Part #32 : TAK ADA YANG ABADI

Kami bekerja sama. itulah rahasianya.
– Sam Walton.

Petir bertalu-talu, awan menggumpal berderet berbaris bergeser tak pernah diam, tetes rintik hujan mulai deras menghunjam, melaju lembut di langit angkasa gelap malam. Banyu langit turun membasuh bumi pertiwi, kadang sering kadang jarang, lebih sering tenang. Hujan memang sudah terbaca sejak sore, sejak angin membawa kabar basah dan semilir dingin berbeda dari yang sudah-sudah. Mungkin saja tetes air hujan akan turun hingga dini hari, tapi masih ada kesempatan sekarang, karena hari masih panjang, gelaran selimut kelam pun belum sempurna terbentang, mungkin hujan akan terus turun hingga nanti, saat hari beralih menjadi terang.

Lapangan Unzakha menyeramkan malam itu. Tubuh-tubuh bergelimpangan, ada yang kesakitan, ada yang pingsan. Ada tulang patah, ada genangan darah, banyak juga erangan resah.

Malam dingin gerimis datang, siapa yang mengundang? Mungkin memang sengaja hadir untuk menjadi pendingin alami kala panas hari dan panas hati tak lagi terperi. Satu persatu dendam terbalas dan terwujud, membasuh ego yang mulai hanyut.

Bian terbelalak, ketika melihat sesosok tubuh ambruk dengan pisau masih menancap. Darah tercecer dimana-mana. Bukan pemandangan yang ingin dia lihat di depan mata.

Bangsat!

Abi ambruk di belakang Hageng dengan beberapa luka tusuk yang diderita karena serangan mendadak Nobita. Sang T-Rex membalikkan badan pada saat yang terlambat. Baik Nobita maupun Abi sudah sama-sama ambruk ke tanah dengan bersimbah darah. Korlap Sonoz bertubuh pendek itu baru saja menyelamatkan Hageng dengan menggunakan badannya sendiri sebagai penadah tusukan yang brutal dilakukan oleh Nobita yang licik.

“ABI!”

Dia tahu dia terlambat, tapi Hageng tetap berusaha menahan ambruknya Abi.

Tentu saja gagal.

Abi jatuh berdebam ke tanah.

Berlari kencang Hageng menghampiri rekannya, Abi sudah terkulai lemas dengan pisau tertancap dan kesadaran memudar. Entah bagian mana saja yang terluka akibat tusukan biadab dari Nobita, suasana terlalu gelap untuk bisa mengamati dengan pasti tapi darah yang mengalir menandakan luka Abi tidak main-main.

“A-Abi!”

“Hkkkkghhhh!” tidak ada kata keluar dari bibir Abi. Hanya darah yang meletup kecil.

Bian dan Hageng sama-sama duduk bersimpuh memeriksa keadaan sang korlap Sonoz yang setia. Dia telah menyelamatkan nyawa Hageng dengan melompat di saat yang tepat untuk menutup jalur tusukan membabibuta dari Nobita. Sang penyerang sendiri kini sudah ambruk dan pingsan tak jauh dari posisi Abi. Baik Bian maupun Hageng sama-sama mencoba menutup luka Abi dengan tangan – tapi tentu saja hal itu tidak bisa mereka lakukan berlama-lama.

“Ini parah sih.” Bian memeriksa. “Lukanya ada di beberapa tempat. Kita harus segera bawa dia ke rumah sakit. Hujan juga akan semakin deras.”

“Hkkkkghhhh!”

“A-abi…” Hageng tak kuasa menahan diri melihat Abi menderita seperti ini, tangannya bergetar hebat karena bingung tak tahu harus bagaimana lagi, sementara orang paling setia di Sonoz itu mulai larut ke dalam gelap. Hageng menatap Bian dengan panik. “Kita haruz menyelamatkannya!”

“Sonoz ada mobil?” tanya Bian. Hageng mengangguk.

Hageng memandang berkeliling – tepat pada saat itu ada dua orang Sonoz yang menyelesaikan pertarungan mereka dan terengah-engah. Hageng memanggil mereka.

“Kalian berdua! Kemari cepat!”

Kedua anggota Sonoz itu menghampiri Hageng, mereka melihat Abi dengan wajah terkejut dan tahu kalau ada sesuatu yang gawat terjadi.

“Kondizi darurat, kita haruz zegera membawa Abi ke rumah zakit. Kalian panggil zatu kawan lagi – dan minta dia zegera membawa mobil Zimon yang ada di zamping mabez.” Hageng merogoh kantong celana Abi, mencari dan mencari sampai menemukan yang ia cari. Ia melemparkan kunci pintu ke salah satu anggota Sonoz. “Kunci itu kunci pintu ruang pimpinan di mabez. Kunci mobil ada di atas lemari. Cepat bergerak, waktu tidak berzahabat!”

Kedua orang itu mengangguk dan segera bergerak untuk melaksanakan tugas dari Hageng.

“Butuh berapa lama untuk menyiapkan mobil?” tanya Bian. “Mobilnya sering dipakai kan? Jangan-jangan sudah lama tidak dipakai lagi.”

“Tidak lama, mobil itu tadi ziang dipakai Abi belanja roti di Mitora Bakery. Jadi meztinya tidak ada mazalah.” Ucap Hageng. “jangan berhenti menutup bagian-bagian yang luka. Pizaunya jangan dicabut.”

Bian mengangguk dan membantu Hageng memberikan pertolongan pertama pada Abi.

Tak lama kemudian, mobil sudah disiapkan.

Hageng, Bian, dan dua anggota Sonoz bersama-sama mengangkat tubuh Abi untuk membawanya ke arah mobil yang tidak bisa masuk ke arena karena jalur utama ditutup oleh motor-motor jadi terpaksa memutar di sisi lapangan, dan mereka harus melalui motor-motor untuk membawa tubuh Abi ke mobil di luar tembok.

“Ha-Hageng…” Abi mencoba berbisik di saat mereka semua menggotong tubuhnya. Wajahnya mengernyit kesakitan. Napas kembang kempis dan darahnya tak berhenti mengucur.

“Zudah, zimpan zaja napazmu.” Hageng menggelengkan kepala.

“A-aku harus mengatakan ini kalau-kalau sudah tidak ada waktu lagi. Ja-jaga Sonoz baik-baik. Aku titipkan padamu. Jangan pernah serahkan Sonoz pada siapapun. Percaya sama Simon – ikuti saja apa maunya. Semua keputusan Simon pasti keputusan terbaik untuk Sonoz.” Abi memegang dengan kencang tangan besar sang T-Rex. “Ki-kita zemua keluarga, Nyuk.”

Hageng mengangguk, dia tersenyum saat Abi mengucapkan s dengan z. “Kita zemua keluarga.”

“Hkkkkghhhh!” sekali lagi Abi tersedak dengan darah.

“Bazeeeeeeng! Kenapa juga ada motor-motor ini menutup jalan!!” Hageng frustasi karena ia tahu kondisi Abi tidak baik-baik saja. Darah mengucur terlalu deras dan hanya dalam hitungan menit nyawanya bisa saja melayang.

Petir bertalu-talu menambah tegangnya suasana.

Dengan cepat mereka berempat berhasil membawa Abi ke mobil. Korlap Sonoz bertubuh pendek sudah tak mampu berkata-kata. Ketiga anggota Sonoz pun masuk ke dalam mobil dan pamit pada Hageng.

“Aku titipkan Abi pada kalian. Jaga dia baik-baik dan kirim teruz kabarnya. Jangan khawatirkan dengan biaya, jangan khawatirkan juga kami di zini. Zonoz pazti zelamat. Ingat baik-baik pezan Abi tadi. Kita zemua keluarga.”

“Siap. Kita semua keluarga.”

“Kita semua keluarga.”

Ketiga anggota Sonoz membawa Abi pergi dengan laju mobil yang bagai kesetanan di tengah hujan.

Hageng dan Bian mengelap darah ke baju mereka. Mata tajam menatap ke depan, ke arah pertarungan yang masih berlangsung di lapangan Sonoz. Wajah Hageng mengeras di bawah hujan gerimis, tulang pipinya menonjol menunjukkan amarah yang dipendam dan siap diledakkan. Usai pertarungan dengan Amon sebenarnya Hageng sudah sangat kepayahan, tapi demi apa dia akan berhenti setelah melihat pengorbanan Abi?

Bian memukul pelan lengan sang T-Rex. “Kamu tahu apa yang harus dilakukan, bro.”

Bian sangat memahami perasaan sang raksasa sahabatnya, Hageng adalah Hageng. Dia memang kadang terlihat slenge’an, tidak peduli apapun kecuali makanan dan pertarungan. Tapi sesungguhnya Hageng memiliki hati yang lembut dan kesetiaan yang tiada bandingnya. Ketika dia sudah memutuskan sesuatu maka dia akan berusaha mewujudkannya sampai dapat.

“Neraka buat mereka.” ucap Hageng tegas.

“Neraka buat mereka.” angguk Bian.

Keduanya berteriak kencang, berlari, dan kembali terjun ke arena. Mereka tidak menyadari tubuh Nobita sudah tidak lagi berada di lokasi semula.

.::..::..::..::.

Angin pertarungan tak menentu, kadang menyapu mereka yang tergabung di aliansi, kadang beralih meluluhlantakkan KSN hanya dengan sekali jentikan jari. Seperti halnya hujan yang turun, kadang deras kadang gerimis. Kadang ringan seperti hanya hadir untuk mendinginkan hari, kadang deras seperti ingin menenggelamkan bumi. Lapangan Unzakha menjadi makin tak menentu. Makin becek, makin basah, makin kacau.

Pertarungan raja tendangan masih berlangsung, di satu sisi ada si tampan Oppa yang sedang melompat tinggi dan hendak menyergap dari atas dengan sebuah tendangan. Bagai seekor burung elang yang sedang mengincar seekor tikus, dia terbang dengan ringan bak kapas yang tak kunjung turun ke tanah. Meski gerakannya anggun dan lembut, namun sesungguhnya serangan tendangan Oppa selalu kencang, keras, cepat, dan efektif. Tidak ada yang bisa menahan serangan sang punggawa KSN kalau dia sudah berkehendak. Apalagi saat ini, dia merasa sangat penasaran karena lawan juga mahir menggunakan tendangan dan lincah di udara.

Di sisi lain ada sang lawan – Roy, anggota lima jari dan salah satu dari duo kembar. Setelah beberapa kali gagal menaklukkan Oppa, saat ini Roy sedang mengeksekusi jurus bangau. Kebalikan dari jurus-jurus Bidomuluk milik Oppa, jurus bangau ini sama sekali tidak efektif karena sangat terlihat sekali bentuk, gerak, dan sasarannya. Tidak ada element of surprise – ataukah penggunaan jurus bangau ini karena memang Roy sengaja memancing Oppa?

“Modyaaaaaaaaaar!!”

Oppa memutar kakinya bagaikan putaran bor listrik untuk melesakkan salah satu jurus dari rangkaian set Bidomuluk yaitu Sambaran Elang Neraka – salah satu jurus andalannya.

Begitu Oppa masuk ke area pertahanannya, Roy memutar badan dengan sangat lembut, bagaikan sedang mengendarai angin semilir. Ini sudah bukan jurus bangau yang sejak tadi ia pamerkan! Yang tadi cuma pancingan! Entah memakai jurus apa Roy sendiri tidak tahu, dia hanya memanfaatkan momentum yang ada. Tak sekalipun dalam hidupnya ia menguasai jurus bangau.

Bmmmm!

Kaki Oppa gagal menemui sasaran – hanya menapak di tanah yang sudah kosong, karena Roy sudah berkelit dan berpindah posisi dengan cepatnya. Tapi bukan Oppa namanya kalau tidak taktis, begitu Roy melesat ke pinggir, dia mengikutinya dengan rangkaian tendangan tanpa putus tanpa jeda tanpa tarikan napas. Roy yang memang memancing Oppa untuk masuk ke area pertahanannya mundur teratur sembari menghitung langkah yang ia lakukan.

Begitu sudah lima langkah dan memastikan ritme gerakan lawan, Roy memutar badan dengan cepat dan menandingi serangan yang datang dengan menghentakkan tendangan beruntun ke arah Oppa. Tendangan bertemu tendangan, saling temu, saling tepis, saling hadang, saling serang.

Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh!

Kiri, kanan, kiri, kanan lagi, tengah, atas, depan, serang dari kiri, tepis, lalu ke kanan, atas diserang, menunduk, putar kaki di bawah, lompat, kiri, kanan, tengah, tengah.

Tidak ada yang ingin berhenti karena tidak ada yang ingin mengalah. Keduanya jelas tidak ingin mengejar julukan raja tendangan, tapi mencari kemenangan untuk masing-masing kubu. Siapapun yang menang, bagaimanapun caranya, itu yang diharapkan. KSN atau Aliansi, itu yang dicari.

Oppa mencoba mencari kelemahan Roy, tapi itu sulit dilakukan di tengah gebrakan tendangan yang tiada henti. Seakan-akan punya paru-paru segede Monjali, tenaga dan napas Roy dikebut untuk terus menerus melancarkan serangan demi serangan atau setidaknya bisa mengimbangi.

Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh!

Tidak hanya menggunakan kaki saja, baik Roy maupun Oppa sama-sama menggunakan tangan kiri dan kanan terutama untuk menepis serangan lawan yang kadang tak terduga. Keduanya ternyata tidak hanya sama-sama taktis dalam penggunaan kaki, namun juga efektif saat harus menggunakan tangan. Sehingga sejauh ini keduanya teramat imbang.

Roy tahu kemampuan Oppa memang di luar batas manusia normal, tubuhnya teramat lentur, tubuhnya yang langsing dan kakinya yang panjang memungkinkannya mencapai jarak yang lebih jauh darinya. Perbedaan ini menjadi sedikit masalah karena untuk mencapai Oppa, Roy harus sedikit melompat – lompatan-lompatan kecil cepat menghabiskan tenaga.

Oppa lama kelamaan menyadari perbedaan panjang kaki menjadi pembeda – ia juga menyadari satu hal lagi. Tanah yang licin di dekat Roy. Oppa menunduk dan seakan-akan menyerang ke depan dengan sebuah serangan yang sebenarnya tidak dilakukan. Merubah skema dan ritme.

Roy terkejut, ia mundur dengan gagap, dan tepat seperti dugaan Oppa – kakinya menginjak tanah becek yang licin yang membuat tubuhnya menjadi tidak balance dalam seketika. Oppa tersenyum dan melompat mundur, lalu dengan satu hentakan di tanah, sang punggawa KSN memantulkan badan ke depan dengan sebuah tendangan yang kuat tepat di saat Roy kehilangan keseimbangan.

Roy mendengus dan menapak kencang di tanah dengan tubuh yang sudah hendak jatuh. Secara tiba-tiba saja anggota lima jari itu melompat ke udara dengan lonjakan setengah salto. Oppa terbelalak, dia salah langkah!

Kaki Roy mengait kaki Oppa tepat di pergelangan kaki, lalu menggunakan kaki yang satu lagi untuk mengunci, diakhiri dengan gerakan memutar badan dengan kekuatan penuh! Inilah yang dia incar, kuncian kaki untuk membanting badan! Cara untuk mengalahkan seorang petarung yang selalu menggunakan kaki? Kunci kakinya.

Putaran badan Roy teramat cepat dan sulit diantisipasi, otomatis Oppa pun jadi ikut terputar karena kakinya dikunci oleh Roy! Badannya terbanting ke samping dengan kencangnya!

Swwwshh!

Tkgh. Tkgh.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaa!!” Oppa berteriak kencang.

Roy terbelalak saat kedua tangan Oppa menapak ke tanah sehingga dia tidak benar-benar terbanting. Bahkan punggawa KSN itu menggunakan hentakan tangannya di tanah untuk membalikkan kekuatan putaran yang dilakukan oleh Roy! Jika tadi Roy membanting kaki Oppa ke kiri berlawanan dengan jarum jam, kini Oppa melakukan yang sebaliknya dengan memutar kaki Roy searah jarum jam dengan bantuan hentakan ke tanah yang baru saja dilakukannya.

Kekuatan, teknik, dan kemampuan membaca serangan lawan semua ada di Oppa.

Alih-alih bisa membanting, justru Roy yang kini terbanting.

Jbkkkggghhh!

Muka saudara kembar Bian itu terpapar ke tanah! Tidak cukup hanya itu saja, Oppa bergerak lebih cepat lagi untuk melepas kaitan sang lawan, dengan lembut melompat ke udara, lalu menghunjam ke bawah dengan sekuat tenaga. Dua kakinya dihentakkan ke bawah, ke punggung Roy!

Jbkkkgggghhh!

“Haaaaaarrrghhhhhhhh!” napas Roy seakan putus karena injakan di punggung.

Sudah cukup begitu saja? Tidak. Oppa yang baru saja mendarat di punggung Roy mengangkat kakinya dan menyentak bagian belakang kepala Oppa dengan kakinya!

Jbkkkgggghhh!

Sekali lagi Roy harus makan tanah dan rumput!

Sekali saja? Tidak. Oppa memanfaatkan ketidakmampuan Roy untuk bangkit dengan menyarangkan serangan beruntun ke arah belakang kepala Roy yang membuat pemuda itu terus menerus menggali tanah dengan wajahnya!

Jbkkkgggghhh! Jbkkkgggghhh! Jbkkkgggghhh! Jbkkkgggghhh! Jbkkkgggghhh!

Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat. Lima.

Tidak ada perlawanan.

Karena memang Roy sama sekali tidak bisa melawan.

Oppa menarik napas yang mulai satu dua. Ia tersengal-sengal usai mengirimkan serangan beruntun yang seperti tanpa akhir. Berjalan mundur menjauhi Roy, sang punggawa KSN itu mencoba menghirup udara dalam-dalam. Dia jatuh bertongkat lutut dan mencoba mengatur napas, pandangannya tak lepas dari sosok Roy yang masih terkapar tertelungkup.

Setelah sentakan kelima, tubuh Roy tak lagi bergerak. Tangan yang sejak tadi meronta, kini terdiam. Perbedaan kemampuan keduanya sepertinya sudah terbilang. Masih butuh beberapa tahun lagi bagi Roy untuk dapat mengejar kemampuan Oppa.

Sang punggawa KSN tersenyum, ia berterimakasih pada sang guru yang dulu selalu memaksanya belajar dengan keras, karena kini dia berhasil menekuni Bidomuluk-nya hingga tahap yang lumayan tinggi sementara Roy ini sepertinya meskipun berbakat, tapi belum dibekali ilmu tendangan yang sempurna.

Oppa bersiap untuk berdiri. Gila, berat sekali rasanya hanya untuk menegakkan kaki! Pegal dan bengkak terasa di sekujur badan. Setelah bersusah payah akhirnya bisa juga berdiri, ia lantas menepuk-nepuk celananya yang basah lagi berdebu. Punggawa KSN itu berjalan pelan, mendengar teriakan-teriakan di jarak yang tak begitu jauh darinya dan melihat Nobita yang rubuh di kejauhan. Apa lagi ulah si pengecut itu? Setelah ini dia akan…

“Belum selesai, bangsat.”

Oppa terbelalak.

Dia segera membalikkan badan, tubuh Roy sudah tidak ada lagi di tempat semula.

Anjim.

Terasa desiran angin di sebelah kiri wajahnya. Saat Oppa menengok ke samping, semuanya terlambat. Roy sudah memutar badan untuk melepaskan tendangan berputar yang teramat kencang. Wajah Oppa tersambar telapak sepatu Roy.

Pria tampan itu terlontar ke samping begitu kencangnya sampai-sampai badannya berputar ibarat baut yang terlempar dari murnya. Ia terhempas ke tanah beberapa kali sebelum akhirnya berhenti sembari telentang menatap langit. Wajahnya panas dan darah meleleh dari hidungnya.

Napas Oppa tersengal.

A-apa yang baru saja terjadi?

Roy berdiri tak jauh dari Oppa, pemuda itu mendengus kencang.

Lalu ambruk.

Tendangan terakhir tadi benar-benar menguras tenaga Roy, dia benar-benar sudah tidak sanggup lagi. Kakinya sudah sangat pegal dan sakit di sekujur tubuh tidak tertahankan. Parah ini. Dia memejamkan mata. Sepertinya pertarungannya hari ini sudah usai, dia sudah tak sanggup lagi.

Terdengar suara tawa.

Roy terkesiap. Oppa masih bisa berdiri? Sang pengendara angin melirik ke samping ke arah di mana Oppa tergeletak. Dia masih ada di sana, belum berdiri.

“Kamu hebat juga… koff… koff…” Oppa memaksakan diri berbicara dengan dada sesak. “Baru kali ini aku puas berhadapan dengan orang yang juga sama-sama mengandalkan tendangan sebagai senjata. Sayang kita berdiri di kubu yang berbeda. Pasti akan sangat menyenangkan berdiri di sisi yang sama. Kita bisa sering-sering bertukar kemampuan.”

Baka.” Roy terkekeh. “Mau menarikku ke KSN? Memangnya kamu pikir sebodoh apa aku sampai-sampai mau menerima ajakanmu?”

Oppa kembali tertawa dan berusaha sekuat tenaga untuk duduk, tapi sekujur badannya terasa sakit. Dia mendengar suara teriakan-teriakan pasukan KSN ataupun aliansi mulai berkurang. Duel dahsyat hari ini sepertinya sudah sampai ke babak-babak akhir. Hujan turun juga makin deras. Semua sudah lelah, darah sudah tumpah, Oppa pun kembali rebah.

“Pertarungan sudah hampir selesai.” Ucap Oppa. “KSN mengalami kerugian luar biasa hari ini, tapi anggota kalian pun pasti banyak yang hancur lebur. Tertelentang sama terminum air, tertelungkup sama termakan tanah. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.”

“Siapa bilang tidak ada yang menang dan yang kalah?” Roy mendengus, “KSN gagal menghancurkan Sonoz, bahkan dipukul balik oleh aliansi kami. Dari situ saja sudah jelas siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kami menghancurkan KSN.”

“Menghancurkan KSN? Ada-ada saja, ini baru sekali pertarungan, tidak berarti apa-apa.” Oppa tertawa. “Konyol juga kalian ini, jadi kalian menyebut diri kalian sendiri Aliansi? Cupu banget. Kalian tidak akan pernah menang dari KSN karena aliansi konyol kalian dibangun dari kubu yang berseberangan. Sonoz dan DoP sudah bermusuhan sejak kedua kampus berdiri, tidak akan ada cara mudah menyatukan air dan minyak.”

“Mengumpulkan tidak berarti menyatukan.” Roy mencoba duduk, sedikit demi sedikit ia bisa melakukannya. “Tapi kamu memang benar, ini baru sekali pertarungan dan hari ini pertarungan kita juga masih belum selesai. Kita masih harus menentukan siapa di antara kita yang lebih baik. Aku tidak akan menerima hasil imbang bagaimanapun adil hasil itu.”

Oppa yang juga mulai duduk tertawa. “Bagus, aku suka nyalimu. Memang itu yang harus kita lakukan. Kita tentukan yang terbaik sekarang juga.”

Roy berdiri dengan tubuh goyah dan kaki bergetar hebat, kepalanya rasanya pusing sekali. Wajahnya juga sudah tidak karuan, ada tanah dan rumput di sana. Mana dia peduli. Dia tidak akan menyerah begitu saja.

Mas Roy.

Suara Rania terdengar di benak Roy.

Memanggilnya, memanggil namanya, menghantui batin, dan perasaannya. Roy tersenyum, menyimpan kehangatan yang tiba-tiba saja muncul dalam hatinya. Dia menghadapi orang yang taktis dan ulet luar biasa dengan satu serangan akhir yang bisa saja menghancurkannya. Batinnya menitipkan salam pada gerimis yang turun dan membasahi keningnya.

Wahai gadis ayu – aku rindu padamu.

Wajah Rania terngiang-ngiang seperti ada putaran gambar yang looping tanpa henti. Entah kenapa saat dia hendak menghadapi maut seperti ini, justru wajah si cantik itu yang muncul berulang dalam ingatannya. Tapi munculnya wajah Rania membuat Roy lebih bersikap teguh, pantang rapuh, patah sayap bertongkat paruh.

Oppa juga berdiri dengan kaki yang meliuk-liuk karena tak kuat menyangga badan, rasanya remuk redam, tapi semangatnya tak akan begitu saja padam. Saatnya pertarungan ini tuntas sampai akhir hingga hilang terbilang dendam.

Keduanya berhadapan, saling menyiapkan tendangan. Sama-sama tahu, kalau serangan kali ini bisa saja menjadi serangan mereka yang terakhir. Siapapun yang menang, pasti juga tak akan mampu lagi terjun ke arena. Adu tendangan kali ini akan menjadi pertarungan terakhir mereka malam ini.

Roy melawan Oppa.

Keduanya berteriak kencang dan menggunakan tenaga terakhir yang mereka miliki malam ini untuk beradu tendangan.

Gerimis hujan yang hadir makin membuat malam terasa lebih dingin menusuk daging – apalagi lokasi Unzakha tepat berada di lereng gunung dengan hawa dingin menyengat. Pertarungan keduanya tak bisa lagi menggunakan media udara, karena untuk melompat pun rasa-rasanya sudah sangat sulit dengan dingin yang membuat napas seakan mampat.

Kaki beradu kaki. Tendangan melawan tendangan.

Berondongan kaki bagaikan muntahan peluru gattling gun, sigap menghentak, rancak menyepak. Saling menepis, saling melapis, saat tendangan ditangkis, lengan menjaga pelipis. Napas keduanya dipacu bagai bakaran gas dengan tenaga yang makin terkuras.

Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh! Bkggh!

Kiri, kanan, kiri, kanan lagi, tengah, atas, depan, serang dari kiri, tepis, lalu ke kanan, atas diserang, menunduk, putar kaki di bawah, lompat, kiri, kanan, tengah, tengah.

Entah berapa lama keduanya beradu tendangan – tak ada yang berhenti dan tak ada yang menyerah. Hingga ke satu titik napas, hingga sampai pada suatu saat ketika akhirnya salah satu dari keduanya luruh terduduk kala kaki tak mampu lagi bekerja. Terjangan kaki ke dada menjadi akhir dari pertarungan antar keduanya.

Sebenarnya hanya serangan lemah saja.

Tapi keduanya terlalu lelah.

Salah satu rubuh.

Yang satu lagi mengangkat tangan ke udara.

Lalu juga rubuh.

.::..::..::..::.

“Kang Beni!”

“Bian!”

Bian dan Beni Gundul saling merangkul di tengah arena yang mulai beralih angin. Masuknya Patnem membuat aliansi makin kuat dan KSN kian terdesak – satu persatu anggota preman dari Ndalem Banjarjunut berjatuhan. Lapis pembantu dari sisa-sisa Patnem menyimpan dendam yang dalam pada KSN dan mereka melampiaskannya malam ini. Satu persatu anggota KSN mulai menarik anggota mereka yang pingsan dan terluka untuk meninggalkan arena.

Semua ini berkat aliansi yang terus menerus menguat.

Piye kabarmu, su? Gimana kabarmu?” Beni Gundul tertawa melihat Bian yang masih bersemangat meski badan sudah tidak karuan. “Kok sekarang tidak mohawk lagi? Ilang bagusmu, suMalah melu-melu gundul ki piye to.”

Bian hanya tertawa sembari mengelus rambut tipisnya yang memang hampir gundul. “Kangen karo kowe, Kang. Untunglah sampeyan selamat.”

Beni mengangguk, “setelah apa yang dilakukan KSN, aku tidak akan berhenti dan mati begitu saja. Mungkin Patnem tidak akan pernah bangkit kembali, tapi kami-kami yang masih bernapas akan selalu mencari cara untuk membalas dendam. Barangkali malam ini adalah pertarungan terakhir kita bersama-sama sebagai anggota Patnem.”

“Mantap jiwa, Kang.” Bian menepuk-nepuk pundak sang karib di Patnem dulu.

Beni menatap tajam mata Bian. “Saranku kita sudahi dengan cepat perlawanan KSN ini. Aku khawatir kalau-kalau ada petinggi KSN yang lantas memanggil bantuan dari PSG. Mereka memang cecurut badjingan.”

Wasu. Iya ya, kalah sithik wadulRa mutu. Siap, Kang. Kita bantu yang lain.”

“Kamu bantu anak-anak Patnem, yo. Aku ada urusan yang ingin segera aku selesaikan.”

Bian mengerutkan kening tapi sesaat kemudian paham setelah melihat ke arah Beni Gundul yang sedang memandang dengan tajam ke arah pertarungan di posisi agak di atas, dekat dengan tembok pembatas – tempat Darsono sedang berhadapan dengan Nanto, Rao, dan Simon.

Bian mengangguk dan mengangkat jempolnya. Perang ini memang dimulai dari usaha KSN untuk membumihanguskan Sonoz, tapi kemudian berkembang menjadi sebuah pertarungan antara KSN dan mereka semua yang mendendam pada mereka.

Bian dan Beni Gundul berlari dan berpencar ke arah yang berbeda.

.::..::..::..::.

Ketika Darsono melesat, saat itulah Nanto dan Rao menyergap. Keduanya maju dengan cepat, mencoba mendahului laju kencang lompatan kodok sang pimpinan KSN. Mereka semua sadar kini kalau mereka sama sekali tidak boleh meremehkan jurus kodok. Meski kuda-kudanya wagu dan jurusnya unik, tapi efeknya ternyata cukup ngeri, bukan kelas kaleng khong guan isi peyek teri. Pada saat berada dalam mode terbang saat melakukan lompatannya, Darsono kuat bukan kepalang seakan-akan dikitari oleh lapisan tenaga pelindung tak kasat mata yang hampir-hampir tidak dapat ditembus. Dibuktikan tadi oleh gagalnya Pukulan Geledek dari Simon menembus pertahanan super sang raja kodok.

Lompatan kodok disaingi oleh gerbang kedua Nanto dan kecepatan alami Rao.

Kecepatan Rao juga tidak main-main, dia dapat mengatur kencangnya hingga dapat dengan cepat mencapai jalur lurus terjangan jurus kodok. Karena untuk sementara belum dapat menggunakan Ki, sang hyena gila hanya bisa menggunakan satu kesempatan saja saat ini, dan dia memilih gerakan yang out of the box saat berusaha menerjang Darsono.

Tubruk lawan!

Dengan gerakan memeluk erat dari samping, Rao meraih kaki Darsono dan mengarahkannya ke jalur yang berbeda. Sang pimpinan KSN jelas terkejut dengan sambaran yang tiba-tiba dari arah samping! Konsentrasi Darsono hilang, pertahanannya mengendur. Rao tahu dia tidak akan bisa menembus pertahanan tak kasat mata lompatan kodok, sehingga dia memilih serangan yang bukan jotosan. Tubrukannya berhasil.

Rao tersenyum.

Bagus! Kesempatan! Lancroootkan, daaaab!

Saat itulah sebuah gerakan zigzag yang teramat cepat melesat bagai anak panah yang melaju dengan gerakan kilat. Ke kanan, kiri, lurus, ke kiri, ke kanan, dan akhirnya sampai di tujuan. Tepat di samping kepala Darsono. Posisi Darsono yang tak bisa bergerak karena dikunci kencang oleh Rao membuatnya tak bisa berbuat banyak.

Nanto mengangkat kepalan tangan kanannya. Sekali lagi ia mengucap lirih sebuah kalimat, “angkara gung ing angga anggung gumulung.”

Gerbang keempat kembali dibuka – gerbang kekuatan. Memusatkan seluruh energi Ki dengan menyalurkannya pada satu titik kekuatan, terpusat pada satu kepalan. Gerbang yang mengijinkan sang pengguna untuk melepaskan energi terpusat dengan satu serangan dahsyat.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”

Bledaaaaaaaaaaaaammm!

Pukulan tangan kanan Nanto menghajar sisi wajah sang kodok dengan telak. Tubuh Darsono terbang dengan liar ke sisi kiri usai dilepas oleh Rao. Dia terjungkal, terguling, terbanting berulang di tanah. Dia beberapa kali terantuk, terlempar ke udara, dan kembali terjatuh. Sekali, dua kali, tiga kali, lagi, dan lagi. Berulang dan berulang dan berulang, hingga terlontar hampir sepuluh meter.

Pukulan Gerbang Keempat dari Nanto memang sangat dahsyat, meski dari kekuatan sepertinya belum mencapai level Pukulan Geledek-nya Simon, karena itu sangat tergantung dari kekuatan Ki yang mereka ampu. Jika Nanto melatih Ki-nya lebih jauh lagi, bisa jadi pukulan ini menjadi lebih hebat dari Pukulan Geledek.

Si bengal berdiri dengan tangan terkepal dan dada naik turun karena terengah-engah.

Rao yang berdiri tak jauh darinya terdiam. Simon juga terdiam. Mereka bersiap. Apakah yang tadi cukup? Tidak memerlukan lagi Pukulan Geledek? Mudah-mudahan cukup. Karena hujan yang turun makin deras dan makin menyulitkan laga mereka.

Darsono tak bergerak.

Sepertinya sudah.

Nanto menarik napas lega.

“Kroooooooooook.”

Darsono kembali pada postur tubuh seekor kodok yang tengah menghimpun tenaga. Rao, Simon, dan si bengal semuanya terbelalak. Bagaimana mungkin kodok busuk itu masih bisa bangkit setelah pukulan seperti tadi?

Simon mendengus.

Bangsat.

Sang pemuncak gunung menjulang terpaksa kembali berkonsentrasi penuh, mencoba menenangkan diri dan bersila. Dia mencoba memompa tenaga yang tersisa untuk sebentar lagi menyalurkannya ke pukulan pamungkas. Gila banget si Darsono, bisa-bisanya dia bertahan setelah semua yang diledakkan ke tubuhnya!? Simon geleng kepala. Level Darsono memang berbeda dengan mereka bertiga, pantas saja KSN dapat tumbuh dengan cepat, tidak mengherankan karena level pimpinannya seperti ini kuatnya.

Hmm… tapi Nanto tadi juga memiliki pukulan yang mengerikan, kalau saja diadu dengan Pukulan Geledek, pasti akan sangat seru. Luar biasa, padahal dia masih sangat muda.

Simon membuka mata dan melirik sekejap ke arah si bengal.

Nanto terengah-engah usai mengirimkan pukulan sekuat tenaga. Si bengal tidak habis pikir, Darsono ini terbuat dari apa sih? Dia sudah sampai ngap begini, tapi sang lawan masih saja bangkit dan bangkit lagi. Apakah pukulan Simon nanti mampu menanganinya? Dia berharap bisa, karena mereka bertiga sudah benar-benar kepayahan hanya berhadapan dengan satu orang saja.

Geram Nanto menatap Darsono yang sudah kembali memasang kuda-kuda lompatan kodoknya. Bangsat, bagaimana ya cara menundukkannya? Huff, paling tidak pukulan yang tadi ia sarangkan bisa membuat Darsono mengalihkan perhatian padanya alih-alih ke Simon, supaya sang pemuncak gunung menjulang bisa bersiap mengumpulkan Ki.

“Krooooooooooooooooooooook!”

Suara itu kencang sekali. Darsono sudah mengincar lawan! Nanto dan Rao bersiap seandainya sekarang Darsono mengincar mereka. Si bengal mencoba melihat dengan jelas kemana sebenarnya mata sang kodok berujung, tapi sungguh sulit di malam yang gelap dengan penerangan kurang dan gerimis yang turun tanpa ada yang mengundang. Tapi dari posisi sang raja kodok, sepertinya dia mengarah kemari – ke arah dirinya dan Rao.

Bagus – sesuai rencana.

Mereka bisa mencuri waktu dan mengalihkan perhatian Darsono, sementara Simon memulihkan energi. Jadi sekarang tugas mereka adalah bersiap untuk menahan serangan Darsono sekuat tenaga dan memberikan perlawanan sebisanya.

Berbeda dari perkiraan si bengal, Darsono memutar badannya.

Kodok munyuk!!

Si bengal mengumpat dengan umpatan yang salah. Karena kalau kodok ya kodok saja, munyuk ya munyuk saja, mana ada kodok munyuk. Tapi sang kodok memang bener-bener koyo munyuk. Posisi tubuh Darsono berputar ke arah Simon yang sedang duduk bersila. Sepertinya pimpinan KSN itu memang sengaja ingin benar-benar menuntaskan sang pemuncak gunung menjulang.

Kalau Simon tidak siap dan mereka terlambat bereaksi maka bubar sudah semua rencana yang sudah mereka susun tadi. Darsono yang susah ditebak itu sepertinya bisa membaca apa yang mereka rencanakan. Nanto mendengus kesal.

Saat itulah sesosok bayangan menelusup di antara si bengal dan sang hyena gila.

“Kalian kembalikan tenaga dulu saja. Biar aku yang mengalihkan perhatiannya.” Ucap sosok itu dengan santai. “Entah berapa lama aku bisa melakukannya, tapi pastikan kalian benar-benar siap kalau nanti dia sudah kehilangan momentum. Jangan setengah-setengah, hajar dia dengan sepenuh hati. Aku akan menghajarnya dengan seluruh kekuatan yang aku punya.”

Rao terkejut, sopo meneh iki? Siapa lagi ini? Trembelane, kok dadi seko siji makjegagig njedul begini. Kok jadi satu demi satu muncul begini?

Orang itu adalah Beni Gundul, mantan anggota papan atas dari kelompok yang sudah diberangus oleh KSN. Orang yang sudah dihancurkan luar dalam, mental dan fisik oleh Darsono secara pribadi. Dendam yang dikandung badan luar biasa dalamnya. Beni berjalan dengan perlahan menuju ke sang kodok, pertama berhati-hati, lalu melangkah lebih cepat, lalu semakin cepat, semakin cepat, semakin cepaaaaaat, dan akhirnya dia berlari dengan sekuat tenaga sekencang-kencangnya!

Ketika mulai berlari, tangan Beni meraih ke sesuatu yang dia selipkan di bawah punggung. Sebuah benda yang besar, panjang, dan berwarna chrome – kunci inggris 12 inchi.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Darsono melirik ke samping. Beni memutar tangannya, kunci inggris itu diayunkan dengan kencang bagaikan pedang yang disabetkan untuk membelah semangka.

Swwsh.

Bnnggg. Booooooooooom.

Sang kodok melompat tinggi, lalu mendarat jauh dari posisi semula. Dia juga bukan orang bodoh yang begitu saja akan menerima serangan. Beni Gundul mengeejarnya kemanapun si kodok pergi, ke kiri, ke kanan, ke kiri lagi, ke kanan lagi, kejar terus. Kalau tidak dapat ya kejar lagi, lagi, dan lagi.

Darsono untuk sementara disibukkan oleh serangan membabibuta dari Beni Gundul.

Baik Rao, Simon, maupun si bengal tahu apa yang harus mereka lakukan saat ini.

Menghimpun tenaga.

.::..::..::..::.

Dekat dengan gedung olahraga Unzakha – Deka, Rikson, dan Doghouse berhadapan dengan Roni, Kori, dan White Lights. Lima lawan lima, Deka lawan Roni, Rikson berhadapan dengan Kori, dan masing-masing tiga anggota pasukan elit di bawah dua jendral DoP saling berhadapan untuk memperebutkan supremasi.

Untuk saat ini, tiga anggota Doghouse lebih unggul dibandingkan tiga anggota White Lights yang semuanya sudah ambruk tak berdaya, namun para anggota Doghouse juga terkapar terengah kehabisan tenaga. Menang tapi tidak dengan mudah – enam sudah tepar.

Sayang kemampuan Doghouse menundukkan White Lights tidak dibarengi oleh kemenangan jendralnya sendiri. Keadaan Rikson berbanding terbalik dengan pasukannya, karena saat ini dia terkapar di tanah setelah dihajar Tendangan Tanpa Bayangan dari Kori yang nyaris tanpa cela dan tanpa perlawanan saat menjatuhkan Rikson.

Ada beberapa alasan kenapa Kori dengan mudah mengalahkan Rikson. Pertama karena Kori segar bugar dan memiliki gerakan teramat cepat yang susah ditundukkan oleh Rikson, kedua karena Rikson sendiri sedang tidak dalam kondisi seratus persen. Dia baru saja keluar dari rumah sakit dengan luka jahit setelah ditusuk oleh Nobita tempo hari. Turun ke arena hari ini memang sangat beresiko dan terbukti dia dihajar oleh Kori dengan mudahnya.

Kori menepuk-nepuk sarung tangan yang ia gunakan seakan-akan dia baru saja menyelesaikan sebuah pekerjaan yang berat – padahal ia menang tanpa harus bersusah payah. Sembari santai, mantan jendral DoP itu duduk di samping Rikson yang sudah terkapar tak berdaya dan menyaksikan pertarungan antara Deka dan Roni.

“M-Mengapa?” susah payah Rikson membuka mulutnya. Wajahnya sembap, hidungnya mimisan, dan bibirnya pecah. Kori benar-benar sukses merombak wajahnya.

Kori mencibir, “untuk sebuah alasan yang tidak akan aku ceritakan hari ini, Dab.”

“Aku pikir kamu tipe yang setia.”

“Aku pikir juga begitu.”

“Kamu tidak akan pergi jauh dengan KSN. Hari ini saja aliansi bisa mengusir kalian. Bisa apa kalian berhadapan dengan kelompok-kelompok besar seperti Dinasti Baru, QZK dan JXG kelak?”

Kori melirik ke arah para anggota KSN yang bersurut-surut pergi dari lokasi pertarungan. Dia manggut-manggut. “Sepertinya begitu. KSN memang gagal malam ini, tapi bukan karena kami yang lemah – lebih ke arah karena kalian yang kuat.”

Rikson tertawa. “Sanjunganmu bosok.”

Kori manggut-manggut lagi. “Aku tidak menyanjung kalian, aku memahami faktanya. Secara logika kalian dari aliansi lebih kuat dari KSN. Bagus itu, kawasan utara akan menjadi lebih ramai lagi nantinya. Pertarungan akan menjadi sengit dan masing-masing kubu harus meletakkan pion-pion di posisi yang tepat.”

Rikson mendengus. “Tidak nyaman membicarakan strategi dengan musuh.”

“Kenapa tidak? Aku berani dan nyaman-nyaman saja. Apalagi aku juga sudah pasti akan membongkar salah satu rahasia terbesar DoP di tubuh KSN.”

Rikson terbelalak. Dia mulai menebak-nebak apa maksud Kori. “Ka-kamu…”

“Aku sudah tahu kalau Don Bravo adalah pion DoP yang diletakkan di KSN.”

Rikson kembali mendengus, meski mengkhawatirkan nasib Don Bravo tapi dia harus tetap memasang wajah ora peduli – poker face. “aku kira apa. Aku tidak tahu masalah pion-pion apaan ga jelas. Tanya sendiri saja ke Rao soal yang begituan. Mana aku paham.”

“Tidak perlu.” Kori tertawa. “Aku akan membongkar kedok Don Bravo di hadapan seluruh anggota dan pimpinan KSN, dan kalau malam ini dia masih berpura-pura setia pada KSN, maka besok kalian akan menerima jasad Don Bravo melalui paket yang dikirim oleh ojek online.”

Rikson berpura-pura cuek dan memalingkan muka, padahal dia geram sekali. Kalau saja dia bisa memberitahu Don Bravo kalau malam ini tidak perlu balik ke Ndalem Banjarjunut. Kalau saja dia bisa… kalau saja dia bisa…! Tangannya terkepal kencang namun tubuhnya tidak bisa digerakkan. Dia harus mengalihkan perhatian Kori dan segera pergi untuk mencari Don Bravo! Tapi bagaimana caranya? Bagaimana caranya sementara tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan?

“Kenapa kamu tidak maju menolong si Roni?” tanya Rikson kemudian.

Kori hanya tersenyum.

“Dia tidak bisa meladeni lawannya.” Ucap jendral DoP itu lagi, “Jurus pertahanan bocah itu di atas kemampuan thaiboxing si Roni. Dia tidak akan menang. Kamu tahu siapa bocah itu? Namanya Dani Kuncoro Hadi – adik Amar Barok dari Dinasti Baru.”

Kori si bayangan hantu tertawa kali ini. “Aku sudah tahu kalau soal itu. Tapi… apa menurutmu aku peduli sama Roni?”

Rikson mengernyitkan dahi. Dia sudah tahu kalau Kori sedikit aneh, tapi tidak di level seaneh ini. Apa dia tidak ada keinginan untuk membantu sesama anggota KSN? Gimana sih? Membingungkan, sumpah. Rintik hujan membasahi wajah Rikson yang seakan-akan dimandikan oleh sejuknya malam.

“Aku ga paham lagi jalan pikiranmu.”

Kori masih tertawa, “jadi kamu pikir aku akan peduli bagaimana nasib sesama anggota KSN dan akan membantunya, begitu? Kita sudah berkawan sejak lama, big dog. Pikiranku lebih ruwet dari yang kamu perkirakan. Aku tidak akan membantunya karena kami sama-sama dari KSN, kalau dia pantas masuk KSN, maka dia harus menang dengan caranya sendiri, bukan dengan bantuanku. Kalau dia kalah, maka dia tidak pantas menjabat sebagai kapten KSN dan harus didemosi.”

“Ribet kalian.”

“Lha, kamu juga ribet. Paling-paling menyuruh aku membantu Roni supaya kamu bisa kabur dan memberitahu bahaya yang akan dihadapi Don Bravo, kan?”

Rikson mendengus.

Bangsat, ketahuan.

Kori tertawa. “Big dog, sobat lama. Demi persahabatan kita dan karena mulai besok kita tidak akan lagi dapat bertemu setiap hari, maka aku akan memberitahukan satu rahasia lagi padamu. Gimana tidak baik aku ini. Mungkin setelah mendengar kabar ini, kamu akan berubah pikiran dan akan mengikuti langkahku. Aku mau memberikan penawaran padamu, sobat lama.”

“Jangan harap! Badjingan bosok! Tae kocheng!” Rikson membentak kesal. “Tidak pernah! Aku tidak akan pernah mengkhianati DoP! Tidak akan pernah mengkhianati Rao! Bangsat! Badjingan!!”

Kori terkekeh, tapi ia tetap duduk mendekat ke telinga Rikson yang seakan-akan lumpuh tak berdaya, tak mampu bergerak. Mantan jendral DoP itu membisikkan satu kalimat panjang yang diucapkannya dengan runtut dan berhati-hati.

Rikson yang tadinya menolak mau tidak mau terpaksa mendengarkan satu demi satu kata yang tersusun dari bibir Kori. Awalnya keningnya berkerut, lalu matanya terbelalak, dan sedikit demi sedikit ia menggelengkan kepala. Sungguh ia kaget mendengar rahasia yang dibisikkan oleh Kori. Tidak dalam seribu satu malam dia menyangka akan mendengarkan fakta yang dibeberkan oleh Kori.

“Ti-tidak mungkin. Tidak mungkin!” Rikson terbelalak tak percaya. “Tidak mungkin!”

Kori tersenyum, “itu faktanya, dan itu rahasiaku. Sekarang kamu sudah tahu.”

“Ka-kamu… bagaimana bisa…”

Kori mengangkat bahu. “Begitu saja terjadi. Aku juga tidak tahu bagaimana awalnya.”

Rikson masih terbata-bata.

“Bagaimana sekarang?” tanya Kori sambil tertawa, “setelah tahu rahasia itu, apakah kamu tertarik bergabung denganku? Apakah kamu akan meninggalkan DoP?”

“Ba-bangsat.” Rikson mendengus. Lalu mengangguk.

Kori tertawa terbahak-bahak. “Hahahahhaahah! Bagusss! Bagusss!!!”

Rikson meludah. Bangsat. Tawaran dari Kori tidak bisa ditolaknya, bagaimana dia bisa menolak tawaran seperti itu? Sejak kapan si bangsat busuk anti bakteri satu ini bisa… siaaaaal! Bagaimana mungkin dia menolak tawaran itu? Hanya orang bodoh yang akan menolaknya!

“Kapan kamu akan bergabung?” tanya Kori

“Ti-Tidak sekarang.” ucap Rikson tanpa semangat.

“Aku tunggu kabarnya.” Kori menyilangkan tangan di depan dada, “aku akan mengirimkan detailnya padamu nanti.”

Rikson mengangguk.

Pandangan keduanya kini beralih ke arah Deka dan Roni yang saling bertarung satu lawan satu.

.::..::..::..::.

Beni Gundul terlempar jauh setelah terkena sodokan Darsono. Untuk pertama kalinya sejak memakai jurus Kodok, Darsono tidak menggunakan lompatan kodok yang powerful dan kuat, tetapi melayani pertarungan jarak dekat dengan sang mantan petinggi Patnem. Alasannya mungkin karena dia tahu Beni Gundul bukanlah lawan setara, sehingga tidak perlu memerlukan tenaga berlebih. Tidak perlu menyeduh kopi melebihi gelas.

Buat apa susah, Beni Gundul paling ya cuma begitu-begitu saja kemampuannya. Mereka tidak akan pernah selevel. Tidak kemarin, tidak sekarang, dan mungkin juga tidak nanti. Daripada menghabiskan tenaga untuk melompat dan menghindar dari Beni Gundul, Darsono lebih memilih melayaninya dengan adu jotos.

Pada pertarungan satu lawan satu, awalnya Beni masih sanggup melayani tukar pukulan antar keduanya, tapi begitu Darsono mempercepat pukulan hingga ke tahap yang lebih tinggi, Beni kewalahan. Hasilnya? Tak sampai beberapa detik dia sudah terlempar setelah tersodok di ulu hati berulang-ulang kali. Kunci Inggrisnya lepas dari tangan dan jatuh ke tanah tanpa sekalipun pernah menyentuh tubuh sang raja kodok.

Darsono terkekeh, “Kamu lagi kamu lagi… ****** kenapa dipiara? Apa belum puas? Dulu kamu sudah aku pecundangi, cewekmu habis aku tunggangi, sudah benar kamu lari, kenapa sekarang malah kembali lagi? Cari mati.”

“Heheheh, badjingan wasu – Beni Gundul punya satu prinsip. Pantang pulang sebelum dendam terbilang. Hari ini juga kamu akan aku kebiri.” Beni menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri. “Ilmu aku tidak punya, jurus aku apa adanya, cuma napas dan semangat yang tersisa. Hari ini aku bakal bungkus kamu seperti semar mendem.”

Darsono tertawa terbahak-bahak. “Dasar bodoh! Kamu ini hanya sekedar cecurut yang…”

Hfah.”

Boooom!

Darsono terkesiap. Badjingan. Dia tidak siap!

Pada saat yang tidak diduga-duga, Rao mengirimkan serangan jarak-jauh dengan lontaran Ki-nya.

Pada saat terakhir sebelum Ki yang dilontarkan Rao mengenai tubuhnya, sang raja kodok menyilangkan kedua lengan di depan wajahnya. Tapi tetap saja tak bisa menahan derasnya serangan dahsyat yang membuatnya terbang ke belakang dengan satu sentakan dari jarak cukup lumayan. Sekali lagi tubuh Darsono terguling, terbanting, dan terlempar berulang. Berkali-kali ia terbang untuk kembali jatuh menghunjam bumi.

Rao terengah-engah, itu mungkin tenaga terakhirnya. Dia kembali ambruk ke tanah, tak lagi mampu mengangkat tangan. Masa sih sesudah ini si kodok itu masih bisa berdiri?

Tentu saja Darsono kembali berdiri.

Badjingan.

Rao mengumpat, menggeleng kepala dan membuang ludah. Kampret. Sampai kapan Darsono bisa bangkit? Dikeroyok empat orang tetap saja bisa ndleleng. Jangan-jangan memang siluman kodok, ga ada matinya. Tae kocheng tenanLha terus gelute arep pirang episode iki? Kapan le arep ihik-ihik karo temon nek ngene terus? Kapan ada SS-nya ini kalo ga jatuh-jatuh si botol sirup secang ini?

Huff.”

Sang hyena gila menarik napas panjang. Tembakan Ki-nya yang terakhir menguras energi yang benar-benar besar hingga sampai mentok ke ujung. Ia terduduk dengan pasrah. Ia melirik ke arah Simon di kejauhan dan Nanto yang duduk bersila tak jauh darinya. Masing-masing sedang sibuk menghimpun tenaga. Mereka sepertinya bersiap untuk satu kali lagi serangan pamungkas.

Bibir si bengal berkomat-kamit, entah apa yang dirapalnya. Rao sih yakin si bengal pasti tidak sedang mencoba menghapalkan susunan deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat.

“Aku tidak tahu apa yang sedang kamu lakukan, tapi mudah-mudahan saja kekuatanmu cepat balik. Aku sih sudah sampai ujung paling mentok, bensinnya sudah E. Bakal butuh waktu lama untuk kembali pulih setelah tembakan yang terakhir tadi. Untuk sementara kamu berdua saja dengan Simon, bro.” Ujar Rao sambil beristirahat.

Nanto tidak menjawab, ia terus saja berkomat-kamit tanpa henti. Ia sama sekali tidak membuka mata tetapi menjawab dengan sebuah anggukan.

Di depan sana, Darsono mencoba kembali memasang posisi kuda-kuda jurus kodok. Targetnya ke arah Rao dan Nanto, tapi kali ini ada yang berbeda – karena Beni Gundul tiba-tiba saja berdiri tepat di depan sang raja kodok.

“Tidak akan kubiarkan kamu melakukan apapun dengan mudahnya.” Meski napas kembang kempis dan tulang di dada rasanya remuk, Beni Gundul berdiri dengan gagah di hadapan lawan yang sangat ia benci. “aku tidak akan pergi dari sini sebelum aku patahkan semua tulangmu, su.”

Weleh.” Darsono mencibir, ia kemudian menyunggingkan senyum menyeringai sinis. “Terserah apa maumu. Jangan kamu pikir aku bakal mundur hanya gara-gara kamu berdiri di depanku seperti pengamen di lampu merah begitu.”

Bngg.

“Kroooooooooooooook.

Darsono menghimpun tenaga, ia bersiap meledak dan meluncur sembari menubruk Beni Gundul dan menghancurkan tubuhnya menjadi ribuan kepingan puzzle. Senyuman tersungging sinis di bibir sang raja kodok, dia bisa memastikan kalau serangannya kali ini akan membuat Beni terkapar pingsan dan bangun di rumah sakit!

Rao menatap ke arah keberanian Beni Gundul dan geleng kepala, si bodoh itu! Dia bakal mati konyol kalau diam saja di sana dan mencoba menghadang serangan Darsono dari jarak yang terlalu dekat. Kalaupun tidak mati, tulang rusuknya bakal remuk! “Munduuuuuuuuuur!” teriak Rao sambil menahan dadanya yang sakit. “Mundur, bodooooh!”

Beni Gundul tersenyum sekilas pada Rao dan menggeleng. Meski Rao tidak akan dapat mendengar ucapannya dari jarak sejauh ini, tapi dia menatap sang hyena gila dengan percaya diri. “Tidak. Dalam kamus Beni Gundul yang sekarang sudah tidak ada lagi kata mundur ataupun menyerah.”

“Krooooooooooooook!”

Bnngggg.

Boooooom!

Sang raja kodok melesat! Tubuhnya terbang dengan kecepatan tinggi menerjang ke depan! Beni Gundul sebenarnya sudah siap, tapi dengan kecepatan Darsono yang susah dibayangkan, jelas dia tidak memiliki banyak kesempatan untuk pergi melenggang, terlebih lagi menyerang. Tubuh mantan pemimpin Patnem itu disergap oleh kekuatan teramat besar!

Boooooooommm!

“Haaaaaaaaaaaaarrrghhh!”

Dengan kekuatannya yang dahsyat, Darsono menghantam tubuh Beni Gundul hingga terbawa dan terdorong searah lompatan kodoknya. Remuk sudah tulang-tulang Beni, berasa seperti ditabrak dan dilindas tank londo. Tubuhnya terbang bersamaan dengan sodokan Darsono yang tanpa tedeng aling-aling. Mereka berdua melesat – satu terdorong, satu lagi mendorong.

Melihat pengorbanan Beni Gundul yang menghalangi akses langsung Darsono ke arah dirinya dan Nanto, Rao memaksakan diri untuk segera bangkit. Dia tidak bisa membiarkan Beni Gundul tewas begitu saja di tangan si raja kodok.

Rao harus menyelamatkannya! Harus! Tidak boleh ada darah aliansi yang tertumpah! Tapi sungguh berat sekali badannya bahkan untuk bangkit. Dia tidak sanggup berdiri! Tapi harus! Haruuuus! Kocheng oren mangan tahu!! Wedang jahe campur susuuuuu!! Wasuuuuuuuu!! Ayo bangkit! Kenapa badannya tidak mau kompromi?!! Siaaaaaaal!! Ayooooooo!!

Darsono mendorong dan memutar badan Beni hingga menuju ke tembok beton yang menjadi pembatas lapangan.

Bledaaaaaaaaaaaaaaagkkkh!

“Haaaaaaaaarrrrghhhhhhhhh!”

Teriakan dan darah muncrat keluar dari mulut Beni Gundul saat tubuhnya menghantam tembok beton. Berasa hancur rusuknya disodok badan Darsono, berasa hancur tulang punggungnya terpapar tembok beton. Seperti ada yang retak atau patah dari tubuh Beni yang jelas tidak baik-baik saja. Tubuh mantan petinggi Patnem itu ambruk di depan Darsono, matanya bergulir hingga hanya terlihat putihnya saja.

Darsono membalikkan badan dengan senyum menyeringai. Nah, kembali ke masalah awal lagi kan? Dasar Beni Gundul ini cuma habis-habisin waktu saja memang. Sang raja kodok kembali luruh ke tanah, berjongkok, dan memasang kuda-kuda dengan target antara Rao dan si bengal.

“Krooooooooooooooooooook.”

“Siaaaaaaaaaal!”

Rao benar-benar kesal pada dirinya sendiri! Kenapa kakinya tidak dapat bekerja dengan sempurna!? Kenapa menapak pun dia tidak bisa!? Sang hyena gila mencoba berdiri dengan sempoyongan sembari berteriak kesal karena tidak berdaya. Bukan karena dia takut tak bisa menghadang serangan berikutnya dari Darsono, kalau hanya masalah itu dia sudah masa bodoh! Dia hanya jengkel karena tidak dapat menyelamatkan Beni Gundul yang tanpa pamrih berkorban demi mereka.

Tap. Tepukan pelan di pundak Rao mengagetkan sang hyena gila.

Rao menengok ke samping, Nanto ada di sana dengan mata jernih di bawah rintik hujan yang tanpa kompromi. “Maaf agak lambat, tapi sekarang aku sudah benar-benar siap. Beristirahatlah dulu – sampeyan pulihkan tenaga sebisanya, kita pasti akan membutuhkan lontaran kamehameha-mu lagi, dab.”

Bajilak, wokeh. Tapi tenagaku benar-benar sudah terkuras habis, khawatirnya aku tidak bisa lagi menembakkan Ki atau sejenisnya, apalagi dari jarak sejauh ini. Kalaupun bisa, tidak akan mampu memberikan special effect apapun selain angin kencang. Aku sudah benar-benar kepayahan, apalagi hujan begini sepertinya juga tidak akan efektif.”

Bnnnng.

“Kroooooooooooooooooook!”

Rao menggerutu mendengar suara itu. Badjingseng, njaluk di swikee tenan kok wong siji kaeTapi opo yo enak swikee pupune Darsono, kan yo mending-mendingo mirsani pupune Isyana Sarasvati. Bah. Kocheng oren mangan ketan, Darsono pancene setaaaaan!!

“Angin pun tidak apa-apa.” Nanto mendekat ke arah Rao dan membisikkan sesuatu yang sepertinya tidak boleh diketahui oleh siapapun, “yang aku inginkan adalah…”

Kalimat yang diucapkan dalam bisikan Nanto membuat Rao mengernyitkan dahi, Ia melirik ke arah Beni Gundul dan mengangguk. “Kita coba saja.”

“Si kodok itu sudah siap melompat.” Ucap Nanto dengan geram sembari melihat air yang terpercik di sekitar posisi kuda-kuda Darsono mulai berterbangan, pertanda Ki yang ia kumpulkan sudah mulai meningkat. “Bersiaplah. Berapa lama kira-kira bisa mengirimkan angin kencangnya?”

“Tidak lama. Paling-paling hanya beberapa menit saja aku sudah dapat…”

“Kroooooooooooookk!!”

Bnnngg.

Terdengar suara di ujung, kodoknya sudah semakin kuat, dan bersiap untuk menerjang. Pandangan matanya tajam mengincar. Bulat seperti bola, bergerak lincah menyisir tiap sudut seandainya perlu hinggap sejenak sebelum meluncurkan kembali terjangannya.

Nanto tahu mereka tidak punya banyak waktu.

“Dua menit.” Nanto bersiap, dia tidak akan menunggu si raja kodok itu datang. Lebih baik menyerbu terlebih dahulu!

Dua menit? Rao protes. “Lima menit lah.”

“Dua menit.”

Kawus! Kampret tenan. Raiso lah, Dab. Ga bisa. Empat menit!”

“Dua.” Ucap Nanto tegas.

Booooom!

Si bengal melesat.

.::..::..::..::.

Deka menggoyang tubuhnya yang basah karena hujan.

Makin deras saja sepertinya.

Ia melirik sekeliling, sepertinya pertarungan benar-benar sudah hampir berhenti. Tak lagi terdengar teriakan di sana-sini. Hanya suara satu persatu motor yang pergi meninggalkan arena. Bagus. Itu artinya KSN mundur teratur, aliansi berhasil bertahan. Siapa yang menyangka bahwa krisis yang didatangkan KSN dan PSG akan menyatukan geng kampus Sonoz dan DoP yang sudah bertahun-tahun bermusuhan, ditambah kekuatan lima jari, dan akhirnya sisa-sisa Patnem. Mantap jiwa lah.

Sekarang saatnya menuntaskan perlawanan kampret di depannya ini.

Roni bergerak memutari Deka dengan memainkan gerakan kaki yang lincah. Tapi si gondes tidak peduli. Dia tetap memasang kuda-kuda dengan memastikan seluruh inderanya bekerja sempurna untuk memperhatikan posisi pergerakan lawan.

Deka yakin sekali, perisai genta emas-nya tidak akan tertembus oleh lawan seperti Roni.

“Sampai kapan kamu mau berputar-putar tidak jelas begitu?” ejek Deka.

Roni tersenyum, “Aku tidak akan termakan taktik busukmu. Aku sudah tahu kamu punya jurus pertahanan nomor wahid. Tapi jurus seampuh apapun, pasti punya kelemahan. Kalau digempur terus menerus pasti juga bisa didobrak.”

Deka mendengus dan tersenyum, “kenapa tidak dicoba?”

Roni berlari kencang dan meloncat saat hampir satu meter di depan Deka. Ia memutar badan untuk mengirimkan serangan sikut ke kepala si gondes dengan tangan kanannya, mengincar pelipis. Deka tentu tidak semudah itu terperdaya, ia hanya cukup menunduk dan mengirimkan kedua lengan ke atas untuk menangkis dan mundur selangkah sehingga posisi mereka kembali berjarak.

Deka tahu jika dia memaksakan diri membuat pertahanan dengan lengan dari jarak yang lebih dekat, siku tangan Roni pasti akan gencar menyerang kepalanya. Oke lah, dia punya Perisai Genta Emas, tapi tetap saja dia harus bertahan.

Deka berhasil memblok serangan Roni dengan lengannya. Terasa nyut-nyut di punggung lengan, kini saatnya membalik serangan! Dari balik kedua lengan yang dipasang di depan wajah, Deka bisa melihat lurus posisi tangan Roni terbuka di tengah. Ini dia yang dia cari!

Deka mengirimkan siku balasan untuk membongkar dagu Roni!

Tapi Roni menepis siku itu dengan siku juga dan bergeser ke kiri Deka. Gerakannya cepat dan lincah, si gondes tidak akan punya banyak kesempatan untuk menahan apalagi melawan. Siku Roni mendarat kencang di wajahnya!

Jbuooooooooookkkghhh!

Deka terlontar ke kanan.

Roni mengejar, kakinya bergerak berulang, menyambar paha dan betis sang lawan dengan cekatan.

Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh!

Satu. Dua. Tiga. Empat.

Empat kali menyambar, serangan itu mengenai sasaran. Tapi Deka masih saja berdiri tegap seakan-akan serangan tadi tidak menimbulkan efek apa-apa. Padahal tendangan Roni tentu saja menyengat. Usai mengirimkan tendangan, giliran tangan Roni yang silih berganti menuntaskan janji untuk segera mengakhiri.

Kanan, kiri, kanan, kiri, kanan kiri.

Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh!

Deka menghindar dengan lengan berlindung di depan wajah. Beberapa kali pukulan long hook dan jab dari Roni masuk ke sasaran. Silih berganti membuat Deka harus mundur dan mundur lagi. Si gondes masih belum melawan, ia membiarkan saja Roni memimpin pertarungan.

Di levelnya sekarang, Perisai Genta Emas yang dikuasai Deka sebenarnya tidak benar-benar membuatnya menjadi kebal dari serangan apapun, tapi lebih ke mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan hingga ke tahap tertentu, meminimalisir rasa sakitnya. Kalau digetok terus menerus ya bisa saja di pingsan. Itu sebabnya kemarin Pakdhe Wid mewanti-wanti untuk meningkatkan kemampuannya ke level yang lebih tinggi – mendekati kemampuan Amar yang sudah jauh lebih tinggi.

Karena sifatnya yang defensif, kemampuan ini juga tidak memungkinkan Deka untuk menyerang lawan. Untuk itu dia harus menguasai dan menggunakan kemampuannya yang lain lagi.

Saat Roni mundur karena mengambil napas, saat itulah tangan Deka turun dari mode defensif menjadi mengepal sempurna. Kuda-kuda diambil dengan cepat, pose si gondes mirip seperti Roni sebelumnya – ala-ala boxer. Kedua tangan di depan wajah, lebih terbuka sekarang. Mengincar posisi Roni yang salah langkah.

Deka pun maju secepat mungkin.

Bkgh!

Si gondes terhenyak kaget saat tubuhnya tiba-tiba saja melayang ke belakang. A-apa yang terjadi? Ada rasa sakit di ulu hatinya!

Ternyata Roni mundur karena hendak memancingnya. Begitu Deka membuka pertahanan dan mencoba menyerang, kaki Roni bergerak dengan cepat dan masuk mendera dada si gondes dengan kecepatan papan atas. Sodokan kaki Roni membuat Deka terjengkang ke belakang!

Deka menapakkan kaki ke tanah dengan cepat, mencoba bertahan.

Jbuoooooooogkkkhhh!!

Siku Roni menebas rahang Deka dengan sangat kencang. Kalau saja pertahanannya tidak prima, rahangnya pasti sudah lepas dari kepala. Tubuh Deka terbanting ke lantai beton, kepalanya terantuk berulang. Roni tidak melepaskannya begitu saja, kakinya yang lincah bergerak cepat dan menyambar!

Jbuoooooooogkkkhhh!!

Kepala Deka terkena sontekan tendangan kencang, badannya terbanting kembali. Dunianya tiba-tiba menjadi gelap dan muncul dengung berbunyi nyaring. Deka mencoba bangkit dengan mata terpejam, dia duduk bertongkat lutut – tapi karena matanya belum terbuka dia tidak bisa melihat serangan kembali datang.

Lutut Roni kali ini menyambar kepala si gondes.

Jbuoooooooogkkkhhh!!

Kembali Deka ambruk ke belakang, kembali kepalanya terbanting ke lantai.

Ia berguling kesakitan tapi masih mencoba kembali bangkit.

Sungguh Deka berterima kasih telah diajarkan kemampuan pertahanan kelas tinggi. Entah sudah seperti apa mukanya dihajar Roni seperti ini. Deka masih belum bisa membuka mata, karena rasanya pusing sekali jika melakukannya. Si gondes mencoba cara berikutnya… konsentrasi penuh. Mencoba mendengarkan suara langkah kaki sang penyerang.

Tidak ada langkah kaki!

Lawannya pasti sedang melompat.

Rasakan semilir angin!

Atas kiri!

Deka merebahkan badan ke belakang tepat pada saat Roni sekali lagi mencoba menyarangkan sambaran lututnya. Deka lolos dari maut!

Deka memaksa diri membuka mata. Roni tepat berada di depannya!

Dengan secepat mungkin, Deka menggamit lengan Roni, lalu membalikkan badan dan menggunakan kekuatan punggungnya sebagai penahan tubuh lawan. Deka menarik lengan Roni yang sudah ia kunci dan mencoba membanting tubuh Roni ke depan!

Berhasil!

Jbuoooooooogkkkhhh!!

“Haaaaaaaaaaaaaaaarrrghhhhhh!!”

Roni yang tidak menyangka Deka tiba-tiba saja melakukan gerakan ofensif terbanting dengan cepatnya ke depan! Tubuhnya terkapar setelah kencang bertemu dengan lantai beton – remuk terasa punggungnya!

Deka memelintir keluar lengan Roni, lalu menduduki perut sang lawan yang sudah tepar dan melepaskan pukulan berantai yang menghajar ulu hati, dada, wajah, dan rahang sang lawan. Membuat Roni megap-megap kesakitan.

Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh!

Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Atas. Bawah. Atas. Bawah.

Tanpa ampun Deka menghajar Roni yang terkunci! Wajah mantan korlap Sonoz itu hancur lebur dihajar si gondes! Dia sudah berusaha bertahan dengan menggunakan sepasang lengan di depan wajah, namun tetap saja serangan berulang seringkali masuk tanpa penghalang.

Kali yang terakhir, Roni mencoba menangkap lengan Deka yang melaju kencang untuk melakukan pukulan! Kena! Ia kemudian mengunci lengan Deka dan sekuat tenaga Roni menggunakan kedua kakinya untuk mengangkat tubuh sang lawan!

“Heaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Berhasil!

Deka melompat dengan ringan dan mendarat sembari menghimpun napas yang mulai sesak setelah membabibuta meluncurkan serangan mentah ke wajah dan dada Roni. Tidak ada bagian badan yang tidak ia hantam tadi! Begitu mengatur jarak, Deka kembali memasang kuda-kuda, tubuhnya menunduk sedikit dengan telapak tangan di depan dada menghadap ke luar. Ia menunggu dan mengamati wajah sang lawan.

Roni juga melompat untuk bangkit, namun saat sudah berdiri, selangkah kemudian dia sempoyongan karena kepalanya masih belum berhasil menterjemahkan rasa pusing di kepala dan pening yang tak kunjung mereda.

Hujan turun membasahi wajah dan baju keduanya, membuat pertarungan mereka makin berat karena tidak bisa memastikan kekuatan lawan. Keduanya berhadapan dengan tangan mengepal di depan dada. Masa bodoh dengan jurus-jurusan! Yang penting seraaaang!

Deka dan Roni maju dan beradu jotosan.

Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh!

Atas. Bawah. Atas. Bawah. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri.

Satu dibalas lagi, kanan dibalas kiri, dagu dibalas ulu hati. Sengit adu jotosnya, pahit tiap sengatannya.

Deka juga tahu dia tidak akan bisa mengandalkan pertahanannya terus menerus. Untuk bisa menang dia harus menyerang! Roni tak mau kalah, dia harus menang karena tak ingin mempermalukan KSN lebih jauh lagi! Target mereka mengalahkan Simon! Bukan mahasiswa kemaren sore!

Keduanya sama-sama save the best for last.

Adu jotosan terkuat di saat terakhir.

Roni tahu Deka pasti akan menggunakan jurus pertahanannya sehingga dia mesti melakukan hal yang tidak diduga-duga! Roni melakukan gerak tipu, seakan-akan menyerang dengan tangan kanan, tapi ternyata beralih kepalan ke tangan kiri.

Uppercut ke dagu!

Deka mundur selangkah untuk menghindari uppercut dari Roni. Serangan itu gagal total! Roni terbelalak! Gerakannya sudah terbaca kah?

Adios.” Deka tersenyum. Ia melesakkan kepalan kencang ke pelipis Roni yang masih terbelalak.

Jbuoooooooooooogkkkhhh!

Tubuh anggota KSN itu terbanting ke lantai beton, berdebam, dan langsung tepar tanpa bisa melawan lagi. Tenaganya sudah habis, sudah… cukup.

Roni berangsur-angsur memejamkan mata.

Deka berdiri jumawa di atas tubuh Roni dengan badan tersengal-sengal.

Dia melirik ke arah Rikson yang terkapar dan Kori yang duduk sambil tersenyum di samping sang jendral DoP.

Kenapa dia tidak maju dan membantu Roni? Kenapa dia juga tersenyum aneh begitu? Deka sekali lagi menatap Kori yang jarak duduknya agak jauh dan terlindung dari hujan. Senyum itu sepertinya tidak ditujukan ke arahnya… sepertinya ke orang lain…?

Deka membalikkan badan.

Tak jauh darinya berdiri satu sosok lain yang memegang boken di tangan. Sosok yang juga tersenyum mengerikan.

Don Bravo.

.::..::..::..::.

Nanto bergerak zigzag dengan kecepatan tinggi, mengelabui mata siapapun yang melihat dengan lari yang teramat kencang. Tapi mata Darsono menatap ke depan tak berkedip sambil melotot seperti kodok, dia bisa melihat gerakan patah-patah itu dan mampu mengikuti kecepatan gerak lari si bengal. Bangsat memang.

“Heheh. Mau lari kemanapun aku bisa melihatmu! Tidak ada tempat untuk bersembunyi dariku! Bersiaplah bocah tengik!”

Darsono bersiap mengangkasa sembari mengincar Nanto. Energi dipersiapkan, posisi kaki kodok semakin ditekuk, siap melompat. Darsono melenturkan badan dan mulai melengkungkan kaki bak pegas. Inilah saatnya! Satu lawan satu! Si bengal melawan raja kodok! Darsono siap membuktikan siapa yang lebih jago!

Bnng!

Lepasan energi dari jurus kodok membuat air hujan yang berada di sekitar landasan Darsono mengambil ancang-ancang terpercik dan berterbangan. Bagaikan helikopter yang hendak mengudara.

Bpph! Saat itulah keadaan berubah.

“Heeeeh!?”

Darsono terkejut bukan kepalang. Seseorang memeluk kaki sang raja kodok dengan teramat erat begitu dia hendak melejit, sehingga membuat posisinya masih tetap berada di tempat semula. Sang raja kodok melihat ke kakinya dan melihat Beni Gundul memegangi satu kakinya dengan sekuat tenaga!

Bangsaaaaaaaaaat!

Darsono mengamuk dan menginjakkan kakinya yang bebas ke bawah, ke kepala Beni! Cepaaaaaaat!! Lepaskaaaaaaaaan!!

Jdoookkgh! Jdoookkgh! Jdoookkgh! Jdoookkgh!

Sembap wajah Beni, biru membiru di pipi kanan dan kiri, tapi tak sedikitpun menyurutkan semangat juangnya, ia masih terus memegang kaki Darsono! Tak akan dia menyerah kalah!

“Lepaskaaaaaaaaaaaaaaaan!! Codooooooooooot!!”

Jdoookkgh! Jdoookkgh! Jdoookkgh! Jdoookkgh!

“Tidak akan aku lepaaaaaaaassss!!” Beni sekuat tenaga bertahan. Jika memang hari ini dia harus mati demi memberikan kesempatan pada para pemuda perkasa ini, maka biarlah hal itu yang terjadi!! Dia rela!! Dia ikhlas!! Habisi Darsono! Habisi diaaaaaaaaaa!!

Kaki sang pimpinan KSN terus saja menyerang tubuh sisi manapun dari Beni Gundul.

Jdoookkgh! Jdoookkgh! Jdoookkgh! Jdoookkgh!

“Lepassss!! Lepaaasssss!! Lepaaaaaaaaaass!”

Jdoookkgh! Jdoookkgh! Jdoookkgh! Jdoookkgh!

“Modyaaaaaaaaaar!! Modyaaaaaaaar!! Modyaaaaaaaar!!” semakin kencang Darsono meronta, semakin erat Beni Gundul memeluk kakinya.

Terlalu fokus pada Beni Gundul, Darsono tidak menyadari ada bayangan yang datang hendak menagih hutang padanya. Bayangan itu datang dari atas, seperti seekor elang hendak menyambar mangsa. Sekelebat bayangan membuat Darsono tersadar, dia sedang dijebak.

“Sial!” maki sang pimpinan KSN. Dia lantas memutar tubuh, mencari arah bayangan, tapi terlambat.

Angkara gung ing angga anggung gumulung.” Bisikan lirih lamat terdengar.

Bledaaaaaaaaaaam!

Pukulan Nanto membuat Darsono terlempar hingga sepuluh meter. Tubuhnya kembali terlontar, terbanting, terhenyak, terhempas, terguling, berputar, berpilin, berdebam, terantuk, dan terhentak. Sampai pada suatu ketika tertelungkup diam tak bergerak.

Nanto menarik napas dengan perlahan, sesak mulai ia rasakan. Tidak mudah mengatur dua gerbang dibuka bersamaan – gerbang kedua dan gerbang keempat. Seharusnya memang dibuka bertahap agar pembagian tenaganya lebih merata, tapi gerbang ketiga akan sangat menyedot energi Ki. Dia membutuhkan tenaga sebesar apapun untuk menuntaskan perlawanan Darsono.

“Hhh… hhhh… hhhh…”

Napas si bengal kembang kempis. Dia masih memasang kuda-kuda karena tahu Darsono tidak bisa ditebak kemampuannya. Nanto melirik ke arah sang raja kodok. Masih diam – tak bergerak. Sudah cukupkah serangannya tadi?

“Krooooooooooooooook!”

Mlinjo kroak! Bangsat! Masih bisa dia!!

Dari posisi terbaring tanpa gerak, Darsono tiba-tiba saja bersalto dengan satu lompatan yang ringan dan langsung memasang posisi ancang-ancang lompatan kodok!

“Kroooooooooooooooookkk!”

Bnnngg! Booooooooooom!

“Bazeeeeeeeeeeeeng!” Nanto terkejut! Si kodok munyuk mengarah ke dirinya! Nanto terpaksa merapal kunci gerbang ketiga! Cepat! Gerbang pertahanan! Bukaaaa! “Kalis ing rubeda, nir ing…”

Terlambat.

Lompatan kodok Darsono lebih cepat daripada rapalan pembukaan gerbang ketiga. Tubuh Nanto dihempas kencang oleh tubrukan Darsono, melesat terbang bersamaan dengan sodokan ke tulang rusuk bagai hantaman beton pembatas jalan.

Bkkkkkkkkkghhhh!

Darsono menghempaskan Nanto ke tembok!

“Hrrrgkhhhhhhhhh!!”

Ketika kepala terantuk tembok, seketika bunyi kencang berdentang di telinga, saat Darsono tertawa terbahak menghina, suaranya tenggelam di lautan bunyi dengung di kepala Nanto. Tangan kiri sang raja kodok menahan tubuh si bengal ke tembok sementara tangan kanannya bergerak cepat meluncurkan pukulan berantai ke kepala dan badan.

Nanto masih cukup sadar untuk menepis rantai pukulan tangan kanan Darsono yang meluncurkan jotosan-jotosan kencang. Tapi tidak semuanya berhasil ia tepis. Beberapa kali sontekan kaki sang raja kodok juga berhasil masuk ke badan si bengal.

Bkkkghh! Bkkkghh! Bkkkghh! Bkkkghh!

Satu. Dua. Tiga. Empat. Masuk menghentak, gempar terpapar. Kepala Nanto terlempar ke kanan dan ke kiri berulang. Pusing dirasa sesak di dada, dengung menyala tanpa irama. Gelap beberapa kali tergambar di benak si bengal. Sedikit lagi dia akan tepar di bawah terkaman sang raja kodok!

Tidak bisa begini terus! Dia tidak bisa diam saja dan terus menerus menerima pukulan dari Darsono!

“Heaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Suara itu?

Nanto dan Darsono sama-sama terkejut karena dari atas tiba-tiba saja datang seseorang menyergap. Sosok bayangan itu melompat tinggi sambil menarik tangan kanannya ke belakang sedikit sebelum kemudian diledakkan sekuat tenaga ke depan dengan kepalan yang bergetar penuh tenaga Ki – satu kepalan yang seakan-akan dihasilkan dari gempuran palu Mjolnir sang raja petir.

Itulah Pukulan Geledek, dan yang datang ini tentu saja sang pemuncak gunung menjulang, Simon.

Baju sang raja kodok ditahan oleh si bengal membuat sang durjana gempal tak bebas bergerak saat hendak berusaha menghindar. Darsono menatap Nanto sengit! Tapi bukan raja kodok namanya kalau tidak pintar berkelilt. Dia memundurkan kepala.

Basssssssssskkkkggghhh!

Kepalan Simon menyeruak masuk ke sisi sang raja kodok namun hanya mampu menyerempet saja, badan dan kepalanya sempat beringsut dan selamat dari paparan hentakan Pukulan Geledek. Desakan di dada Darsono membuatnya terhempas ke bawah dan terguling ke belakang. Karena posisinya tidak pas, hantaman Simon gagal menyeruak sempurna ke badan sang raja kodok.

“Siaaaaal!” Simon menggerutu.

Nanto turut mendengus kesal melihat uletnya sang lawan. Rencana yang sudah sedari tadi disusun, dirancang, dan dilakukan dengan sangat berhati-hati ternyata gagal dieksekusi. Sekarang harus bagaimana lagi? Nanto melirik ke arah Rao yang sepertinya sedang berdiri dengan susah payah. Mereka saling bertatapan, seperti menyadari kalau usaha berikutnya kemungkinan akan menjadi usaha terakhir mereka menuntaskan perlawanan sang raja kodok.

“Kroooooooooooook!!”

Boom!

Hanya terguling beberapa kali, Darsono lantas melompat ke belakang sekali sambil meludahkan dahak berdarah. Tubuh gempalnya bergerak dengan cepat dan dengan satu sentakan kencang, ia meluncur deras ke arah Simon!

Bkkkhhhhhhhhhhhhhhhhhgggg!

Simon terhempas sekali lagi terkena sodokan lompatan kodok, tapi kali ini ia sanggup menghindar sebelum dihantamkan ke tembok. Sang pemuncak gunung menjulang melompat ke samping dan jatuh berdebam sembari terguling berulang di atas tanah. Darsono yang gagal menumbangkan Simon menapakkan kaki di tembok pagar, memantulkan diri, dan melompat dengan kencangnya ke arah Simon sekali lagi!

“Heaaaaaaaaaaaa!!”

Kecepatan lompatan kodok Darsono diikuti oleh kencangnya lari Nanto!

Tepat di saat sang raja kodok hendak mencapai Simon, Nanto terlebih dahulu mendahuluinya. Ia melompat sambil menarik tangan kanannya ke belakang hingga setengah badan – lalu meledakkannya dengan sebuah hantaman penuh tenaga tanpa menunda-nunda lagi.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaam!

Kepalan si bengal menyeruak masuk membongkar wajah Darsono! Menggagalkan laju lompatan kodok yang menyeramkan sekaligus membalikkannya ke arah tembok kembali dan menghantamkan tubuh gempal sang pimpinan KSN!

Tersambar jotosan Nanto dan terhentak ke tembok, tubuh Darsono makin remuk redam. Tapi sekali lagi dia membuktikan ketangguhannya dengan kembali berdiri tegap secepat mungkin dan mengambil posisi hendak melompat!

Nanto sudah tahu Darsono masih tetap akan berdiri tegap, saat itulah dia hadir dengan telapak sepatu dihentakkan ke wajah sang raja kodok!

Jduaaaaaaaaaaaakkkghhhh!

“Haaaaaaaaaaaaaarrghhhh!”

Pertemuan terjadi kembali. Teriakan bertemu sentakan suara menyayat kesakitan. Wajah bertemu telapak sepatu, bagian belakang kepala kembali bertemu tembok. Nanto menarik kakinya, tapi hanya untuk sementara. Sekali lagi ia hentakkan telapak sepatu itu ke wajah Darsono! Pertemuan terus terjadi.

Jduaaaaaaaaaaaakkkghhhh! Jduaaaaaaaaaaaakkkghhhh! Jduaaaaaaaaaaaakkkghhhh!

“Haaaaaaaaarrghh!”

Berulang kali kaki Nanto menghentak kepala lawan untuk dihantamkan ke tembok! Dia sudah tak peduli lagi apa yang dirasakan Darsono, karena tujuan si bengal hanya satu, merobohkan sang raja kodok malam ini! Dengan cara apapun! Apapun!

Jduaaaaaaaaaaaakkkghhhh! Jduaaaaaaaaaaaakkkghhhh! Jduaaaaaaaaaaaakkkghhhh!

Pegal rasanya kaki Nanto dihentakkan berulang-ulang kali, tapi Darsono masih tetap berdiri tanpa cela, badjingan pancenewasu ok. Sekali lagi! seluruh tenaga! Nanto meloncat ke belakang seperti salto, lalu memantul di tanah dan melontarkan kepalannya dengan segenap kekuatan yang ada di kandung badan.

“Heaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Jbooooooooggkkkhh!

Satu kepalan masuk. Wajah Darsono makin tak karuan.

Jbooooooooggkkkhh! Jbooooooooggkkkhh! Jbooooooooggkkkhh! Jbooooooooggkkkhh!

Dua kepalan masuk, tiga kepalan, empat, lima, enam. Berturut-turut, susul menyusul, saling menyalip, berondongan tanpa henti dilepaskan, silih berganti menghukum ulu hati dan wajah sang kodok yang mundur dan terhentak-hentak ke tembok. Darah muncrat dari mulutnya, sembap sudah mata dan pipinya. Tak lagi berbentuk, sontak membengkak.

“Awaaaaaaaaaassss!! Minggirrrrrrrrrrrr!!” Rao berteriak dari kejauhan.

Nanto melompat dan menyingkir.

Bledaaaaam! Bledaaaam! Bledaaaaaam!

Tiga kali letupan tenaga dari Rao menghunjam tanah, tapi hentakan tenaga Ki itu terhempas agak jauh dari posisi di mana Darsono berada. Melihat tembakan Ki Rao ternyata tidak mencapai posisinya, sang raja kodok tertawa. Meski sudah bersimbah darah, sang raja kodok terbahak-bahak. Dia berdiri dengan tubuh sempoyongan sambil bersandar pada tembok. Lalu kembali luruh ke tanah untuk memasang kuda-kuda jurus kodoknya.

Ediaaaaan! Sekuat apa sih sebenarnya Darsono ini?

Jujur harus diakui daya tahannya luar biasa, mau tidak mau Nanto harus berdecak kagum. Pria tua ini tanpa diduga masih punya kekuatan untuk mengangkat jurus kodoknya meski kondisi sudah benar-benar parah, kelasnya memang kelas final boss.

Nanto bersiap dengan kuda-kuda.

“Cuh! Bodoh! Menembakku dengan tepat saja sudah tidak bisa! Apa yang mau kamu harapkan dari dia? Kalian memang bodoh. Hari ini aku yang menang! Kalian tidak akan bisa…”

Nanto menyunggingkan senyum. Tembakan Rao memang tidak mencapai Darsono. Bukan karena dia tidak bisa, melainkan memang karena bukan sang raja kodok-lah target sang hyena gila.

“Satu dua manggis dikulik. Lain kali lihat lebih baik.” ucap Nanto sembari menunjuk ke samping. Sebuah bayangan datang untuk membuat Darsono terkejut.

Tenaga kencang dari Rao ternyata ditembakkan bukan untuk mengincar sang raja kodok, melainkan untuk mengangkat sesuatu dan mengantarkannya ke arah sosok tangguh yang rupanya masih bisa berdiri. Benda yang dilemparkan? Kunci inggris yang tadi sempat jatuh! Bayangan itu? Beni Gundul!

Darsono terkejut bukan kepalang, sementara si bengal tersenyum.

“Bajingaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…”

Beni Gundul meraih benda yang seakan-akan diantarkan Rao ke depannya, Beni mengambilnya, memutarnya dengan satu jari bak sebuah kincir yang diputar dengan kecepatan tinggi, lalu menggenggamnya dengan kencang dan berteriak kencang menuntaskan dendam.

Dendam itu mengayunkan karmanya.

Tidak hanya sekali.

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkghhhh!

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkghhhh!

Bledaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkghhhh!

Sesaat kemudian Darsono hanya melihat gelap.

Hanya gelap.

Bersambung

abg nakal
Wisata unik di jogja, mencoba three some dengan tiga gadis abg
Foto Tante Cantik Kesepian Ngangkang Sange
cewek toge
Keinginanku Menikmati Gadis Bertoket Gede Kini Menjadi Kenyataan
Foto bugil abg toket gede masih perawan asli
pacar cantik
Pengalaman sex ngentotin anak kost cantik
Cerita sexs anak SMA nakal ngentot di dalam kelas
mbak kost
Perjalanan kisah sex ku dari pacar sampai tetangga kost
istri kesepian
Cerita dewasa istri kesepian karena keseringan di tinggal suami kerja
tante hot
Menikmati tubuh ibu dan tante ku sendiri
Foto Ngintip Abg Cantik Mulus Pipis di Toilet Umum
Cerita seks memuaskan hasrat kakak ipar
ABG montok sange colmek di kamar
tante montok
Hangat Nya Tubuh Mbak Nia
Tante sexy
Tante Ku Yang Telah Mengajari Jadi Haus Sex
Tetangga Kos Yang Cantik Based True Story
ngentot tante
Ngentot dengan tante tersayang ketika om keluar rumah