Part #23 : Someone From The Past

Haris dan Anin sudah dalam perjalanan pulang dari makan malam mereka. Saat ini suasana hati mereka sedang kacau. Suasana awal yang begitu menyenangkan dan romantis, tiba-tiba rusak begitu saja gara-gara kedatangan Mira, mantan pacar Haris yang dulu meninggalkannya begitu saja tanpa kabar.

Memang tadi tak banyak yang diobrolkan oleh mereka, karena kebetulan Haris dan Anin sudah selesai makan, Haris langsung mengajak Anin untuk pulang. Meski begitu Haris sempat memperkenalkan Anin sebagai calon istrinya kepada Mira.

“Jadi, itu tadi mantan kamu mas?”

“Iya Nin.”

“Kamu kayaknya belum pernah cerita soal dia kan?”

“Emang belum. Dan sebenarnya emang aku nggak mau cerita, karena nggak mau inget-inget dia lagi.”

“Kenapa?”

“Entar aja ya, di rumah aja ceritanya.”

Anin mengangguk mengiyakan. Memang mereka masih di jalan, dan Anin tak ingin konsentrasi Haris yang sedang mengemudi malah buyar kalau harus disuruh cerita. Akhirnya mereka sampai di rumah, dan ternyata Rani sudah pulang. Rani menyambut mereka, tapi kemudian memasang wajah heran melihat ekspresi Haris yang tampak kurang senang, tapi Anin biasa-biasa saja.

“Ada apa sih mbak?” tanya Rani pada Anin saat Haris sedang masuk kamar untuk ganti baju.

“Tadi waktu kami makan malam, ada yang dateng nemuin kamu Ran.”

“Siapa?”

“Katanya sih namanya Mira, mantannya mas Haris.”

“Hah? Mbak Mira?”

“Iya Ran. Kamu tau?”

“Tau sih mbak. Terus gimana?”

“Yaa nggak gimana-gimana. Baru dia duduk, mas Haris langsung ngajak aku pulang. Dia juga sempet ngenalin aku ke Mira itu sih, bilang kalau aku ini calon istrinya. Tapi ekspresi Mira biasa-biasa aja, kayak udah tau aja gitu.”

“Hmm, gitu ya?”

“Iya. Ini katanya mas Haris mau cerita soal Mira, soalnya dia belum pernah cerita apapun soal Mira ke aku.”

Tak lama kemudian Haris sudah kembali ke ruang tengah. Rani yang tanya mau bertanya lagi pada Anin tidak jadi, dan hanya diam saja. Haris duduk dan menarik nafas panjangnya. Kedua wanita yang dia sayangi itu tampak sedang menunggunya bercerita.

Anin

Rani​

“Sebelumnya aku minta maaf Nin, kalau belum pernah cerita ini sebelumnya sama kamu. Seperti yang aku bilang tadi, aku emang nggak pengen cerita, karena nggak pengen inget-inget soal dia lagi. Eh, taunya malah dia muncul gitu aja tadi di depan kita.”

“Iya mas, nggak papa kok. Tapi kan, dia tadi udah muncul. Sebenarnya, kalau boleh tau, ada apa sih mas kok kayaknya kamu benci banget sama dia?”

“Bukan benci sih, gimana ya. Gini lho, aku dulu pacaran sama dia lama, sekitar 3 tahun. Bisa dibilang aku pacaran paling lama tuh ya sama dia. Rani juga udah kenal sama dia. Awalnya semua baik-baik aja, sampai kemudian dia harus pindah ke Jakarta setelah lulus kuliah dan keterima kerja disana.”

“Aku masih sempat beberapa kali ngunjungin dia kesana. Komunikasi kami juga normal-normal aja, kayak biasanya, nggak ada yang berubah. Nah, sampai akhirnya aku kesana buat ketemuan sama dia. Waktu itu semua berjalan seperti biasa, tapi waktu aku pulang, dia udah nggak bisa lagi dihubungi. Nomernya nggak aktif lagi, semua sosial medianya juga udah dinonaktifkan. Sejak itu, aku nggak pernah bisa hubungin dia lagi.”

“Nggak disamperin kesana mas?”

“Udah, malah ke tempat kerjanya lagi. Tapi yang bikin aku kaget dan bingung, ternyata dia udah keluar dari kantornya itu, sebulan sebelum pertemuan terakhir kami.”

“Hah? Kok gitu?”

“Aku juga nggak tau Nin. Aku tanya sama orang kantornya, mereka bilang Mira mengundurkan diri, alesannya nggak jelas sih, tapi banyak yang bilang cuma alasan keluarga gitu, entah apa maksudnya.”

“Hmm, terus, nggak didatengin ke kostannya gitu mas?”

“Aku nggak tau dimana kostannya, dia nggak pernah mau ngasih tau. Bahkan buat ngirim paket aja, suruh ngirim ke alamat kantornya.”

“Loh, lha kalau pas abis jalan kemana gitu, kamu nggak pernah nganterin dia ke kostannya mas?”

“Nggak pernah, tiap aku kesana ya dia sama aku terus, ikut nginep sama aku di… hmm, hotel.”

Haris agak malu sebenarnya menjawab pertanyaan Anin itu, tapi untungnya dia sudah menceritakan masa lalunya kepada Anin, meskipun tidak terlalu detail. Jadi jawabannya kali ini, bisa dimaklumi oleh Anin. Sementara itu Rani yang sedari tadi diam juga sudah bisa mengetahui maksud ucapan Haris, tapi tetap memilih untuk diam.

“Jadi setelah pertemuan itu, kalian belum pernah ketemu lagi?” tanya Anin, mencoba kembali ke topik pembicaraan mereka.

“Iya, sama sekali nggak pernah ketemu. Dan tadi, tiba-tiba aja dia muncul kayak gitu. Senyum-senyum, kayak nggak pernah terjadi apa-apa aja. Minta maafpun enggak, siapa yang nggak kesel coba?”

“Yaa gimana mau minta maaf mas, kamu aja langsung ngajak aku pergi tadi.”

“Ya gimana lagi Nin, aku udah terlanjur kesel sama dia.”

Memang benar apa yang dikatakan oleh Anin. Mira belum sempat banyak bicara, tapi Haris sudah langsung mengajaknya untuk pergi. Haris langsung pergi sebenarnya bukan hanya karena merasa marah ataupun jengkel, tapi ada sedikit perasaan takut di hatinya, kalau kelamaan disana dan ngobrol dengan Mira, mantan kekasihnya itu akan terlalu banyak bicara tentang masa lalu mereka, dan itu akan menganggu Anin.

Haris tak ingin calon istrinya itu berpikir macam-macam. Bisa saja setelah mengetahui kalau Anin adalah calon istrinya, Mira menceritakan hal-hal yang tidak-tidak kepada Anin. Karena ketakutan itulah yang langsung membuat Haris pergi dari tempat itu.

“Mbak Mira sekarang kayak gimana mas? Masih kayak yang dulu?” tanya Rani yang dari tadi hanya diam.

“Hmm, iya sih. Tapi kayaknya agak kurusan. Dan wajahnya, gimana yaa..”

“Aku nggak tau sih dulu dia seperti apa, tapi kelihatannya wajahnya dia tuh agak pucat ya mas? Kayak orang, hmm, sakit gitu.” Sahut Anin.

“Hah? Sakit gimana mbak? Emang gitu ya mas?” tanya Rani.

“Iya sih. Wajahnya kayak pucat, nggak seger. Nggak cerah gitu lho Ran.”

“Tapi masak sakit sih?”

“Nggak tau sakit atau enggaknya Ran, tapi emang gitu. Keliatan banget dari matanya,” jawab Haris.

Mereka masih membahas soal kemunculan Mira yang tiba-tiba itu. Anin sendiri tak masalah dengan status Mira yang merupakan mantan pacar Haris. Entah apapun yang telah terjadi antara Haris dan Mira, seperti yang dikatakan Anin tadi sore, itu adalah masa lalu mereka, dan itupun sudah berlalu. Haris sekarang bersamanya, dan dia yakin dengan hal itu, yakin dengan perasaan Haris kepadanya, dan perasaannya sendiri kepada Haris.

“Mas, Rani, aku pulang dulu ya, udah malem ini?”

“Eh iya, dianterin nggak?”

“Nggak usah mas, jalanan masih lumayan rame kok.”

“Oh ya udah kalau gitu. Hati-hati ya? Kalau udah sampai rumah kabarin.”

“Iya mas. Rani, mbak duluan ya?”

“Iya mbak, hati-hati.”

Tak lama kemudian Aninpun pulang. Haris kembali ke ruang tengah, Rani masih berada disana.

“Mas, aku pengen ngomong sesuatu nih.”

“Ada apaan Ran?”

“Aku pengen ngenalin kamu sama seseorang.”

“Seseorang? Siapa? Pacar kamu ya?”

“Hehe, bukan mas. Hmm, belum sih lebih tepatnya.”

“Wuih, belum? Berarti bentar lagi dong?”

“Hehe iya. Tadi dia udah nembak aku, tapi aku belum jawab.”

“Lha kenapa?”

“Aku pengen dia ketemu sama mas Haris dulu. Kalau mas Haris oke, baru deh aku iyain.”

“Lha kok aku? Oh maksudmu mau minta restu gitu?”

“Iyalah mas. Mas kan tau aku belum pernah pacaran sebelumnya. Jadi ya aku mau minta pendapat sama mas Haris, kalau mas Haris setuju ya aku mau.”

“Kalau aku nggak setuju?”

“Ya aku nggak mau lah.”

“Emang gimana sih orangnya Ran?”

“Yaa, menurutku baik sih mas. Udah pokoknya mas Haris ketemuan dulu aja sama dia, kenalan gitu. Pokoknya sebelum mas Haris kasih ijin, aku nggak bakal jawab pertanyaan dia.”

“Lha terus, dia sendiri gimana?”

“Dia sih oke oke aja mas, malah pengen ketemu dan kenalan sama mas Haris juga. Katanya bakal lebih tenang pacaran kalau udah dapet restu dari mas Haris.”

“Hmm, gitu ya? Kayaknya baik juga tu orang, pake nunggu restu dariku. Ya udah, boleh deh kalau gitu.”

“Kapan mas Haris ada waktu?”

“Besok sabtu aja gimana? Sekalian kita makan malam, sama mbak Anin juga?”

“Boleh deh mas. Kalau gitu entar biar aku kabarin dia.”

“Ya udah kalau gitu, kita istirahat dulu aja.”

“Iya mas.”

Mira​

“Gimana Mir? Udah kamu temuin si Haris?”

“Udah pi, tapi cuma bentar. Baru disapa doang dia udah langsung pergi.”

“Mungkin masih dendam sama kamu, gara-gara kamu tinggalin gitu aja.”

“Yaa bisa jadi sih pi.”

“Terus Vin, gimana perkembangan kamu sama adiknya Haris?”

“Lancar aja boss. Tadi saya udah tembak dia, tapi dia belum jawab. Dia mau kenalin saya dulu sama Haris. Katanya kalau udah dapet restu dari Haris, baru dia mau jadi pacar saya.”

“Pi, papi serius mau ngelibatin si Rani juga?” sahut Mira.

“Iya, emang kenapa?”

“Hmm, nggak papa sih, cuma dia itu kan anak baik-baik pi.”

“Dia emang anak baik-baik, Haris dan Anin juga anak baik-baik. Cuma salah mereka aja berada di waktu dan tempat, juga berhubungan dengan orang yang salah.”

“Segitu dendamnya papi sama Aziz ayahnya si Anin itu?”

“Ya jelaslah. Gara-gara dia, rusak pasar kita disini. Perlu waktu bertahun-tahun buat ngebangun pasar kita lagi.”

“Tapi kenapa harus ngelibatin Haris dan adiknya juga?”

“Intinya, aku pengen si Aziz yang sering nangkepin temen-temen kita itu tau rasa. Kita liat aja gimana jadinya dia nanti kalau anak dan menantunya jadi pecandu, dan kalau perlu jadi pengedar juga. Dia udah mempermalukan aku, dan sekarang gantian aku bakal permaluin dia.”

“Kalau si Anin sih, okelah. Tapi Haris dan Rani?”

“Kenapa? Kamu masih cinta sama dia? Nggak rela dia kenapa-kenapa? Apa yang kamu harepin dari dia? Mau balikan lagi? Udahlah Mir, nggak usah mikir macem-macem, yang penting sekarang itu kamu lakuin aja apa yang papi suruh, ngerti?”

“Iya pi iya. Tapi, Rani?”

“Tuh, tanya aja sendiri sama Gavin.”

“Kenapa Vin? Apa tujuan kamu?”

“Biar lebih gampang aja masuk ke kehidupan si Haris Mir. Kalau kamu, pasti bakal susah, karena Haris mungkin udah terlanjur benci sama kamu. Lewat Anin, lebih susah lagi. Jadi paling gampang ya lewat Rani. Lagian, si Rani boleh juga, haha.”

“Setelah tujuan kita berhasil, apa rencana kamu selanjutnya buat Rani?”

“Entahlah, kalau dia bisa muasin aku, mungkin bakalan aku jadiin istri kedua. Tapi kalau enggak, yaa sama kayak cewek-cewek yang lainnya, bisa kita jual, atau bisa jadi penghibur buat teman-teman kita. Lagian kenapa sih kamu sebegitu pedulinya sama Rani?”

“Ya jelaslah. Aku tuh udah anggep dia kayak adikku sendiri. Gara-gara kalian aja aku jadi kayak gini sekarang.”

“Mira!”

Mira terdiam oleh bentakan dari Titus, ayah mertuanya, atau mungkin mantan ayah mertuanya? Entah seperti apa menyebutnya, tapi sudah tidak penting lagi bagi Mira. Sejak suaminya, alias anak dari Titus tewas beberapa bulan yang lalu, hidupnya benar-benar berada di tangan Titus. Dia sudah dicekoki berbagai barang haram oleh Titus, hingga membuatnya menjadi seorang pecandu. Selain itu, sekarang dia juga menjadi pemuas nafsu birahi lelaki paruh baya itu.

Selama ini, Mira selalu menurut apa kata Titus. Terlebih lagi dia sudah lama terlanjur putus kontak dengan semua orang yang dia kenal, termasuk kedua orang tuanya sendiri, yang kabarnya pun dia sudah tak tahu seperti apa. Selama itu pula tak pernah sekalipun Mira berani mengeluh.

Tapi kali ini rasanya beda. Rencana yang sedang dijalankan oleh Titus dan para anak buahnya harus menyeret Haris dan juga Rani, dua orang yang sebenarnya sampai saat ini masih disayanginya. Dalam hatinya, sebenarnya ada rasa tak rela jika mereka, ingin rasanya dia menolak, apalagi ada Rani yang harus dilibatkan dalam masalah ini. Mira sudah cukup lama mengenal Rani sejak dia berpacaran dengan Haris dulu, dan dia sudah menganggapnya seperti adiknya sendiri. Hanya saja nasib yang membuatnya kini harus jauh dari Rani. Namun sekarang, dia sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menghentikan perbuatan ayah mertuanya itu.

 

+++
===
+++​

Jauh dari tempat Haris dan Mira berada, tepatnya di sebuah rumah di kawasan perumahan tengah-tengah ibukota, sebuah motor dan mobil terparkir di garasi rumah itu. Pagar sudah terkunci rapat, begitu juga dengan semua pintu dan jendela di rumah itu. Di dalamnya, tampak sepasang manusia sedang asyik berpacu dalam birahi.

Sang wanita tampak berbaring pasrah di ranjang, tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Di atasnya, seorang pria yang juga sudah telanjang bulat sedang mencumbui leher dan daerah dada wanita itu. Keduanya bermain dengan lembut, tidak ada keterburu-buruan, tidak tergesa dikejar oleh nafsu. Nafsu memang sudah menguasai mereka berdua, tapi rasa sayang yang mulai timbul bisa sedikit meredamnya, sehingga keduanya melakukan dengan perlahan, ingin sama-sama saling menikmati.

“Sshhh aaaahh Andhiiii, masukiiin, udah nggak tahan Ndiii..”

“Iya sayang, bentar.. lebarin kaki kamu Vi..”

Wanita itu melakukan apa yang disuruh oleh si lelaki. Dia membua lebar kakinya, memperlihatkan bibir vaginanya yang sudah begitu basah, karena sedari tadi dirangsang dengan hebat oleh lelakinya.

“Buruan Ndi, masukiiin..”

“Iyaa.. aaahh Vionaaa, aku sayang kamuuuhhh…”

“Andhiiiiii…”

Wanita itu adalah Viona, dan lelaki yang sedang memasukkan batang kejantanannya itu tak lain adalah Andi. Viona langsung memeluk tubuh Andi begitu seluruh permukaan penis Andi masuk memenuhi rongga vaginanya. Mereka terdiam sejenak, belum bergerak. Mereka kemudian saling cium dengan lembut, menyampaikan rasa sayang mereka lewat sentuhan bibir.

Viona​

“Goyangin sayang, puasin aku..”

Mendengar ucapan Viona yang setengah mendesah, tanpa menunggu lama Andi langsung melakukannya. Dia bergerak perlahan, menggoyangkan penisnya keluar masuk dengan irama teratur. Dinginnya AC di kamar ini tak mampu mengalahkan panasnya pertarungan mereka, dan tubuh keduanya pun sudah sedemikian basah oleh keringat.

Desahan nikmat Viona terus terdengar memenuhi kamar ini. Kerinduannya akan sentuhan lelaki dihapuskan oleh belaian Andi malam ini. Andi mengira, kalau sejak terakhir dia menikmati tubuh Viona sebagai syarat melepaskan Aldo dari penjara waktu itu, Viona belum pernah lagi berhubungan badan. Dia tak tahu, kalau beberapa waktu yang lalu Viona sudah dipuaskan oleh adik iparnya, Haris. Tapi saat ini Viona benar-benar merindukan sentuhan seorang lelaki, sehingga membuatnya seperti seorang wanita yang sudah sangat lama tidak dijamah.

Andi terus menggerakkan tubuhnya. Sambil memompa vagina Viona, kedua tangannya juga menambah rangsangan dengan meremasi payudara Viona. Puting kecokelatan yang menjulang di puncak bukit dada Viona tak lepas dari pilinan jemari Andi, membuat wanita yang berada di bawahnya itu semakin menggeliat tak karuan, dan dirasakan penisnya juga semakin dipijat oleh otot-otot di dinding vagina Viona.

Ingin berganti posisi, Andi menarik tubuh Viona hingga duduk berhadapan. Mereka berciuman sesaat sambil Viona masih terus menggerakkan pinggulnya. Tak lama kemudian giliran Andi yang berbaring, membiarkan Viona mengambil alih permainan kali ini. Andi hanya diam saja, sementara Viona menunjukkan kemampuannya memuaskan pejantannya.

Sebelumnya sudah beberapa kali dia melakukannya kepada Andi, tapi saat itu dalam keadaan terpaksa. Kali ini, Viona melakukannya sepenuh hati, sehingga setiap gerakannya dirasa begitu nikmat oleh Andi, beda dengan yang sebelum-sebelumnya. Viona mengeluarkan semua kemampuan yang dia punya. Dia bergerak naik turun, maju mundur, dan juga memutar dalam posisi penis Andi yang tegang penuh mengisi vaginanya.

“Ssshhh aaahh aaaahh Andhiiii…”

Desah Viona kian menjadi. Gerakannya terasa semakin cepat. Andi tahu wanitanya itu sebentar lagi akan orgasme, karena itulah dia sedikit menggerakkan badannya, membantu Viona untuk segera merain puncaknya. Dan benar saja, beberapa saat setelah gerakannya kian cepat, tubuh Viona sedikit mengejang. Tubuhnya agak melenting, hingga tak lama kemudian ambruk dan buah dadanya menimpa Andi.

Andi membiarkannya sejenak. Dia menciumi kening Viona yang masih mengatur nafasnya. Viona bisa merasakan ciuman Andi bukan sekedar nafsu semata, tapi ada perasaan ingin membuatnya nyaman disana. Dia kemudian tersenyum, lalu bangkit lagi hingga menduduki tubuh Andi lagi.

“Masih kuat sayang?”

“Kuat dong, baru juga sekali keluar. Aku lanjut ya?”

Andi hanya mengangguk, dan saat itu pula Viona kembali bergerak. Dia meraih kedua tangan Andi dan meletakan di dadanya. Dia ingin Andi juga merangsangnya dengan meremas buah dadanya. Andi tak menolak, dia melakukan apa yang diinginkan Viona. Kini wanita cantik itu kembali naik turun di tubuh Andi, dengan kedua payudaranya diremas dengan lembut. Sekitar 3 menit bertahan, akhirnya Viona kembali diantar ke puncak kenikmatan oleh Andi. Kali ini dia kembali tertelungkup menimpa Andi.

“Gantian ya sayang?”

“Udah capek ya? Hehe.”

“Iya, capek tapi nikmat, hehe.”

Andi kemudian mengatur ulang posisi mereka. Kali ini Viona diposisikan tengkurap, dengan pantatnya yang montok diangkat sedikit. Tanpa kesulitan berarti karena vagina Viona yang sudah sangat becek, Andi menancapkan penisnya yang masih tegang di vagina itu.

“Sshhh aaaaahhhh…”

Terdengar lagi desahan Viona saat penis itu menghujam hingga ke bibir rahimnya. Tak menunggu waktu lama, Andi menggoyangkan badannya. Ini posisi yang paling disukai Andi, karena sebagai seorang pria dia merasa sangat dominan terhadap pasangannya. Dia begitu bersemangat menyetubuhi Viona, hingga tempo tusukannya semakin dipercepat.

Mendapatkan perlakuan seperti itu Viona semakin tak karuan. Dia berkali-kali menggoyangkan pantatnya, mengimbangi sodokan penis dari Andi. Tak butuh waktu lama hingga dirinya kembali orgasme, tapi Andi tidak berhenti, dia terus saja menggoyangkan pinggulnya dengan penuh semangat, dan nafsu.

Tangan Andi menelusup ke badan Viona dari bawah, mencari kedua bukit payudara Viona. Mau tak mau Viona sedikit mengangkat tubuhnya dan bertumpu pada kedua sikunya. Dia biarkan Andi meremas lagi kedua payudaranya, dan tak ketinggalan kedua putingnya juga dimainkan oleh jemari Andi.

“Aaahh sayaaang, aku nggak tahaan, aku mau keluar laghiii, aahhh terusss yaaaanggg…”

“Tahan Vi, aku juga mau keluar sayaang…”

“Di dalem.. di dalem aja Ndi, aku aman.. terusin sayaang, aaahh cepetiiin aaahhh..”

“Iyaa sayaaang…”

Andi semakin mempercepat genjotannya. Dia sudah mendapat lampu hijau dari Viona untuk ejakulasi sama-sama. Desah nafas mereka berdua sudah tak teratur lagi. Keringat dingin sudah membasahi tubuh keduanya. Desahan mereka berduapun tak terbendung, memenuhi kamar ini, dan bahkan bisa terdengar sampai ke luar kamar. Tapi mereka sudah tak peduli, saat ini mereka hanya ingin menikmati momen kebersamaan ini. Saat ini mereka hanya ingin menuju ke puncak birahi mereka bersama-sama.

“Andhiiii, sayaaang, aku mau keluaaaar…”

“Tahan yang, aku jugaaa, barengaan..”

“Andiii, aku nggak tahaan, aku keluaaaar aaaahhhhh…”

“Aku juga Vi, aaaaaaaahhhhh…”

Desahan panjang bersamaan dari sepasang insan yang sedang dimabuk asmara ini menandari gelombang orgasme mereka yang datang bersamaan. Andi menyemburkan spermanya begitu banyak di dalam rahim Viona, bersamaan dengan cairan orgasme Viona yang membasahi penis Andi di dalam vaginanya.

Keduanya langsung ambruk, dengan nafas yang terengah-engah. Andi masih menindih tubuh Viona, sambil kedua tangannya masih berada di kedua payudara Viona, yang saat orgasme tadi dia remas dengan kuat.

Setelah beberapa saat Andi mulai bergerak. Dia merasa penisnya sudah mulai lemas, kemudian mengecil dan keluar dari vagina Viona. Sebelumnya dia mengecup pundak Viona, lalu bangkit dan bergeser, berbaring di samping Viona. Vionapun kemudian memutar tubuhnya hingga berbaring.

Keduanya menatap langit-langit kamar Viona, masih dengan nafas terengah-engah. Meskipun cukup melelahkan, tapi tergambar jelas di wajah mereka kalau keduanya sama-sama merasakan kepuasan tiada tara. Andi menolehkan wajahnya ke arah Viona, bersamaan dengan Viona yang melakukan hal serupa. Mereka berdua tersenyum. Kemudian Andi bergerak untuk mengecup bibir Viona.

Setelah itu Viona bergerak, memeluk tubuh Andi. Dia masih bisa merasakan cairan kental dan hangat yang mengalir keluar dari bibir vaginanya. Tapi dia tak peduli, karena sekarang yang dia rasakan adalah kepuasan, dan kenyamanan berada di dalam dekapan Andi. Andipun beberapa kali mengusap kepala Viona dan menciuminya.

Selama beberapa saat mereka hanya terdiam, hingga akhirnya nafas mereka sudah mulai teratur lagi. Tetap saja mereka berdua masih belum bergerak, tapi yang pasti bukan karena sudah tertidur.

“Vi..”

“Iya, kenapa Ndi?”

“Maaf ya, kalau ini kejadian lagi.”

“Kok minta maaf? Kan aku juga tadi yang minta.”

“Ya tapi kan nggak seharusnya aku tadi iyain. Ini salah Vi, bagaimanapun juga, kamu masih istri sahnya Aldo.”

“Udah ah, jangan bahas dia lagi, males aku.”

“Tapi Vi…”

“Ndi, please… Bahkan kalau saat ini dia tiba-tiba datang dan ngeliat kita kayak gini, saat ini juga aku bakal minta cerai sama dia.”

“Kok gitu?”

“Emang kamu nggak bisa ngerasain, apa yang aku rasain ke kamu?”

“Iya aku tau, dan aku juga ngerasa seperti itu juga Vi. Aku juga sayang sama kamu, cinta sama kamu, tapi gimanapun juga status kamu saat ini yang membuat apa yang kita lakuin ini salah.”

“Makanya, kamu cepetan cari dia, temuin dia, biar aku bisa ngurus perceraianku sama dia secepatnya.”

“Iya Vi, aku bakal usahain semampuku.”

“Makasih ya Ndi, aku sayang sama kamu.”

“Iya, aku juga sayang sama kamu.”

“Tapi Ndi, kenapa kamu sekarang malah ngerasa nggak enak buat ngelakuin ini? Sedangkan dulu kamu minta gitu waktu Aldo dipenjara?”

“Hmm, aku belum cerita soal ini sih ya. Kalau gitu aku bakal ceritain ke kamu.”

Andi sedikit merubah posisinya, menjadi duduk dan menyandar di sandaran ranjang. Dia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dari perut ke bawah. Bukan karena malu, tapi karena sudah mulai merasa kedinginan oleh AC kamar ini. Vionapun juga begitu, bergerak seperti Andi, dan kembali menyandarkan tubuhnya di dada Andi, juga menutupi tubuhnya dengan selimut, dari dada ke bawah, juga karena sudah mulai kedinginan.

“Jadi, apa yang mau kamu ceritain ke aku?”

“Gini, sebelumnya aku minta maaf ya. Jadi yang dulu itu, jujur aja aku memang sengaja ambil kesempatan dalam kesempitan Vi. Sejak pertama kali ketemu di kantor polisi itu, aku udah tertarik sama kamu. Lalu setelah aku pelajari, ada kemungkinan buat aku bebasin Aldo, karena itulah aku pake kesempatan itu buat, ngambil keuntungan dari kamu.”

“Buat nidurin aku?”

“Yaa, begitulah.”

“Terus?”

“Ya jadi gitu. Sampai 4 kali kita ngelakuin itu, aku masih berpikiran yang sama. Sampai akhirnya, sehari sebelum aku ambil jatah terakhirku, aku ngobrol sama Aldo, dan kemudian dia cerita soal Titus.”

“Apa hubunganya sama Titus?”

“Jujur, setelah pertemuan pertama kita dulu, aku nyari tau banyak hal tentang kamu, sampai akhirnya aku tau masa lalu kamu sama Titus. Begitu Aldo nyebut nama itu, saat itu aku langsung mikir kalau banyak hal yang disembunyiin Aldo. Aku mulai tanya banyak hal ke dia, tapi dia jawabnya kayak, nanggung gitu, nggak sepenuhnya terbuka.”

“Maksudnya, masih ada yang disembuyiin soal dia dan Titus?”

“Sepertinya gitu, cuma aku udah nggak bisa terlalu banyak ngorek karena udah kehabisan waktu. Dan saat itu, aku mulai merasa bahwa disini, ada pihak yang dibohongi habis-habisan, dan itu adalah kamu.”

“Tunggu. Jadi setelah tau semua itu, kamu ngerasa, kasihan sama aku? Gitu?”

“Awalnya iya, aku kasihan sama kamu. Tapi ya itu tadi, udah sejak awal aku tertarik, suka sama kamu. Dan mungkin kamu bisa ngerasain kan, waktu terakhir kali kita berhubungan, agak sedikit beda?”

“Hmm, terus terang, aku nggak begitu ngeh Ndi, soalnya waktu itu dipikiranku cuma ada Aldo, yang sebentar lagi bakal bebas.”

“Ya, aku maklum sih.”

“Terus?”

“Komandanku akhirnya tau kalau Aldo ada hubungannya sama Titus, karena itulah dia setuju Aldo keluar, tapi dimasukin ke panti rehab, dan disana dikasih anggota buat ngawasin. Tujuannya sih buat mancing Titus atau anak buahnya keluar. Komandanku juga yang minta ke dokter Regina buat ngambil sampel darahnya Aldo, buat memastikan Aldo itu bener-bener pengguna lama atau baru saja.”

“Dan hasilnya, kamu udah tau sendiri kan? Itulah yang kemudian membuat masa rehab Aldo harus diperpanjang. Sayangnya anggota kami lengah, Aldo malah bisa kabur, entah gimana caranya.”

Viona hanya terdiam mendengarkan cerita dari Andi. Hatinya geram, mengetahui kenyataan kalau suaminya ternyata berhubungan dengan seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang telah menorehkan tinta hitam dalam lembaran hidupnya. Seseorang yang nyaris saja membuatnya kehilangan masa depan.

“Dan sebenarnya, soal aku yang dibebas tugasin, aku yang minta.”

“Buat apa?”

“Supaya bisa ngelindungin kamu Vi. Semua itu aku putusin setelah dapat kabar dari Haris yang bilang kalau kalian udah ketemu sama Titus di Jogja. Aku juga mikir kalau itu bukan kebetulan, dan berarti kamu dalam bahaya. Aku ajuin ijin ke atasanku, yang kebetulan juga kami ditugaskan buat nyelidikin Titus, dan dia langsung kasih ijin aku bebas tugas.”

“Tapi kan, Titus ada di Jogja Ndi, kalau kamu disini terus, gimana mau nyelidikin dia?”

“Fokus utamaku adalah melindungi kamu, karena aku yakin orang-orangnya Titus ada di sekitar kamu. Dengan menangkap mereka, artinya selangkah makin dekat dengan Titus. Jadi, orang itu nantinya bisa tertangkap, dan aku bisa tetep lindungin kamu. Kamu tenang aja, sebenarnya aku nggak sendiri kok, ada beberapa orang yang bantuin aku, tapi aku nggak bisa kasih tau siapa aja mereka.”

“Kamu, kenapa harus fokus lindungin aku?”

“Kan aku udah bilang alesannya, karena aku sayang sama kamu. Aku bener-bener cinta sama kamu Vi. Setelah semua ini selesai, dan kamu udah resmi pisah sama Aldo, aku pengen kita bisa sama-sama, seterusnya. Kamu mau kan?”

Viona menatap wajah Andi. Dia terharu mendengar niat dan kata-kata Andi. Kalau dulu dia menikah dengan Aldo karena didasari oleh rasa sayang, dan sedikit rasa kasihan, kali ini perasaannya pada Andi berbeda. Dia merasa sayang, juga merasa aman dan nyaman. Lelaki ini sampai segitunya berniat melindunginya, padahal dia sendiri tahu, kalau orang yang dihadapi bukanlah orang sembarangan.

Dan satu hal yang penting menurut Viona adalah, Andi sudah tahu tentang masa lalunya yang kelam. Tapi dia masih bisa menerimanya, dan bahkan berusaha sedemikian rupa untuk melindunginya, dan mengeluarkannya dari situasi ini. Hatinya berbunga-bunga, sebagai seorang wanita biasa, siapa yang tak luluh melihat ada pria yang begitu memperjuangkannya, sampai siap mengorbankan keselamatannya sendiri. Dengan senyum lebar dan penuh keyakinan, Vionapun mengangguk dengan mantap.

Bersambung

mama hot
Gara-gara Tidur Sekamar Hotel Dengan Ibu Kandungku
Kenangan indah dengan bu guru bawel ketika mendaki gunung bersama
gadis kena obat perangsang
Memberi obat perangsang pada mahasiswi cantik yang betamu ke rumah
Bu Lisa, Guru Praktek Ku Yang Sempurna
Cerita sex ngentot dengan ibu guru janda muda yang montok
mama mertua hot
Pesona Kecantikan Ibu Mertuaku
Foto Ngentot Abg Cantik di Hotel Melati
Gambar Bokep Janda Toge Bikini Kuning
ngentot tante
Ngentot dengan tante tersayang ketika om keluar rumah
Melayani Janda Muda Sange Berat
Ibu guru bugil
Ngentot Ibu Guru Berjilbab Yang Masih Perawan
buruh pabrik cantik
Menikmati Tubuh Buruh Pabrik Yang Cantik Dan Montok
terapis pijat cantik
Kocokan terapis panti pijat yang bikin ketagihan
pembantu
Menikmati pemerkosaan ini yang membuat ku ketagihan
ibu ibu hot
Liburan ke Eropa bersama ibu ibu sosialita bagian satu
Petualangan Sexs Liar Ku Season 1