Part #22 : DI BELAKANGKU

Cara untuk memenangkan pertempuran, perang, dan permainan;
adalah dengan menyerang dan menguasai pihak lawan.
– Alex Ferguson

Hageng memasuki kamar rumah sakit Panti Gama, sebuah rumah sakit tua yang sudah berdiri sejak jaman Belanda. Bangunan tua dan bangunan baru dipadukan menjadi satu dan dihubungkan oleh taman-taman rapi dan hijau. Beruntung Hageng datang saat rentang waktu jam besuk dibuka sehingga tidak terlalu banyak pertanyaan dari satpam yang menjaga pintu masuk.

Ruang yang akan dikunjungi oleh Hageng berada di gedung sebelah timur dan termasuk jajaran ruang yang berada di atas gedung bangunan baru. Sebenarnya memang sudah hampir semua ruang dan lorong di rumah sakit ini sudah beralih wujud dari bangunan asli yang mirip rumah sakit tua model Belanda menjadi bangunan rumah sakit modern yang cukup lengkap dari segi fasilitas. Setidaknya mengurangi kesan singup dan angker khas rumah sakit tua.

Hageng melirik satu demi satu nomor di pintu sampai ia sampai di kamar yang ia cari.

Sebuah bangsal yang terletak di bangunan baru berlantai banyak yang jika membuka jendela akan terdapat teras kecil dan pemandangan halaman parkir di utara rumah sakit. Di sebalik pagar halaman parkir mobil terdapat jalan utama menuju area yang menjadi gerbang ke kampus negeri.

Di depan gerbang kampus negeri terdapat sebuah jalan bersimpang banyak yang diatur oleh sebuah taman melingkar yang harus diputari oleh setiap kendaraan yang hendak menuju arah berbeda – ke utara menuju kampus negeri, ke selatan menuju stadion, ke timur menuju ke pompa bensin, dan ke barat menuju persimpangan tempat sebuah toko serba ada yang populer bagi mahasiswa kos-kosan.

Hageng mengetuk pintu dan membukanya. Kamar itu bersih dan terawat meski tetap saja yang namanya kamar rumah sakit akan selalu berbau obat. Ada dua orang yang dirawat di kamar itu, di sebelah kanan dan kiri. Yang kanan duduk seorang pria tua yang beberapa kali terbatuk-batuk, sedangkan di kiri ada seorang pemuda tampan gagah yang menderita lebam di beberapa bagian tubuhnya.

“Selamat datang, Hageng. Akhirnya datang juga. Aku sudah menunggu-nunggu kedatanganmu. Takutnya kamu datang pas aku sudah keburu pulang. Heheh.”

Ck.” Hageng mencibir dan mendengus, ia menyilangkan tangan di dada sambil berdiri menatap sang pesakitan. “Mazih butuh waktu zehari dua hari buat keluar dari zini kalau bedrezt. Zampeyan razanya butuh lebih dari dua hari.”

Simon Sebastian mengangguk-angguk setuju.

“Kenapa biza mazuk ke zini? Ketabrak truk tronton?”

“Sepertinya begitu. Kunduran truk yang sangat-sangat besar jadinya aku harus bedrest sekitar seminggu. Tadinya memang cuma dua hari, tapi aku harus memeriksakan kondisi lain juga, jadi akan lebih lama berada di sini.” Sang pimpinan Sonoz menunjuk ke arah kursi yang ada di samping pembaringan, “duduk dulu.”

“Begitu.” Hageng mengangkat bahu – antara acuh dan tak acuh. Dia lebih memilih tetap berdiri. Si rambut acak-acakan itu menebar senyum receh yang memperlihatkan deretan giginya. “Juztru baguz biza bedrezt lebih lama. Jabatan zebagai ketua Zonoz pazti melibatkan banyak uruzan. Berada di zini zejenak biza membuat zampeyan benar-benar beriztirahat.”

“Mungkin juga, di sini lumayan tenang, tidak banyak kerusuhan, tidak banyak yang ribut-ribut, dan tidak banyak yang meminta jatah tarung untuk jadi Pemuncak Gunung Menjulang. Ribet urusannya.”

Hageng tertawa. Ia meraih ke dalam saku celana, mengambil kertas pesan dari Simon dan melemparkan kertas yang ditulis oleh Simon itu ke ranjang. Ia menatap sang pemuncak gunung menjulang dengan wajah serius. “Apa yang zampeyan inginkan? Apa makzud kalimat zampeyan itu? Kenapa aku?”

“Hageng Dirga Wi-… ugh.” Simon tersenyum, ia mencoba duduk lebih tegak, namun rasa sakit di badan membuatnya mengernyit tertahan. “…Hageng Dirga Wijaya. Aku membutuhkan tenagamu. Meski baru sekali kita sparring, tapi aku sudah tahu bahwa kamu yang aku butuhkan.”

Hageng tertawa kecil, menganggap remeh kalimat Simon. “Apa alazannya?”

“Alasannya? Satu, aku lihat kamu bisa mengalahkan Abi dan dua anak buahnya dengan mudah – itu artinya secara kemampuan kamu punya sesuatu. Dua, aku tahu kamu orang yang selalu penasaran, selalu menginginkan menjadi yang terbaik, dan kepindahanmu ke Unzakha adalah untuk menjajal tantangan baru sesuai keinginanmu itu.”

Hageng menatap Simon dengan pandangan mata tajam.

“Aku bisa menyediakan apapun yang kamu inginkan di Unzakha – atau lebih tepatnya di Sonoz.”

“Heheheh.” Hageng beringsut, ia kini berdiri di samping pembaringan Simon tanpa melepas tangan yang masih menyilang. “Ini zemua terlalu cepat dan terlalu aneh. Zori kalau kezimpulanku begitu. Pertama, zampeyan zama zekali tidak mengenalku, kita hanya bertemu zambil lalu – apakah zampeyan benar-benar biza mempercayaiku? Kedua, dari cara zampeyan mengundangku kemari zaja zudah aneh – jadi raza-razanya ada yang tidak berez. Aku biza mencium bau buzuk dari kejauhan, jadi kita zudahi zaja baza-bazi tidak pentingnya. Apa yang zampeyan inginkan??”

Simon tertawa. “Baiklah. Aku tidak akan terlalu banyak mengumbar percakapan yang tidak perlu. Aku mengundangmu kemari untuk menawarkanmu jabatan di Sonoz.”

Hageng mengernyitkan kening. “Jabatan apa? Korlap?”

Simon menyeringai. “Tidak. Aku tidak akan menjadikanmu Korlap.”

“Teruz?”

“Aku akan memberikanmu jabatan yang belum pernah ada sebelumnya di generasi Sonoz yang manapun. Ini adalah pertamakalinya jabatan ini ada.”

“Jangan-jangan jadi cuztomer zervice karena zuaraku yang merdu ini.”

Simon tertawa. “Mana ada CS di kelompok geng seperti Sonoz.”

“Atau jadi tukang zapu markaz. Beuhh…”

“Aku menawarkanmu menjadi PLT.”

“Hah!? Jadi PLT!? Yang benar zaja! Mana mungkin aku jadi PLT! PLT itu jabatan yang zama zekali tidak terlintaz di kepalaku. Zeumur hidup aku belum pernah mau menjabat zebagai PLT!” Hageng mendengus. Agak lama dia terdiam. “Apa itu PLT?”

Sekali lagi Simon tertawa, “PLT itu Pelaksana Tugas – oke, nama jabatannya memang agak-agak terlalu resmi, cringey, dan wagu. Tapi memang seperti inilah kebiasaan turun-temurun di Sonoz, nama jabatannya lucu-lucu dan sok iye. Oke, jadi kamu akan menjadi PLT Pemuncak Gunung Menjulang yang akan mengawasi semua Korlap sementara waktu sampai aku sehat kembali nantinya. Bisa dibilang sebagai wakil atau ketua sementara – hanya untuk beberapa hari saja. Kamu akan dimudahkan karena langsung mendapatkan instruksi dariku mengenai apa-apa saja yang harus dikerjakan.”

“Bah!!! Mana mungkin zampeyan berikan jabatan zepenting itu dengan mudahnya!? Pazti ada apa-apanya ini! Tidak mungkin zegampang ini jabatan ditawarkan! Apalagi kepada orang luar zeperti aku! Apa nantinya anak buah zampeyan tidak berteriak-teriak protez?”

“Oh, pasti. Pasti semuanya akan protes. Tapi justru itulah alasannya kenapa aku memilihmu. Aku mengundangmu karena di Sonoz yang sekarang rasa-rasanya tidak ada yang bisa menandingi kemampuanmu – tidak juga Abi dan korlap-korlap lain. Keputusan Puncak Gunung Menjulang itu mutlak, tidak boleh ada yang melawan jika sudah ditetapkan. Jadi kamu tidak perlu risau soal pemberian jabatan.” Simon tersenyum aneh. “Setidaknya hampir separuh anggota Sonoz pasti akan menerimamu, tidak tahu yang separuh lagi.”

“Kampret. Berarti belum zeratuz perzen, dong.”

“Sonoz sedang kondisi ricuh dan dalam bahaya perpecahan karena ada dua kubu yang berseteru. Satu ingin tetap mempertahankan status quo, satu lagi ingin merubah semuanya, termasuk merubah pemegang jabatan Puncak Gunung Menjulang. Jumlahnya bahkan mungkin tidak benar-benar separuh, mungkin hanya sepertiga. Satu yang setia, Dua yang ingin protes.

“Saat aku absen begini, Abi adalah satu-satunya korlap yang masih bisa aku percaya dari empat korlap yang ada. Dua lagi sudah mengundurkan diri dan satu lagi menghilang. Jadi mau tidak mau aku harus mencari pengganti posisi tiga korlap yang kosong. Tapi proses itu tentu saja tidak mudah – dan memilih korlap justru lebih butuh waktu daripada memilihmu menjadi PLT.

“Kenapa aku memilih memanggilmu? Karena intuisi saja. Ada yang berbeda saat kita bertanding, ada yang terasa fresh dan jujur tentangmu. Kamu tidak sekedar mampir untuk berbasa-basi atau ingin merasakan menjadi preman kampus, kamu datang karena kamu ingin meraih puncak dengan kemampuanmu, dan itu sudah jelas kamu sampaikan sejak pertama kali bertemu. Aku menghargai orang-orang yang jujur dan apa adanya, bukan yang bermuka dua.

“Rawannya keadaan di Sonoz saat aku absen membuat keputusan harus diambil dengan cepat. Aku tidak mungkin menunjuk Abi menjadi wakil secara langsung karena pasti banyak yang akan mengincar kepalanya – itu akan merepotkan karena aku masih membutuhkan dia untuk mengatur berbagai macam urusan. Aku butuh orang lain yang bisa menemani Abi menjadi target, bisa menghadapi banyak orang sekaligus, bisa melawan pemberontakan besar jika terjadi, dan bisa mengatasi mereka yang sekali lagi ingin melakukan kudeta. Jadi untuk saat ini cara yang paling mudah adalah meng-install-mu terlebih dahulu menjadi PLT.”

“Bah. Itu artinya zampeyan hanya memanfaatkanku.”

“Simbiosis mutualisme.”

“Apa untungnya buat aku?”

“Jika mampu bertahan sebagai PLT dan mengatasi permasalahan yang mungkin muncul sampai nanti aku sehat dan balik ke markas Sonoz, maka kamu akan menjadi wakil secara permanen. Aku juga akan langsung memberikanmu kesempatan untuk melawanku demi posisi Puncak Gunung Menjulang.”

“Hmm…”

“Hmm?”

“Hmm. Itu berarti zetelah zampeyan zembuh nanti aku akan diberi kezempatan untuk bertarung memperebutkan gelar ketua?”

“Ya.”

Deal.” Hageng menjulurkan tangan tanpa berpikir panjang.

Simon menyalaminya. “Deal.”

Senyum misterius membias di wajah Simon.

Satu lagi rencananya berjalan sesuai dengan apa yang dia harapkan, akan menarik rasanya melihat duet Hageng dan Abi menjaga puncak gunung menjulang. Keduanya akan menjadi aset berharga bagi masa depan Sonoz.

Siapkah Hageng?

.::..::..::..::.

Sudah bukan saatnya lagi untuk main-main. Amon dan Oppa kini membentuk tag team untuk menyerang si bengal bersamaan. Kalau dalam pertandingan di WWE Raw atau Smackdowntag team lawan satu orang begini namanya handicapped match.

Tapi apapun istilahnya, Nanto harus mencari cara untuk bisa mengatasi kecepatan Oppa dan kekuatan Amon. Satu saja sudah susah, apalagi dua-duanya bareng. Untung Rao dan Rikson sudah pergi, jadi dia bisa berkonsentrasi penuh untuk menundukkan duet maut di depannya.

Huff.

Nanto tahu dia harus menyerang duluan, karena simpel saja… salah langkah, dan dua mantan kapten DoP itu akan membuatnya menyesal lebih cepat dari seharusnya. Mereka sangat terbiasa bertarung dan tahu kapan waktu menyerang dan kapan waktu mundur yang terbaik. Nanto tidak boleh gegabah. Lengah sedikit, kepalan dan tendangan dua orang bangsat ini akan mampir.

Baru saja ia berpikir untuk menentukan langkah, Oppa dan Amon sudah maju ke depan dengan cepat!

Nah kan. Bajilak! Ayo mikir, Nyuk! Nanto harus lebih cepat!

Si bengal berlari kencang ke depan, ia menjejak tanah dan melompat tinggi. Lagi-lagi gerakan Sambaran Elang Neraka.

Oppa mendengus kesal melihat si bengal sekali lagi mencuri jurusnya. Pria berkacamata itu lantas menghentikan larinya, ia memasang tangan menyilang untuk bertahan. Benar saja, Nanto kemudian memutar badan dan kakinya menukik dengan cepat untuk menyambar kepala lawan.

Tapi lawan itu bukan Oppa.

Bledaaaaaagkkhhh!

Amon goyah. Ia sama sekali tak menyangka Nanto akan langsung mengincar kepalanya! Tindakan ini memang mengejutkan karena saat serangan dilontarkan si bengal, posisi Amon justru sedang berdiri di belakang Oppa! Siapa yang menduga kalau Nanto justru mengincar Amon yang lebih jauh dari Oppa!?

Tapi si beruang tidak akan jatuh hanya dengan serangan seperti itu! Meski kencangnya tendangan si bengal membuat Amon tergeser beberapa langkah ke kanan dengan kepala puyeng bukan kepalang tapi dia masih bertahan! Pusing iya, jatuh tidak.

Melihat Nanto justru mengincar Amon yang ada di belakangnya, Oppa segera cepat membantu sang sahabat. Ia memutar tubuhnya, menjejak tanah, lalu melecutkan tubuhnya ke atas! Ia melompat teramat tinggi dan menghunjam deras ke arah Nanto yang sudah mendarat di antara Amon dan Oppa!

Swwssshhhh!

Tendangan Oppa meleset!

Nanto sudah pindah ke samping.

Sekarang saatnya!

Si bengal tahu manusia tidak diciptakan sebagai burung, tidak pernah ada orang yang bisa terbang, Seberapa tinggipun orang itu melompat, pasti akan turun juga ke tanah. Nanto beringsut menjauh dari posisi di antara Amon dan Oppa, menunduk, lalu menggunakan satu tangan sebagai tumpuan sembari memutar kakinya bagaikan roda.

Oppa yang tadinya bersiap turun dengan satu kaki terkesiap!

Bangsaaaaaaat!!!

Dbggkkkkhhh!

Satu-satunya kaki sang cowo ganteng yang baru saja menapak ke tanah disambar kencang oleh Nanto, membuatnya terjerembab ke depan! Oppa berusaha menggunakan tangannya untuk menapak, mencegah wajahnya terhantam tanah.

Si bengal sudah tahu hal itu yang akan dilakukan oleh Oppa. Ia bergulir ke samping, lalu secepat kilat berdiri dan melompat. Nanto tidak terlalu tinggi melompat, ia segera turun dengan cepat sembari melepaskan dua kaki yang turun bersamaan untuk menjejak punggung sang lawan! Double foot stomp!

Dbggkkkkhhh!!!

“Haaaargghhhmmpphh!”

Oppa ambruk ke tanah dengan dada yang terhantam terlebih dahulu. Dia berusaha memutar badan untuk mengusir Nanto yang mendarat di punggungnya, tapi belum sempat ia melakukannya, si bengal sudah menjejakkan kaki ke belakang kepala Oppa!

Jboooggkkkkhhh!!!

Wajah Oppa yang tampan mendarat tidak mulus berjumpa dengan tanah pekarangan! Kacamata Oppa pun retak.

Pada saat yang bersamaan kepalan tangan kanan Amon menyergap si bengal!!

Swwwsshhh!

Meleset!

Nanto juga sudah sejak tadi menunggu serangan lanjutan dari si beruang. Tangan kiri Nanto mencengkeram pergelangan tangan Amon, berputar dan menguncinya. Si bengal melompat lagi dengan menggunakan punggung Oppa sebagai landasan.

Jboooggkkkkhhh!!!

Lutut si bengal bertemu dengan dagu Amon!!

Kepala Si beruang terlontar ke atas saking kerasnya hantaman lutut Nanto. Tubuh raksasa-nya tertatih ke belakang. Nanto masih belum berhenti, tangan kirinya masih tetap mengunci pergelangan tangan Amon. Tangan dan sikut kanannya berkerja cepat menghantam satu titik di dada si beruang berulang-ulang.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Dada. Dada. Dada. Dada.

Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh!

Amon meraung kesakitan dan tubuhnya yang gempal terdesak ke belakang. Nanto belum selesai. Dengan punggung tangan kanan dan kiri bergantian, si bengal menohok leher sang beruang.

Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh! Bgkhhh!

Masuk semua.

Amon tersedak dan mundur ke belakang, matanya melotot. Ia hanya bisa memegang lehernya yang kesakitan. Saat tersadar, ia sudah terpepet ke tembok, tidak bisa mundur lagi.

“Selamat malam.” Desis Nanto pelan.

Amon tersadar namun terlambat. Saat ia melihat ke depan, ia hanya melihat tapak sepatu sudah deras terlontar ke wajahnya! Menghalanginya pun percuma.

Jboooggkkkkhhh!!! Jboooggkkkkhhh!!! Jboooggkkkkhhh!!!

“Hiaaaaaaaaaaaaaarrrrghhh!!”

Nanto melepaskan tiga kali sodokan kaki, menjejak wajah Amon berulang kali, menghantamkan kepalanya dengan keras menumbuk tembok. Mata sang beruang bergulir ke atas hingga hampir seluruhnya putih dan tubuhnya limbung bergerak tak tentu arah.

“Hiaaaaaaaaaaaaaarrrrghhh!!”

Nanto melompat dan dengan satu tendangan berputar kencang menyepak pelipis Amon tanpa ada siapapun yang bisa menghalangi!

Tubuh sang beruang jatuh berdebam ke tanah.

.::..::..::..::.

Rintik air hujan membuat lubang di tanah yang makin lama makin becek. Seakan ingin menumpahkan seluruh beban yang sejak awal diusungnya, sang awan dengan bahagia melepaskan semuanya ke bumi pertiwi, menyegarkan tanah, menghidupi tanaman, membasuh jalanan.

Teras rumah Pakdhe Wid temaram malam itu, lampu remang dan musik gamelan pelan terdengar dari dalam rumah. Pakdhe Deka itu memang paling demen memutar lagu jawa. Padahal kalau suasananya seperti ini ya lumayan ngeri-ngeri sedap – apalagi Pakdhe Wid demen banget muter Lingsir Wengi. Gara-gara film horor sialan, lagu itu berubah arti dan makna menjadi lagu yang horor banget, mungkin karena iramanya yang agak-agak.

Untung Deka tidak sendirian di teras.

Usai menerima kawruh dari rekan-rekan bodyguard Pakdhe Wid, Deka duduk berdua dengan Dinda. Menemani gadis itu menanti hujan sebelum kembali pulang ke rumah sekaligus menunggu sang Ibu yang masih berjualan di warung. Warung Pakdhe Wid sendiri masih tetap buka dan ramai. Anget-anget makan sate atau tengkleng memang sedep.

“Terima kasih ya.” lembut Deka mengucap.

Begitu lembutnya sampai-sampai mungkin tak terdengar oleh Dinda karena derai hujan di halaman begitu derasnya.

Saat melihat tidak ada reaksi apapun dari Dinda, Deka terpaksa mengulangi ucapannya sekali lagi. Kali ini dengan wajah yang teramat dekat dengan sang gadis manis. “Terima kasih ya.”

Dinda yang akhirnya mendengar ucapan Deka kali ini mengangguk dengan wajah memerah dan kepala tertunduk. Ah. Kenapa juga mesti hujan deras? Hujan membuatnya terjebak berduaan bersama Deka di teras rumah Om Wid. Bukan karena dia tidak suka, tapi karena dia tidak ingin membuat hubungan mereka berdua menjadi lebih ambyar dari seharusnya.

Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi dia bisa merasakan berduaan dengan Deka?

Deka merogoh ponselnya. Ada notifikasi untuk menyalakan mode hemat baterai, hanya tinggal beberapa persen saja pasti sudah bakal out. Gawat juga, sudah sejak sore tadi ia tidak menghubungi Ara. Kekasihnya itu pasti bakal bertanya-tanya dan ngamuk kalau sampai tidak ada kabar.

Dinda melirik ke arah Deka dan melihat cowok itu sedang menimang-nimang ponselnya. Apakah Deka sedang merindukan kekasihnya? Apakah dia sedang memikirkan sedang apa Ara di sana? Apakah hubungan mereka baik-baik saja? Apakah mereka bahagia?

Ah. Kenapa juga Dinda harus kepo? Jangan mengurusi urusan yang bukan urusanmu kalau tidak ingin urusanmu diurusi oleh orang lain yang tidak seharusnya mengurusi urusanmu. Begitu pesan dari ibunya. Jadi Dinda seharusnya tidak perlu penasaran dengan apa yang terjadi pada Deka dan juga kekasihnya.

Tapi lidah Dinda terasa risih jika tidak menanyakan pertanyaan yang tidak seharusnya ditanyakan tapi membuatnya penasaran ingin bertanya.

Jadi, haruskah ia bertanya?

“Mas Deka. Ka… kapan rencana Mas Deka akan menikah?”

Akhirnya ia bertanya juga.

Deka memiringkan kepalanya karena tidak mendengar ucapan Dinda. Hujan benar-benar deras dan suara Dinda yang lembut seakan terbang dibawa angin malam. “Hah? Apa? Yang agak keras, Din. Aku ga denger kamu ngomong apa.”

“Ma… Mas kapan nikah?”

Tepat saat Dinda bertanya untuk yang kedua kali, terdengar suara guntur mendera. Bagai tabuhan palu menghunjam bumi. Deka menggelengkan kepala sambil menunjuk ke telinga. Ia lagi-lagi tidak mendengar pertanyaan Dinda.

“Aku beneran ga denger, Din. Hujannya deres, mana pake petir lagi. Entar aja ya kalau udah agak reda.” Deka setengah berteriak.

Dinda mengangguk paham dan tersenyum sembari memendam perasaannya sekali lagi. Apakah untuk menanyakan pertanyaan itupun dia tidak pantas sehingga langit menghalangi?

Apakah garis kasta itu sungguh ada?

Apakah dia memang sungguh tak pantas meletakkan harapan?

Dinda Dewika

Si beruang sudah dibereskan, kini beralih ke…

Bletaaaaagkkhhhh!

Wajah Nanto tersambar tendangan. Ia mundur dengan badan goyang. Bangsat. Si kacamata brengsek itu cepat sekali! Panas terasa di wajah bagian kirinya yang terkena sambaran barusan. Secara reflek, si bengal lantas memejamkan mata dan mencoba pose bertahan dengan menangkup kepala di antara lengan yang dihunjukkan ke atas. Posisi pertahanan.

Benar saja.

Sekali lagi kaki Oppa menyerang tanpa permisi. Untung kali ini dia sudah siap!

Dbkkkghhh!

Lengan Nanto terasa panas tersengat sambaran kaki yang secepat kilat menghentak – lengan yang telah berusaha keras melindungi wajahnya dari tendangan yang menyerang. Keberhasilan si bengal menahan tendangan membuat Oppa kehilangan momentum!

Jangan sia-siakan kesempatan!

Nanto menangkap kaki yang baru saja menyerangnya, melingkarkan lengan kanan untuk mengunci, dan sekuat tenaga menarik kaki itu.

Oppa terkejut melihat ulah si bengal yang tidak bertarung dengan pakem tertentu. Bangsat satu ini menyerang dan bertahan sesuka hati!

Oppa berusaha memutar badan dan sekali lagi menyarangkan tendangan sekaligus melepas diri. Tapi kepalan tangan kiri si bengal sudah jauh lebih cepat! Nanto menghajar betis dan paha Oppa dengan sekuat tenaga!

Bdmmmghh! Bdmmmghh! Bdmmmghh!

“Haaaaaaaarrrghhhh!”

Oppa terguling sambil berteriak kencang, cowo ganteng itu memegangi kakinya yang meradang kesakitan.

Nanto mendengus, dia belum selesai. Dia pun menyepak kaki Oppa yang satu lagi.

Jboooghhkkkkk!

Oppa berteriak dan berguling-guling kesakitan memegang kakinya.

“Bajingaaaaaaaaaaaaaan!!”

Dbgkkkhhh!!

Sebuah batu meluncur deras mengenai tembok pagar yang berada di samping Nanto, si bengal menoleh ke arah pelempar batu. Nobita! Dia sudah kembali siuman rupanya!

Sang pengkhianat yang terengah-engah mengutuk lemparannya yang gagal mencapai sasaran. Bangsat! Melempar batu saja dia tidak becus!

Nanto berlari kencang menuju arah Nobita. Ketika jarak belum mencapai satu meter, si bengal menjejak tanah, melompat tinggi dan memutar tubuhnya bagikan bor sembari menghunjamkan tendangan berkecepatan tinggi.

Bledaaaagkkkkkhhh!

Wajah Nobi kembali buyar setelah Nanto melepaskan tendangannya. Tak selang berapa lama, si bengal menghantam dada sang lawan.

Bgkkkhh!

“Ini…”

Kepalan Nanto menghunjam ke rusuk Nobi!

Bgkkkhh!

“Akan…”

Sikutnya kini merangsek ke dadanya!

Bgkkkhh!

“Mengajarkanmu…”

Kepala Nobi didorong dengan kepalan sampai menghantam ke tembok!!

Bledaaagkkkhh!

“Bagaimana…”

Kaki Nanto menyambar lutut lawan!!

Bgkkkhh!

“Caranya…”

Kaki menyambut wajah bagian kiri!

Booogkkkhh!

“Bersopan…”

Lalu sebelah kanan!!

Buuugkkkhh!

“…santun!!!”

Satu lagi!

Jbooooogkkkkhhh!!

Nobi yang sudah bersimbah darah, makin tak karuan lebamnya. Ia ambruk untuk kesekian kali. Pemuda itu benar-benar sudah tidak berdaya, napasnya kembang kempis, sedangkan keringatnya deras bercampur darah. Untuk bergumam pun sudah sulit. Wedul gembeeeessshhh!! Kenapa sedari tadi Nanto terus menerus mengincarnya?

Nanto mendengus, menarik napas, lalu menghembuskannya. Si bengal menengok ke belakang. Di sudut lain di pekarangan yang sama, Amon dan Oppa sudah kembali berdiri.

Jingan! Sepertinya si beruang itu benar-benar punya kepala sekeras baja. Bisa-bisanya sekarang bangkit lagi padahal tadi sudah mau pingsan. Bangsat! Minum jamu kuat merk apa si kulkas tiga pintu itu? Gimana mau selesai kalau begini terus? Kedua lawannya sama-sama susah dijatuhkan. Oppa sangat lincah dan susah dipegang batang hidungnya, sementara Amon sangat kuat dan punya pertahanan ekstra. Dua-duanya sama-sama berbahaya. Ayo, Nyuk… cari cara lain lagi yang lebih manjur!

Nanto mendengus dan bersiap, sementara Oppa dan Amon juga memasang kuda-kuda. Si bengal berkonsentrasi penuh ke depan, dia siap berlari.

Sekarang atau tidak sama sekali!

Bletaaaaagkkhhhh! Bletaaaaagkkhhhh!

.::..::..::..::.

Roy menggeser kunci lockscreen smartphone-nya. Setelah akses smartphone-nya terbuka, ia menekan icon aplikasi WhatsApp, Roy melirik ke daftar nama dan mencoba mencari seseorang. Tidak perlu waktu lama sampai ia menemukannya. Roy pun mencoba melakukan panggilan kali ini dengan menekan icon berlambang telepon.

Terdengar nada tunggu.

Satu. Dua. Tiga. Beberapa detik berlalu.

Tiga. Empat. Lima.

Tidak ada yang mengangkat telepon bahkan sampai sistem WhatsApp membatalkan panggilan itu. Bangsat. Kemana lagi sih orang ini? Perasaan dia selalu pegang ponsel kemanapun dia pergi, jadi jarang sekali ia tidak mengangkat telepon. Boker aja dibawa kok.

Saat ini Roy sedang berada di depan kamar Bian, duduk bersila dengan santai di pinggir koridor. Di sampingnya terdapat botol plastik teh dalam kemasan yang masih utuh, minuman kemasan sari kacang hijau yang sudah habis, dan roti sobek coklat keju yang sudah dibuka bungkusnya.

Kepalanya menunduk dengan serius menatap layar ponsel.

Kemana lagi si sompret satu ini? Dia sedang sangat membutuhkannya…

“Awas jangan melamun, Mas. Nanti ada yang nyamber lho. Wkwkwk.”

“E… ayam… ayam… ayam!!”

Roy terkaget-kaget sampai-sampai ponsel yang ia pegang hampir terjatuh.

“Tuh kan… kesamber ayam. Wkwkwk. Maaf ya, Mas.” Ternyata ada seorang perawat yang berdiri di samping Roy sejak beberapa saat yang lalu tanpa ia sadari.

“Ti-tidak apa-apa, Sus…” Roy buru-buru berdiri dengan sopan, ia menatap sang perawat yang ada di depannya.

Saat itu pula seakan-akan ada musik progressive house trance dimainkan seirama dengan degup jantungnya yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Musik menghentak yang membuat dirinya ber-dungcek dungcek aringkingkingking.

Sosok perawat ini…

“Maaf, Mas. Hanya sekedar mengingatkan – duh, jadi kayak netizen yang hobinya mengingatkan ya, wkwkwk. Anu… duduknya jangan di dekat pintu dong. Agak geseran dikit boleh? Supaya lebih nyaman bagi pasien, perawat, petugas rumah sakit atau dokter yang mau lalu lalang.”

Roy menatap ke sosok yang sedang berdiri di depan pintu kamar Bian dengan mulut terbuka lebar. Di hadapannya kini berdiri seorang perawat muda, berpakaian putih, cantik, dan berbadan langsing. Wajahnya manis, senyumnya membius, suaranya merdu, orangnya ramah suka bercanda, dan tatapannya aduhai serasa ingin segera dihalalkan.

Kalau saja ini sinetron, pasti sudah ada soundtrack musik romantis yang mengiringi di background sembari muncul efek angin sepoi setengah kencang mengibarkan pucuk-pucuk rambut sang perawat yang cantik.

“Oh! Oh, …ma-maaf, saya tidak tahu.”

“Tahu apa tempe, Mas?”

“Tahu bulat lima ratusan ga pake ketan. Tak kintang-kintang tak kintang-kintang… ealah! Maaf… maaf… saya pindah geser ke sebelah sini ya, Mbak… eh Sus… eh Per, eh… aduh… kalau perawat enaknya manggilnya apa ya?”

Roy belingsatan. Dia memang agak canggung berhadapan dengan cewek – apalagi yang cakepnya kayak yang satu ini.

“Dipanggil Suster boleh, dipanggil Mbak ga apa-apa, dipanggil Dek juga monggo. Asal jangan dipanggil Mas aja. Saya bukan lady-boy kok. Wkwkwk.”

“Eh ehm… I-iya.” buru-buru Roy menggeser jajanannya agak sedikit jauh dari posisi pintu kamar Bian. Sebenarnya bisa saja dia duduk di dalam di samping pembaringan Bian, tapi Roy sudah bosan karena sedari tadi dia duduk di dalam dan hanya melihat pemandangan yang itu-itu saja. Stress juga lama-lama kalau tidak ada perubahan suasana.

“Terima kasih, Mas.”

“I-iya…” Roy melihat alat pengukur tekanan darah di tangan sang perawat. “Ta-tadi ngecek tensi saudara saya, ya? Berapa tensinya, Mbak, eh Sus… eh… Dek… eh aduh…”

“Wkwkwk. Agak lumayan sih, 130 per 110. Harus lebih dijaga memang kondisinya.” Sang perawat memicingkan mata, lalu melongok ke dalam kamar ke tempat Bian yang sedang asyik makan agar-agar. “Omong-omong… meski potongan rambut dan pakaiannya beda… kalian berdua kok mirip ya? Jangan-jangan kalian berdua ini…”

“Iya, Mbak… kami memang…”

“Klonengan?”

“Hah?”

“Wkwkwkw, kembar. Sori kebanyakan bercanda. Kalian kembar ya?”

“Iyaaa…” wajah Roy memerah karena malu, padahal tidak ada yang perlu membuatnya malu. Mungkin malah dia sendiri yang kelihatan malu-maluin – padahal perawatnya ramah lho, gimana sih, Nyuk? Tapi sungguh Roy kali ini sangat tersepona melihat sang perawat cantik, senyumnya yang aduhai itu dengan gigi yang sepertinya ada gingsul manis menawan. Sekali lirik, bubar donya. Hancur dunia.

“Siapa yang lahir duluan, Mas?” tanya sang perawat.

“Sa-saya.”

“Hmm. Saya punya pertanyaan nih… kalau ada anak kembar, yang mana yang kakak yang mana yang adik, hayoo? Yang lahir duluan atau yang lahir belakangan?” senyum sang perawat membuat Roy bagaikan ditembak pakai dart tepat di jantungnya yang lemah dan pasrah.

Fokus Roy. Apa jawabannya?

“Kalau tidak salah yang lahir duluan ya yang dianggap kakak? Tapi ada juga mitos yang bilang kalau si kakak justru yang ada di dalam dan bantuin adiknya keluar.”

“Wkwkwkwk… iya, kalau dari sisi kedokteran, yang lahir duluan itu yang dipanggil kakak, Mas. Kalau yang masih di dalam perut Ibu itu yang dipanggil adik, nah kalau yang sebaiknya dilupakan itu mantan. Wkwkwk.”

Roy meringis wagu. Dia keringetan basah kuyup berdiri begitu dekat dengan sang perawat cantik. “Be-begitu ya, Sus, eh Mbak, eh, Dek, eh Per… ehalah biyuuung…”

Duh, perawat satu ini memang cantik, siapa kena lirik, hati bak dijentrik. Sopan sapa tegurnya, manis senyumannya, itu yang menggoda. Aduh kalau berdendang lagu dendang sayang rasaku di awan. Joget tari melayu Nurlela pun senang, mengayunkanku tari serampang, hei!

Badalah. Fokus woi fokus!

“Ya sudah Mas, saya keliling dulu mau cek tensi pasien satu-satu. Terima kasih sudah mau geser duduknya ya, Mas.”

“Eh… ehm… I-… iya… ja-jadi kapan Sus… eh… Mbak… mau ke…”

“Mau kemana, Mas?”

Terdengar bunyi dering telepon dari smartphone.

“…ke… ke… pelaminan. Bah!! A-Anu…!!! Mak-maksud saya…” Roy terkejut. Anjrit! Kenapa jadi begini sih! Biasa aja, monyong! “Eh, mak-maksud saya kapan mbak sus perawat datang ke-ke sini lagi? Mungkin untuk memeriksa tensi adik saya?”

“Hahaha, mungkin tengah malam nanti atau besok pagi, Mas. Tapi hari ini saya shift malam kok, jadi kalau ada apa-apa, bisa tekan tombol yang ada di kamar ya. Saya atau rekan saya nanti akan membantu.”

Roy tenggelam dalam khayal. Ia bagaikan ingin bertanya pada sang perawat. Neng, bapak kamu maling ya? Hah?! kok bisa? Iya, habis kamu telah mencuri hatiku… kwong kwong.

Dering yang terdengar dari smartphone Roy akhirnya membuatnya tersadar.

“Eh… ehm, saya angkat dulu ya.”

“Silahkan.” Ujar si cantik sambil tertawa, ia lantas membawa peralatan pengukur tekanan darah ke arah kamar pasien yang ada di depan kamar Bian. Sekali lagi perawat cantik itu tertawa melihat Roy masih juga belum mengangkat ponselnya hanya untuk terus menatap dirinya yang masuk ke kamar pasien lain.

“Cepat diangkat ya, supaya pasien tidak terganggu dengan suara dering teleponnya.” Sang perawat menunjuk berulang ke arah ponsel Roy yang dibalas dengan anggukan kepala kaku.

“Eh… ah! I-iya! Si-siap!”

Si cantik itu tertawa renyah dan menggelengkan kepala. Ada-ada saja ulah pengunjung di sini. Bukan hanya pasien, yang nungguin pasien pun sering sekali salah tingkah begini, padahal dia hanya bercanda saja dengan mereka.

Sudah untung dia yang bercanda, bukan ia yang digoda seperti yang sudah-sudah. Oh, sudah pernah digoda? Tentu saja. Entah sudah berapa kali ia digoda, terakhir kali mungkin kemarin lusa, jelas itu bukan untuk pertama kali dan pasti bukan yang terakhir. Marahkah si cantik itu digoda? Kalau keterlaluan mungkin dia akan marah, tapi kalau hanya sekedar sambil lalu ya sudahlah ya, tidak akan ada habis-habisnya. Hitung-hitung hiburan di sela-sela merawat pasien.

Setelah siluet sang suster cantik lenyap di balik pintu kamar pasien, barulah Roy memeriksa ponselnya. Siapa ini yang jadi bedesh gangguin lamunan indahnya buyar?!

Nama Hamdani muncul di layar smartphone Roy.

Wajah pemuda itu berubah menjadi serius, buru-buru Roy mencari sudut yang nyaman untuk menelpon, ia menyembunyikan wajahnya di balik jaket dan menatap tembok seakan-akan apa yang akan mereka perbincangkan adalah hal yang paling rahasia di muka bumi. Roy yang gugup berhadapan dengan wanita berubah menjadi Roy yang cool.

“Ya. Ini aku.” Roy mengangkat telepon dengan sedikit berbisik.

Tadi menelponku?

“Ya. Pekerjaan lama, seperti biasanya.”

Apa yang kamu mau?

“Informasi. Aku ingin kamu mencari tahu keberadaan Beni Gundul, Toro dan anggota-anggota penting lain dari Geng Patnem. Hari ini mereka menghilang karena ada serangan dari PSG. Temukan mereka, lacak posisi mereka, dan laporkan ke aku. Lebih cepat lebih baik – semua silence tanpa ketahuan PSG ataupun kelompok lain.”

Tidak ada suara di ujung yang satunya lagi. Hanya suara gesekan-gesekan lembut yang terdengar teramat lirih. Orang yang dipanggil dengan nama Hamdani itu sepertinya sedang sibuk berpikir.

Kenapa kamu balik lagi ngurusin beginian? Ada angin apa? Aku pikir sudah pensiun dan memilih mencuci piring di restoranIni bahaya banget, NyukUrusannya sama PSG.”

“Aku tahu.”

Kenapa mau mencari mereka?

“Tidak ada alasan khusus.” Roy terdiam sejenak – dia tidak mungkin membuka cerita kalau adiknya adalah anggota Patnem, “Rasa simpati mungkin. Aku kenal beberapa di antara mereka, aku tidak akan bisa tidur kalau tahu mereka dalam bahaya.”

Bisakah Hamdani membaca maksud di balik kalimatnya yang terdengar wagu?

Lagi-lagi tidak ada suara untuk beberapa saat lamanya.

Bahaya sekali. Kamu tahu dengan siapa kamu berhadapan?

“Tahu.”

Kalau tahu kenapa dilanjutkan? Joko Gunar – pentolan PSG itu monsterKalau Joko Gunar sudah menginginkan sesuatu maka Joko Gunar akan mendapatkan sesuatu itu sampai tuntas.

“Dengerin, dab. Aku tidak memintamu untuk berhadapan dengan Joko Gunar atau siapapun, aku hanya ingin informasi keberadaan mereka. Masalah apakah aku akan menyelamatkan mereka atau tidak itu masalah berbeda. Lagipula kenapa kalau kita harus melakukannya? Mereka butuh pertolongan, dab. Ini tindakan yang benar.”

Hamdani terdengar menarik napas panjang. “Baiklah. Beri aku waktu paling tidak seminggu. Mencari info di lingkup PSG dan underground itu tidak mudah. Meski terlihat slengean, kelompok-kelompok bawah tanah sangat tertutup. Aku harus cari cara-cara lain untuk mendapatkan info.

“TIga hari.”

Hamdani tertawa meremehkan, “memangnya kamu berani bayar aku mahal untuk informasi ini?

“Kenapa tidak? Ini bukan kali pertama kita bertransaksi.” Entah darimana uangnya, yang penting infonya harus didapatkan terlebih dahulu.

Lagi-lagi terdengar suara napas yang berat. “Oke, tiga hari. Tapi jangan hubungi aku untuk sementara waktu karena kondisinya akan sangat berbahaya buatku, aku yang akan menghubungimu jika sudah mendapatkan informasinya.”

“Aku tunggu kabarnya.”

Klik.

Roy menggaruk kepala.

Mudah-mudahan ia bisa segera memberikan jawaban untuk Bian perihal kawan-kawannya dari Patnem dan bagaimana nasib mereka. Tentu saja ia tidak bisa percaya seratus persen informasi dari Hamdani, dia juga harus menghubungi informannya yang lain.

Siapa ya?

Roy melirik ke arah smartphone-nya dan mencoba memilah dua nama informan lain yang bisa ia hubungi. Tidak boleh terlalu banyak, tapi juga sebaiknya tidak hanya satu. Mudah-mudahan mereka bertiga bisa memberikan info yang valid.

Roy mengirimkan pesan singkat melalui WhatsApp ke dua orang informannya yang lain. Beda dengan Hamdani, dua orang ini hanya bisa dan hanya mau dihubungi via WA – meskipun dalam kondisi mendesak bisa juga dihubungi lewat telepon.

Mudah-mudahan rasa penasaran Bian bisa terjawab.

Ngomong-ngomong soal penasaran…

Perawat yang manis tadi… namanya siapa tadi ya?

Duh, lupa nanya. Tapi kalau tidak salah di nametag yang ia kenakan tadi tertera namanya…

Coba Roy ingat-ingat sebentar…

Re… Ru… Ri… Ro… ah ya… Ra.

Rania.

Rania

Blettaaaaaaagggkhh!! Blettaaaaaaagggkhh!! Blettaaaaaaagggkhh!! Blettaaaaaaagggkhh!! Blettaaaaaaagggkhh!! Blettaaaaaaagggkhh!!

Sentakan teramat keras berulang kali menyengat kepala si bengal dari kanan ataupun kiri, membuat dunianya limbung dan pandangannya berkunang-kunang. Ia memegang kepalanya yang terasa sangat ringan, terlalu ringan malah. A-apa yang terjadi? Nanto memutar kepala untuk melihat ke belakang dan mendapati siapa yang telah membuatnya jadi seperti ini.

Sial! Dia lengah!

Nanto melirik ke samping dan melihat wajah Nobita yang sudah tak karuan menatapnya dari kejauhan sebelum akhirnya semua berubah menjadi gelap.

Saat itulah sebuah tongkat bokken kembali beraksi untuk memasukkan dua sengatan ke kepala Nanto.

Blettaaaaaaagggkhh!! Blettaaaaaaagggkhh!!

Si bengal berjalan tak tentu arah untuk beberapa saat sebelum akhirnya ambruk tak sadarkan diri!

Tumbang!

Nobi yang sudah kepayahan tertawa.

Akhirnya rubuh juga! Mampuuuuss!!

Nobi berusaha keras untuk berdiri sambil terengah-engah, tangannya mencoba meraih kesana kemari dan akhirnya menjumpai sebatang kayu. Dengan batang kayu di genggaman tangannya, Nobi mengangkat tubuhnya sendiri dan menggunakannya sebagai alat bantu berdiri, tertatih pemuda licik itu mendekati Nanto.

“Mampus kamu, bangsat! mampus!“

Nobi menyepak kepala Nanto yang sudah pingsan.

Dbkkggghhh! Dbkkggghhh!

“Mampuuuuuuuuusss!!! Mampuuuuuuuuuuusss!!”

Cuh!

Nobi meludahi Nanto.

“Itu bayarannya kalau sok-sokan gaya melawan kami! JinganWasu! Munyuk! Bedeeeeesshh!

Sekali lagi Nobi menyepak kepala Nanto yang sudah tak sadar.

Bletaaaagkkhhh!

Puas sekali rasanya sang pengkhianat itu! Ia seakan menuntaskan semua kekesalan yang sejak tadi ia pendam. Nobi pun berancang-ancang untuk melakukan sepakan berikutnya. Namun ketika hendak melakukannya lagi, sosok yang memegang bokken terkekeh dan menepuk pundak Nobi, menghentikan aksinya.

“Hehehehe. Sudah cukup. Dia bukan siapa-siapa. Kita tidak perlu membunuhnya, jangan buang tenaga, sekarang bukan saatnya. Jangan sampai malah jadi kasus yang membawa kita ke berurusan sama polisi, dab. Hehehe.”

Orang itu tentu saja adalah Don Bravo Dededaka.

Oppa mendengus dan berjalan pincang sembari mendekat ke arah Don Bravo. “Kemana saja kamu? Telat sedikit kakiku sudah patah ini.”

“Kekekekeke,” Don Bravo terkekeh melihat kekesalan Oppa. “Sori terlambat, aku kan butuh istirahat sebentar setelah bertarung siang tadi melawan Sonoz. Untung saja Nobita sempat mengirimkan WA dan berbagi lokasi – share location. Jadi aku langsung ngebut ke sini.”

“Bangsat, bilang aja kamu ketiduran! Ayo! Sudah waktunya kita cabut dari sini.” Ujar Oppa. “Kita langsung saja ke Ndalem Banjarjunut sebelum malam tiba, sebentar lagi sepertinya juga hujan.”

Amon mendengus. Tanda dia setuju, atau mungkin juga sedang membersihkan ingus. Siapa yang tahu.

Oppa dan Amon akhirnya berjalan meninggalkan pekarangan kosong yang baru saja menjadi saksi pertarungan pertama perang saudara di UAL – antara DoP dan mereka yang berkhianat. Don Bravo mengangkat beberapa anak buah yang tadinya terkapar untuk segera bangkit dan meninggalkan tempat itu.

Amon sempat menepuk pundak Nobi yang sepertinya masih sangat kesal pada Nanto, dia hanya diam saja sembari menatap si bengal dengan geram karena telah membuat wajahnya berantakan. Nobi menarik napas panjang dan mengangguk setelah ia dan Amon saling bertatapan mata.

Sekali lagi ia menatap Nanto yang masih tak sadarkan diri. Ia menghapus darah dari hidung dengan punggung tangan sembari menebarkan senyum diantara gigi yang berdarah.

“Darah itu merah, Jendral.”

Cuh.

Ludah bercampur darah kental Nobi mendarat di wajah si bengal.

Sang pengkhianat berjalan pergi mengikuti Oppa, Amon, dan Don Bravo.

Oppa mendengus sambil menatap langit yang makin gelap. Hujan sebentar lagi pasti turun. Bahkan udara basah pun sudah dikirim oleh angin yang berpacu berlari-lari.

Rencana menggulingkan Rao gagal total. Untuk mengejar sang hyena gila dan Rikson sepertinya juga percuma, ya sudah kalau begitu, masih banyak rencana yang bisa digelar. Apalagi Nanto sang penghalang juga sudah terkapar. Tidak ada apa-apa lagi di sini, mereka hanya harus bergabung dengan KSN dan menyusun skenario baru.

Rombongan pengkhianat DoP itu pun mulai pergi satu persatu, menyeberang jalan, menaiki motor mereka, dan mengendarainya menuju Ndalem Banjarjunut – markas KSN.

Di atas langit malam, petir menyambar di dalam kelamnya kawanan awan yang mulai menghitam. Rintik hujan bergantian terjun dari langit, berlomba-lomba untuk terjun dan bertebaran. Bagaikan gerbang yang mulai dibuka, satu persatu serdadu air terjun menghunjam bumi, menyebarkan diri membasahi tiap sudut landskap di bawah mega mendung yang menggantung.

Deru motor yang digas kencang mengiringi kepergian para pembelot DoP yang kini menjadi anggota KSN – kekuatan baru besar di wilayah utara kota. Hujan deras seakan tak menghentikan ulah mereka. Oppa dan kawanannya pun akhirnya benar-benar pergi dari lokasi itu, membiarkan Nanto tergeletak begitu saja.

Petir bertalu-talu.

Beberapa menit setelah kepergian Oppa dan kawan-kawan, dua orang berjalan hati-hati mendekati Nanto yang masih tergeletak di bawah hujan deras.

Salah satunya merogoh kantong celana si bengal.

Ia mengambil dompet dan ponselnya.

Nanto masih tak bergerak.

Bersambung

Cerita Sexs Menikah Dengan Seorang Pramugari
kakak cantik
Maaf Kan Adik Mu Ini Ya Kak
Pembantu sange
Terpesona Dengan Pembantu Muda Yang Cantik Bagian Satu
Foto memek mulus guru smp bersih tanpa bulu
toket gede
Tidur Bareng Sama Pembantuku Yang Lugu Bagian Dua
ngentot tante
Ngentot dengan tante tersayang ketika om keluar rumah
abg liar
Kehidupan Malam Mengubah Ku Jadi ABG Yang Liar
Pembantu baru
Tidur Seranjang Dengan Menantu Waktu Di Kapal
Foto Bugil Jilbab Calon Ustazah Korek Memek
Ngewe dengan janda hot yang memek nya masih sempit
pegawai apotik
Menikmati tubuh pegawai apotik waktu dia jaga malam
mama mertua hot
Ngentot mama mertua waktu istriku ke luar kota
boss cuek dan sombong
Selingkuh dengan boss cantik yang cuek dan sombong
adik ipar
Bercinta Dengan Siska Adik Ipar Ku
janda semok
Gara-gara melihat G-String janda cantik penis ku langsung berdiri
pacar anak kampung
Cerita ML dengan pacar baru ku yang masih perawan waktu rumah nya sepi