona tak terlalu kesakitan. Lama-lama Viona mulai merasa lebih rileks. Andi juga bisa merasakan hal itu, jepitan anus Viona tak lagi seketat tadi, tapi masih terasa sangat nikmat.
Perlahan Andi mulai mempercepat tempo goyangannya. Viona sudah bisa membiasakan diri dengan penis Andi, kini tak lagi mengerang kesakitan. Lebih tepatnya, dia kembali menutup bibirnya rapat-rapat.
“Aaah Viii, anjiiir pantat lu sempit banget, nggak kuat gue lama-lama kalau kayak gini…”
Andi terus meracau, sementara Viona beberapa kali tak bisa menahan desahannya. Hingga akhirnya Andi menarik keluar penisnya, dan langsung membalikkan tubuh Viona hingga terlentang di ranjang. Andi membuka kedua kaki Viona dan langsung saja menancapkan kembali penisnya di vagina Viona, kali ini langsung digoyang dengan tempo cepat, kecepatan penuh.
“Aaahhh aahhhh Andiii, pelaaann, aaahhhh…”
“Nggak bisa Vii, tubuh lu, aaahh nikmat banget sayaanng..”
Andi terus memompakan penisnya dengan cepat, sampai Viona kembali mendapatkan orgasme, yang entah keberapa kalinya hari itu. Tapi Andi tak berhenti, dia terus melanjutkan genjotannya, hingga kembali membuat birahi Viona terbang tinggi.
“Aaahh aaahhh Andiiii, aaahh teruuusshh ghueee keluaar lagiii..”
Andi yang mendengarnya semakin semangat. Sejak pertama bersetubuh tadi, baru kali ini Viona memintanya, sedari tadi wanita itu lebih banyak diamnya. Andipun menuruti dan menambahkan kecepatan genjotannya, karena dia sendiri juga sudah akan mencapai puncaknya.
“Aaaaah Andiiii, gue keluaaaar….”
Tubuh Viona kembali mengejang, dia kembali orgasme. Dan pada saat yang bersamaan, Andi menarik lepas penisnya, bergerak ke arah wajah Viona dan mengocok sebentar penisnya disana.
“Aaaaahhh Viiii, terima pejuh ghueee di muka luuuu…”
Crot crot crot crot…
Cairan sperma Andi menyembur di wajah Viona yang langsung menutup erat mata dan bibirnya. Terasa cairan kental hangat cukup banyak membasahi wajah Viona, meskipun tak sebanyak dan sekental saat pertama kali Andi menyemprot rahimnya tadi.
Andi mengerang panjang menandakan kepuasannya. Akhirnya fantasinya terwujud, bercinta dengan wanita kantoran yang masih memakai seragam, melakukan anal sex dan diakhiri dengan menyemprotkan calon benihnya di wajah wanita itu. Andi benar-benar terlihat sangat puas.
Keduanya sama-sama terkulai di ranjang, mengatur nafas mereka masing-masing. Viona sudah sangat lemas, sangat capek. Begitu juga dengan Andi. Setelah beberapa saat, Andi bangkit dan berjalan ke kamar mandi tanpa memakai pakaiannya terlebih dulu. Sekitar 5 menit dia kemudian kembali, dan langsung memakai pakaiannya.
“Makasih Vi, udah ngijinin gue nikmatin tubuh lu. Gue puas banget. Untuk kali ini, cukup aja. Gua balik kantor.”
“Inget janji lu Ndi.”
“Iya, pasti. Dan lu juga pegang janji lu, ini bukan yang terakhir.”
Viona mengangguk, lalu membiarkan Andi keluar dari kamarnya, pergi dari rumahnya. Setelah nafas Viona berangsur normal, dia mencoba bangkit, meraih handphonenya yang dari tadi bunyi. Beberapa miss call dan WA dari Haris.
from : Haristama Nagoya said:
Viona terdiam sejenak, menyeka keringat di dahinya, lalu membalas pesan dari Haris.
to : Haristama Nagoya said:
Tak lama kemudian datang balasan dari Haris.
from : Haristama Nagoya said:
Viona tak lagi membalasnya. Dia meletakkan handphonenya lagi, lalu menatap foto pernikahannya dengan Aldo yang terpasang di dinding.
‘Maafin aku mas, tapi ini demi kamu. Aku cinta sama kamu.’
Bersambung