Part #10 : What Should We Do Now ?

Haris sedang duduk terdiam di ruang tengah rumah itu. Bersamanya sekarang ada Lidya. Haris baru saja mengakhiri ceritanya. Cerita tentang kondisi Aldo, seperti yang tadi diberitahu oleh Andi. Sampai sekarang Viona masih belum bangun juga, sepertinya beban yang dia pikirkan terlalu berat. Dan akan lebih berat lagi, jika dia tahu kondisi yang sesungguhnya.

Lidya yang datangpun sebenarnya dari tadi berangkat dari rumahnya sudah memperkirakan ada hal buruk, karena saat telpon suara Haris seperti orang panik, hanya saja dia tak mengira kalau kabar yang harus dia terima justru seburuk itu. Dia juga sudah menghubungi kakaknya, yang ternyata belum sempat bertemu dengan Andi, meskipun tadi sudah diminta oleh Andi untuk menemuinya.

“Kita harus gimana sekarang Lid?” tanya Haris setelah beberapa saat mereka hanya terdiam.

“Hhhh, entahlah Ris, aku juga bingung. Kita kayaknya harus nunggu kabar dari mas Andi atau kakakku deh,” Lidya pun menarik nafas panjang.

“Iya. Tapi, gimana dengan mbak Viona? Gimana caranya kita ngasih tau dia?”

Lidya tak langsung menjawabnya. Dia sedang berpikir, dia juga sama bingungnya dengan Haris. Karena sudah cukup baik mengenal Viona, dia tahu bagaimana seorang Viona luar dalam. Dia tahu kalau kabar itu harus segera disampaikannya, tapi dia juga masih bingung bagaimana caranya. Akhirnya diapun berdiri membawa handphonenya, melangkah keluar rumah dan menelpon seseorang. Haris tak mengikutinya, nanti saja baru dia tanya.

Ada sekitar 10 menit Lidya di luar, suaranya juga tak terlalu jelas terdengar oleh Haris, hanya dia mendengar beberapa kali Lidya menyebut papa, yang artinya Lidya sedang menghubungi pak Doni, papanya.

“Kamu telpon pak Doni?” tanya Haris saat Lidya sudah kembali duduk di dekatnya.

“Iya.”

“Gimana?”

“Aku minta bantuan papa, buat nyariin pengacara yang handal. Dalam keadaan seperti ini, perlu sesuatu yang lebih untuk bisa ngeluarin mas Aldo.”

“Sesuatu yang lebih? Maksudmu, uang?”

“Uang itu urusan nanti, dan memang itu pasti sih. Tapi kita harus nyari pengacara yang punya koneksi bagus dengan kepolisian dan kejaksaan.”

“Itu, bukannya sama aja dengan melanggar hukum?”

“Ya memang. Cuma sekarang pertanyaannya, kita mau ngebebasin mas Aldo apa nggak? Kasus mas Aldo terlalu berat untuk diselesaikan oleh pengacara biasa Ris.”

“Apa maksudmu terlalu berat Lid?”

Seketika Haris dan Lidya memalingkan wajahnya ke arah sumber suara. Rupanya Viona yang sudah sadar sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Haris dan Lidya saling tatap, mereka tak tahu kalau Viona sudah sadar, dan mendengar pembicaraan mereka.

“Kenapa kalian diem aja? Ada apa? Ada kabar apa soal mas Aldo? Kenapa kamu bilang kasusnya terlalu berat?”

Lidya dan Haris langsung diberondong pertanyaan oleh Viona. Dia segera duduk di dekat mereka. Wajahnya terlihat sangat serius, bisa merasakan ada hal yang tidak beres yang belum diceritakan kepadanya. Sementara itu Lidya dan Haris kembali saling tatap, seolah saling bertanya siapa yang harus cerita ke Viona.

“HEH! Kalian kenapa diam aja? Jawab aku!” bentak Viona, mengagetkan Lidya dan Haris.

Mereka berdua bisa memahami kondisi Viona, sehingga tak marah sedikitpun. Justru mereka bingung, darimana dan bagaimana harus cerita ke Viona.

“Gini mbak, tadi ada kabar dari mas Andi,” Lidya buka suara. Dia tahu Haris bingung. Meskipun dia juga bingung, tapi dia lebih lama mengenal Viona, sehingga berinisiatif untuk bercerita. Dia berharap nanti Haris membantunya juga.

“Kabar apa? Cepet ceritain!” meskipun nadanya sudah agak turun, tapi masih terlihat kesan galak dari ucapan Viona.

Lidya kemudian menceritakan kabar yang dia dengar dari Haris tadi, dia ceritakan persis dengan apa yang diceritakan oleh Andi kepada Haris. Dan seperti yang sudah bisa mereka tebak, reaksi Viona langsung histeris. Haris yang duduk di dekat Viona langsung saja mendekapnya. Viona sempat meronta, tapi Haris memeluknya dengan erat. Beberapa saat kemudian rontaan Viona berhenti, tapi dia masih terus menangis. Haris masih terus memeluknya, dan Viona membenamkan kepalanya di dada Haris.

Lidya yang melihat itu hanya diam saja. Dia memang sudah tahu reaksi Viona akan seperti ini. Dia sudah cukup mengenal Viona. Kabar seburuk apapun, harus disampaikan apa adanya kepada Viona. Reaksinya memang akan seperti itu, tapi itu tak akan lama. Kalau bisa menguasai diri, maka Viona hanya akan menangis sesenggukan, meskipun kadang agak lama juga. Kalau tidak bisa menguasai diri, ya seperti tadi siang, langsung jatuh pingsan.

Kali ini Viona bisa agak menguasai dirinya. Adanya Lidya disitu, dan juga Haris yang memeluknya erat, sedikit bisa menguatkannya. Setengah jam berlalu dan Viona masih terus menangis. Nafasnya terlihat sesak, hingga akhirnya Lidya mengambilkan air dan memaksa Viona untuk meminumnya. Setelah beberapa teguk, Viona kelihatan sudah bisa lebih tenang.

“Terus, apa yang harus kita lakuin sekarang Lid?” tanya Viona dengan nada terbata karena masih menangis.

“Aku udah minta tolong sama papa buat nyariin pengacara handal mbak. Papa punya banyak kenalan. Dan mungkin, kali ini kita terpaksa pakai pengacara hitam,” jawab Lidya.

Viona tahu apa yang dimaksud dengan pengacara hitam, yaitu pengacara yang memiliki koneksi dengan aparat, yang tentu saja mereka juga termasuk aparat hitam. Lidya memang termasuk nekat mengambil langkah itu, karena pasti akan memerlukan biaya yang sangat besar. Tapi dia tak terlalu memikirkan itu. Dia yakin papanya akan bisa membantu. Lagipula Viona juga berasal dari keluarga kaya, meskipun orang tua ataupun keluarganya tidak mau membantu, tapi dia punya cukup banyak tabungan. Kalau tabungan itu belum cukup, membantunya pun tidak akan terlalu banyak.

“Selain itu, kita juga harus nunggu kabar dari mas Andi dan kakakku mbak, mereka akan membahas hal ini.”

“Makasih, makasih banyak Lid. Setelah yang dulu, sekarang aku harus ngerepotin kamu lagi. Aku nggak tau lagi gimana harus balas kebaikan kamu dan keluarga kamu.”

“Mbak, udah deh, nggak usah mikirin itu dulu. Mbak Viona udah kuanggap sebagai kakakku juga, jadi apapun itu, aku harus bantu mbak Viona sebisaku.”

Viona memberikan kode, meminta Lidya untuk mendekat. Lidya pun mendekat dan langsung mendapat pelukan erat dari Viona. Lidya menatap Haris dengan tatapan aneh yang Haris sendiri tidak tahu artinya, dia malah bingung. Lidya kemudian memberikan kode kalau ada hal yang harus mereka bicarakan lagi, dan Haris mengangguk.

Malam itu, Lidya memesankan makan untuk mereka. Lagi-lagi, Haris sebenarnya ingin merasakan masakan Lidya lagi, tapi dia sedang tidak mood untuk masak. Viona juga masih malas untuk makan, tapi setelah berkali-kali dibujuk oleh Haris dan Lidya, akhirnya dia mau masak juga.

Sekitar jam sembilan malam, Lidya kemudian pamit. Dia diantar oleh Haris ke depan menuju mobilnya. Sebelum masuk ke mobil, Lidya berbalik.

“Mbak Viona udah tau?”

“Tau apaan Lid?” Haris malah bingung.

“Apa dia tau kalau aku udah cerita tentang masa lalunya ke kamu?”

“Iya, dia tau.”

“Kamu cerita sama dia?”

“Enggak, secara langsung. Dia nanya-nanya sama aku. Aku udah bohong sama dia, tapi dia tau kalau aku bohong. Yah, kamu tau dia lah.”

“Terus, reaksinya gimana? Marah nggak sama kita?”

“Nggak kok, dia nggak marah. Cuma dia minta sama aku, jangan sampai ada orang lain lagi yang tau soal itu, terutama mas Aldo.”

“Huft, syukurlah, lega aku. Kirain dia mau marah sama kita. Kalau gitu, jaga bener-bener rahasia ini ya Ris, cuma aku, kamu sama mbak Viona aja yang tau. Eh, sama kakakku juga sih, tapi dia juga nggak akan cerita ke siapa-siapa kok.”

“Iya, lagian buat apa hal kayak gitu diceritain ke orang lain. Malah ngebuka aib keluarga sendiri nantinya.”

“Ya udah kalau gitu, aku pulang dulu ya.”

“Iya, hati-hati.”

Setelah Lidya pulang, Haris kembali masuk ke dalam rumah. Viona masih duduk di ruang tengah. Haris menghampirinya, duduk di sampingnya. Viona terlihat memegang handphonenya.

“Ris, nomer ini nomernya mas Andi ya?” tanya Viona sambil menunjukkan handphonenya.

“Iya mbak. Tadi dia telpon pas mbak Viona belum bangun, aku yang ngangkat, maaf ya.”

“Iya nggak papa, malah akhirnya kita dapat kabar itu kan. Untung kamu duluan yang denger, kalau tadi langsung aku yang dikabarin, entah gimana jadinya.”

“Ya udah mbak kalau gitu, mbak istirahat aja ya. Mbak masih kelihatan pucet gitu.”

“Entar ah, mana bisa aku istirahat, sementara mas Aldo lagi dipenjara.”

“Iya, tapi kan kita udah usaha buat bebasin dia. Percaya deh, terutama sama Lidya, dia pasti bisa bantuin kita.”

“Huft, setelah dulu aku, sekarang mas Aldo. Dulu aku memang terlibat, aku akuin itu. Tapi sekarang, aku nggak yakin mas Aldo terlibat. Dia pasti dijebak. Entah gimana bisa hasil tesnya positif. Dia pasti dijebak sama temen-temennya.”

“Ya udah mbak, kita percaya aja. Aku juga yakin kok mas Aldo nggak mungkin kayak gitu. Sekarang kita berdoa, biar semua masalah ini cepet selesai, dan mas Aldo bisa cepet pulang. Sekarang mbak istirahat ya?”

Viona tak menjawab, hanya mengangguk. Haris membantunya berdiri dan memapahnya ke dalam kamar. Dia baringkan tubuh Viona, dan dia selimuti lagi. Tapi saat Haris akan keluar, Viona menahannya.

“Ris, temenin aku dulu, jangan kemana-mana.”

“Iya mbak, bentar ya, aku mau ngunci pagar dan pintu dulu.”

“Ya udah, cepetan balik lagi.”

Harispun segera keluar untuk mengunci pagar dan pintu rumah. Setelah itu dia masuk ke kamarnya dulu untuk berganti baju, lalu kembali ke kamar Viona. Wanita itu masih terbaring dengan mata terbuka, sepertinya memang akan sulit tidur dia malam ini.

“Ris, temenin sini, elusin kepalaku,” pinta Viona.

“Tapi mbak…”

“Please…”

Haris tak punya pilihan lain. Kondisi Viona yang sedang drop, baik fisik maupun mentalnya, dia butuh seseorang untuk paling tidak menenangkannya. Suaminya sedang tidak ada, maka mau tak mau Harislah yang mengambil alih. Dia beranjak dan duduk di ranjang, di samping Viona yang berbaring. Dia belai lembut kepala Viona. Sama sekali tak ada pikiran lain di kepala Haris, hanya menenangkan dan membuat Viona cepat istirahat aja. Tak berapa lama kemudian Haris mendapat pesan singkat dari Lidya.

from : Lidya Wijaya said:

Ris, aku tadi dikasih tau sama papa, kalian besok nggak usah masuk dulu aja. Mbak Viona pasti kondisinya masih labil, dan kamu harus jagain dia. Papa udah ngasih ijin kok untuk beberapa hari kedepan.

Harispun membalasnya.

to : Lidya Wijaya said:

Oke Lid, makasih ya. Besok tolong dihandle dulu, moga-moga kami bisa cepet masuk kerja lagi.

Tak ada balasan dari Lidya, Harispun meletakkan handphonenya lagi. Dia kembali mengelus kepala Viona. Lama-lama dia sendiri juga merasa ngantuk, dan akhirnya tertidur juga disitu, dengan Viona.

 

+++
===
+++​

Haris agak terkejut membuka matanya pagi ini. Saat ini dia sedang memeluk seorang wanita yang masih tertidur pulas. Wanita itu tak lain adalah Viona. Seingat Haris, semalam posisi terakhirnya adalah duduk menyender di samping Viona yang berbaring, tapi pagi ini mereka berpelukan. Posisinya persis seperti yang biasa dia lakukan dengan Lidya saat gadis itu menginap di kamarnya.

Haris melihat Viona masih tertidur. Dia bergerak dengan hati-hati untuk mengambil handphonenya, agar tak membangunkan Viona. Tapi ternyata gerakannya itu membuat Viona terbangun juga.

“Hmm, Ris..”

“Eh, udah bangun mbak?”

“Iya. Kamu dari semalem tidur disini?” tanya Viona. Dia masih belum merubah posisinya, masih tetap memeluk Haris.

“Iya mbak, ketiduran sih lebih tepatnya.”

“Ini jam berapa?”

Haris melihat handphonenya. “Jam setengah 7 mbak.”

“Nggak ngantor?”

“Nggak. Semalem Lidya ngasih tau kalau pak Doni ngasih kita ijin beberapa hari, sampai mbak Viona bisa lebih tenang.”

Viona tak menjawab, tapi kembali membenamkan wajahnya di dada Haris. Haris serba salah sebenarnya, karena dipeluk seperti itu oleh istri kakak sepupunya. Tapi dia bisa maklum karena Viona memang sedang membutuhkannya. Tapi yang jadi masalah, saat ini kemaluannya sedang tegak berdiri, hal alami yang selalu terjadi padanya setiap pagi. Kalau Viona bergerak sedikit saja, dia bisa menyenggol barang itu, dan bisa berpikir yang tidak-tidak soal dirinya.

“Eh sorry,” ucap Viona saat dia benar-benar bergerak dan benar-benar menyenggol kemaluannya, membuat Haris jadi salah tingkah.

“Udah nggak usah kikuk gitu. Aku udah paham kok gimana cowok kalau bangun pagi,” ucap Viona sedikit melegakan Haris.

“Hehe iya mbak. Maaf mbak, aku mau ke kamar mandi dulu.”

“Ya udah sana,” Viona menggeser tubuhnya. Seketika Haris bangkit dan keluar dari kamar. Dia menuju kamar mandi untuk menuntaskan hajatnya, sekalian mandi.

Setelah selesai mandi dan ganti baju, dia kembali ke kamar Viona. Viona masih belum beranjak dari ranjang, masih tiduran. Tatapannya kosong ke arah jendela yang sudah tertembus cahaya matahari pagi. Haris mendekatinya.

“Mbak, mandi dulu ya, biar agak segeran.”

Viona menggeleng.

“Atau mau makan dulu? Mbak mau makan apa?”

Kembali Viona menggeleng.

“Ayo dong mbak, jangan kayak gini.”

“Mas Aldo lagi ngapain ya Ris? Dia udah bangun belum ya? Disana dia makan apa?”

Haris menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajar saja sih kalau Viona sedang memikirkan suaminya.

“Hmm, nggak tau sih mbak. Udah, mbak Viona mandi aja dulu, aku pesenin makanan. Entar abis makan, kita kesana aja, jenguk mas Aldo, gimana?”

Viona menatap Haris. Haris tersenyum, dibalas oleh Viona. Akhirnya Viona mau beranjak. Haris membantunya bangun, lalu memapahnya ke kamar mandi. Viona masih terlihat lemas sekali. Fisiknya mungkin tak terlalu bermasalah saat ini, tapi yang jelas mentalnya masih terpukul.

Haris meninggalkan Viona untuk mandi, sementara dirinya mengambil handphone untuk memesan makanan. Dia juga tak lupa mengabari Lidya. Haris menunggu di dekat kamar mandi, siapa tahu Viona membutuhkan bantuannya lagi untuk kembali ke kamar.

Beberapa saat kemudian Viona keluar dari kamar mandi. Dia kelihatan jauh lebih segar sekarang, meskipun wajahnya masih agak pucat. Haris kembali membantunya berjalan ke kamar, setelah itu ditinggalkan lagi untuk Viona berganti pakaian. Haris menunggu di ruang tengah, menunggu makanan yang dia pesan datang. Begitu makanan datang, Haris menyiapkan semuanya, lalu membawanya ke kamar Viona. Disana mereka sarapan pagi itu.

Tidak banyak yang mereka bicarakan. Setelah menghabiskan makanannya, Haris kembali membereskan piring sekalian mencucinya. Dia kembali ke kamar Viona.

“Gimana mbak? Jadi jenguk mas Aldo?”

“Iya, jadi Ris.”

“Ya udah, aku pesenin taksi online aja ya?”

Viona mengangguk. Haris meminta Viona untuk bersiap-siap, dan dia sendiri juga kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap. Setelah menunggu sekitar 15 menit, taksi yang dipesan Haris datang. Mereka menuju ke kantor polisi untuk menjenguk Aldo. Tapi sesampainya mereka di kantor polisi, ternyata jam besuknya masih harus menunggu sekitar 2 jam lagi, beda dengan kemarin yang memang agak urgent.

“Hei Haris, Viona,” sapa seseorang, yang tak lain adalah Andi.

“Eh mas Andi. Pagi mas,” sapa Haris.

“Pagi. Kalian mau jenguk Aldo?”

“Iya mas, tapi belum boleh sekarang katanya.”

“Ya udah, daripada disitu nunggu di ruanganku aja yuk,” ajak Andi. Haris dan Viona pun mengikutinya.

“Duduk Ris, Vi.”

Haris dan Viona kemudian duduk disitu. Ruangan itu tidak terlalu besar, hanya berisi 3 meja untuk 3 orang petugas. Kebetulan saat itu hanya ada Andi, 2 petugas yang lain sedang tugas keluar.

“Gimana kabar kalian? Kamu kayaknya pucet gitu Vi?”

“Iya mas. Semalem nggak bisa tidur kepikiran mas Aldo,” jawab Viona.

“Dia baik-baik aja kok, tenang aja, kami memperlakukannya dengan baik,” ucap Andi.

Merekapun mengisi waktu dengan ngobrol. Ada beberapa hal yang ditanyakan oleh Andi kepada Viona dan Haris. Tujuannya untuk mencari keterangan tentang keseharian Aldo. Tapi tentunya dengan pertanyaan ringan agar tak membuat Viona makin stres. Beberapa hal yang dianggap penting dicatat oleh Andi, karena kebetulan dialah yang ditugaskan untuk mengurus kasus ini.

“Oh iya mas Andi, kemarin sudah ketemu sama kakaknya Lidya belum?” tanya Haris setelah beberapa saat mereka ditanyai oleh Andi.

“Belum Ris. Aku udah ngajak Jordi ketemuan kemarin, tapi dia juga lagi sibuk. Dia juga lagi ngurusin perkara narkoba, karena katanya kemarin baru aja nangkap bandar yang lumayan gede, yang udah jadi target selama ini.”

“Ooh, jadi, belum ada solusi ya mas soal mas Aldo?”

“Hmm, sebenarnya aku punya alternatif sih, tapi nantilah biar aku bicarain sama dia dulu.”

“Alternatif gimana mas?”

“Sorry Ris aku belum bisa bilang sekarang. Aku harus obrolin ini sama Jordi, juga sama atasanku, kalau emang bisa, nanti aku kasih tau lah, maaf ya.”

“Oh ya udah, nggak papa mas. Hmm, tapi gini mas, kemarin kami udah coba buat nyari pengacara, buat bebasin mas Aldo,” ucap Haris.

“Pengacara? Siapa?”

“Belum tau sih mas, nanti Lidya yang ngasih tau namanya. Dia bilang, kasus ini nggak bisa diberesin sama pengacara biasa, jadi dia mau nyariin pengacara yang handal.”

“Maksudmu pengacara hitam?”

Haris dan Viona agak terkejut karena Andi bisa menebaknya. Tiba-tiba Haris merasa menyesal telah mengatakan itu. Bagaimana kalau rencana itu ditentang oleh Andi, yang notabene dia adalah polisi. Melibatkan pengacara hitam, bisa jadi sebuah kesalahan besar di mata Andi. Tapi Andi yang melihat keterkejutkan dari mereka berdua malah tersenyum.

“Nggak usah kaget gitu Ris, Vi. Hal semacam itu udah biasa kok, terutama buat orang-orang besar di negeri ini. Yaa, sebenarnya aku ngerasa jengkel sih dengan keberadaan mereka, kami susah-susah nangkap, mereka dengan mudah ngebebasin. Tapi itu kalau untuk orang yang bener-bener salah, kalau di kasus ini, aku rasa bener yang dibilang Lidya, kalian harus nyari pengacara yang bisa diandalkan.”

“Jadi, mas Andi nggak keberatan?”

“Lho ngapain aku keberatan? Kan yang punya urusan kalian. Bayar pengacaranya pun duit kalian kan, bukan duitku.”

“Hmm, bukan itu maksudku mas.”

“Iya Ris, aku ngerti kok. Aku kan udah bilang tadi. Aku jengkelnya kalau orang-orang yang bener-bener salah dibebasin sama pengacara hitam itu. Tapi kalau orangnya nggak salah, aku pribadi sih nggak masalah. Okelah, sebagai polisi aku nentang, tapi gimanapun juga, aku juga lega kalau orang yang nggak salah nggak perlu dipenjara.”

Haris dan Viona hanya mengangguk saja.

“Tapi, kita-kira seberapa besar mas kemungkinannya mas Aldo bisa cepet bebas, dengan semua bukti-bukti itu?”

“Yaa nggak bisa diperkirakan sih. Intinya, makin bagus pengacara yang kalian punya, bisa makin cepet Aldo bebas. Tapi aku tau Lidya dan keluarganya kok, aku yakin dia bisa dapet pengacara yang bener-bener bagus.”

“Iya mas, semoga aja. Tapi, maaf nih mas, kalau kayak gitu, gimana caranya mas Aldo bisa bebas?” tanya Haris, penasaran.

“Kalau yang itu, biar jadi urusan kami Ris. Kalian nggak perlu tau lah, yang penting Aldo bisa cepet keluar kan?”

Sekali lagi Haris dan Viona mengangguk. Merekapun akhirnya mempercayakan semuanya itu kepada Lidya, dan juga pengacara yang akan disewa nanti. Benar kata Andi, tak perlu tahu bagaimana caranya, yang penting Aldo bisa cepat dibebaskan. Biarlah urusan ini jadi urusan pengacaranya dan para polisi itu nantinya.

Tak terasa mereka sudah cukup lama berada di ruangan itu, hingga jam besukpun tiba. Andi mengantar Haris dan Viona menemui Aldo. Viona cukup lega melihat kondisi Aldo baik-baik saja, dai dia terlihat cukup segar, meskipun di wajahnya terlihat sedikit keletihan. Mungkin Aldo tidak bisa tidur nyenyak di dalam penjara, makanya pagi ini terlihat seperti itu.

Banyak yang ditanyakan Viona. Bagaimana kondisi di dalam sel, apa yang dimakan oleh Aldo, bagaimana perlakuan yang dia dapat selama di dalam tahanan, bagaimana sikap tahanan yang lain terhadap dirinya. Semua dijawab Aldo dan dia juga meminta Viona untuk tak terlalu memikirkan hal itu, intinya dia baik-baik saja. Viona cukup lega mendengar cerita dari Aldo. Ya, dia bisa lebih tenang setelah melihat kondisi Aldo sekarang.

Haris dan Andi yang juga berada disitu tak banyak bicara, hanya membiarkan Viona menghabiskan waktu kunjugannya. Haris tahu, Viona membutuhkan kepastian dari Aldo tentang kondisinya. Semakin baik kondisi Aldo, semakin tenang Viona, jadi tak perlu banyak beban di dalam pikirannya.

Tak terasa waktu menjenguk sudah habis, dan dengan berat hati Viona harus berpisah lagi dengan suaminya. Dia dan Haris berjalan keluar ditemani lagi oleh Andi.

“Oh iya mas Andi, mobilnya udah bisa kami bawa pulang belum?” tanya Haris.

“Waduh belum bisa Ris. Mobil itu baru bisa diambil setelah ada keputusan buat Aldo. Kalau dia dibebasin, otomatis mobilnya juga ikut pulang. Kalau misalnya, maaf ya, keputusannya Aldo bersalah, mobil itu juga bisa dibawa pulang. Kalau untuk sekarang, belum bisa.”

“Ooh gitu. Ya udah, kami naik taksi lagi aja.”

“Apa mau aku anterin? Aku pinjamin mobil dulu.”

“Nggak usah mas, malah ngerepotin. Mas Andi kan masih banyak tugas. Ini aja kami udah terima kasih banget lho mas Andi mau bantuin sampai sejauh ini,” sahut Viona.

“Iya mas. Mas Andi pasti punya kesibukan. Biar kami pulang sendiri aja,” sambung Haris.

“Oh ya udah kalau gitu. Kalian hati-hati di jalan ya. Nanti kalau ada apa-apa, saling kasih kabar aja.”

“Iya mas.”

Haris dan Viona beranjak meninggalkan kantor polisi. Dengan taksi online mereka pulang ke rumah. Haris maupun Viona berharap, kasus yang menimpa Aldo segera bisa dibereskan, dan Aldo bisa segera dibebaskan, dan pulang untuk berkumpul dengan mereka lagi.

Bersambung

pembantu binal
Menikmati hisapan atun pembantu baru yang sangat binal
500 foto chika bandung foto bugil di sofa memek putih mulus
Cerita dewasa menjadi penikmat istri orang
Foto Porno Jepang Ngentot Pengunjung Mall Sampai Crot
mama mertua hot
Ngentot mama mertua waktu istriku ke luar kota
500 foto chika bandung bugil telanjang di hotel sambil ngangkang
Cerita Dewasa Belajar Enak-Enak Dari Tante Lilis
dukun cabul
Cerita sex menikmati cumbuan dukun yang menyembuhkan penyakitku
tkw polos
Ngentot dengan TKW yang masih perawan dan polos
Foto bugil jepang JAV kana tsruta bugil jadi kucing
Foto Bugil Pelajar India Nekad Selfie Telanjang
Foto bugil ABG nungging pamer memek mulus
gadis kena obat perangsang
Memberi obat perangsang pada mahasiswi cantik yang betamu ke rumah
500 foto chika bandung ngentot dengan pacar di hotel
pelajar sma
Menikmati memek gadis cantik berjilbab pelajar sma
Nafsuku Terlampiaskan Kepada Keponakan Sendiri