Part #8 : Okay, just enjoy first

“Hai hai, gimana bulan madunya? Seru nggak nih? Haha.”

Viona yang baru pulang langsung mengolok Haris yang menyambutnya. Aldo yang mengikuti di belakang Viona tersenyum saja mendengar istrinya menggoda adik sepupunya itu.

“Hmm, yaa seru seru aja sih, tuh tanya aja sama Lidya, hehe,” jawab Haris.

Lidya memang masih berada di rumah itu, dia belum pulang. Sekarang dia sedang ganti baju di kamar Haris, tadi baru saja mandi setelah menuntaskan pertempuran mereka. Viona dan Aldo langsung masuk dan langsung duduk di sofa ruang tengah. Tak lama kemudian terlihat Lidya keluar dari kamar Haris dan bergabung dengan mereka.

“Gimana Lid, sama Haris? Cukup menyenangkan?” tanya Viona, yang ganti mengolok Lidya.

“Hmm, gimana yaa mbak, yaa gitu deh, hehe,” jawab Lidya, agak malu-malu.

“Gitu gimana? Cerita dong?” desak Viona.

“Ih mbak, apanya yang mau diceritain?”

“Yaa apa aja, yang kalian lakuin, terus dimana aja, terus berapa kali? Haha.”

“Buset, mbak Viona keponya kebangetan deh, haha.”

Sore itu mereka ngobrol santai penuh canda. Aldo dan Viona masih terus berusaha mengorek jawaban Lidya dan Haris, tapi kedua orang itu masih malu-malu untuk bercerita. Bagaimanapun juga, meskipun sudah sama-sama tahu, sama-sama mengerti, tapi untuk menceritakan apa saja yang sudah dilakukan, Haris dan Lidya pastinya masih malu.

Tapi tak lama kemudian Lidya pamit pulang. Viona sempat menahannya karena ingin mengajakanya makan malam bersama, tapi Lidya beralasan tidak enak dengan orang tuanya kalau pergi terlalu lama, dan menjanjikan lain kali bisa makan malam bersama. Setelah Lidya pulang, suasana kembali seperti semula. Viona dan Aldo tak terlalu banyak bertanya tentang apa saja yang sudah dilakukan oleh Haris dan Lidya, mungkin karena memang mereka berdua masih kecapekan. Haris juga tak bertanya kenapa dan kemana sepasang suami istri itu pergi karena sudah mendapat jawaban dari Lidya kemarin.

Keesokan harinya, mereka masuk kerja seperti biasa. Seperti yang sudah disepakati oleh Haris dan Lidya, mereka bersikap biasa saja di kantor. Karena pada dasarnya mereka hanya sekedar having fun. Mungkin lebih dari itu, tapi tidak ada komitmen yang lebih jauh lagi dari keduanya. Viona juga tak membahas tentang hal itu. Hal yang membuat Haris lega melihat bagaimana Viona dan Lidya bersikap profesional selama di kantor.

Meski tak dipungkiri oleh Haris, sikap Lidya saat ini membuatnya sedikit bertanya-tanya, apakah semua yang dikatakan kemarin itu benar atau tidak. Menurut Haris, sikap Lidya itu terlalu biasa untuk orang yang sudah melakukan sesuatu yang sangat intim seperti yang mereka lakukan kemarin. Dengan bersikap seperti itu, Haris sempat berpikir kalau Lidya sudah biasa melakukan hal itu, bukan hal yang baru buatnya. Tapi dia kembali teringat perkataan Lidya kemarin, kalau sebelumnya dia belum pernah selingkuh sekalipun. Hanya dengan Haris dia melakukannya.

Ada sedikit kebimbangan dan rasa curiga dari Haris, tapi kemudian dia memilih untuk tak terlalu memikirkannya.

Sikapnya memang agak aneh, terlalu biasa. Tapi ya sudahlah, toh dia yang minta seperti ini, nggak ada ruginya juga buatku. Lagian, begini juga malah bagus, jadi di kantor urusannya cuma kerjaan aja, nggak perlu mikirin yang lain,’ batin Haris.

Semua sikap dan perkataan Lidya benar-benar biasa selama di kantor, tapi ternyata hal yang berbeda terjadi setelah lewat jam kantor. Seperti malam ini, dimana Haris yang sebelumnya jarang sekali berkomunikasi dengan Lidya lewat handphone, malam ini tak lepas dari gadgetnya itu. dia sedang asyik chating mesra dengan Lidya. Mesra, bukan mesum. Malam ini Haris serasa punya pacar lagi, hal yang sudah setahun ini tidak dia rasakan. Dia jadi teringat, masa-masa pacaran dengan gadis yang telah meninggalkannya. Terutama saat masa pacaran mereka memasuki tahap long distance, ya seperti ini yang dilakukan, cuma bisa chating, karena diajak video call saja dulu pacarnya jarang mau. Apalagi, di setiap chatingnya sekarang, Lidya sudah tak lagi memanggil Haris dengan nama, tapi panggilan sayang. Mau tak mau, Harispun juga begitu.

“Eheem eheem, senyum-senyum aja Ris dari tadi? Ada yang lucu di HP kamu?” tanya Viona mengagetkan Haris.

“Eh mbak, ngagetin aja,” Haris terkejut, entah sejak kapan wanita itu duduk di sampingnya.

“Yaa lagian, kamu dari habis makan tadi, senyum-senyum nggak jelas gitu. Kenapa sih? Chating ama Lidya ya?”

“Hehe, iya mbak,” jawab Haris seadanya.

Haris kembali sibuk dengan handphonenya, dan Viona menonton TV. Tak lama kemudian Haris menatap Viona, dan mencari keberadaan Aldo.

“Mas Aldo mana mbak?”

“Tuh di kamar, mau tidur katanya.”

“Loh, tumben jam segini tidur?”

“Kurang enak badan katanya. Dari kemarin sih pas pulang dari puncak, kan aku yang nyetir pulangnya.”

“Emang kenapa gitu?”

“Nggak tau juga. Mungkin kecapekan aja sih. Dia kan sebenernya pas berangkat itu udah agak nggak enak badan, tapi tetep aku paksa, jadinya kayak gitu sekarang.”

“Waduuh, pasti waktu di puncak makin dikuras lagi ya sama mbak Viona? Haha.”

“Haha bisa aja kamu Ris. Tapi, yaa bisa dibilang gitu sih. Lagian kan mumpung Ris, dapet pinjeman villanya Lidya, yaa kita nikmati sepuasnya lah, hehe.”

“Haha, udah kayak bulan madu kedua aja dong mbak?”

“Yaa anggep aja gitu, hehe. Oh iya, pas kami pulang, kamu kok nggak nanya-nanya gitu sih?” tatapan Viona kini sepenuhnya ke Haris, tak lagi melihat TV.

“Nanya apaan emang?” Harispun meletakkan handphonenya, karena barusan Lidya pamit ada urusan.

“Yaa, kenapa kami pergi. Kamu pasti udah tau kan, kalau sebenernya nggak ada temenku yang nikah kemarin?”

“Oh itu, Lidya udah cerita kok mbak,” jawab Haris.

“Emang dia cerita apa aja?” tanya Viona penuh selidik, membuat Haris sedikit gugup.

“Yaa, cerita, kalau dia yang minta kalian kesana, buat ngasih waktu sama kami, iya kan?”

“Kamu kok gugup? Lidya cerita apa aja sama kamu?” tanya Viona lagi, dengan suara yang dipelankan, dan duduknya mendekat ke arah Haris.

“Hmm, maksudnya cerita apa aja gimana sih mbak?”

“Yaa apa yang udah dia ceritain ke kamu? Dan kenapa kok dia tiba-tiba cerita?”

Haris tak langsung menjawab, dia beradu pandang dengan Viona. Dia dan Viona sama-sama lulusan psikologi, mereka seperti sedang saling mengintimidasi, atau mungkin memaksakan lawan bicaranya untuk mengikuti apa yang mereka mau. Viona ingin Haris cerita semua dengan jujur, Haris ingin membuat Viona yakin kalau apa yang dia ceritakan itu sudah semuanya.

“Aku yang nanya awalnya mbak, setelah kupaksa, akhirnya dia cerita kalau bilang kalau dia minta kalian buat pergi kemarin. Dia bilang, sebelumnya dia ngobrol sama mbak Viona, tapi dia nggak cerita apa yang kalian obrolin,” ucap Haris.

Viona tak langsung menjawab, tapi tak lama kemudian dia tersenyum.

“Kamu masih belum jago bohong Ris.”

“Loh, bohong gimana mbak?”

“Udahlah, aku tau kamu bohong. Kalau orang lain, pasti bakal langsung percaya, tapi kalau sama aku, kamu harus cari cara lain buat bohong.”

Viona kemudian mengalihkan tatapannya ke TV lagi. Haris tak terlalu terkejut dengan sikap Viona. Meskipun belum lama mengenalnya, tapi dia sudah bisa sedikit membaca karakter wanita itu. Dan karena itulah, dia tak ingin mendebat lagi, karena memang nyatanya dia berbohong.

“Maaf mbak,” ucap Haris.

“Iya nggak papa, aku udah ngerti kok. Kamu pegang aja janjimu sama dia, aku juga nggak akan maksa,” jawab Viona tanpa mengalihkan pandangannya.

“Mbak Viona marah? Please jangan marah sama dia mbak, karena aku yang maksa.”

“Haha, enggaklah, buat apa juga aku marah. Kalau orang lain, mungkin aku bakal marah, tapi kalau sama dia, aku nggak bisa Ris, dan aku rasa kamu tau apa alasannya kan?”

“Iya mbak, aku tau.”

“Ya udah, yang penting aku minta, tolong jangan sampai orang lain tau, apalagi masmu.”

“Jadi, mas Aldo juga belum tau?”

Viona menatap Haris, lalu mengangguk.

“Bisa kan, jaga rahasia ini?”

“Hmm, bisa aja sih, tergantung penawaran dari mbak Viona,” jawab Haris, tersenyum menggoda istri dari kakak sepupunya itu.

“Ooh gitu, emang kamu mau apa hah?”

“Aduuh mbaak ampuuun, sakiiit mbaak. Iya iyaa nggak minta apa-apa kok,” Haris langsung mengaduh karena akhirnya Viona mengeluarkan jurus andalannya, cubitan yang sakit sekali di pinggang Haris.

“Haha, makanya, jangan macem-macem sama mbakmu ini,” ucap Viona tertawa puas.

“Gila ya, sakit banget cubitannya. Itu gimana pinggangnya mas Aldo yang sering kena cubit kayak gitu mulu?”

“Haha, iya dong. Pinggangnya masmu udah banyak bekasnya Ris, makanya dia makin nurut sama kau, haha.”

“Haha, kacau nih, suaminya ditindas.”

“Eeh jangan salah, aku kayak gitu juga nggak sembarangan kali. Gimanapun juga kan aku ini istri, harus nurut sama suami. Aku kayak gitu kalau emang mas Aldo nyebelin aja,” bela Viona.

“Tapi nyebelinnya sering ya mbak?”

“Haha, yaa kamu tau lah masmu kayak gimana.”

“Iya sih, dia itu usil banget orangnya. Tapi, dia juga baik, enak kalau diajak ngobrol, dan nyenengin juga.”

“Yaa makanya, aku sayang sama dia, hehe.”

Haris tersenyum. Dia juga ikut senang dengan rumah tangga kakak sepupunya itu. Memang terlihat sekali olehnya, mereka berdua terlihat sangat mencintai satu sama lain. Meskipun Aldo dengan semua keusilannya, dan Viona yang kadang galaknya minta ampun, tapi dia tahu, di balik itu ada cinta yang begitu besar diantara keduanya. Apalagi bagi Viona. Setelah Haris tahu semua dari Lidya kemarin, dia tahu kalau Viona sudah berniat untuk memperbaiki dirinya, salah satunya adalah dengan menjadi istri yang baik untuk Aldo. Haris berharap di dalam hatinya, kelak dia juga ingin memiliki istri seperti itu, yang mencintai dan menyayanginya sepenuh hati, dan mau bersama-sama berusaha untuk kebahagiaan mereka kelak.

 

+++
===
+++​

Tak terasa waktu berlalu dengan cepat, dan ini adalah minggu terakhir yang bisa dinikmati oleh Haris bersama dengan Lidya, karena beberapa hari lagi pacar Lidya akan pulang ke Indonesia. Dia tak tahu seperti apa jadinya nanti kalau pacar Lidya sudah ada disini, apakah Lidya sudah tidak akan menemani malam-malamnya dengan chat mesra mereka? Karena kalau untuk ketemuan dan jalan di akhir pekan lagi jelas tak mungkin, karena Lidya pasti akan jalan dengan pacarnya.

Beberapa hari terakhir memang ada yang berbeda yang dirasakan oleh Haris. Dia merasa ada sesuatu yang timbul di dalam dirinya, tentang Lidya. Dia tahu itu perasaan sayang yang lebih. Meskipun sudah ada kesepakatan dan komitmen dari mereka berdua, tapi kedekatan setiap malam lewat chating, dan juga setiap jalan bareng di akhir minggu, lama-lama membuat ada rasa cinta bersemi di hatinya.

Tapi sekali lagi, dia hanya bisa menahannya, karena mengingat status Lidya yang sudah punya pacar. Apalagi mereka juga terus saling mengingatkan agar tidak lebih dari ini. Selain itu, Viona kadang juga jadi pengingat untuk mereka, karena kadang di kantor mereka saling keceplosan memanggil sayang. Untung hal itu terjadi hanya di dalam ruangan mereka, dan hanya Viona yang mendengarnya. Akan jadi hal yang merepotkan kalau ada orang lain yang tahu, apalagi papanya Lidya, pak Doni.

Di sisi lain, Aldo sebenarnya sempat membahas masalah ini dengan Viona. Dia takut adik sepupunya itu benar-benar jatuh cinta dengan Lidya, atau juga sebaliknya. Dia khawatir kedekatan mereka nantinya akan menjadi masalah jika tidak segera dihentikan, mengingat status Lidya yang sudah punya pacar, bahkan hubungan dengan pacarnya juga sudah direstui oleh orang tua mereka.

“Yank, kamu liat nggak sih akhir-akhir ini kayaknya Haris makin deket sama Lidya?” tanya Aldo.

“Iya sih yank. Di kantor mereka juga mulai sering kelepasan manggil sayang gitu.”

“Oh ya? Terus gimana?”

“Yaa aku ingetin lah. Untung keceplosannya masih di ruangan, kalau di luar ya bisa gawat juga.”

“Waduh, terus gimana dong yank?”

“Apanya yang gimana?”

“Gini lho, aku takutnya mereka kebawa perasaan, dan lama-lama jatuh cinta beneran. Lidya kan udah punya pacar, entar bisa ruwet lho kalau dia dan Haris masih kayak gini terus.”

“Hmm, iya sih, aku juga agak khawatir sebenarnya. Tapi gimana? Masak mau kita larang sih? Kan nggak enak yank, yang ngejalani mereka berdua.”

“Ya emang sih, nggak enak rasanya kalau harus ngelarang gitu. Tapi gimana, ini buat kebaikan mereka lho.”

“Kita liat dulu aja deh yank, kalau emang keliatannya nanti perlu buat kita turun tangan, baru kita bilangin. Mereka kan udah sama-sama dewasa juga, pasti bisa mikir lah,” ucap Viona.

“Yank, meskipun udah sama-sama dewasa, meskipun udah bisa mikir, tapi kalau udah jatuh cinta, orang juga bisa jadi bego dan buta lho,” ucap Aldo mengingatkan.

Viona tak langsung menjawab. Dia tahu suaminya benar, dan itu yang pernah terjadi dulu di masa lalunya. Cinta pernah benar-benar membutakannya hingga terjerumus ke lubang gelap yang dalam. Tapi saat itu, Lidya adalah salah satu orang yang berjasa besar membuatnya kembali seperti sekarang. Dia punya hutang budi yang besar pada gadis itu. Karena itulah, ada rasa sungkan jika harus mengatakan hal ini kepada Lidya. Dia juga merasa sungkan kalau harus melarang Lidya melakukan apapun, termasuk berdekatan dengan Haris.

“Nanti aku coba ngomong sama Haris aja ya yank?” tanya Aldo.

“Jangan dulu deh yank,” tolak Viona.

“Lho kenapa emangnya?”

“Ya kayak yang aku bilang tadi, kita liat dulu aja, sampai dimana hubungan mereka, kalau udah kebablasan, baru kita ingetin lagi.”

“Yaelah yank, ini juga udah kebablasan kali hubungan mereka. Mereka juga udah ngelakuin hal itu kan?”

“Iya. Maksudnya, nggak lama lagi kan pacarnya Lidya balik ke Jakarta, nah kita liat dulu, kayak gimana hubungan mereka setelah ini. Kalau akhirnya mereka udahan, ya kita cukup diem aja. Tapi kalau mereka masih kayak gini, baru entar kita bilangin.”

“Okelah, aku ngikut aja. Kita bagi tugas ya, aku bilangin Haris kamu bilangin Lidya, kan kamu udah lama kenal sama dia.”

“Iya,” jawab Viona. Dalam hatinya, dia tidak yakin dengan jawabannya itu. Dia tidak yakin apakah dia bisa mengingatkan Lidya atau tidak. Hutang budinya terlalu besar kepada gadis itu, membuatnya selama ini hanya bisa mengiyakan saja apa yang diminta oleh Lidya, meskipun bukan hal yang aneh-aneh.

Sementara itu, hubungan Haris dan Lidya memang lagi mesra-mesranya. Kalau sebelumnya hanya chating, mereka sudah mulai saling telpon. Selalu Lidya yang memulainya, karena memang dia meminta begitu. Harispun setuju. Dia tak mau menghubungi Lidya terlebih dahulu karena siapa tahu Lidya sedang tidak bisa diganggu. Tapi Lidya tahu persis kalau Haris pasti akan mengangkat jika ditelpon.

Weekend ini mereka sudah ada acara untuk keluar bareng. Tujuannya masih sama, jalan-jalan ke mall atau nonton. Setelah itu, biasanya mereka pulang ke rumah Aldo dan Viona, dan Lidya menginap disana, di kamar Haris. Sudah tidak perlu ditanya lagi apa yang dilakukan, sudah sama-sama tahu.

Aldo dan Viona sebenarnya merasa kurang nyaman dengan hal itu, tapi sekali lagi, mereka hanya bisa membiarkannya saja. Aldo yang dulu lebih sering mengolok dan menggoda mereka, sekarang lebih banyak diam. Justru Viona yang sekarang lebih sering seperti itu.

“Kalau main jangan berisik ya, jangan sampai kedengaran sama tetangga lho,” canda Viona beberapa hari yang lalu, saat Haris dan Lidya melangkah masuk ke kamar.

Haris dan Lidya hanya tersenyum menanggapi ucapan Viona, tapi mereka memang benar-benar melakukannya. Jika saat pertama kali mereka berhubungan badan Lidya bisa mendesah seenaknya karena memang hanya ada mereka berdua di rumah, setelah itu dia selalu menahan sebisa mungkin agar rintihan dan desahannya tidak terlalu kencang, karena ada Viona dan Aldo.

Seperti halnya malam ini. Haris dan Lidya sudah ada di rumah setelah mereka jalan-jalan. Di rumah ini selain mereka hanya ada Viona, karena Aldo sedang keluar untuk acara dengan teman-temannya. Aldo mendapat undangan reuni dengan teman kuliahnya di sebuah bar dan tempat billiard. Dia tadinya sudah mengajak Viona, tapi ditolak karena Viona tak pernah menyambangi tempat-tempat seperti itu.

Alasan itu tentunya bohong, karena dulunya Viona sangat akrab dengan tempat seperti itu. Tapi sejak berniat berubah, dia tak lagi mendatanginya, karena siapa tahu, dia akan bertemu dengan orang yang pernah sama-sama rusak dengannya, dan mengajaknya rusak lagi.

“Mas Aldo kemana mbak?” tanya Haris saat mereka baru datang, melihat mobil Haris tidak ada di garasi.

“Lagi keluar Ris, sama temen-temennya.”

“Oh, ada acara ya?”

“Iya, diajak reunian sama temen-temen kuliahnya.”

“Lha mbak Viona kok nggak ikut?” tanya Lidya menimpali.

“Nggak ah Lid, orang ngumpulnya di bar, tempat billiard gitu, males aku.”

Lidya dan Haris saling pandang, sama-sama mengerti alasan Viona yang sebenarnya.

“Lha terus kok mas Aldo dikasih ijin pergi sendirian mbak? Entar kalau macem-macem gimana?”

“Ya sebenarnya dia tadi udah ngotot ngajak aku, tapi akunya bener-bener nggak mau. Ya biarlah dia sekali-sekali pergi ketemu temen-temennya, kan udah lama nggak pernah ngumpul. Apalagi sejak nikah kan dia nggak pernah kemana-mana kecuali sama aku Ris.”

“Oh gitu. Berarti nggak papa dong mbak kalau dia macem-macem? Hehe.”

“Yaa asal nggak kelewatan aja sih.”

“Nggak kelewatan tuh sampai segimana mbak?”

“Yaa kalau minum, jangan sampai mabuk parah, terus, yaa gitu lah, intinya jangan sampai ngehamilin anak orang aja.”

“Berarti kalau nggak sampai hamil nggak papa ya mbak?”

“Halah, itu mah maunya kalian aja para cowok? Iya kan?”

“Hahahaha.”

Haris tertawa lebar mendengar jawaban Viona. Mereka bertiga akhirnya hanya duduk ngobrol di ruang tengah. Haris dan Lidya merasa tak enak kalau meninggalkan Viona sendirian menunggu Aldo pulang, jadi mereka memutuskan untuk menemaninya saja. Tak terasa waktu sudah lewat dari jam 12 malam, dan Aldo belum juga pulang. Viona terlihat beberapa kali menguap, dia sudah sangat mengantuk.

“Mbak, kalau udah ngantuk tidur duluan aja lah,” ucap Haris.

“Iya mbak, udah jam segini lho.”

“Iya, tapi masmu belum pulang.”

“Entar juga pulang kok. Atau mungkin mau ditelpon dulu aja?”

“Lha ini kan udah aku telpon dari tadi, nggak diangkat juga,” jawab Viona. Dia memang dari tadi memegang handphonenya, tapi Lidya dan Haris tak tahu kalau Viona sambil menelpon Aldo, dikira hanya dipegang aja.

“Yaa mungkin masih asyik mbak, udah mbak Viona tidur aja dulu.”

“Kalian?”

“Yaa, kami mau tidur juga.”

“Terus pintu gimana?”

“Hmm, emang mas Aldo nggak bawa kunci mbak?”

“Enggak, ya itu dia yang bikin aku nunggu, kalau dia bawa aku udah tidur dari tadi.”

“Ya udah, nggak usah dikunci aja mbak. Disini kan aman lingkungannya, ada satpam juga.”

“Hmm, ya udah deh kalau gitu. Aku tidur duluan ya.”

“Iya mbak.”

Vionapun melangkah ke kamarnya. Tak lama kemudian Haris mematikan TV dan memeriksa pintu. Selain pintu depan, semua dia kunci. Setelah itu dia mengajak Lidya untuk masuk ke kamarnya. Mereka berganti baju dengan pakaian tidur masing-masing, lalu rebahan di ranjang, berpelukan.

“Yank, kita mau tidur aja malem ini?” tanya Lidya.

“Lha gimana yank? Apa masih mau main? Emang kamu nggak capek?”

“Capek sih, udah ngantuk juga. Kirain tadi nggak harus nemenin mbak Viona.”

“Iya juga sih. Ya udah, kita tidur aja lah ya? Main besok aja, kalau udah seger badannya, gimana?”

“Ya udah, aku sih ngikut kamu aja, hehe.”

Akhirnya mereka sepakat untuk tidur, tanpa melakukan hal yang lainnya malam itu. Mereka memang cukup capek setelah seharian jalan-jalan, dan tadi harus menemani Viona ngobrol menunggu Aldo pulang, yang sampai sekarang belum pulang juga.

Haris masih memeluk Lidya yang merebahkan kepalanya di dadanya. Dia membelai lembut rambut lurus kecoklatan Lidya, memberikannya rasa nyaman agar segera tidur. Haris sendiri, meskipun capek dan ngantuk, tapi dia belum bisa tidur. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, yang sebenarnya ingin dia bahas dengan Lidya. Tapi karena sudah malam, dia pikir untuk besok saja membicarakan hal ini.

Cukup lama mereka dalam posisi ini, dan Haris belum bisa tertidur juga. Sementara dia rasakan nafas Lidya sudah teratur, kelihatannya sudah terlelap. Haris masih terus membelai kepala Lidya. Dilihatnya jam dinding, sudah hampir jam 2 pagi.

“Yank..”

“Eh iya, kamu kebangun yank?” Haris terkejut karena tiba-tiba Lidya memanggilnya.

“Emang kamu pikir aku udah tidur?”

“Loh? Jadi kamu belum tidur?”

“Belum.”

“Kenapa?”

“Nggak tau, aku ngerasa ada sesuatu yang sedang kamu pikirin yang bikin kamu nggak bisa tidur, iya kan?”

“Iya sih, tapi besok aja deh kita bahas. Kamu tidur aja, udah hampir jam 2 lho.”

“Kamu kalau mau cerita, cerita sekarang aja, biar kamu nggak kepikiran lagi dan bisa tidur juga.”

“Tapi yank..”

“Nggak papa. Kalau kamu nggak bisa tidur kan aku juga nggak bisa. Udah, cerita aja sekarang.”

Haris tak langsung menjawab. Dia menarik nafas panjang, lalu merubah posisinya. Dia bangkit dan menyenderkan punggungnya, membuat Lidya juga terpaksa merubah posisinya, tapi lagi-lagi dia rebahkan kepalanya di dada Haris.

“Tentang hubungan kita yank,” Haris memulainya.

“Kenapa dengan hubungan kita?”

“Aku mau jujur sama kamu. Sejak kita mulai deket, sampai saat ini, aku merasa sesuatu yang lain. Aku ngerasa, mulai jatuh cinta sama kamu.”

“Ris, kita kan udah…”

“Iya aku tau, kita udah punya komitmen. Karena komitmen itulah aku masih bisa menahan diri sampai saat ini. Tapi yang aku pikirin bukan untuk yang saat ini, tapi nanti.”

“Apa yang kamu pikirin?”

“Beberapa hari lagi pacarmu kan pulang, nah, setelah itu, hubungan kita ini mau kayak gimana? Aku bilang gini bukannya aku mau minta macam-macam sama kamu, cuma lagi kebayang aja, apa jadinya kalau nanti aku nggak sama kamu lagi.”

Lidya tak menjawab, malah tersenyum. Haris bisa merasakan tubuh Lidya sedikit bergoyang, seperti menahan tawa.

“Kalau kamu nanti pindah ke Jogja, kita kan juga nggak bakal bareng lagi Ris. Disana kamu bakal ketemu dengan seseorang, mungkin lebih tepatnya, ketemu jodoh kamu. Jadi ya, anggep aja itu latihan sebelum kamu bener-bener jauh sama aku.”

“Sesimpel itu?”

Lidya tak menjawab. Dia bangkit mengangkat tubuhnya, dan menatap ke arah Haris. Haris agak terkejut dengan reaksi Lidya.

“Apa yang sedang kamu pikirin Ris? Seperti apa hubungan kita ini di kepala kamu?”

“Eh, hmm, itu…”

“Aku nggak pernah menganggap semua ini simpel, sederhana. Aku juga nggak pernah menganggap kamu cuma pelampiasan selama pacarku pergi. Kamu inget kan, aku pernah bilang kalau selama ini aku nggak pernah selingkuh sebelumnya? Jangan kamu pikir aku juga bakal mudah ngelupain kamu Ris, karena aku juga merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasain sekarang.”

Haris kembali terdiam. Rupanya Lidya sudah salah menangkap maksud dari ucapannya. Tapi dia tak ingin menyanggahnya sekarang, karena sepertinya Lidya belum selesai dengan kata-katanya.

“Yang aku rasain ke kamu, yang aku ucapin ke kamu, dan yang kita lakuin selama ini, semua itu jujur Ris. Nggak ada sedikitpun kubuat-buat, atau aku bohong sama kamu, nggak ada. Jujur, aku juga bingung dengan hal ini, aku juga bingung gimana nanti kalau pacarku balik, aku juga bingung gimana jadinya kalau nggak bisa jalan sama kamu lagi. Jadi, bukan kamu aja yang kepikiran, aku juga.”

Nada Lidya belum berubah, masih tetap tenang. Tapi Haris bisa melihat dari mata gadis itu apa yang diucapkan semua jujur.

“Tapi aku memilih untuk menjalaninya saja dulu Ris, tanpa membuatnya jadi beban pikiranku. Kurang dari 2 bulan lagi kamu bakal pindah. Dan setelah itu, mungkin kita nggak bisa ketemu lagi. Sebelum waktu itu tiba, meskipun pacarku udah balik kesini, dan kita nggak bisa jalan bareng lagi, kita kan masih bisa ketemuan di kantor, setiap hari.”

“Aku pengen menikmati saat-saat bersama kamu Ris, entah apapun itu yang kita lakukan. Kalau boleh, dan harus memilih, sebenernya aku lebih milih kamu. Tapi, yang mungkin kamu, dan semua orang belum tau, aku pacaran sama dia itu karena, bisa dibilang, dijodohin. Aku nggak bisa nolak keinginan papa mamaku, dan kebetulan aku memang udah lama kenal baik dengan dia, makanya kami pacaran.”

“Tapi soal perasaan, sekali lagi, aku lebih milih kamu. Tapi semua udah seperti ini, nggak bisa diapa-apain. Jadi please, beri aku kesempatan buat menikmati saat ini, menikmati kebersamaan kita.”

Ucapan Lidya masih dengan nada yang sama, datar dan lirih. Tapi kali ini, Haris bisa melihat mata gadis itu berkaca-kaca. Hal itu cukup untuk meyakinkan Haris bahwa semua yang dikatakan Lidya adalah benar dan berasal dari dalam hatinya.

Haris segera merengkuh tubuh gadis itu, gadis yang mulai dicintainya. Dia sudah tak perlu lagi mempertanyakan kebenaran kata-kata Lidya, dia sudah tak perlu lagi mencari keyakinan tentang perasaan Lidya, semua sudah jelas. Dia juga tahu, tak perlu lagi memikirkan kedepanya seperti apa, karena saat ini, dia hanya perlu bersama dengan Lidya, melewati saat-saat kebersamaan mereka.

“Sudah Lid, nggak usah dibahas lagi. Aku udah ngerti, dan sekarang, kita nikmati saja dulu kebersamaan kita.”

Bersambung

cantik sange
I Love You Rini
anak magang
Main Dengan Anak Magang Berjilbab
ngentot mam
Mengobati Rasa Kesedihan Mama Bagian Dua
mahasiswi cantik
Mahasiswi cantik terkena hipnotis di entot di mobil
jilbab bugil ngentot
Rintihan Kenikmatan Gadis Berjilbab
Ibu guru sexy
Ku gadaikan tubuh ku untuk melunasi hutang suami ku
pacar cantik
Pengalaman sex ngentotin anak kost cantik
Cerita Dewasa Menjadi Simpanan Tante-Tante
Cerita seks memuaskan hasrat kakak ipar
belahan dada pembantu
Nikmatya Memek Sempit Pembantu Ku
cantik
Cerita dewasa petualangan sex geng joni bagian 2
gurukubtante girang
Melayani Nafsu Seorang Guru Yang Masih Perawan
rekan kerja
Menikmati Lubang Surga Rekan Kerja Ku
frida hot
Cerita sex menikmati memek frida yang nikmat
Foto janda kembang cantik mulus lagi pengen
Foto janda kembang cantik mulus lagi sange
Tiga dara cantik ngajakin ngentot di hotel