Part #22 : Surprise
“Apa? Mas Aldo kabur dari panti? Kapan itu?”
“Iya. Udah beberapa hari yang lalu sih.”
“Kok kamu baru ngasih tau aku sekarang?”
“Ya ampun Ris, aku aja baru dikasih tau sama mbak Viona, makanya ini langsung nelpon kamu.”
“Oh gitu ya.”
“Iya, emang kamu nggak dikabarin sama dia?”
“Enggak tuh, mas Andi juga nggak ngabarin. Terus gimana jadinya?”
“Polisi masih nyari keberadaan mas Aldo. Sebagian juga ada yang jaga di sekitar rumah mbak Viona, siapa tau mas Aldo pulang kesana. Yang pasti Ris, kalau sampai mas Aldo ketangkep lagi, dia bakal sangat sulit buat dibebasin.”
Haris terdiam sejenak mendengar suara Lidya dari seberang telponnya. Saat ini adalah jam makan siang. Dia sedang makan siang sendirian dan tiba-tiba Lidya menelpon menanyakan apakah dia sudah tahu kalau Aldo menghilang.
“Kayaknya bukan gitu jadinya Lid.”
“Maksudnya? Apanya yang bukan gitu?”
“Mas Aldo mungkin nggak akan dengan mudah ketangkep lagi. Kalaupun ketangkep, aku yakin dia akan mudah keluar dari penjara.”
“Karena Titus?”
“Iya. Aku emang belum terlalu paham siapa itu Titus dan orangnya bagaimana, tapi mungkin kamu yang lebih paham kan?”
“Iya sih Ris. Kalau bener mas Aldo berkomplot sama dia, bisa jadi sekarang posisinya aman. Tapi, aku malah kasihan sama mbak Viona deh.”
“Iya Lid, kasihan mbak Viona. Aku juga bener-bener nggak nyangka, kalau mas Aldo bisa sampai kayak gitu. Dia seperti bener-bener bukan mas Aldo yang kukenal.”
“Tadi mbak Viona cerita sama aku Ris, dan dia keliatan terpukul banget sama kenyataan kalau ternyata mas Aldo udah membohonginya selama ini. Dia malah bilang kalau sekarang udah muak banget sama mas Aldo.”
“Yaa, nggak heran sih Lid kalau sampai ngerasa kayak gitu. Siapapun yang ada di posisi mbak Viona pasti juga akan merasa seperti itu.”
“Kalau menurut kamu sendiri gimana?”
“Apanya yang gimana?”
“Ya menurutmu, kelanjutan hubungan mereka sebaiknya gimana?”
“Wah, lha kok nanya sama aku?”
“Ya pengen tau aja pendapatmu seperti apa. Kalau pendapatku, mereka lebih baik pisah aja, soalnya aku bener-bener kasihan sama mbak Viona Ris.”
“Hmm iya juga sih. Aku sependapat sama kamu. Meskipun yang saudaraku itu mas Aldo, tapi kalau kondisinya kayak gini ya pisah emang lebih baik buat mbak Viona. Dia pantes buat dapetin orang yang lebih baik sih.”
“Keluargamu sendiri, udah tau hal ini belum Ris?”
“Kalau aku sih belum ngasih tau. Cuma adikku aja yang pernah aku kasih tau, itupun nggak semua. Kalau sampai keluarga besarku tau hal ini, bisa dibayangin kan betapa bencinya mereka sama keluarganya mas Aldo.”
“Iya juga sih, apalagi kalau bener ada hubungannya sama sindikatnya si Titus kan.”
“Iya Lid. Eh Lid, udah mau abis nih jam makan siangnya, aku mau balik kantor dulu. Kapan-kapan kita sambung lagi ya?”
“Oh ya udah kalau gitu, aku juga mau balik kantor. Entar kalau ada apa-apa aku kabarin lagi.”
“Oke.”
Haris menutup telponnya. Sebenarnya dia tidak perlu harus buru-buru karena tempatnya makan siang adalah sebuah warung yang letaknya di seberang kantornya. Tapi dia ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu karena sudah mulai merasa ada yang memperhatikannya. Sekelebat tadi dia melihat seperti ada seorang pria yang menatapnya. Sayangnya pria itu menutupi wajahnya dan langsung pergi saat Haris menatap kearahnya, sehingga Haris tak tahu siapa pria itu.
Di kantor, Haris jadi semakin kepikiran. Kepikiran dengan cerita Lidya tadi soal Aldo, dan juga kepikiran kata-kata Andi tempo hari yang mengingatkannya untuk berhati-hati karena kemungkinan ada yang mengikutinya. Sebelumnya dia tak menyadari, tapi baru hari ini dia merasa memang ada yang mengikuti, atau mengawasinya. Haris jadi takut kalau ternyata dia benar-benar diawasi, karena bisa jadi bukan hanya dia yang diawasi, tapi orang-orang terdekatnya, seperti Rani dan Anin.
‘Ah iya, Anin. Udah beberapa hari ini nggak ada kabar darinya. Apa dia bener-bener nggak bisa terima sama pengakuanku kemarin? Apa dia bener-bener mutusin buat pergi dari aku?’
Tiba-tiba Haris menjadi galau karena teringat kembali akan hubungannya dengan Anin yang merenggang beberapa hari setelah pengakuannya. Haris sebenarnya sudah ingin menghubungi Anin, tapi dia takut Anin malah jadi makin marah kepadanya, karena dia sudah berpesan untuk tidak menghubungi sebelum Anin menghubunginya terlebih dahulu. Ada sedikit rasa penyesalan di hatinya. Kalau saja dia tak perlu mengakui tentang masa lalunya, pasti tidak akan seperti ini jadinya. Tapi Anin berhak tahu, jika dia akan menjadi teman hidupnya nantinya.
“Hei, pulang makan siang kok malah lemes gitu?”
“Eh mbak Eva. Lemes gimana sih mbak? Biasa aja kok.”
“Biasa gimana sih Ris? Udah beberapa hari ini aku perhatiin, kamu nggak seriang biasanya? Ada masalah apa? Anin pasti ya?”
“Hehe, iya mbak?”
“Sini, ke ruanganku dulu.”
Tanpa banyak membantah Haris mengikuti Eva. Kebetulan hari ini tak terlalu banyak pekerjaan mereka, jadi bisa agak santai. Kebetulan juga pak Eko sedang pergi. Seperti biasa, kalau boss sedang tidak ada di tempat, seprofesional apapun, pasti anak buahnya akan sedikit mengambil waktu bersantai, apalagi kalau pekerjaan hari ini sedikit.
“Jadi, ada masalah apa sama Anin?” tanya Eva setelah mereka berdua duduk di ruangannya.
“Soal saran mbak Eva dan pak Eko tempo hari itu lho mbak.”
“Yang mana? Yang masalah ngasih tau masa lalu kamu itu?”
“Iya mbak.”
“Kamu udah cerita sama dia?”
“Udah.”
“Terus, tanggapannya gimana?”
“Ya yang pasti dia kaget, dan sepertinya marah juga. Dia minta waktu buat mikirin semuanya, dan sampai hari ini nggak ada kabar darinya. Aku juga diminta buat nggak ngehubungin dia dulu sebelum dia yang hubungin aku mbak.”
“Hmm, gitu ya? Mungkin Anin itu orangnya lurus-lurus aja selama ini, jadi begitu tau masa lalu kamu seperti apa, dia pasti shock. Biarin aja dia pikirin itu semua Ris, jangan diganggu dulu, aku yakin kok nantinya dia bakal kasih keputusan yang terbaik buat kalian.”
“Iya mbak. Jujur sih, aku agak nyesel. Tapi lega juga. Dia emang anak yang baik, dan layak juga dapet orang yang baik. Tapi entah, apa aku bisa bener-bener rela nantinya kalau dia mutusin buat pergi mbak.”
“Ya apapun keputusannya nanti harus bisa kamu terima. Kalau dia bisa terima dengan semua masa lalu kamu, kamu harus bener-bener berubah, tinggalin yang buruk-buruk, mulai dengan lembaran baru yang lebih bersih. Kalau dia nggak bisa terima, ya udah, berarti memang dia bukan jodoh kamu. Tapi kamu juga harus tetep berubah kalaupun Anin nggak bisa terima. Buat dirimu pantas untuk mendapatkan wanita yang baik untukmu, kayak Anin.”
Haris hanya mengangguk. Seperti yang dia bilang, apapun keputusan Anin pasti akan dia terima, hanya saja belum tentu dia rela kalau Anin pergi, atau kelak melihat Anin hidup dengan orang lain.
“Ya udah, jangan galau-galau terus gitu, nanti lama-lama ngaruh ke kerjaan kamu lho, dan aku nggak akan bisa terima kalau kerjaan kamu keganggu karena masalah pribadi kamu.”
“Iya mbak, tenang aja, aku bisa atur kok semua itu.”
“Bagus deh. Kalau gitu kamu bisa kembali ke meja kamu. Aku mau pergi dulu, ada janji dengan perwakilan dari PT Angkasa. Ngewakilin pak Eko.”
“Oh ya udah kalau gitu, makasih ya mbak.”
Harispun kembali ke mejanya, tak lama kemudian tampak Eva pergi meninggalkan ruangannya. Haris kembali termenung, memikirkan hal-hal yang sedang dia hadapi sekarang. Hubungannya dengan Anin, masalah yang menimpa Viona, dan juga adanya kemungkinan orang yang sedang mengawasinya. Dia harus benar-benar hati-hati sekarang.
===
+++
Tepat jam 5 sore Haris dan teman-teman sekantornya sudah meninggalkan kantor. Tidak ada lembur hari ini, lagipula para petinggi kantor juga banyak yang tidak ada. Bahkan sejak 1 jam sebelum jamnya mereka semua sudah bersiap-siap pulang.
Seperti biasa, jalanan sore hari pasti mulai macet dengan aktivitas orang-orang yang pulang kerja, dan Haris selalu memanfaatkan jalan lain untuk pulang ke rumahnya. Meski harus melewati gang-gang kecil, tapi tidak jadi masalah karena waktu pulangnya bisa dipangkas cukup banyak dengan menghindari kemacetan itu.
Tak lama kemudian dia sudah masuk ke area perumahannya. Saat sampai di rumah, di depannya terparkir sebuah mobil yang sangat dia kenali. Mobil Anin. Sontak Haris kegirangan melihat mobil itu. Kalau Anin sudah datang kesini, maka semua kegalauannya sudah terjawab. Anin pasti sudah bisa menerima pengakuannya tempo hari. Kalau tidak, pasti gadis itu hanya sekedar memberi kabar lewat sms atau telpon, bukan datang langsung seperti ini.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Udah pulang?”
“Iya.”
Haris merasa sedikit bingung, karena jawaban dari Anin terkesan dingin. Apalagi ekspresi Anin juga datar-datar saja. Haris jadi ragu, sebenarnya Anin menerimanya atau tidak.
“Tadi papasan sama Rani nggak?”
“Eh, lho emang Rani kemana? Oh iya, ini kamu sendirian?”
“Iya, barusan Rani pergi, katanya ada janji sama temennya, kirain kamu tadi papasan sama dia.”
“Oh enggak kok.”
“Ya udah kalau gitu. Mau terus berdiri disitu? Nggak mau ganti baju dulu? Mandi? Atau apa gitu?”
“Eh, iya, hehe. Aku ganti baju dulu bentar ya?”
Anin tak menjawab, hanya mengangguk saja. Tersenyumpun tidak. Hal itu membuat Haris semakin bertanya-tanya. Dia kemudian masuk ke kamarnya, lalu berganti baju. Beberapa saat kemudian, setelah berganti dengan baju yang lebih santai, barulah dia menyadari sesuatu. Ada yang berubah dari kamarnya, terlihat jauh lebih rapi daripada biasanya. Padahal dia ingat waktu tadi pagi ditinggal, kondisinya lumayan berantakan.
‘Ini siapa yang beresin? Rani? Ah nggak mungkin, kamar dia sendiri aja nggak rapi-rapi banget. Tapi masak Anin? Sejak kapan dia datang ya? Kalau bener dia yang rapiin ini kamar, berarti…’
Tak mau terlalu lama penasaran, Haris langsung keluar menemui Anin di ruang tengah. Diapun duduk di salah satu kursi sofa, Anin duduk di seberangnya, seperti tak mempedulikannya dan masih sibuk dengan handphonenya sendiri.
“Hmm, Nin?”
“Iya, kenapa?”
“Kamu, disini udah lama?”
“Yaa lumayan sih, dari siang tadi.”
“Oh gitu. Terus, dari tadi sama Rani?”
“Iya, kenapa sih?”
“Hmm, Rani tadi ada masuk kamarku nggak Nin?”
“Maksudnya?”
“Iya, tadi dia masuk kamarku apa nggak? Soalnya tadi pagi waktu ku tinggal tu kamar kan berantakan, eh tadi kok udah beres.”
“Kenapa nggak nanya langsung aja sama Rani?”
“Yaa kan tadi dari siang sama kamu, hehe.”
Haris jadi makin bingung dengan sikap Anin. Gadis itu benar-benar sangat datar menjawab semua pertanyaan darinya. Haris tak bisa melihat luapan ekspresi yang mungkin bisa dia pakai untuk sedikit membaca pikiran Anin, apalagi Anin dari tadi terus bermain dengan handphonenya.
“Atau, jangan-jangan kamu yang ngerapiin ya Nin?” tanya Haris memberanikan diri.
Anin tak langsung menjawab, tapi menatap ke arah Haris.
“Menurutmu?”
“Eh, anu, itu, hmm. Bener ya? Kamu yang ngerapiin kamarku?”
“Ya iyalah. Kamu tuh emang udah bener-bener butuh orang yang bisa ngurusin deh mas. Masak kamar bisa berantakan kayak gitu sih?”
‘Mas? Dia udah manggil aku mas lagi? Dan dia yang udah ngerapiin kamarku?’ Haris langsung kegirangan dalam hatinya.
“Jadi bener, kamu yang rapiin tadi Nin?”
“Iya, emang siapa lagi yang mau rapiin kamarmu mas? Rani aja tadi nggak mau bantuin, katanya kamu kelewatan joroknya.”
“Ah enggak kok, emang kebetulan aja tadi pagi belum diberesin. Biasanya rapi kok, meskipun nggak serapi sekarang sih.”
“Halah, alesan.”
“Hehe. Lha tapi, itu kamu kok mau beresin?”
“Ya buat latihan lah, kan nantinya kamar itu juga bakal jadi kamarku.”
“Eh, maksudnya?”
Anin tak menjawab, hanya tersenyum. Senyum pertama darinya yang dilihat Haris sejak beberapa hari terakhir. Dan itu sudah cukup untuk menjawab semua kegalauan Haris. Senyum dan kata-kata Anin, sudah menjadi jawaban yang langsung membuat Haris melompat ke arah gadis itu, dan memeluknya dengan sangat erat.
“Eh…” Anin sontak terkejut melihat reaksi Haris. Apalagi sebelumnya, selain ayahnya belum pernah ada seorang priapun yang memeluknya. Harislah yang saat ini melakukannya, jadi yang pertama. Pelukan Haris erat sekali, seolah ingin meluapkan apa yang dia rasakan sekarang. Kebahagiaan, lega, dan juga kerinduannya. Anin tahu Haris tak punya maksud buruk, karena itulah Anin membiarkan, bahkan balas memeluk pemuda yang dicintainya itu.
“Makasih Nin, makasih.”
“Tunggu dulu mas, ada syaratnya.”
“Apa?” tanya Haris tanpa melepas pelukannya.
“Kamu harus bener-bener berhenti ngelakuin itu semua, kamu harus bener-bener berubah.”
“Iya, pasti. Aku janji, demi kamu.”
“Jangan berjanji demi aku, berjanjilah untuk dirimu sendiri.”
“Apapun itu, pokoknya aku janji Nin, aku bakal berubah.”
Mereka berdua masih berpelukan, dengan rasa haru dan bahagia. Terutama Haris, yang sudah beberapa hari menunggu kabar ini. Berkali-kali dia ingin menghubungi Anin, tapi terhalang oleh janjinya. Tapi hari ini malah Anin datang ke rumahnya, untuk memberikan jawaban. Bahkan gadis itu malah sempat merapikan kamarnya tadi.
“Mau sampai kapan meluknya mas? Kita belum sah lho.”
“Hehe, bentar lagi ya Nin? Aku bener-bener bahagia ini.”
“Bahagia sih bahagia, tapi udahan ah meluknya. Entar kalau udah resmi kan, mas kan bisa meluk kapan aja.”
“Hehe, ya udah kalau gitu.”
Haris melepaskan pelukannya, tapi senyumnya tak lepas dari wajahnya. Anin sendiri juga tersenyum, tapi wajahnya sedikit merona merah.
“Jadi, kamu bisa terima semua kekurangan dan masa laluku kan Nin?”
“Semua orang kan punya masa lalu mas. Masa lalu kamu ya milik kamu, masa laluku ya milikku, yang penting kan masa depan kita. Aku sendiri punya masa lalu, yang nggak semuanya baik. Kita semua punya kekurangan kan? Yang penting gimana kita kedepannya aja.”
Haris mengangguk.
“Jujur, kemarin sebenarnya aku bener-bener kecewa sama kamu mas. Akhirnya aku curhat sama ibuku. Beliau yang banyak kasih aku nasehat dan masukan. Akhirnya setelah aku pikir baik-baik, aku ikhlas buat nerima itu semua. Lagian, aku bener-bener menghargai sikapmu yang berani jujur sama aku mas, padahal hal kayak gitu mungkin bisa dibilang sangat memalukan.”
“Iya Nin, emang sangat memalukan. Dan karena itulah, aku berjanji akan berubah.”
“Jangan terlalu banyak janji, entar nggak bisa menuhin lho. Yang penting diniatin aja kalau kamu mau berubah mas, dan aku pasti bakal bantu nantinya.”
“Iya. Pokoknya, makasih banyak ya. Jadi, kapan kamu lulus? Hehe.”
“Kenapa? Udah nggak sabar ya?”
“Iyalah, hehe. Setelah kamu lulus, aku bakal bawa orang tuaku buat ngelamar kamu. Dan nggak usah lama-lama, kita langsung nikah aja.”
“Ya kalau gitu tunggu dulu mas, moga-moga nggak sampai 6 bulan lagi aku lulus, doain ya?”
“Nggak bisa dipercepat ya? Hehe.”
“Haha, mana bisa? Sana ngomong sama kampusku, biar lulusku dipercepat. Jadi mau nungguin nggak nih?”
“Pasti dong sayang.”
“Ih, manggil sayang.”
“Lha kenapa? Kan emang aku sayang sama kamu.”
Sesaat Anin terdiam. Harispun juga terdiam. Baru dia menyadari, untuk pertama kalinya dia bicara blak-blakan mengenai perasaannya pada Anin. Selama ini, tak pernah ada kata sayang atau cinta yang terucap dari mereka, tapi mereka sudah sama-sama tahu perasaan masing-masing. Apalagi bagi Anin, yang tak pernah mendapatkan ucapan seperti itu dari seorang pria.
“Tapi aku nggak mau dipanggil gitu, sebelum kita resmi.”
“Ya udah deh, aku juga nggak minta kamu manggil gitu kok, yang penting kita saling tau gimana perasaan masing-masing. Yang yang pastinya, apapun itu pokoknya asal kamu bahagia aja, hehe.”
Sore yang sangat indah untuk mereka, terutama Haris. Mereka mulai sedikit membicarakan rencana masa depan mereka. Belum terlalu detail, karena memang masih agak lama. Tapi Haris hanya ingin bertukar pikiran dengan Anin, ingin tahu seperti apa keinginan Anin saat menikah nantinya, yang ternyata sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Haris.
Mereka melanjutkan kebersamaan hari itu dengan makan malam berdua. Sebenarnya mereka ingin mengajak Rani juga, namun dia tak kunjung pulang. Haris sudah coba menghubungi adiknya itu tapi tak diangkat juga. Tapi mereka tidak ada pikiran macam-macam, mungkin memang Rani sedang bersama temannya jadi tak ingin diganggu, karena itulah mereka memutuskan untuk pergi berdua saja.
===
+++
Di sebuah rumah yang cukup mewah di kawasan kota, tampak sepasang muda mudi sedang asyik berbincang di ruang tamu rumah itu. Keduanya tampak sudah sangat akrab, dan tertawa lepas saat saling melontarkan candaan.
“Mas Gavin, ini sebenarnya minuman apa sih?”
“Emang kenapa Ran? Nggak suka ya?”
“Nggak suka gimana? Orang hampir tiap hari minum ini kok. Ini lho, kok rasanya enak banget ya?”
“Oh, kata temenku ini tuh ekstrak buah merah atau apa gitu. Kebetulan kemarin temenku abis dari papua, bawain ini buatku. Jadi kamu suka?”
“Suka banget mas, jadi nagih pengen minum terus, hehe.”
“Waduh sayangnya tinggal dikit nih. Entar deh kalau temenku bawain lagi aku kasih ke kamu.”
“Ah nggak usah repot-repot gitu mas.”
“Nggak repot juga. Temenku kan emang sering bolak-balik jogja-papua, sering bawain kayak gini buat aku.”
“Oh ya?”
“Iya. Emang enak sih, cuma kan aku jarang minum, jadi sampai lama gitu nggak kesentuh, akhirnya malah dibuang. Eh nggak taunya kamu suka ternyata.”
“Hehe iya mas. Kalau gitu boleh deh kalau dibawain sama temenmu lagi.”
“Beres, tenang aja. Entar kalau temenku bawanya agak banyak, aku kasihin buat kamu bawa pulang deh.”
Rani hanya mengangguk, sementara Gavin tersenyum. Gavin sendiri adalah seorang pemuda yang belum terlalu lama dikenal oleh Rani. Mereka bertemu di sebuah kafe saat Rani sedang nongkrong dengan teman-temannya. Sejak saat itu mereka makin dekat dan cukup intens berkomuniasi.
Setelah beberapa hari saling kenal, Gavin mengajaknya jalan. Awalnya Rani masih mengajak temannya, dia belum berani untuk jalan berdua saja. Gavinpun tidak masalah, bahkan terlihat senang karena bisa ramai-ramai. Setelah beberapa kali, Rani akhirnya mau diajak jalan berdua saja, apalagi selama kenal Gavin menunjukkan sikap yang baik.
Gavin bercerita kalau dia bekerja di sebuah perusahaan swasta di kota ini. Rumah mewah ini adalah pemberian dari orang tuanya yang tinggal di luar pulau. Rani juga sudah beberapa kali ke rumah ini, dan selama itu pula tak pernah ada kejadian macam-macam. Karena itulah tiap kali Gavin memintanya untuk datang, Rani sudah tak lagi takut atau berpikir kalau Gavin akan macam-macam kepadanya. Rani benar-benar melihat Gavin adalah pria yang baik.
“Eh Ran, itu handphonemu bunyi-bunyi terus, kok nggak diangkat? Siapa sih? Pacarmu ya?”
“Oh bukan kok mas, aku kan udah bilang aku nggak punya pacar. Ini kakakku, mas Haris.”
“Lho kakaknya nelpon kok nggak diangkat? Entar ada yang penting lho.”
“Nggak kok, paling cuma mau ngajakin makan aja. Biar aja deh, dia kan lagi berduaan sama calonnya, daripada aku ganggu.”
“Ooh gitu. Oh iya, aku belum kenal sama kakakmu, kapan-kapan kenalin ya?”
“Iya mas, gampang. Main aja ke rumah kalau lagi ada waktu.”
“Iya deh, entar kalau mau main aku kabarin kamu.”
Mereka kembali melanjutkan obrolan. Bercerita tentang kegiatan mereka seharian ini. Rani cukup betah ngobrol dengan Gavin karena lelaki itu cukup pintar mencari bahan obrolan.
“Hmm, Rani, sebenarnya aku minta kamu datang kesini hari ini ada yang mau aku omongin.”
“Ngomongin apaan mas?”
“Kamu bener belum punya pacar kan?”
“Ih beneran mas, nggak percayaan amat sih.”
“Hehe, bukan gitu, cuma mau mastiin aja.”
“Ya kan emang udah pasti. Emang kenapa sih mas?”
“Kalau emang kamu belum punya pacar, kamu mau nggak jadi pacarku?”
“Eh…”
“Iya Ran. Sejak pertama kali aku liat kamu, aku udah langsung suka. Apalagi makin lama kita makin deket. Aku semakin tau kamu, dan kamu pastinya juga udah semakin tau aku. Aku pengen kita lebih dari sekedar temen Ran, aku pengen jadi pacar kamu. Aku sayang banget sama kamu.”
Rani sebenarnya sudah menduga apa yang ingin dikatakan oleh Gavin. Tapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatnya sedikit terkejut. Dia sendiri memang merasakan sesuatu yang beda kepada Gavin, yang belum pernah dia rasakan sebelumnya kepada orang lain. Meskipun sampai saat ini dia belum yakin, tapi dia tahu dia juga suka kepada Gavin. Hanya saja dia masih ragu-ragu untuk menerima atau menolak pernyataan cinta dari Gavin itu.
“Hmm, gimana ya mas? Aku bingung.”
“Kenapa bingung? Maaf ya kalau buat kamu ini terkesan mendadak, tapi ya inilah yang aku rasain ke kamu Ran.”
Rani menatap lekat mata Gavin, mencoba meyakinkan dirinya kalau Gavin benar-benar bersungguh-sungguh dengan ucapannya itu. Dan saat ini, Rani tak melihat ada kebohongan di mata Gavin.
“Hmm, boleh nggak mas kalau aku nggak jawab sekarang?”
“Kamu butuh waktu buat mikirin?”
“Iya mas. Dan ada 1 hal lagi.”
“Apa itu Ran?”
“Aku pengen kamu ketemu sama kakakku dulu, dan aku mau tau apa tanggapan mas Haris tentang kamu, setelah itu aku baru bisa mutusin iya atau enggak.”
Gavin tersenyum mendengar jawaban Rani yang polos itu. Rani sendiri malah bingung, apakah ada yang salah dengan ucapannya sehingga Gavin bereaksi seperti itu.
“Kenapa mas? Kok malah senyum-senyum gitu?”
“Nggak Ran, nggak papa kok. Tapi aku setuju, aku juga pengen ketemu dan kenalan sama kakakmu. Rasanya akan lebih tenang menjalani hubungan kalau kakakmu kasih restu, iya kan?”
“Hehe, yaa, itu sih mas maksudku.”
“Ya udah, kalau gitu kamu nggak perlu jawab sekarang. Aku bakal nunggu kok. Kalau bisa sih, secepatnya aku mau ketemu sama kakakmu, biar kita bisa cepet-cepet pacaran, hehe.”
“Yee maunya.”
“Emang kamu nggak mau?”
“Yaa, mau sih, hehe.”
“Ya udah, kamu atur aja ya kapan aku bisa ketemu sama dia, aku tunggu kabar dari kamu aja.”
“Iya mas.”
Rani cukup senang dengan respon dari Gavin. Tadinya dia menyangka Gavin akan tersinggung karena harus minta ijin ke Haris untuk memacarinya, tapi ternyata Gavin punya pemikiran yang sama dengannya. Dengan sikap Gavin yang tidak memaksanya itu, Rani merasa semakin jatuh hati kepada pemuda itu. Dia sudah merencanakan untuk menceritakan kepada Haris, dan akan secepatnya mengatur pertemuan mereka, agar segera tahu bagaimana tanggapan Haris kepada Gavin. Rani sendiri berharap, Haris akan menyetujui Gavin menjadi pacarnya, karena diapun juga merasa mulai besar rasa sukanya kepada Gavin, mungkin sudah bisa disebut, sayang.
===
+++
Haris dan Anin masih terus menyusuri jalanan kota Jogja malam ini. Mereka sedang mencari tempat makan yang pas. Anin sebenarnya tidak keberatan mau makan dimana saja, tapi Haris yang ingin mencari tempat makan dengan nuansa yang romantis. Ini memang bukan pertama kalinya mereka makan malam berdua, tapi malam ini, dia ingin makan malam kali ini menjadi perayaan untuk mereka. Dia ingin merayakan keputusan Anin yang telah bersedia menerimanya, menerima semua kekurangan di masa lalunya, dan menerima untuk kedepan menjalani hidup berdua.
“Kita mau kemana sih mas? Dari tadi kok muter-muter aja?”
“Hmm, nyari tempat yang romantis Nin, hehe.”
“Halah, pake romantis-romantisan segala? Kan yang penting makan tho?”
“Iya, tapi kan yang tadi perlu dirayain, hehe.”
“Haha, apanya yang dirayain mas?”
“Hmm, apa ya? Tunangan bukan, pra tunangan aja deh, anggep aja gitu.”
“Haha apaan sih. Yowes, aku manut aja deh mas.”
“Nah gitu dong.”
Anin menggelengkan kepala melihat tingkah pria yang sedang mengemudikan mobilnya itu. Dia sebenarnya tak mau sampai seperti itu, tapi biarlah, asal Haris senang, diapun ikut senang juga.
Akhirnya mobil mereka mengarah ke sebuah rumah makan di kawasan yang tidak terlalu jauh dari kantor Haris. Rumah makan ini tidak terlalu ramai karena memang agak jauh dari pusat kota. Tapi suasananya nyaman, setahu Haris makanan disini juga enak. Soal harga, bukan menjadi masalah untuknya.
“Disini?” tanya Anin.
“Iya, udah pernah belum?”
“Belum sih mas. Emang kamu udah pernah?”
“Belum juga, cuma pernah diceritain sama mbak Eva aja. Katanya enak kalau buat berduaan, hehe.”
“Haha, ya udah. Ayo deh kalau gitu.”
Mereka berdua kemudian turun dan masuk ke rumah makan itu. Mereka disambut oleh seorang pelayan, dan memilihkan meja yang memiliki suasana yang cukup enak, romantis. Setelah mencatat menu pesanan Haris dan Anin, pelayan itupun pergi meninggalkan mereka berdua.
“Gimana Nin? Enak ya suasananya?”
“Iya juga mas. Enak, ada live bandnya lagi. Musiknya juga enak. Tinggal nunggu makanannya aja nih, seenak suasananya apa nggak.”
“Kalau katanya sih enak, tapi ya kita tunggu aja.”
Setelah beberapa saat menunggu, pesanan merekapun datang juga. Dan ternyata memang makanan disini lumayan enak. Cukup pantaslah harga yang diberikan lebih mahal bila dibanding tempat lain. Karena memang suasananya juga mendukung.
Saat baru saja menyelesaikan makan malam mereka, Haris dan Anin dikejutkan oleh seorang wanita yang tiba-tiba saja datang dan langsung duduk di salah satu kursi di meja mereka. Anin menatap wanita itu dengan heran, pertanda dia tak mengenal siapa wanita itu. Sedangkan Haris menatapnya dengan wajah yang benar-benar kaget, seolah tak percaya melihat siapa yang ada di depannya saat ini.
“Hai Ris, lama tak jumpa.”
“Mira?”
Bersambung