Part #1 : Perkenalan
Kenalkan namaku Nasrul, orang-orang memanggilku Aseng karena aku mirip Cina. Aku sih biasa aja dipanggil begitu, karena memang dari kecil panggilanku itu. Padahal aku ini Ajo tulen alias orang Minang asli. Bapak dan Ibuku asli dari kampung di Pariaman-Sumatera Barat sana. Itu karena kulitku putih yang kuwarisi dari ibuku yang juga berkulit putih bersih. Dari kecil aku tumbuh dan besar di kota Medan. Menikah dan punya anak tiga–yang ganteng dan cantik.
Pada saat cerita ini terjadi, aku bertempat tinggal di pinggiran kota Medan yang berbatasan dengan kabupaten tetangga, Mabar tepatnya nama daerah ini. (Yang orang Medan pasti tau Mabar dimana). Kupilih berdomisili disini karena dekat dengan tempatku bekerja saat itu, di pabrik yang ada di sekitar sini. Kawasan Industri Medan hanya berjarak sepuluh menit berkendara motor dari tempatku tinggal. Sebagai seorang staff administrasi senior di pabrik ini, aku sudah membangun rumah sederhana untukku tinggal dengan istri dan anak-anakku.
Rumah kami berada di dalam gang di tepi jalan yang ramai. Sudah 15 tahun kami bermukim disini dari semenjak belum terlalu banyak orang membangun rumah sampai sekarang penuh sesak. Sesak oleh rumah tinggal baik milik sendiri maupun untuk disewakan. Rumah kami walau tidak terlalu mewah, tetapi satu-satunya yang memiliki halaman luas. Bayangkan saja, halaman itu cukup untuk dibangun satu rumah lagi, kok. Banyak yang menyarankan untuk membangun rumah petak saja untuk disewakan atau kos-kosan. Tapi jangan dululah, halaman rumahku yang luas untuk anak-anakku bermain saja, pikirku. Apalagi anakku masih kecil-kecil, dimana nanti mereka bermain dengan teman-temannya? Di jalanan gang? Berbahaya karena motor ramai berlalu-lalang di sini, terkadang mobil juga seliweran keluar masuk.
Cerita ini akan dimulai dari lahirnya anak keduaku beberapa tahun lalu. Anak perempuan yang cantik dan berkulit putih bersih dengan rambut hitam legam tebal seberat 3.5 kg bernama Salwa. Anak pertamaku sudah berumur 4 tahun saat itu dan ia senang sekali menjadi abang Rio. Ada kebiasaan yang kulakukan pada semua anak-anakku, kugendong mereka keliling seputaran rumah saat pagi sebelum pergi bekerja dan sore saat pulang kerja. Mulai berumur 4-5 bulan anak-anakku kubawa berkeliling menyapa tetangga dan mengenal lingkungannya. Anakku yang tampan dan cantik terkenal di gang yang lumayan panjang ini karena sedari bayi sudah wara-wiri depan-belakang mengukur panjang jalanan gang yang sudah dibeton pemerintah.
“Cantik sekali Salwa… Udah mandi… Jalan-jalan sama papa pagi-pagi…” sapa tetanggaku, seorang ibu yang sedang menyapu halaman rumahnya.
“Salwa cantik… Mau kemana pagi-pagi?” sapa tetangga lain yang sedang menyiapkan anaknya yang akan berangkat sekolah.
Salwa anak bayiku tertawa-tawa senang sepanjang perjalanan kala dijawil atau dielus pipinya oleh para penyapanya. Jadi sepanjang gang yang panjangnya kurang lebih 300 meter itu banyak sekali fans Salwa yang menyapanya tiap pagi atau sore. Kadang abangnya, Rio ikut bareng karena pengen dibelikan jajanan di warung.
“Salwa… gendong-lah? Biar nular…” pinta seorang ibu hamil muda anaknya yang keempat. Anaknya laki semua, susun paku istilah orang Medan sini yang menandakan kalau semua umur anaknya hanya beda satu tahun aja atau berdekatan. Ia berharap kalau sering-sering menggendong Salwa anaknya akan lahir perempuan juga. Kalau cantik itu belum pasti. Itu tergantung dari bibitnya… Bener gak, bos?
Prilaku ini juga ditiru wanita-wanita lain yang belum dikarunia anak. Kadang istriku memanfaatkan keadaan ini dan menyerahkan Salwa untuk dimomong mereka saat ia sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaan rumah tangga. Kalau dihitung kasar aja ada sekitar 5-6 pasangan menikah yang belum dikaruniai anak. Padahal rata-rata mereka sudah menikah 3 tahun lebih.
Contohnya wanita satu ini. Bernama Aida. Suaminya bernama Agus. Sama-sama berumur 26 tahun yang sudah menikah selama 4 tahun. Baru dua tahun ini mereka berdua mengontrak sebuah rumah di gang ini. Suaminya, Agus bekerja di Kawasan Industri yang sama denganku, hanya beda pabrik saja. Ia sekarang sedang menggendong bayiku Salwa dengan riangnya. Mungkin membayangkan senangnya punya bayi cantik dan sehat sendiri. Yang lahir dari rahimnya sendiri.
“Bang Aseng… Kalo bosan dengan Salwa… kasikan Aida aja, ya?” cetusnya yang kutangkap sebagai candaan biasa.
“Ah… Ada-ada aja kau, Da… Masak anak sendiri mau dikasikan orang… Buatlah sendiri…” kataku mencoba bermain dengan candaanya.
“Gak jadi-jadi, bang Aseng… Udah empat tahun kami kawen… Gak hamil-hamil awak…” (awak adalah kata pengganti untuk aku) jawabnya sambil terus mengayun-ayun pelan Salwa di gendongannya. Dikecupnya ubun-ubun Salwa berulang-ulang.
“Ah… Mana si Agus? Masuk shift malam dia? Gas terus-lah ini kalau dia udah pulang nanti…” kataku sambil ketawa-ketiwi bercanda terus.
“Entar-entar lagi pulang dia, bang… Mana sempat lagi dia, bang… Tros tidor dia itu nanti…” keluhnya tapi menciumi gemes pipi Salwa. “Capek kali katanya dia… Padahal tak beratnya kerjanya… Cuma nengok-nengok sebentar operator mesin… tidornya dia abis itu sampe Subuh…” lanjutnya. Agus sebagai Supervisor mesin produksi. Ia pernah cerita kalau tak ada masalah, mesin-mesin di pabriknya cukup di-handle para operator saja sudah cukup. Jadi dia punya banyak waktu santai. Cukup santai sampe badannya juga melar.
“Eh… Ngomong-ngomong soal kerja… Awak permisi juga-lah, Da… Mau masuk kerja juga…” kataku setelah melirik jam tangan, memberikan gesture tubuh untuk meminta Salwa kembali. Karena Salwa yang masih kecil, 5 bulan waktu itu, lehernya belum terlalu kuat untuk menopang kepalanya, Aida menyandarkan kepala Salwa di dadanya. Ia belum terlalu paham teknik menggendong bayi karena belum pernah punya kali, ya? Aku agak kesulitan untuk mengambil Salwa dari gendongan Aida tanpa menyentuh…
Tau dong kalau gendong bayi gimana? Salah satu tangan harus masuk di ketiak bayi dan satu tangan lainnya menahan bokongnya.
…Tanpa menyentuh dada Aida tentunya. Dadanya tidak terlalu besar. Paling hanya cup B. Tapi aku jamin kalau dia hamil dan melahirkan, ukurannya pasti melonjak drastis.
Salwa berhasil berpindah tangan kembali padaku dengan sedikit insiden kecil ujung jariku menowel sedikit dadanya, lebih tepatnya bra-nya. Mudah-mudahan gak kerasa. “Da-dah, bu Aida…” kataku pamitan pada wanita itu dengan melambaikan tangan mungil Salwa.
“Da-dah Salwa… Nanti sore gendong lagi, ya?” jawabnya riang dengan muka berseri-seri sambil mengayun-ayunkan tangannya melambai pada anakku. Untung dia gak ngerasa towelan kecil tadi jadi gak ada masalah, pikirku.
Saat aku melintasi depan rumah Aida, kulihat motor Agus sudah ada di teras kecil rumahnya. Berarti dia sudah pulang. Aida ada di depan sambil menyapu dengan sapu ijuk. Ia mengangguk dan tersenyum lebar padaku. Kubalas senyumannya.
Skip-skip
Pulang kerja dengan motor Supra X 125-ku kulihat istriku sedang berjalan-jalan dengan kedua anakku di gang ini. Rio sedang asik makan es lilin sedang Salwa digendong oleh Aida lagi. Istriku sedang ngobrol-ngobrol dengannya.
“… langsung jadi… padahal waktu di pelaminan kakak lagi halangan, loh…” bisa kutebak apa yang mereka bicarakan. Pastinya sedang membicarakan masa-masa kehamilan Rio, anak sulungku. “Ini orangnya…” kata istriku tertuju padaku yang sudah berada di dekatnya.
“Jadi kakak subur kali-lah ya? Langsung jadi gitu…” komentar Aida memandang istriku dan aku bergantian. Rio langsung naik ke motor bagian depan minta jalan-jalan sore.
“Mungkin juga… Senggol langsung jadi… Mungkin bapaknya juga yang subur kali, nih… Ini Salwa juga cepat… Buka spiral… bulan depannya langsung jadi juga…” kata istriku dengan nada yang sedikit bangga kalau ia tidak ada masalah dengan mendapatkan keturunan. Mudah-mudahan memberi motivasi agar Aida terus berusaha dengan suaminya.
Salwa sudah berpindah tangan kembali pada istriku dan ia sudah nangkring di jok belakang motor. “Jalan-jalan!” teriak Rio yang minta keliling-keliling sore ini. Kami berpamitan pada Aida.
“Kalo dipikir-pikir… banyak juga ya yang belom punya anak di gang ini ya, pa…” kata istriku ketika kami melintas di gang sebelum keluar dan mencapai jalan aspal di depan sana.
“Iya… Itu Aida udah empat tahun katanya…” jawabku berhenti di mulut gang dengan lampu tangan motor berkedip ke kanan. Menunggu kesempatan untuk masuk arus kendaraan lainnya.
“Fitri juga tuh… Ini kan dia dengan laki keduanya… Dengan yang pertama dulu sempat keguguran sekali waktu di Jawa dulu… Abis itu sampe sekarang… sampe ganti laki juga belum hamil-hamil… Lima tahun…” cerita istriku tentang tetangga kami yang menyewa rumah tak jauh dari rumah kami. Gosip diantara ibu-ibu kadang lebih akurat.
“Kalo Iva?” tanyaku tentang wanita tinggal tepat dipertengahan gang. Ia membuka warung. Anaknya masih berumur tiga tahun, tapi anak pungut dari saudaranya. Ia dan suaminya sudah menikah lebih lama dari kami berdua.
“Udah sembilan tahun ato sepuluh gitu…” jawab istriku tak ingat pasti info itu. “Trus si Lita juga… Enam tahun… Laki-nya kebanyakan meranto (merantau, bekerja di kota lain)… Gimana mo buat anak?” cerocosnya di jok belakang. Salwa sudah tidur terkena angin sepoi-sepoi sore ini dan Rio masih duduk dengan anteng di depanku.
“Kalo Asri sama Wiwit ampir sama, ya? Mungut anak dulu baru dapat anak sendiri…” begitulah obrolan kami sepanjang jalan-jalan sore ini. Pulang-pulang bawa gorengan dan seplastik penuh jajanan untuk Rio.
Beberapa hari kemudian.
Masih dengan rutinitas yang sama seperti hari-hari berikutnya, pagi dan sore aku tetap membawa Salwa jalan-jalan keliling gang ini saja. Bahkan sampai ke ujung belakang gang yang masih ada sawah-sawah di pinggiran jalan tol. Ia melonjak-lonjak girang melihat kawanan kambing dan bebek. Disini masih sedikit rumah karena lebih banyak sawah sehingga lumayan sepi.
“Eh, Salwa… Maennya sampe kemari ya?” sapa seseorang yang melintas dari belakang mengendarai motor matic merah.
“Iyaa bu Aida… Salwa maennya jauh sampe kemari…” jawabku menyapanya yang niat banget pake berhenti demi menyapa Salwa. “Liat bebek… Liat embek…”
Awalnya ia ragu-ragu akan terus berkendara atau terus bercengkrama dengan Salwa, malah turun dari motornya setelah mematikan mesinnya. Aku kurang begitu memperhatikan apakah ia lirik kanan-kiri melihat situasi dahulu sebelumnya dan ia sudah minta menggendong Salwa aja. Dibawanya bayiku mendekati kawanan bebek yang sedang berada di genangan air sawah yang sudah panen.
“Aku pengen kali-lah, bang…” katanya meningkahi suara kwek-kwek bebek yang bising abis itu. Aku kurang paham apa katanya sehingga aku mendekat. Atau aku salah dengar mungkin. Ia sedang menciumi ubun-ubun Salwa, membaui aroma minyak rambut bayi yang wangi.
Aku masih tersenyum wajar saat aku sudah di dekatnya dan ia mengulangi kalimat tadi dengan tambahan, “Aku pengen kali-lah, bang… punya anak kayak Salwa…” Jelas aku kaget. Bukan sekali ini kudengar ia mengatakan itu, tetapi pandangannya kali ini berbeda. Ada tatapan mengharap disana.
“Banyak-banyak berdoa aja-lah, Da… Namanya juga rezeki, kan dari Tuhan semua…” jawabku berusaha bijak. Kebetulan aja Tuhan ngasih kemudahan pada kami berdua tetapi tidak pada mereka.
“Yang persis kayak Salwa ini aja, bang… Harus kayak Salwa…” katanya dengan nada memelas.
“Mana mungkin bisa sama, Da… Kalo gak mirip kau… yaa… nanti mirip lakikmu-lah…” kataku agak lucu. Anakku memang sangat mirip-mirip antara Rio dan Salwa. Mungkin juga nanti adik-adiknya yang lain. Warna kulitnya, perawakannya walaupun masih bisa dilihat berbeda karena laki-laki dan perempuan. Dari kedua anakku jelas keduanya menurun dariku karena aku berkulit putih sedangkan istriku lebih sawo matang cenderung gelap. Kalau mau mirip banget dengan Salwa yaa jelas tidak mungkin. Mungkin putih-putihnya bisa kali, ya secara Aida itu putih juga tetapi suaminya berkulit gelap, lebih gelap dari istriku malah.
Aida menggendong Salwa mendekat. Kukira ia akan mengoperkan Salwa padaku, malah mengatakan ini, “Dari bang Aseng aja… Pasti anaknya nanti mirip Salwa, kan?” ujarnya mengejutkan.
Kaget tentunya yang kurasakan. Kalau kuingat seperti ada denging di telingaku saat kudengar kalimat itu. “Dari bang Aseng aja…” Aida mengangguk beberapa kali untuk memastikan kalau ia benar-benar bermaksud mengatakan itu. Matanya berbinar-binar penuh pengharapan.
“Hamili, Aida bang…”
Bersambung