Part #9 : Cerita Sebenarnya
Pov Monic
“Hai namaku Dini..” ucap seorang gadis yang duduk di sebelahku memperkenalkan diri.
“hai.. aku Monic.. salam kenal yah..” balasku memperkenalkan diri.
Teringat perkenalanku dengan Dini saat pertama kali masuk sekolah sebagai murid baru. Dini adalah seorang gadis yang cantik dan baik hati. Sosoknya yang ramah membuat banyak orang mengaguminya. Aku kemudian mengajaknya untuk berkenalan dengan Nisa sahabatku dari SMP, dan kami juga berkenalan dengan Farah, teman Nisa satu kelas. Sejak saat itu, kami berempat mulai sering bersama – sama sebagai sahabat.
Aku sempat iri pada Dini, karena tidak sedikit cowok yang mencoba mendekatinya atau hanya untuk sekedar berkenalan. Parasnya yang cantik dan sikapnya yang ramah membuatnya mulai dibicarakan banyak orang. Sebagai idola baru, Dini tidak pernah menolak saat diajak berkenalan oleh siapa pun. Sampai akhirnya dia pun dikenal sebagai seorang primadona di SMA 21.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai tau tentang pribadi Dini. Dibalik senyum manis yang ditunjukkan, tersimpan kesedihan yang mendalam. Dini merasa sedikit terkekang dalam hal pertemanan, terutama dengan teman cowok. Hal itu yang membuat dirinya merasa sedih karena dia juga ingin hidup seperti remaja pada umumnya. Sikap orang tuanya yang membatasi pergaulannya dan sikap protektif dari kakaknya membuat Dini tidak memiliki banyak teman.
Dini mempunyai seorang kakak laki – laki yang juga satu sekolahan bernama Doni. Kak Doni yang merupakan salah satu anggota genk sekolah yang cukup disegani, membuat cowok yang ingin dekat dengan Dini menjadi takut. Aku pernah melihat saat seorang cowok yang usai berkenalan dengan Dini kemudian ditemui oleh kak Doni. Cowok tersebut terlihat seperti ketakutan dan seperti merasa terancam karena ditemui oleh kak Doni. Hal itu yang kemudian membuat cowok – cowok takut untuk mendekati Dini.
Seiring berjalannya waktu, Dini sudah mulai terbiasa dengan kondisi yang dialaminya. Untunglah selalu ada aku, Nisa dan Farah yang sebagai sahabatnya selalu menemani dan mensuportnya, jadi Dini tidak merasa kesepian atau merasa sendiri karena masih ada kami sahabatnya.
Saat di kelas 2 aku, Dini, Nisa dan Farah tergabung di dalam satu kelas. Hal itu tentu saja membuat kami senang karena kami bisa terus bersama – sama. Hingga suatu saat kemudian Farah memiliki seorang pacar yang membuat waktu kebersamaan kami mulai berkurang karena Farah lebih sering bersama pacarnya, hanya aku, Dini dan Nisa saja yang masih sering bersama – sama.
Kami bertiga sering bersama saat di dalam maupun di luar sekolah. Contohnya saat kami jalan – jalan ke mall atau hanya untuk sekedar makan bersama di luar. Kadang kami juga berkumpul untuk menginap di tempat salah satu dari kami. Hal lain yang kita lakukan adalah olah raga bersama saat minggu pagi di alun – alun kota. Kami biasanya janjian dulu sebelum memutuskan untuk pergi kesana, karena biasanya kalau ada salah satu dari kami yang tidak bisa ikut, maka kami memutuskan untuk tidak jadi pergi.
Suatu hari saat minggu pagi Dini mengajak aku dan Nisa untuk olah raga pagi di alun – alun. Aku sempat heran karena baru minggu kemarin kita dari sana, biasanya kami ke alun – alun cuma sebulan sekali. Aku yang sedang tidak ada acara menyanggupi ajakan Dini untuk pergi kesana. Saat kami yang selesai berolah raga dan sedang membeli minuman, aku sempat kaget melihat Dini yang tersenyum pada seorang cowok. Aku sempat mendesaknya untuk bercerita tentang cowok itu, tapi Dini berkata bahwa dia juga tidak mengenal cowok tersebut.
Suatu hari saat di kantin, Farah tiba – tiba mengajak kami untuk berkenalan dengan temannya. Dia memperkenalkan kami pada seorang cowok yang sempat aku lihat saat di alun – alun yang tersenyum pada Dini. Cowok tersebut adalah murid baru yang baru saja pindahan yang kemudian aku tau kalau namanya Riki. Aku sempat melihat wajah Dini yang terlihat malu saat berkenalan dengan Riki. Aku merasa senang karena akhirnya Dini terlihat sangat bahagia, karena setelah sekian lama aku tidak pernah melihatnya seperti itu.
Seiring berjalannya waktu, Riki mulai sering bersama kami, ketika saat di kantin sekolah maupun saat olah raga pagi di alun – alun. Seringnya kebersamaan kami membuat aku yang tadinya biasa – biasa saja mulai merasa nyaman dengan Riki. Orangnya yang sederhana dan ramah serta enak di ajak ngobrol membuatku timbul rasa padanya. Diam – diam aku mencoba mencari tau siapa Riki. Lewat petugas administrasi tata usaha sekolah yang masih saudara dengan mamahku, aku jadi tau nama lengkap Riki, tanggal lahirnya dan dimana dia tinggal.
Suatu hari aku tidak bisa ikut Dini untuk pergi ke alun – alun karena aku harus ikut pergi menghadiri acara bersama keluargaku. Aku mengira saat itu Dini tidak jadi ke alun – alun karena Nisa yang juga tidak bisa ikut. Ternyata dugaanku salah, Dini tetap memutuskan pergi sendiri dan bertemu dengan Riki. Hari berikutnya, jujur aku merasa sedikit cemburu karena terlihat bahagianya Dini saat bercerita padaku tentang pertemuannya kemarin. Saat kami berkumpul di kantin, aku dengan sengaja menggoda Dini karena ingin melihat bagaimana ekspresi Riki. Dan ternyata aku melihat Riki yang juga mempunyai perasaan yang sama kepada Dini. Akhirnya aku merelakan semuanya demi kebahagiaan sahabatku dan mencoba untuk tidak berharap lebih.
Semakin hari rasaku semakin beda, aku yang mencoba untuk melupakan Riki bukan menjadi lupa tapi malah aku lebih sering memikirkannya. Semakin hari perasaanku semakin kuat kepada Riki, hingga aku yang merasakan rindu saat tidak bertemu dengannya.
Hari minggu pagi aku di ajak mamahku untuk menemaninya ke pasar. Mamah beralasan ingin memasak sendiri untuk acara pesta malam harinya. Aku merasa sebel karena lagi – lagi aku tidak bisa pergi ke alun – alun, dan yang membuatku tambah sebel ternyata Nisa juga tidak bisa ikut. Itu berarti Dini akan bertemu dengan Riki berdua saja, dan tentu saja hal itu membuatku cemburu.
Aku dengan terpaksa akhirnya menemani mamahku untuk berbelanja di pasar. Saat sampai di pasar dan waktu kami sedang memarkir mobil, aku tanpa sengaja melihat Riki yang mengendarai mobil bak terbuka terlihat pergi meninggalkan pasar. Hal itu tentu saja sangat membuatku jadi penasaran. Apa yang dilakukan Riki pagi – pagi ke pasar? Apa dia sedang belanja? Tapi aku tidak melihat dia membawa barang sama sekali, malahan bak mobilnya seperti terlihat kosong.
Saat sedang membawa barang belanjaan ke mobil, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada tukang panggul yang membantuku membawa barang belanjaan.
“mang.. tau yang pakai mobil pickup warna abu – abu yang ada tulisannya Cerita Satu – Satu?” tanyaku pada tukang panggul.
“iya non.. tadi yang bawa mas Riki..” jawab tukang panggul.
“oh.. dia di sini belanja atau apa mang..?” tanyaku lagi.
“bukan non.. dia kerja di sini sebagai pemasok sayuran..” jawab tukang panggul yang membuatku kaget.
Hah..? Riki kerja.. aku benar – benar gak nyangka. Disamping dia belajar di sekolah ternyata dia juga bekerja di pasar. Ah mungkin itu hanya kerja sambilan aja setiap minggu.
“itu hari minggu aja ya mang kerja memasok sayuran..?” tanyaku yang masih penasaran.
“enggak non.. tiap hari mas Riki nganter sayuran..” jawab tukang panggul yang membuatku langsung syok.
Aku jadi merasa seperti orang yang tidak berguna. Aku yang hanya diminta mamahku untuk menemaninya saja mengeluh, apalagi sampai mengerjakan pekerjaan rumah. Aku yang terbiasa dimanjakan oleh pembantu menjadi sangat malu melihat Riki yang masih bisa bekerja walau dia masih sekolah. Riki benar – benar membukakan mataku tentang apa itu tanggung jawab. Aku semakin kagum padanya melihat dia bisa bertanggung jawab membagi waktunya untuk bekerja dan sekolah. Sepertinya aku tidak salah menjatuhkan perasaanku pada Riki, karena menurutku selain bertanggung jawab dia juga orangnya kalem dan gak neko – neko.
Siang harinya aku menemani mamahku pergi ke mall membeli keperluan acara di rumah untuk malam harinya. Aku yang merasa ingin buang air kecil menyempatkan diri untuk ke toilet mall. Saat aku keluar dari toilet, terkejut melihat Riki yang berdiri seorang diri dan aku sempat menyapanya. Aku sempat kaget saat melihat seorang cewek yang tiba – tiba menggandeng Riki dengan mesra.
Saat aku tau kalau itu adalah adiknya Riki, aku jadi malu sendiri. Ditambah adiknya Riki yang menggodaku dan bertanya apakah aku pacarnya. Sontak aku jadi malu dan salah tingkah. Aku kemudian bergegas pamit pada mereka karena takut makin lama aku bertemu Riki malah membuatku makin grogi dan bertindak konyol.
Pagi harinya saat di sekolah terlihat Dini yang uring – uringan. Setelah aku tau ternyata Dini cemburu melihat Riki bersama seorang cewek di alun – alun. Nisa juga melihatnya saat sedang makan di warung soto. Hal itu membuat mereka yakin kalau itu adalah pacarnya. Aku yang tau kalau sebenarnya itu adalah adiknya Riki hanya diam saja, aku sengaja tidak memberi tau sahabat – sahabatku. Aku sempat berpikir memanfaatkan situasi ini untuk merebut Riki dari Dini, tapi aku sadar kalau itu tindakan yang jahat karena Dini adalah sahabatku, maka aku urungkan niatku.
Saat di kantin aku sedang duduk bersama sahabat – sahabatku. Tiba – tiba Dini dan Nisa pergi karena melihat Riki yang datang. Aku tetap bertahan bersama Farah dan Ferdi karena aku yang senang bertemu dengan Riki. Entah karena aku yang grogi atau aku yang tidak bisa menahan diri, saat Riki bertanya kemana Dini dan Nisa, aku malah dengan centil menanggapi Riki. Farah yang heran padaku kemudian menatapku dengan penuh menyelidik. Saking groginya aku malah kelepasan bertanya pada Riki tentang adiknya. Huuhh.. sungguh bodoh banget sih aku.
Farah dan Ferdi yang kemudian pergi meninggalkanku bersama Riki membuatku tambah grogi dan keadaan menjadi canggung. Riki yang bertanya padaku tentang apa yang terjadi membuatku semakin bingung dan aku hanya bisa menjawab “gak tau Rik..”. Sampai tiba – tiba Riki yang membentakku membuatku terkejut. Jujur aku kaget dibentak oleh Riki yang kemudian dia merasa bersalah dan berusaha meminta maaf padaku. Aku sebenarnya juga salah karena aku tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi. Sampai aku yang tidak bisa menahannya lagi dan memberanikan diri untuk bilang bahwa aku suka padanya. Entah perasaanku terbalas apa tidak yang jelas aku sudah mengungkapkan perasaanku padanya.
Hari – hari berikutnya aku takut dan malu bertemu dengan Riki. Aku yang berpura – pura sependapat dengan Dini dan Nisa bahwa Riki sudah mempunyai pacar, dan ikut menghindari Riki saat dia terlihat ingin menemui kami.
Saat aku dan Dini hanya berdua di kantin, aku sempat mencari – cari keberadaan Riki yang biasanya terlihat waktu jam istirahat saat dia menuju ke kantin. Walau aku terkesan menghindarinya, dari lubuk hatiku sangat rindu untuk bertemu dengannya, walaupun hanya sekedar melihatnya.
Aku sempat penasaran karena tumben Riki belum terlihat ke kantin seperti sebelum – sebelumnya. Aku yakin Riki tak mungkin menyerah begitu saja untuk memberi penjelasan karena aku yakin dia akan mencoba segala cara untuk melakukannya. Ternyata dugaanku benar, aku yang tiba – tiba menoleh ke arah belakang melihat Riki berjalan menuju ke arahku dan Dini. Aku yang seketika itu reflek langsung berdiri dan pergi tanpa sempat memberi tau Dini. Bodohnya aku yang sudah terlanjur pergi malah membiarkan Riki bertemu dengan Dini. Aku yang melihat Riki menahan Dini pergi dengan memegang tangannya, membuat hatiku terasa sakit. Dan yang membuatku tambah sakit setelah melihat Dini yang kembali duduk bersama Riki. Aku memilih untuk pergi kembali ke kelas karena aku tidak kuat melihat mereka yang berduaan.
Saat jam istirahat selesai, aku melihat Riki dan Dini yang berjalan bersama menuju kelas. Terlihat mereka yang sudah baikan karena terlihat dari mereka yang sudah ngobrol biasa. Saat Dini masuk kelas, aku melihat Riki yang kemudian pergi tapi bukan ke arah kelasnya melainkan ke arah belakang. Aku tau kalau Riki pasti akan ke kamar mandi belakang, karena selama ini dia tidak pernah ke kamar mandi depan. Aku yang melihat kesempatan ini memutuskan untuk mengikuti Riki kesana, karena di kamar mandi belakang sepi membuatku ingin menunjukkan pada Riki tentang kesungguhanku padanya.
Saat Riki keluar dari kamar mandi, dia terlihat kaget karena melihatku yang menunggunya di depan pintu. Aku yang tidak bisa menahan lagi langsung menghampirinya dan mencium bibirnya. Aku dengan tulus melakukan ini karena aku juga ingin ada di hatinya.
Sore harinya aku mendapat telepon dari Dini yang akan menginap di rumahku. Aku terkejut karena Dini yang akan menginap sendirian, karena biasanya ada Nisa dan kadang bersama Farah juga. Hal ini tentu membuatku bertanya – tanya karena tumben – tumbenan Dini sendirian.
Saat Dini yang sudah sampai rumahku, dia tidak mau aku ajak masuk malah memilih untuk duduk di teras depan. Katanya dia mau pergi dan sempat meminjam kunci rumahku kalau nanti pulangnya kemalaman. Setelah aku memberikan kunci pada Dini, tiba – tiba aku terkejut karena melihat Riki datang menggunakan motornya, dan Dini yang melihat Riki datang langsung bergegas menghampiri. Berarti mereka sudah janjian mau pergi bareng, tapi kenapa juga sih kok janjiannya di rumahku. Dini yang terlihat gembira langsung membonceng Riki dan pamit padaku. Riki juga sempat pamit padaku tapi terlihat dari wajahnya yang menunjukkan rasa canggung.
Setelah mereka pergi, aku hanya duduk sendirian sambil membayangkan apa saja yang mereka lakukan diluar sana. Sampai keluargaku yang kemudian beristirahat, aku tetap menunggu mereka di ruang tamu.
Saat aku yang masih di ruang tamu kemudian mendengar suara motor yang berhenti di depan rumah, dan itu pasti Riki sama Dini. Aku yang akan keluar untuk menyambut mereka tiba – tiba mengurungkan niat dan malah berusaha mengintip mereka dari jendela. Aku melihat mereka seperti sedang berbincang – bincang, dan tiba – tiba mereka kemudian berciuman dengan mesra. Hal itu tentu membuatku sakit dan membuatku menangis. Aku kemudian berlari ke kamarku dan saat Dini menyusul masuk kamarku aku berpura – pura sudah tidur.
Hari – hari berikutnya aku mencoba untuk bersikap biasa saat bertemu Riki, aku mencoba menerima dengan ikhlas kalau Riki lebih memilih Dini dari pada aku. Saat sedang berkumpul bersama malah Riki yang terlihat sedikit canggung, apalagi saat Dini yang mengajaknya bercanda, terlihat dari wajahnya yang menunjukkan rasa tidak nyaman. Aku sudah mencoba untuk menyuruhnya biasa saja, tapi nampaknya memang Riki yang tidak bisa menyembunyikannya.
Suatu hari Riki yang baru datang bergabung tiba – tiba pamit pergi dengan alasan mengerjakan PR. Aku tau kalau dia berbohong dan sengaja ingin menghindar karena terlihat dari ekspresi wajahnya yang bingung. Aku yang melihat itu kemudian bertanya padanya lewat pesan.
“kenapa kamu menghindar..?” tulis pesanku pada Riki.
“maaf.. aku merasa kurang nyaman..” pesan balasan dari Riki.
“apa karena aku..?” tanyaku kemudian.
“bukan.. aku tak nyaman dengan diriku sendiri yang terus berpura – pura..” balasnya lewat pesan.
Aku sempat merasa bingung saat membaca pesan dari Riki. Dia berpura – pura dari apa? Apa dia mencoba menjaga perasaanku?
“Dini sahabatku, aku senang melihatnya bahagia..” balas pesanku pada Riki.
“apa kamu bahagia juga..?” pesan balasan dari Riki yang membuatku terharu.
Jadi benar dugaanku, dibalik sikapnya yang canggung dan terkesan aneh, ternyata hanya untuk menjaga perasaanku. Terang saja membuatku bahagia karena aku merasa dianggap olehnya.
Aku merasa bahagia karena ternyata Riki juga punya perasaan padaku, walau aku bukan yang pertama tapi aku menerimanya. Aku ingin memberikan sesuatu padanya karena sebentar lagi dia akan berulang tahun. Saat aku yang sedang jalan – jalan di mall bersama Dini dan Nisa menjadi kepikiran, kira – kira hadiah apa ya yang akan aku berikan buat Riki nanti.
Saat kami melintas di sebuah toko, aku mengajak Dini dan Nisa untuk mampir. Aku sempat bertanya pada Dini, kira – kira mana ya yang bagus buat cowok. Dini sempat heran dan bertanya padaku, emang aku mau kasih buat siapa? Aku kemudian beralasan untuk hadiah saudaraku. Dini kemudian menunjuk salah satu, dan saat aku melihatnya memang itu bagus, dan nampaknya akan cocok untuk Riki.
Aku yang sedang duduk di kamar sambil memikirkan yang akan aku berikan kepada Riki. Kira – kira bagaimana ya agar Riki terkesan oleh kado yang aku berikan. Akhirnya aku mengambil secarik kertas dan menulis ucapan untuk Riki. Semoga Riki mau dengan apa yang aku berikan. Aku berharap lewat benda yang aku berikan membuat Riki selalu ingat denganku dan bisa mewakiliku untuk selalu dekat dengannya.
Hari yang aku nanti, karena aku tak sabar ingin segera memberikan kado pada Riki. Tapi ada yang aneh pagi ini, aku yang duduk bersama Nisa melihat Dini yang terlihat murung. Apa Dini tidak tau kalau sekarang hari ulang tahunnya Riki? Aku sempat bertanya pada Nisa tentang apa yang terjadi pada Dini, tapi Nisa bilang juga tidak tau karena belum sempat bertanya.
Jam istirahat berbunyi dan aku bersiap – siap untuk pergi ke kantin. Tiba – tiba aku sedikit terkejut karena Dini yang tiba – tiba beranjak dan bergegas pergi, Farah juga terlihat seperti mengejar Dini yang terlihat terburu – buru, hal itu tentu saja membuatku penasaran. Apa yang terjadi pada Dini? Akhirnya aku mengikuti Dini dan Farah yang terlihat menuju kantin.
Aku yang tertinggal langkah karena cepatnya Dini yang berjalan tergesa – gesa hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Saat Dini sampai di kantin terlihat Dini yang kemudian menghampiri Riki yang sedang duduk bersama teman – temannya. Tiba – tiba terjadi hal yang membuatku kaget karena Dini yang menarik Riki dengan kasar kemudian menamparnya dengan keras. Seketika itu semua orang yang ada di kantin langsung melihat kejadian itu, dan terlihat Dini yang kemudian berteriak marah dan memaki Riki. Aku yang melihat hal itu seketika menjadi sedih. Riki yang di tampar dan di maki oleh Dini tapi kenapa aku yang merasakan sakit.
Aku kemudian mengejar Dini yang terlihat kembali menuju kelas dan mencoba bertanya padanya tentang apa yang terjadi. Dini tidak mau menjelaskan dengan apa yang terjadi dan hanya menangis. Saat Farah datang aku kemudian bertanya padanya dan aku terkejut setelah mendengar cerita dari Farah. Aku seakan tidak percaya dengan apa yang telah dilakukan Riki. Kalaupun itu benar, pasti ada alasannya sampai Riki melakukan itu. Aku ingin mendengar langsung penjelasan dari Riki.
Saat pulang sekolah, aku mencoba mencari Riki tapi dia tidak terlihat setelah kejadian di kantin. Aku yang mencoba bertanya kepada temannya juga tidak melihat Riki. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang karena supir jemputan sudah menungguku dan akan menemuinya esok hari.
Pagi hari aku sudah berada di sekolah, aku sengaja menunggunya di parkiran motor agar bisa bicara berdua dengannya. Hingga bel tanda jam masuk sekolah berbunyi, tidak terlihat tanda – tanda kehadiran Riki yang membuatku bertanya – tanya. Kemanakah dia? Kenapa dia tidak masuk sekolah?
Selama pelajaran berlangsung aku menjadi tidak fokus karena terus memikirkan Riki. Aku merasakan apa yang dia rasakan, pastinya sakit diperlakukan seperti itu oleh orang yang disukainya. Aku jadi merasa khawatir dengan Riki karena tidak melihat kehadiran Riki di sekolah.
Saat istirahat sekolah, aku yang sedang bersama Farah dan Ferdi di kantin dikejutkan oleh Akbar yang datang menemui Ferdi dan menanyakan keberadaan Riki. Kekhawatiranku semakin bertambah karena memang benar Riki tidak berangkat ke sekolah dan Ferdi yang tidak tau tentang keberadaan Riki membuat Akbar kemudian pergi. Aku yang malah penasaran kemudian mendesak Ferdi untuk bertanya kepada yang lain karena Ferdi yang seolah tidak perduli dengan Riki malah asik pacaran.
Ferdi dengan jengkel kemudian terlihat mengirim pesan kepada seseorang, beberapa saat kemudian ada pesan balasan. Ternyata pesan itu dari Yudha yang berkata kalau temannya semalam bersama dengan Riki di cafe X dan mungkin juga dia tidur disana. Aku yang mendengar itu kaget. Apa yang dilakukan Riki disana? Apa jangan – jangan karena pikirannya kacau terus dia mabuk – mabukan disana?
Aku yang sudah di kelas menjadi gelisah memikirkan Riki yang aku yakin kalau pikirannya sedang kacau. Aku kemudian bertekad untuk ijin pulang sekolah dengan alasan sakit. Setelah ijin dengan teman – temanku dan guru kelas, aku kemudian bergegas pergi dan mencari taksi untuk menuju cafe X.
Sepanjang perjalanan aku merasa was – was karena jujur aku takut kalau Riki sudah pergi dari cafe tersebut. Setelah sampai dan membayar taksi, aku kemudian melihat cafe tersebut masih belum buka. Aku kemudian melihat sekitar dan menemukan Riki yang sedang duduk sendirian di pinggir ruko dengan kepala menunduk.
Aku kemudian berjalan menghampirinya dan berhenti di depannya. Riki melihatku sebentar kemudian kembali menundukkan wajahnya. Aku yang melihat kondisinya merasa sedih. Riki terlihat sangat kacau dan nampak dari raut wajahnya yang terlihat sedih dan banyak pikiran.
Aku kemudian mendekatinya dan menempatkan kepalanya di perutku kemudian membelainya. Aku mencoba menenangkannya dengan membuatnya nyaman dengan terus membelainya. Sampai saat dia sudah tenang, aku kemudian mengajaknya pergi ke rumahku.
Saat di perjalanan aku memeluknya dengan erat. Aku merasakan kenyamanan saat memeluknya, hal yang selama ini aku inginkan untuk bisa berdua dengannya, semoga dia juga bisa merasakan kenyamanan seperti yang aku rasakan.
Setelah sampai rumahku, aku kemudian berganti pakaian dan mengambilkan Riki makanan. Aku bisa saja menyuruh pembantu untuk mengambilkannya tapi aku ingin melakukannya sendiri. Aku ingin belajar untuk memberikan perhatian kepada orang yang aku sayang.
Setelah Riki selesai makan, kami kemudian berbincang dan aku juga sempat bertanya pada Riki tentang apa yang terjadi. Riki bercerita semuanya padaku dari mulai di ajak oleh Akbar sampai perkelahiannya dengan kak Doni. Setelah aku mendengar semua cerita Riki, aku merasa tidak terima dengan apa yang telah dilakukan Dini kepada Riki dan ingin sekali aku memberitahunya. Tapi karena aku yang sudah berjanji untuk tidak cerita ke siapa pun akhirnya hanya bisa diam menyimpannya. Sungguh bodoh sekali Dini yang menyia – nyiakan seorang Riki hanya karena sebuah kesalah pahaman. Dan bodohnya lagi Dini yang menyimpulkan sesuatu tanpa tau kejadian sebenarnya yang membuatku sangat geram padanya.
Setelah aku dan Riki berbincang tanpa terasa hari semakin siang, Riki kemudian pamit padaku untuk pulang. Aku merasa lega melihat Riki yang terlihat mulai biasa lagi dan tidak seperti tadi pagi yang terlihat sangat kacau. Saat Riki akan pulang, aku teringat kado yang akan aku berikan padanya masih ada di tasku. Aku yang kemudian mengambilnya dan memberikan pada Riki sambil mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Riki terlihat kaget saat menerimanya dan terlihat sedikit terharu. Mungkin dia kaget karena aku tau hari ulang tahunnya di saat teman – teman yang lainnya tidak tau.
Riki yang terlihat senang seperti tidak sabar ingin membuka kadoku. Aku yang melihat itu melarangnya dan memintanya untuk membukanya saat sudah sampai di rumah. Semoga Riki senang dengan pemberianku dan aku berharap kado dariku bisa selalu dia pakai. Aku ingin pemberian dariku mewakiliku untuk selalu bisa dekat dengannya.
Pov Doni
Aku sebenarnya tau kalau Benny itu seorang pengecut sampai meminta ayahnya dengan memaksa papaku untuk beraliansi dengan SMA 6 saat tau kalau aku menjadi ketua MEDUSA. Aku yang tidak bisa menolak permintaan papaku akhirnya menerimanya dengan terpaksa. Jujur sebenarnya aku malu dengan teman – temanku terutama dengan Bimo yang selalu mendukungku walau akhirnya aku memutuskan untuk beraliansi dengan KOMBAT. Aku yang sudah merasa malas karena secara tidak langsung di atur oleh Benny lewat papaku, menyerahkan urusan genk kepada Bimo untuk mengatur semuanya.
Saat adikku Dini masuk ke sekolah yang sama denganku, dia menjadi seperti bunga yang dilirik oleh banyak lebah. Banyak yang akhirnya mencoba mendekati adikku walau hanya sekedar berkenalan. Aku yang merasa sedikit khawatir dengan adikku kemudian menemui cowok – cowok yang sudah menemui adikku. Aku sebenarnya hanya ingin menguji mentalnya saja karena kalau sampai dia macam – macam dengan adikku, nanti akan berurusan denganku. Dan ternyata, hanya dengan gertak sambal saja langsung membuat mereka ciut, hal itu membuatku yakin kalau tindakanku tepat dan mereka tidak pantas dekat dengan adikku. Aku sebenarnya merasa kasihan dengan adikku karena ulahku, dia seperti dijauhi teman – temannya, tapi aku melakukan itu hanya untuk kebaikannya.
Seiring berjalannya waktu, adikku sudah mulai terbiasa. Hingga saat aku melihat adikku yang kemudian berkenalan dengan seorang murid baru, terlihat dari raut wajah adikku yang berbeda dan terlihat bahagia. Hal itu membuatku untuk tidak mengganggunya tapi tetap mengawasi anak baru tersebut.
Saat aku bersama teman – temanku sedang nongkrong di kamar mandi belakang, tiba – tiba anak baru yang lagi dekat dengan adikku tersebut pergi ke kamar mandi belakang. Aku menduga kalau dia tidak tau atau mungkin tidak ada yang memberi tau karena tidak ada murid yang berani ke kamar mandi ini kecuali anggota genk. Aku yang melihatnya berjalan melewati kami tanpa merasa takut oleh tatapan tajam dari teman – temanku membuatku yakin kalau dia cukup bernyali. Akhirnya aku menyuruh Bimo untuk mengundang anak baru itu ikut sparing bersama anak – anak kelas 1 melawan KOMBAT.
Hari berikutnya aku mendapat cerita dari Bimo kalau anak baru yang bernama Riki itu menghajar Benny sampai babak belur. Bimo juga bercerita kalau Sigit yang mendampingi sparing tidak bisa melarang Riki yang menantang Benny bertarung karena ramainya dukungan dari adik – adik kelas Benny yang antusias melihat Benny bertarung. Aku yang mendengar Benny babak belur dalam hati merasa senang karena akhirnya Benny mampus juga walau bukan aku yang menghajarnya. Bimo kemudian berinisiatif untuk mengajak bertemu dengan Riki karena khawatir tentang nasib aliansi dengan KOMBAT. Aku hanya mengiyakan saja karena aku sebenarnya sudah tidak peduli dengan aliansi.
Aku duduk sendirian di samping warung tempat tongkrongan sambil menikmati rokokku, tak berapa lama terdengar motor yang datang dan ada orang dari dalam yang terlihat keluar. Ternyata orang dari dalam itu adalah Angga yang menemui Akbar dan Riki. Setelah Angga menyuruh Akbar pergi kemudian terdengar Angga yang berbisik pada Riki. Angga mengancam Riki untuk menjauh dari Dini karena Angga yang juga suka pada adikku. Sepertinya Angga tidak tau kalau aku berada di dekatnya karena saat dia datang dia langsung masuk ke dalam. Sekarang aku jadi tau kenapa Angga mendekatiku dan bersikap baik padaku, ternyata dibalik itu ada maksud karena ingin mendekati adikku. Hmm.. dasar pengecut.
Saat di dalam terdengar Bimo yang bertanya pada Riki, tapi aku sedikit terganggu dengan sikap Angga yang sok – sokan menampar dan memaki Riki saat akan menjawab. Aku kemudian menjadi sedikit tertawa mendengar Angga yang berteriak kesakitan dengan menyebut hidungnya. Mungkin Riki juga risih dengan sikap Angga yang sok – sokan hingga kemudian memukulnya.
Kemudian keadaan menjadi memanas karena terdengar Sigit dan Bimo yang tidak terima melihat Angga yang dipukul. Tapi yang membuatku tersenyum karena Riki yang sepertinya menantang dan menyebut aliansi dengan KOMBAT adalah pengecut. Dalam hal ini aku sependapat dengan Riki karena aku juga sebenarnya tidak menginginkan aliansi dengan KOMBAT. Aku jadi penasaran ingin mencoba kemampuan Riki dalam bertarung.
Saat aku berdiri dan berjalan masuk warung melihat Bimo dan Riki yang sudah bersiap untuk bertarung. Aku kemudian menghentikan mereka dan menggantikan Bimo untuk bertarung melawan Riki. Bimo sepertinya tidak terima dengan keputusanku, maka aku menjelaskan padanya kalau masalah aliansi adalah tanggung jawabku.
Aku yang sudah berhadapan dengan Riki ingin mengetahui bagaimana serangannya, dengan sedikit menggodanya dengan memainkan jariku agar dia menyerangku. Ternyata pancinganku berhasil yang membuat Riki kemudian maju menyerangku.
Serangan Riki lumayan juga, tapi dia terlihat agak kaku, mungkin karena jarang bertarung sehingga serangannya mudah ditebak. Aku sempat terkena pukulan Riki tapi langsung aku balas hingga dia terkapar untuk kedua kalinya. Aku rasa pertarungan ini sudah cukup karena aku tidak ingin Riki terlihat babak belur saat bertemu dengan adikku nanti. Aku yang kemudian mendekati Riki dan hendak mengajaknya bersalaman sebagai tanda berakhirnya pertarungan.
Aku yang berjalan mendekatinya terkejut karena Riki yang tiba – tiba melompat menabrakku. Sialnya lengan kanan bawahku yang tertabrak oleh bahunya sampai aku kesakitan dan tangan kananku tidak bisa untuk digerakkan. Aku kemudian melihat perubahan wajah Riki yang sangat emosi dan terlihat mengerikan. Saat itu juga Riki langsung menyerangku bertubi – tubi dan aku hanya bisa menahannya dengan tangan kiriku. Kakiku juga tak luput terkena tendangan dari Riki sampai aku yang goyah karena menahan sakit pada kakiku. Akhirnya serangan lutut dari Riki yang tepat mengenai mukaku yang langsung membuatku jatuh terkapar. Aku kira pertarungan sudah selesai, tapi ternyata belum. Riki masih memburuku dan dia berada di atasku memukul wajahku berkali – kali sampai aku hampir hilang kesadaran. Pukulan Riki terhenti saat salah satu temanku menarik Riki.
Aku kemudian melihat Riki yang meringkuk karena dikeroyok oleh ketiga temanku. Aku kemudian menyuruh mereka berhenti dan membiarkan Riki pergi. Aku kemudian dibantu oleh teman – temanku dan di antar pulang.
Sampai di rumah, terlihat Dini yang panik saat melihatku babak belur. Aku kemudian dibantu oleh Bimo dan di antarkan ke kamarku. Beberapa saat kemudian adikku menyusulku ke kamar dan bertanya padaku siapa yang membuatku sampai babak belur. Aku sempat berbohong karena aku bingung bagaimana menjelaskan ke Dini. Ternyata Dini sudah tau dan dia terlihat sangat marah sekali. Aku yakin pasti Angga yang memberitahunya saat Bimo sedang mengantarku tadi.
Malam harinya aku mencoba menjelaskan pada Dini tentang apa yang terjadi. Aku ingin memberitahunya kalau sebenarnya aku yang mengajak Riki bertarung. Saat aku akan menjelaskan, Dini langsung menolak penjelasanku dan malah menyuruhku pergi. Aku akhirnya mengalah dan membiarkan adikku, karena kalau dia sudah marah dia tidak mau diganggu.
Aku kemudian kembali ke kamarku dan mengambil HP ku. Aku dengan tegas mengumumkan pengunduran diriku sebagai ketua MEDUSA.
Pov Riki
Aku duduk termenung sambil melihat jam tangan pemberian dari Monic. Aku masih belum percaya kalau Monic memberiku kado ulang tahun, dan yang aku heran dari mana dia bisa tau hari ulang tahunku? Ferdi dan Farah yang temanku dari SMP saja sampai sekarang tidak tau.
Aku juga membaca berkali – kali tulisan dari Monic yang diberikan bersama kado ulang tahunku, tulisan yang aku yakin adalah ungkapan perasaannya padaku. Teringat pesan yang aku kirim ke Monic tadi malam.
“makasih Mon kadonya sudah aku buka..” tulis pesanku ke Monic
“sama – sama Rik.. semoga kamu senang..” pesan balasan dari Monic
“tentu aku senang.. tapi apa ini tidak berlebihan?” balas pesanku ke Monic
“aku ikhlas memberikannya padamu, jadi aku mohon kamu juga ikhlas menerimanya..” pesan balasan dari Monic
“baiklah.. tapi maaf sebelumnya, kamu tau hari ulang tahunku dari mana?” tulis pesanku ke Monic
“tidak penting aku tau dari mana, yang penting kamu mau menerima pemberianku dan aku akan lebih senang kalau kamu mau memakainya..” pesan balasan dari Monic.
Pesan dari Monic menegaskan ketulusannya padaku. Sikap dan perhatiannya padaku membuatku merasa nyaman dan tenang. Permasalahanku dengan Dini sedikit terlupakan saat aku bersama Monic. Tapi kenapa aku masih belum bisa sepenuhnya menerima Monic, apa karena aku belum rela melepaskan Dini karena belum bisa menjelaskan padanya tentang kesalah pahaman yang terjadi.
“tok.. tok.. tok.. Rik..” ketukan pintu membuyarkan lamunanku.
“kamu mau berangkat jam berapa.. cepet sarapan dulu..” ucap Tante Septi.
“iya Tan..” balasku.
Aku kemudian bergegas ke meja makan untuk sarapan, terlihat Om Heri yang sudah berada disana sedang sarapan.
“Bun..” ucap Om Heri memanggil Tante Septi sambil melirik jam tanganku.
“kenapa Yah..?” balas Tante Septi yang tidak paham maksud lirikan Om Heri.
“itu..” ucap Om Heri lirih sambil terus melirik jam tanganku.
Tante Septi masih terlihat bingung dan tidak paham dengan yang dimaksud Om Heri. Aku yang menyadarinya menjadi risih melihat Om Heri yang terus – terusan melirik jam tanganku.
“nih kalau mau lihat..!!” ucapku sambil menyodorkan tanganku ke arah Om Heri.
“uhukk.. uhukk.. uhukk..” Om Heri yang tersedak karena kaget tiba – tiba aku menyodorkan tanganku.
“hahaha..” aku yang tertawa puas melihat Om ku yang tersedak karena ulahku.
“oalah… itu toh.. hihihi..” ucap Tante Septi yang ikut tertawa karena baru tau yang dimaksud adalah jam tanganku.
“hmm…” ucap Om Heri menanggapi dengan muka masam.
“jam baru Rik..” tanya Tante Septi padaku.
“iya..” balasku.
“oh..” ucap Tante Septi.
“hadiah ulang tahun Bun..” ucap Om Heri berbisik.
Aku tidak menanggapinya dan hanya tersenyum. Setelah selesai sarapan aku kemudian pamit dan bergegas berangkat ke sekolah.
***
“bro.. kok bisa ente duel sama kak Doni..?” tanya Akbar saat pelajaran sedang berlangsung.
“sstt…” balasku menyuruhnya diam karena aku lagi tidak mau membahasnya.
“gimana bro ceritanya..?” tanya Akbar yang masih penasaran.
“sstt..” balasku yang malas menjawab Akbar.
“ah.. ente gak asik.. pokoknya ente nanti harus jadi ketua MEDUSA, ane dukung” ucap Akbar bersemangat.
“sstt.. udah diem ah..” balasku yang malas membahas tentang genk sekolah.
“taik..” gerutu Akbar jengkel karena aku cuekin.
Tiba – tiba pak Tri masuk ke kelas dan terlihat berbincang dengan guru yang sedang mengajar.
“Riki.. ikut saya sebentar..” ucap pak Tri yang tiba – tiba memanggilku.
“eh ada apaan bro..?” tanya Akbar yang penasaran.
“gak tau..” jawabku mengangkat bahu dan kemudian pergi mengikuti pak Tri.
“ada apa ya pak..?” tanyaku pada pak Tri saat sudah diluar kelas.
“kamu ke ruang kepala sekolah duluan, nanti saya nyusul..” ucap pak Tri menyuruhku.
“iya pak..” balasku.
Aku kemudian menuju ke ruang kepala sekolah, dan saat sampai disana terlihat pintu yang tidak tertutup, sehingga aku bisa melihat di dalam ruangan ada pak Saiman bersama seorang pria yang duduk membelakangiku.
“permisi pak..” ucapku yang membuat pak Saiman dan pria itu menoleh padaku.
“silahkan masuk.. sini duduk sini..” ucap pak Saiman menyuruhku masuk.
Aku kemudian menyalami pak Saiman. Saat aku akan menyalami pria itu, dia hanya melihatku dengan sinis dan tidak membalas salamanku.
“sudah nak duduk sini..” ucap pak Saiman menyuruhku duduk.
Akhirnya aku kemudian duduk di dekat pak Saiman dan tidak jadi bersalaman dengan pria tersebut.
“oh.. jadi rupanya kamu yang sudah menghajar anakku..!! Dan kamu juga ya yang menghajar Doni..? Sudah merasa hebat kamu.. hah..?!! Berani – beraninya kamu cari masalah dengan saya..!! Memang kamu tidak tau sedang berurusan dengan siapa..!!” ucap pria itu yang terlihat marah padaku.
Aku hanya diam tidak menjawab karena aku bingung. Ini pasti orang tuanya Benny, tapi kok nyebut Doni juga emang ada hubungan apa ya? Duh.. lagi – lagi kena masalah gara – gara berantem. Kalau aku sampai kena hukuman, gimana nanti aku bilangnya ke Bundaku.
“terus bapak mau apa..?” ucap seseorang yang tiba – tiba masuk ke ruangan.
“Tri Santoso..” gumam pria itu setelah melihat siapa yang berbicara.
Wah.. rupanya pria itu juga mengenal pak Tri. Aduh tambah mampus ini aku, moga – moga aku tidak sampai dikeluarkan dari sekolah. Aku hanya bisa menunduk tidak berani berkata – kata, ibarat pasrah sudah mau kena hukuman apapun, hanya semoga saja tidak sampai dikeluarkan.
“saya tidak ada urusan dengan anda.. urusan saya dengan anak ini..!!” ucap pria itu kepada pak Tri sambil menunjukku.
“iya.. terus mau bapak apa?” jawab pak Tri dengan santai.
“saya mau anak ini di hukum karena telah bertindak brutal dan harus diberi sanksi yang tegas, kalau perlu dikeluarkan dari sekolah..!!” ucap pria itu yang membuatku langsung lemas.
“baiklah..” ucap pak Saiman yang membuatku benar – benar lemas.
Hukuman yang di ajukan oleh pria itu adalah yang aku takutkan, dan yang membuatku pasrah adalah pak Saiman menyetujuinya. Nasib.. nasib..
“dimana kejadian anak ini memukul anak bapak?” tanya pak Saiman kepada pria itu.
“dimana kejadian anak ini memukul Doni?” tanya pak Saiman melanjutkan.
Pria itu hanya diam dengan muka yang emosi dan enggan menjawab pertanyaan pak Saiman.
“pak Tri.. apa ada yang berkelahi di lingkungan sekolah baru – baru ini..?” tanya pak Saiman kepada pak Tri.
“tidak ada pak..” jawab pak Tri tersenyum.
“jadi kejadiannya diluar sekolah ya pak..” ucap pak Saiman yang membuat pria itu geram.
“karena kejadian diluar sekolah dan tidak ada sangkut pautnya dengan nama sekolah, maka saya tidak bisa menyanggupi permintaan bapak karena..” ucap pak Saiman menjelaskan kemudian terpotong.
“bilang saja anda mau melindungi anak ini..!!” ucap pria itu dengan marah.
“hei.. namamu siapa..?!! kamu anak mana..?!!” bentak pria itu padaku.
“eh.. nama saya..” ucapku terhenti.
“namanya Riki Putra Sanjaya.. anak pertama dari Herman Sanjaya..” ucap pak Saiman menyahut.
Saat mendengat nama ayahku yang disebut, pria itu terlihat kaget dan kemudian diam tidak berbicara lagi.
“bagaimana bapak Surya Wijaya, apakah sudah jelas dengan permasalahan yang terjadi.. kami tidak bisa menindak anak yang berkelahi diluar sekolah dan bukan saat kegiatan belajar mengajar. Karena itu sudah menjadi tanggung jawab dari orang tua masing – masing, maka pihak sekolah tidak bisa ikut campur..” ucap pak Saiman menjelaskan kepada pak Surya.
Pak Surya hanya diam tidak menjawab dan wajahnya terlihat geram menahan emosi. Kemudian pak Surya berdiri dan langsung pergi meninggalkan kami bertiga tanpa pamit.
“hahaha…” pak Saiman dan pak Tri tertawa setelah melihat pak Surya pergi.
Aku yang dari tadi hanya diam menjadi terbengong karena aku masih bingung dengan apa yang terjadi. Ini sebenarnya aku di hukum apa enggak sih? aku yang dari tadi merasa tegang karena akan dijatuhi sebuah hukuman mendadak jadi heran. Kenapa pak Surya terlihat sangat marah sekali dan yang aku heran kenapa juga pak Saiman dan pak Tri malah tertawa, bukannya yang ikut marah karena ada laporan tentang perkelahian.
“sudah nak.. kamu boleh kembali ke kelasmu..” ucap pak Saiman yang terlihat masih sedikit tertawa.
“ayo Rik.. aku juga mau balik.. sudah pak saya tinggal dulu.. hahaha…” ucap pak Tri yang pamit ke pak Saiman dan mengajakku kembali ke kelas.
Aku kemudian berjalan bersama dengan pak Tri. Aku masih penasaran, sebenarnya apa yang terjadi. Aku juga merasa khawatir dengan nasibku, apakah aku jadi dihukum apa tidak.
“pak saya beneran gak dihukum..?” tanyaku ke pak Tri.
“iya.. kenapa.. apa kamu mau saya hukum..?” balas pak Tri.
“eh.. enggak pak.. gak mau pak.. tapi kok bisa pak..?” tanyaku yang penasaran.
“ya bisa.. kenyataannya bisa kan..” jawab pak Tri santai.
Aduh aku jadi bingung bagaimana ya tanyanya.
“maksudnya kok bisa saya tidak dihukum secara bapak tau kalau saya berkelahi, dan ada laporan dari orang tuanya..” tanyaku menjelaskan maksudku.
Kemudian pak Tri menghentikan langkah dan menatapku tajam.
“sebenarnya kami dari pihak sekolah tidak mentolelir segala perkelahian yang dilakukan di dalam maupun di luar sekolah. Tapi karena ini ada hubungannya denganmu, maka kami melakukan pertimbangan..” ucap pak Tri dengan serius.
“maksudnya bagaimana ya pak..?” tanyaku yang masih belum paham.
“kamu mau pindah sekolah lagi gara – gara berantem..?” ucap pak Tri yang membuatku kaget.
Ternyata pak Tri tau alasan kenapa aku sampai pindah ke sekolah ini dan pindahnya pun di tengah – tengah semester.
“kalau kamu berkelahi diluar, aku masih bisa memaklumi. Tapi kalau kamu melakukannya lagi di sekolah apalagi di dalam kelas dan ada guru yang sedang mengajar, aku sendiri yang akan mengeluarkanmu dari sekolah ini..!!” ucap pak Tri tegas.
“sekarang kamu cepat balik ke kelasmu..” ucap pak Tri menyuruhku.
“iya pak..” jawabku yang kemudian bergegas balik ke kelas.
Wuih.. ngeri juga pak Tri kalau lagi marah. Ah sudahlah, yang penting aku gak jadi kena hukuman. Aku menjadi sedikit lega karena tidak perlu memberi penjelasan ke orang tuaku. Hehehe…
“bro.. ente kenapa? ada masalah apa?” tanya Akbar setelah aku kembali ke kelas.
“gak ada apa – apa” jawabku ke Akbar.
“gak mungkin kalau gak ada apa – apa sampai ente di panggil gitu.. apa masalah berantem?” tanya Akbar yang masih penasaran.
“bukan.. masalah pembayaran sekolah..” balasku berbohong.
“oh..” ucap Akbar yang sepertinya menerima alasanku.
Sebenarnya bukan niatku untuk sengaja membohongi temanku, tapi aku cuma tidak ingin memperpanjang masalah ini, dan jujur aku malas membahas masalah ini karena pasti Akbar akan heboh kalau tau tentang perkelahian dan genk sekolah.
Aku kemudian kembali mengikuti pelajaran, saat jam istirahat aku juga sempat ke kantin dan aku tidak melihat kehadiran Dini atau Monic, bahkan yang lain juga aku tidak melihatnya.
Setelah pulang sekolah aku kembali kepikiran dengan kejadian tadi pagi. Kenapa pak Surya seperti kaget mendengar nama ayahku, dan seperti enggan melanjutkan permasalahan tadi malah memilih untuk langsung pergi. Setelah aku ingat – ingat, dulu Benny pernah menghinaku gara – gara usaha ayahku yang bangkrut, dan aku sempat heran dari mana Benny bisa tau. Apakah ada hubungannya usaha ayahku yang bangkrut dengan ayahnya Benny?
Hufh.. dari pada pusing aku memutuskan untuk ke cafe X untuk bersantai sebentar. Saat aku sampai disana, aku melihat ada Reno dan Wahyu yang sedang nongkrong, kemudian aku bergabung dengan mereka.
“kelihatannya ente lagi pusing sob, mau mabok lagi? Hehe..” ucap Reno padaku.
“pusing iya.. tapi mabok enggak sob..” balasku pada Reno.
“Rik, katanya ada anak SMA ente yang mukulin ketua genk sekolahnya, terus dia juga mukulin anak SMA lain. Ente tau itu siapa?” tanya Reno padaku.
Aku kaget kok Reno bisa tau berita itu dari mana? Dia kan anak SMA 8, dari mana ya dia bisa tau masalah internal SMA 6 dan SMA 21.
“wah.. ane malah gak tau sob.. emang ente tau dari mana?” balasku ke Reno dan kulihat Wahyu melirikku.
“oh.. kirain ente tau..” ucap Reno manggut – manggut.
Aku bohong lagi untuk masalah ini karena aku gak pengen mereka tau kalau itu aku. Tapi yang aku heran kenapa Wahyu melirikku dengan curiga seperti menyelidik, apa dia tau sesuatu.
“bentar ane pesan makanan dulu..” ucapku yang kemudian pergi.
Setelah kembali duduk kami kemudian mengobrol ringan, saat hari menjelang malam kami masih saling ngobrol dan tiba – tiba Yudha datang bersama seorang cewek. Setelah bergabung kemudian Yudha memperkenalkan cewek itu padaku.
“Rik, kenalin pacar ane..” ucap Yudha padaku.
“oh iya.. Riki..” ucapku mengajak bersalaman.
Yang aku heran cewek itu malah melihatku terbengong tapi tidak membalas salamanku.
“beb..” panggil Yudha menyadarkan cewek itu.
“Ratna..” ucapnya memperkenalkan diri sambil bersalaman.
Saat aku mau menarik tanganku, dia malah menahan dan tetap menggenggam tanganku. Aku mengernyitkan dahi pertanda heran, kenapa juga salamanku gak mau dilepas.
“namamu siapa..?” ucap Ratna bertanya padaku.
“Riki.. nama saya Riki mbak..” ucapku yang membuat Ratna mengernyitkan dahi.
“kamu pikir aku udah tua kamu panggil mbak..!!” ucap Ratna yang seperti jengkel.
Buset.. galak amat ni cewek.. tapi ngomong – ngomong kenapa tanganku gak dilepas – lepas.
“iya.. iya.. maaf..” ucapku meminta maaf.
“udah.. udah.. cukup.. kelamaan..!!” ucap Yudha yang terlihat cemburu sambil melepaskan tanganku dan Ratna.
“sory bro..” ucapku kepada Yudha yang merasa tidak enak.
“hmm..” balas Yudha yang terlihat sebel.
Kemudian kami duduk kembali dan melanjutkan obrolan. Tapi yang aku heran, kenapa Ratna masih melihatku dengan tatapan yang tidak aku mengerti. Aku berusaha untuk tidak melihatnya karena aku merasa tidak enak sama Yudha.
“Yud, ente tau yang mukulin ketua MEDUSA sama yang mukulin anak KOMBAT..?” tanya Reno pada Yudha.
Yudha kemudian melirikku, aku dengan muka memelas memohon agar Yudha jangan bilang pada Reno.
“emang penting..?” tanya Yudha kepada Reno.
“enggak juga sih.. cuma pengen tau aja..” balas Reno penasaran.
“hmm.. ente beneran pengen tau..?” ucap Yudha tersenyum licik.
“iya.. siapa sob.. penasaran ane..” ucap Reno mengiyakan.
“beneran gak nyesel..?” ucap Yudha memastikan.
“iya.. kelamaan ah anjing..!!” balas Reno yang mulai tidak sabar.
“nih tersangkanya…!!” ucap Yudha yang menunjukku.
Mereka semua kemudian melihatku, aku yang dilihat oleh mereka memasang tampang bloon pura – pura tidak mengerti.
“kenapa..?” ucapku seperti orang yang tidak berdosa.
“wakakak… anjing.. anjing.. Yudha kebangeten kalau ngelawak…” ucap Reno yang tertawa terbahak – bahak.
Aku hanya nyengir melihat muka Yudha yang terlihat geram karena dikira bohong oleh Reno, aku melihat Ratna yang sepertinya biasa – biasa saja, tapi tidak dengan Wahyu yang malah melihatku tajam.
“serius anjing…!!” balas Yudha yang tidak terima karena dikira berbohong.
Saat Reno melihat Wahyu yang masih melihatku dengan tajam, membuat Reno kemudian terdiam.
“eh.. beneran..?” ucap Reno yang masih belum percaya.
“ente mau aja dikibulin Yudha sob.. hehe..” ucapku pada Reno terkekeh mencoba mengalihkan.
“bangke ini anak..!!” ucap Yudha yang geram memetengku.
Aku hanya tertawa karena Yudha yang jengkel padaku dan terus memeteng leherku.
“calon ketua MEDUSA..” ucap Wahyu tiba – tiba yang membuat semua terdiam.
Reno melihatku dengan tatapan seakan tidak percaya dan Yudha hanya melihatku dengan sinis sedangkan Ratna tetap bersikap acuh.
“hmm.. maaf sob.. aku tidak sehebat yang kalian pikir.. aku hanya beruntung saja..” ucapku pada mereka.
Kemudian aku mulai bercerita permasalahanku mulai dari aku yang menghajar Benny sampai aku yang berduel dengan Doni. Aku sengaja tidak menceritakan permasalahanku dengan Dini, karena hal itu tidak perlu semua orang tau, mungkin hanya Yudha saja yang sudah tau karena dia ada disana waktu aku ditampar.
“gila…” ucap Reno yang seakan tidak percaya.
“sok jago..” gumam Ratna yang sempat aku dengar.
“bagaimana pun.. ente tetep hebat Rik.. ane salut..” ucap Wahyu padaku.
Aku hanya tersenyum mendengar yang di ucapkan Wahyu dan saat aku melihat Reno, dia masih bengong seakan tidak percaya sedangkan untuk Ratna aku tidak menghiraukan. Bagiku terserahlah dia mau bersikap judes padaku, aku kenal dia juga barusan kok, toh aku juga gak merasa rugi. Hehehe…
Tak berapa lama kemudian Ratna pamit untuk pulang. Ternyata Ratna naik motor sendiri, aku kira Yudha dan Ratna datang bareng itu mereka boncengan, ternyata mereka hanya janjian aja untuk ketemu disini. Aku, Reno, Wahyu dan Yudha kemudian menyusul pulang tak lama setelah Ratna pergi.
Aku yang akan langsung pulang memilih lewat jalan lain, walau jalannya agak sepi dan minim penerangan tapi jaraknya lebih dekat, dari pada balik lewat sekolah malah lebih jauh dan memutar.
Aku menyusuri jalan dengan santai karena hari sudah malam dan aku tidak sedang terburu – buru. Tiba – tiba tanpa sengaja, aku melewati seorang wanita yang berhenti di pinggir jalan seperti sedang melihat – lihat motornya dan dugaanku sepertinya mogok. Karena gelap, aku tidak begitu memperhatikan dari jauh yang membuatku tidak begitu jelas hingga melewatinya. Aku akhirnya putar balik dan berusaha untuk menolongnya. Aku merasa tidak tega melihat seorang wanita yang sendirian sedang terkena musibah apalagi tempatnya yang cukup gelap. Walaupun aku tidak begitu paham tentang mesin, tapi aku masih bisa membantu mendorongnya.
“motornya kenapa mbak?” tanyaku pada orang itu saat berhenti di dekatnya.
“loh.. Riki..” ucapnya yang kaget saat melihatku yang datang.
Bersambung