Part #25 : Petualangan Sexs Liar Ku
Di dalam sebuah kamar sedang tertidur seorang gadis yang masih mengenakan pakaian lengkap beserta hijabnya.
Di sisi lain kamar itu tengah berdiri seorang pria dengan senyum menyeringai melihat ke arah gadis itu.
Ya, saat gadis itu pingsan di dalam club tadi, Randy membawa Annisa ke apartemen miliknya. Meskipun dengan susah payah karena dia sendiri pun tengah dalam pengaruh alkohol, dia berhasil melakukannya.
Kini dia perlahan mendekati tubuh yang tergolek lemah tak berdaya. Randy menaiki ranjang miliknya dengan bertumpu pada lutut, merangkak di atas tubuh Annisa hingga pantatnya tepat berada di atas perut Annisa.
Randy setengah berlutut dengan lutut kirinya berada di antara lengan dan tubuh Annisa sedangkan kaki kanannya tegak membentuk sudut lancip.
Ia pegang rahang Annisa lalu menariknya ke kanan dan ke kiri untuk melihat wajah manis itu dari berbagai sudut.
Randy tersenyum singkat.
“Annisa, lu itu cantik, manis, baik, sempurna, tapi sayang…”
Dia menggantungkan kata-katanya.
“Sayang lu itu adiknya Reza.”
Senyumnya memudar berganti dengan ekspresi wajah datar.
Tangan yang sedari tadi berada di rahang Annisa kini berpindah ke bibirnya.
Ia sentuh bibir itu dengan jari telunjuknya. Perlahan ia geser jari itu ke bawah hingga bibir bawahnya ikut tertarik menampakkan gigi bagian bawah yang tertata rapi berwarna putih.
Jari itu menelusuri dagunya melewati leher yang masih berbalut hijab sampai berhenti di atas dadanya yang termasuk berukuran kecil.
Kalau dibandingkan dengan para wanita yang pernah bermain dengan Randy, mungkin payudaranya hampir sama dengan milik Ririn.
Dia buka kancing bajunya satu per satu hingga tank top putih yang menjadi dalaman gadis itu nampak.
Tiba-tiba Randy memiliki ide. Dia lalu turun dari tubuh itu lalu membuka tas milik Annisa dan mengambil ponsel miliknya.
Dia buka kunci layar ponsel itu dengan sidik jari milik Annisa kemudian dia mengambil beberapa gambar gadis itu.
Dengan seringai tajam dia mencari kontak milik seseorang. Tidak sulit karena beberapa menit yang lalu Annisa ternyata menghubungi kontak yang tak lain adalah kakaknya sendiri.
Tuuuutttt…
Tuuuutttt…
Tuuuutttt…
Beberapa kali nada sambung terdengar hingga akhirnya telfon pun diangkat.
“Halo Nisa, kan kakak udah bilang kalo kakak lag…”
“Hey?” potong Randy saat Reza sedang menjelaskan panjang lebar.
“S…siapa lu?” tanya Reza panik.
“Hmm…lu gak inget? apa perlu gue ingetin?” balas Randy diikuti tertawa sinis.
“R…Randy?! lu Randy?”
Reza memastikan tebakannya.
“Surprise motherfucker!”
Randy pun tertawa keras merasa dirinya di atas angin.
“B*ngsat lu! apa yang udah lu lakuin sama adek gue?!”
“Hah?! Apa yang gue lakuin?! Ya sama sama apa yang udah pernah lu lakuin bareng nyokap gue!”
Ucapan Randy diakhiri dengan kekehan.
“Anj*nk! lu dimana! jangan macam-macam sama adek gue! atau…”
“Atau apa!?” serobot Randy.
Dia terdiam tak mampu membalas.
“Udah lu tenang aja, besok pagi gue balikin dia, tapi jangan heran kalo besok dia udah beda ya, hahaha…”
Telepon pun ia matikan. Ia kirim beberapa foto Annisa sebelum dia eksekusi kepada Reza kemudian ponselnya ia non-aktifkan.
•••
“Sial!” umpat Reza yang tengah mengemudikan mobil.
“Kenapa sayang? kok marah-marah? tanya seorang wanita yang berada di sampingnya dengan manja.
Reza pun sejenak menoleh ke samping.
“Ada masalah sayang, adik aku diculik dan kayaknya malam ini aku gak bisa nemenin kamu deh say.”
“Apa?! jadi kamu lebih milih adik kamu daripada aku?! Iya?!”
Tiba-tiba wanita itu membentak. Dia yang merasa memiliki hak atas brondongnya itu tidak terima kalau dia lebih memprioritaskan orang lain dibandingkan dirinya.
“Bukan gitu sayang, tapi ini situasi yang genting, aku janji deh besok pagi siang sore malam buat kamu, tapi untuk malam ini aku harus cari adik ku sebelum terjadi apa-apa sama dia!”
“Alah ya udah aku turun di sini aja, kamu bisa pulang sekarang!”
“Aku anter pulang dulu ya.”
“Gak, turun di sini aja!”
Reza pun terpaksa menuruti keinginan selingkuhannya itu. Dia menepikan mobilnya di dekat trotoar.
Dengan keras wanita yang lebih pantas menjadi ibunya itu menutup pintu mobil dengan keras saat dia keluar.
Reza menghembuskan nafas kasar. Cukup lama dia bisa mendapatkan cinta dari pujaan hatinya itu, sekarang rusak hanya dalam satu malam.
Dia tak mau memikirkan perasaan itu terlebih dahulu. Sekarang bukanlah waktu yang tepat. Dia harus menemukan adiknya sesegera mungkin sebelum Randy melakukan sesuatu hal yang buruk terhadapnya.
Sebrengsek-brengseknya Reza, dia adalah orang yang sangat menyayangi keluarganya terutama Annisa. Dia telah dititipi amanat dari bundanya untuk menjaga dia.
“RANDY BRENGSEK…!!!” umpatnya seraya memukul stir mobil miliknya melihat foto-foto yang dikirimkan oleh Randy.
Reza mengurut kepalanya yang terasa pusing. Bukan hanya memikirkan Annisa tetapi juga karena pengaruh alkohol yang tadi sempat ia minum.
Beberapa kali dia mencoba untuk menghubungi nomor Annisa tetapi hasilnya nihil.
Dengan emosi yang masih meluap-luap, dia memutuskan pulang ke rumah untuk mencari bahan pelampiasan amarahnya. Siapa lagi kalau bukan sang istri.
Sesampainya di rumah, Reza pun turun dari mobil langsung mencari istrinya di dalam rumah.
“ICHA! ICHA!” teriak Reza dengan dada yang sesak dan emosi tinggi menggema di seluruh penjuru rumah.
Mendengar namanya dipanggil, Icha pun membukakan pintu kamarnya. Reza sudah berada di depan pintu.
Dengan mata membulat sempurna dia mendorong istrinya ke belakang.
“MANA ANNISA?!”
Icha yang sama sekali tidak tahu masalahnya pun ketakutan.
“D…dia bukannya di dalam kamar?” jawab Icha gugup.
Reza memegang kedua bahu Icha.
“Tadi dia hubungi aku, kamu tau siapa yang pegang hpnya?”
Icha menggeleng pelan.
“RANDY…!!!”
Mata Icha terbelalak mendengar penuturan Reza.
“Liat ini!!!”
Reza menunjukkan beberapa foto yang dikirimkan dari ponsel Annisa. Mata Icha langsung memanas, ia menutupi mulutnya dengan telapak tangan seraya menangis.
“Kamu ngapain aja dari tadi! kenapa Annisa keluar kamu gak tau?!”
Plakkk…!!!
Satu tamparan sukses mendarat di wajah istrinya yang mulus itu. Icha pun terhuyung jatuh ke atas ranjang. Tangisnya pecah.
Bukan karena tamparan itu, melainkan karena dia lalai menjaga adik iparnya sehingga sekarang dia berada dalam bahaya.
Sungguh kalau saja ia bisa menggantikan posisi Annisa dengan nyawanya, dia akan lakukan. Meskipun mereka bukan sedarah tetapi Icha benar-benar menyayangi adik iparnya itu.
Mengingat selama perlakuan tidak menyenangkan dari keluarga Reza terhadapnya, hanya Annisa yang dapat menerima dan terus memberikan dukungan terhadap Icha sampai dia masih bisa bertahan sampai sejauh ini di dalam pernikahan yang tak bahagia.
“DASAR ISTRI GAK TAU DIUTUNG!”
Plak…!!!
Kembali tamparan diterima oleh Icha yang sedang berbaring karena sebelumnya ia menerima tamparan yang sama kerasnya.
Setan sudah menguasai pikiran Reza. Dengan kalut dia cekik istrinya hingga Icha memejamkan matanya dengan kuat tak mampu melawan.
Bughhh…!!!
Bukan tamparan lagi melainkan pukulan yang diarahkan Reza ke ujung bibir Icha hingga membiru.
Bughhh…!!!
Bughhh…!!!
Lagi dan lagi Reza melakukan kekerasan dalam rumah tangga kepada Icha. Dia menerimanya tanpa ada perlawanan. Sungguh dia sudah hampir tidak sadarkan diri karena menerima pukulan bertubi-tubi dari Reza. Tiba-tiba…
“Oeeee…oeeee…oeeee…!!!”
Humaira yang tengah tertidur di dalam box bayi menangis dengan keras. Mungkin karena suara kegaduhan itu atau dia memiliki kontak batin dengan ibunya yang sedang dilukai.
Pandangan Reza berpaling ke arah bayi yang sedang menangis itu. Dengan emosi yang sedang dalam puncaknya, dia berdiri dan menghampiri Humaira.
Dia mengambil sebuah vas bunga yang tak jauh dari tempat box bayi itu dan bersiap memecahkan kepala Humaira dengan benda itu dan…
Prankkk…!!!
Vas bunga itu pecah di atas kepala, bukan kepala Humaira namun kepala Icha yang dengan sisa tenaga berlari menyelamatkan anaknya. Reza terdiam melihat kenekatan Icha.
Beruntung saat itu Icha mengenakan jilbab yang sedikit banyak dapat menahan vas itu agar tidak langsung mengenai bagian vital dari kepalanya.
“Kamu boleh pukul aku, tampar aku, siksa aku, atau bahkan bunuh aku sekalian, tapi jangan sekali-kali kamu sakiti Humaira, dia gak ada hubungannya dengan semua ini! hiksss…”
Matanya memerah karena menangis menahan sakit di tubuhnya. Reza pun melemparkan vas bunga yang telah pecah itu lalu pergi begitu saja.
Tak berselang lama pandangan Icha berkunang-kunang, kepalanya pusing dan…
Brugghh…!!!
•••
Randy tengah memandangi tubuh Annisa yang belum bergerak sedikitpun. Dia naik ke atas ranjang, kini berada di sampingnya dengan kepala yang disangga oleh tangannya.
Ia belai pipi gadis itu yang merona merah. Perlahan Randy dekatkan wajahnya ke wajah Annisa hingga ia dapat merasakan hembusan nafasnya yang teratur.
Seringai tajam kembali terukir di wajah Randy.
Cuppp…
Ciuman kedua untuk Annisa diberikannya. Ia kulum bibir bawah Annisa yang merekah. Rasanya manis dan membuat candu.
Lidahnya ia keluarkan untuk menjilati gigi-gigi Annisa yang putih dan rapi. Randy buka mulut Annisa dengan menurunkan rahangnya sedikit ke bawah menggunakan jempolnya.
Dia kumpulkan air liur di rongga mulutnya, lalu dia julurkan lidahnya hingga saliva yang tadi terkumpul jatuh ke dalam tenggorokan Annisa.
Tanpa perlawanan. Apakah dia akan melakukannya seperti itu? Akh…sepertinya kurang asik kalau lawannya diam saja.
Perlahan dia kembali mengulum bibir bawah Annisa. Dengan gerakan kecil dia gigit bibir itu hingga sedikit berdarah.
“Achhh…!!!” desah Annisa.
Berhasil, kini Annisa membuka matanya.
Melihat apa yang sedang diperbuat oleh Randy, Annisa reflek langsung berontak. Namun lagi-lagi dia tidak memiliki cukup tenaga untuk melawan tubuh Randy yang tinggi besar.
“Emmphhh…!!!”
Annisa tidak dapat berbuat banyak meskipun hanya untuk menggelengkan kepalanya secara Randy menggenggam rahangnya dengan keras.
Kakinya kelojotan ke sana kemari. Randy menghisap darah yang keluar, terasa asin namun sangat nikmat.
Beberapa saat kemudian Randy melepaskan ciumannya di bibir Annisa. Dia pandangi wajah sayu itu.
“R…Rhan jangan!” tolaknya lemah.
Sungguh dia tidak memiliki tenaga lagi untuk melawan, yang dapat ia lakukan sekarang adalah memohon pada Randy untuk tidak melakukannya.
Tapi sepertinya hal itu sia-sia karena dia melihat Randy masih dalam pengaruh alkohol.
Randy kembali memagut bibir Annisa. Sentuhan lembut kini dilakukan oleh Randy pada bibirnya membuat desiran yang sebelumnya ia rasakan kembali datang.
Annisa diam menerima ciuman dari Randy itu meski tangannya masih dapat sedikit menahan tubuh Randy agar tidak bersentuhan langsung dengan tubuhnya.
Tangan Randy kembali melepaskan sisa kancing baju Annisa hingga terlepas semua.
Dengan tangan kanan Randy meremas payudara kiri Annisa dari luar tank top yang ia kenakan.
Sontak dia langsung menggenggam pergelangan tangan Randy dan berusaha menepisnya. Lagi-lagi usahanya gagal, dia terlampau lemah untuk sekedar menyingkirkan tangan nakal yang bergerak meremas salah satu area sensitifnya.
Setelah itu Randy mengangkat tangannya dari payudara Annisa membuat dia sesaat bernafas lega.
Namun tanpa diduga, tangan Randy justru menelusup di balik tank topnya dari bawah dan langsung menyelip di dalam bra miliknya.
“Enghhh…!!!”
Lenguhan keras keluar dari mulut Annisa kala untuk pertama kalinya puting payudaranya disentuh oleh seorang lelaki.
Sengatan itu membuatnya sangat geli. Pinggulnya otomatis terangkat, tangannya mencengkram spray dengan kuat, bibir bawahnya ia gigit sambil kelojotan ke kanan dan ke kiri.
Ternyata nipplenya adalah salah satu area paling sensitif yang dimiliki oleh Annisa. Terbukti gelinjangannya semakin menggila saat Randy mulai memainkan analog kecil itu memutar.
“Emmphhh…shhh…achhh…enghhh…”
Pilinan di puting payudara Annisa diakhir dengan menjepitnya lalu sedikit menarik.
“Eshhh…emmhhh…”
Randy kemudian mengangkat tank top sekaligus bra Annisa ke atas sehingga kedua payudaranya terekspose dengan jelas.
Kedua gumpalan itu berukuran kecil namun sangat menggoda. Putingnya berwarna pink sedikit mencuat.
Randy bertanya dalam hati, apakah payudara itu belum pernah dirangsang sama sekali? Apakah Annisa sepolos itu? diusianya yang hampir menginjak dua puluh tahun dia sama sekali belum pernah melakukan aktivitas seksual?
“Achhh…manis sekali…” batin Randy mengetahui Annisa betul-betul mempersiapkan tubuhnya untuk dipersembahkan kepada orang yang tepat di waktu yang tepat.
Sayangnya malam ini semua impian itu akan sirna. Dirinya sudah mempersiapkan untuk mengambil semua yang Annisa miliki.
Mulutnya ia lepaskan dari bibir Annisa. Sesaat dia tatap wajah yang berada tepat di bawah sana. Wajah merah merona layaknya kepiting rebus. Randy tersenyum simpul.
Fokusnya berpindah ke bawah. Randy tatap kedua gundukan yang menggoda itu bergantian, kemudian…
Cuppp…
Mulut Randy mencaplok puting payudara Annisa sebelah kiri.
“Achhh…emmphhh…uhhh…” desahnya kembali terdengar.
Randy mengemut puting perawan itu sambil sesekali menjilatnya memutar. Rasa nikmat yang baru pertama kali Annisa rasakan membuatnya kembali menggila.
Dia jambak rambut Randy namun dan sesekali ia tarik ketika sengatan-sengatan yang dirasakan oleh nipplenya semakin besar.
Sisa-sisa efek obat perangsang yang tadi dikonsumsi oleh Annisa tidak membuatnya kembali ke akal sehatnya.
Dia merasakan itu seperti mimpi, ya dia berharap semua itu hanya mimpi dan dia diberikan kesempatan untuk menikmatinya tanpa harus mengorbankan apapun.
Randy cabut mulutnya di puting Annisa kemudian berpindah ke puting satunya. Ia caplok dan ia sedot-sedot analog itu membuat si empunya kembali menggelinjang.
Tanpa disadari oleh Annisa, tangan kanan Randy menelusup ke dalam celana milik Annisa langsung ke pusat sumber kenikmatannya.
“Awngghhh…!!!” desah Annisa keras ketika kembali daerah sensitifnya yang lain dijamah untuk pertama kali.
Daerah itu halus tanpa bulu, dengan bibir kemaluan yang sedikit tembem dan sudah sangat basah.
Tangan Annisa sontak langsung menggenggam tangan Randy keras untuk menjauhkannya dari daerah itu. Tapi tangan Randy terlampau kuat untuk dilawan oleh Annisa.
Dia masih risih ketika tangan orang lain menjamah daerah paling intim miliknya itu.
“Udah Randy…udah…!!!”
Annisa merengek memohon pada Randy agar menghentikan aktivitasnya, namun bukannya berhenti Randy justru kembali melancarkan aksi yang lebih jauh.
Ia buka bibir vagina Annisa dengan menggunakan jari telunjuk dan jari manis, lalu ia gosok bagian tengahnya dengan menggunakan jari tengah.
“Ouhhh…!!!”
Tiba-tiba pinggul Annisa terangkat ke atas dan…
Serrr…serrr…serrr…
Tubuh Annisa mengejang-ngejang dengan sangat kuat. Otot perutnya mengeras saat orgasme pertama dalam hidupnya datang dengan dahsyat.
Beberapa saat setelah orgasme tubuhnya masih mengejang, tangan Randy yang masih berada di sana dijepitnya dengan kuat menggunakan kaki.
Badan Annisa ia miringkan ke arah kanan menghadap Randy. Wajahnya ia benamkan di bawah wajah Randy yang sedikit terangkat.
Randy reflek menjatuhkan pipi kirinya di atas kepala Annisa. Annisa kemudian menempelkan matanya di ceruk leher Randy.
“Hiksss…hiksss…hiksss…”
Suara tangisan keluar dari mulut Annisa. Dia menangis sesenggukan seraya memukul-mukulkan tangannya di dada bidang Randy.
Namun tidak ada kata apapun yang keluar, hanya tangisan yang terdengar dari bibir manis Annisa.
Apakah dia menyesali itu? Kalau iya kenapa Annisa justru malah membenarkan wajahnya di leher Randy?
Annisa terlihat syok dengan kenikmatan surgawi yang ternyata begitu nikmat. Dia selalu berpikiran kalau orang yang menikmati seks adalah orang-orang yang mesum dan cabul.
Sampai akhirnya dia merasakannya sendiri. Hal itu bagaikan beban yang selama ini berada di dadanya terangkat begitu saja hingga tubuhnya menjadi ringan.
Saking ringannya dia seolah-olah terbang ke angkasa ke langit ke tujuh.
Selama hidupnya dia memang tidak pernah melakukan aktivitas seksual meski hanya sekedar masturbasi, bukan karena dia tidak memiliki hasrat itu, tetapi ketika hal itu datang ia langsung menepisnya dengan melakukan aktivitas lain karena menganggap hal itu adalah sesuatu hal yang menjijikkan dan bertentangan dengan syariat agama.
Tetapi begitu dia merasakannya untuk pertama kali. Hal itu datang dengan sangat dahsyat.
Randy yang sudah berpengalaman dalam hal menaklukkan wanita membiarkan Annisa menikmati setiap detik waktu yang berjalan hingga orgasmenya reda.
Saat orgasme pertamanya sudah reda dan tangisan Annisa berhenti, Randy kemudian bangkit lalu memposisikan tubuhnya di antara kedua kaki Annisa tepat berada dihadapan selangkangannya.
Dia tarik lepas celana beserta cd-nya hingga menampakkan kemaluan Annisa yang putih bersih tanpa bulu sama sekali.
Annisa pun mengatupkan kakinya dan menutupi daerah intimnya itu karena Randy menatapnya tanpa berkedip.
Randy kemudian membuka lebar kaki Annisa seraya menyingkirkan tangannya agar tidak lagi menutupi daerah yang ingin dilihatnya.
Di luar dugaan, Annisa menuruti kemauan Randy tanpa perlawanan. Dia sudah seratus persen pasrah dengan apa yang akan dilakukan oleh Randy.
Randy menatap wajah Annisa yang masih sembab karena habis menangis. Ia lepaskan hijab yang selalu menutupi kepalanya.
Annisa mengikuti apa yang diinginkan oleh Randy, dan untuk pertama kalinya Annisa menampilkan rambut yang selama ini ia sembunyikan dari orang lain.
Randy menggerai rambut Annisa yang semula diikat. Dia terkesima dengan kecantikan Annisa yang natural. Tanpa sadar ia menarik sudut bibirnya. Ah, bisa-bisa Randy malah jatuh cinta kalau terus menatap ke wajah Annisa.
Perlahan ia dekatkan wajahnya ke organ intim Annisa yang terpampang jelas di hadapannya.
“Achhh…!!!”
Annisa mendesah kala lidah Randy terjulur membelah bibir kemaluannya. Kepala Annisa menengadah ke atas sambil menggigit bibir bawahnya.
Randy menemukan klitoris Annisa yang langsung ia jilati membuat Annisa kembali menggelinjang.
“Uhhh…shhh…uhhh…shhh…”
Kakinya ia hempasan ke kanan dan ke kiri merasakan sensasi menggelitik di area intimnya.
Lidah Randy semakin lama semakin menggila merangsang titik-titik sensitif dari Annisa hingga akhirnya…
Serrr…serrr…serrr…
Orgasme kedua dalam hidupnya datang.
“Ouhhh…shhh…ouhhh…shhh…ouhhh…”
Pinggulnya naik turun menyongsong bibir Randy yang sedikit ia tarik ke belakang. Otot perutnya kembali mengencang.
Wajah Annisa sudah berantakan. Rambut panjang Annisa yang tergerai menutupi sebagian wajahnya.
Lagi-lagi Randy memberikan kesempatan Annisa untuk meresapi kenikmatan yang datang, mengenalkan sebuah dunia baru bagi Annisa.
Ia teguk cairan kenikmatan yang keluar dari lubang peranakan Annisa. Dia hanya pasrah ketika Randy menjilati bersih organ intimnya.
Tidak habis pikir kalau Randy tanpa jijik menjilati lubang yang sering ia pakai untuk kencing. Dia putuskan untuk memejamkan mata sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan barusan.
Setelah orgasmenya mereda, Randy melepaskan celana jeans-nya beserta boxer yang menjadi dalamannya sehingga batang perkasa miliknya yang telah tegak sempurna mencuat keluar.
Randy tempelkan kepala kontolnya di kemaluan Annisa lalu menggerakkannya menggesek klitoris Annisa.
“Emphhh…”
Sontak Annisa kembali membuka mata untuk melihat apa yang bergerak nikmat di sana.
Matanya terbelalak kala melihat kemaluan lelaki untuk pertama kalinya secara langsung. Kalau bentuknya dia hanya pernah melihat secara sketsa saat pelajaran biologi waktu SMA.
“R…Randy!”
Annisa menatap wajah Randy yang masih fokus dengan aktivitas di bawahnya.
Randy melirik sekejap, melihat Annisa yang menatapnya tanpa berkedip, dia pun tersenyum lalu mencondongkan tubuhnya ke depan dengan bertumpu pada sikunya hingga wajah mereka begitu dekat.
Sejenak mata mereka saling bertemu. Bibir mereka semakin lama semakin dekat dan akhirnya kembali bertemu.
Randy memagut bibir Annisa yang merekah. Kali ini perlahan Annisa mengimbangi ciuman Randy sambil memejamkan mata.
Annisa sudah mulai rileks dan menerima seluruh perlakuan dari Randy. Tangan kiri Annisa melingkar di leher Randy tangan kanannya masih menahan dada Randy.
“Emmphhh…ccppp…shhh…ccppp…”
Annisa terlihat begitu menikmati ciuman itu. Tangan yang sedari tadi menahan dada Randy kini berpindah melingkar ke punggung Randy.
Entah lah apa yang akan terjadi jika akal sehatnya kembali. Mungkin ia akan menyesalinya seumur hidup.
Tiba-tiba Randy melepaskan ciuman itu hingga saliva tersambung dari bibir Randy ke bibir Annisa.
Annisa mengernyitkan dahinya merasa tidak rela Randy menyudahi aktivitas yang mulai membuatnya candu.
Randy tersenyum sesaat lalu kembali menegakkan tubuhnya. Dia kembali fokus dengan tubuh bagian bawahnya.
Dia gesek-gesekkan sebentar lalu kepala kontolnya ia arahkan ke lubang peranakan Annisa.
“Achhh…Randy!” pekik Annisa saat kepala kontol Randy sedikit membelah bibir vaginanya.
Meskipun kemaluannya sudah sangat basah tetapi lubang vagina Annisa masih sangat rapat sehingga Randy sedikit kesulitan untuk memasukkannya.
Randy mencoba beberapa kali, namun baru ia telan sedikit Annisa langsung mengerang kesakitan.
Lubangnya benar-benar sempit, bahkan lebih sempit dari milik Ririn ketika dulu ia memerawaninya.
Randy mencoba sedikit agak keras.
“Awhhh…Randy sakit…!!!”
Annisa meringis kesakitan, tetapi kepala kontolnya sudah masuk sebagian, ia tarik lagi kemudian melakukan itu berulang-ulang agar Annisa mulai terbiasa sebelum ia tekan hingga masuk sepenuhnya.
Saat Annisa sudah tidak terlalu kesakitan, Randy kembali memposisikan kontolnya dengan kepalanya yang sudah tertanam di dalam vagina Annisa.
Dia tekan sedikit lagi hingga bertemu dengan sebuah dinding selaput yang menjadi pertahanan terakhir Annisa sebelum melepaskan status ‘gadisnya’.
Randy memejamkan matanya seraya menghembuskan nafas dalam sebelum akhirnya…
•••
Prankkk…!!!
“Astaghfirullah!”
Seorang wanita paruh baya yang sedang mengaji di dalam kamarnya tersentak kaget saat tiba-tiba sebuah pigura jatuh dari dinding tanpa sebab yang jelas.
Dia kemudian bangkit dan menghampiri serpihan kaca yang berserakan. Di dalam pigura itu terdapat foto anak perempuannya yang saat itu sedang merayakan kelulusan SMP.
“Annisa!” panggilnya lirih.
Entah kenapa tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak. Seolah sedang terjadi peristiwa buruk yang menimpa anaknya itu.
Ia ambil foto itu namun tak sengaja sebuah serpihan kaca melukai jari telunjuknya hingga berdarah.
“Aww…astaghfirullah!”
Dia pun memegangi jari telunjuknya yang terluka.
“Teh, teteh gak papa?”
Sejenak datang seorang wanita yang mendengar benda jatuh itu.
“Gak papa Aisyah, cuma piguranya jatuh barusan,” jawab wanita itu sambil menyembunyikan luka di jari tangannya.
“Ya udah teteh duduk dulu, biar Ai yang beresin,” ucapnya lalu pergi untuk mengambil sapu dan serokan.
Adibah yang perasaannya tiba-tiba tidak enak kini tengah duduk di bibir ranjang sembari menatap ke tepian langit-langit.
“Astaghfirullah, sebenarnya apa yang sedang terjadi sama kamu nak!” batinnya tak tenang.
Bersambung