Part #24 : Petualangan Sexs Liar Ku
Aku tengah mengemudikan mobil menuju ke arah rumah Annisa. Ku ambil sebuah botol kecil di dalam dashboard lalu ku lihat sejenak.
Benda ini akan memuluskan rencana ku malam ini. Aku tersenyum singkat lalu kembali meletakkan benda itu ke posisi semula.
Mobil masuk ke dalam area perumahan elit. Kapan terakhir aku masuk ke sini ya? aku bertanya dalam hati.
Ku lihat pos satpam yang berada di tengah antara gerbang masuk dan gerbang keluar tidak ada penjaganya sama sekali. Makan gaji buta nih satpam.
Di jalan perumahan itu tampak sepi padahal hari itu malam minggu, mungkin penghuninya sedang keluar dari area perumahan atau malah diam di rumah.
Saat sedang membelokkan mobil ku melewati persimpangan tiba-tiba aku melihat beberapa pria dengan penampilan lusuh di dekat pos kamling dengan seorang wanita yang sedang meringkuk di bawah pohon sambil mengacungkan gunting.
Setelah aku perhatikan ternyata wanita itu adalah Annisa. Dengan cepat aku menghentikan mobil ku lalu turun dan berlari ke arah mereka.
“Anjirrr itu punya gue woyyy,” batin ku.
Salah satu pria itu semakin mendekati Annisa yang tampak tidak melakukan gerakan sedikit pun.
Lalu…
Bughhh…!!!
Dengan gerakan mejumeok naeryo chigi andalan ku, aku berhasil melumpuhkan pria itu dalam sekali hantaman. Namun karena gerakan itu aku lakukan dengan reflek, aku tidak sempat memprediksi kemana arah jatuhnya pria tersebut.
Alhasil dia jatuh ke arah depan menimpa Annisa yang saat itu tengah berjongkok sambil memegang gunting.
Mata ku sedikit terbelalak melihat pria itu jatuh menindih Annisa yang memekik keras.
Saat akan membantu Annisa untuk mengangkat pria itu, tiba-tiba dari arah belakang aku diserang oleh dua orang temannya yang lain.
Dengan insting ku saat mendapatkan bahaya, aku langsung menangkis pukulannya. Namun aku tak bisa menghindari pukulan yang kedua yang diarahkan ke pelipis ku dengan menggunakan botol minuman keras.
Prakkk…!!!
Aku menatap kedua orang itu dengan tatapan datar seolah pukulan itu tidak berpengaruh apapun terhadap ku, padahal aku merasa nyeri di bagian itu.
Darah mengalir di sepanjang pipi ku tapi tak aku hiraukan. Aku mendekat ke arah mereka masih dengan ekspresi yang sama.
Mereka berdua tampak sedikit ketakutan, lalu beberapa saat kemudian mereka sadar dan mencoba kembali menyerang ku dengan menusukkan pecahan botol itu ke arah perut ku.
Dengan cepat aku tendang botol itu dengan gerakan dubal dangsang ap chagi hingga terlempar ke sembarang arah dan lawan terhuyung ke belakang.
Temannya yang lain tidak tinggal diam, dia menyerang ku dengan pukulan asal-asalan yang yang pasti dengan mudah aku counter dan diakhiri dengan tendangan memutar dwi hurigi milik ku.
Setelah mereka berdua K.O, aku kembali berbalik untuk menolong Annisa yang tertimpa salah satu preman itu. Ternyata mereka masih dalam posisi yang sama.
Ku angkat preman itu dengan menarik kerah belakang bajunya lalu melemparkannya ke samping.
Aku lihat wajah sembab Annisa tampak terkejut melihat kehadiran ku. Ku lihat juga gunting yang dipegangnya berlumuran darah.
“RANDY!” pekiknya memanggil nama ku.
Annisa menatap ku dengan berkaca-kaca, sudut bibirnya tertarik sedikit membentuk senyum sendu. Tapi beberapa saat kemudian wajahnya justru berubah kesal.
“Kenapa lama? aku hampir mati kehabisan nafas tau?!” sergahnya masih dengan posisi duduk.
“Tadinya mau langsung gue tolongin, tapi dua curut itu nyerang gue dari belakang,” tunjuk ku ke arah dua orang yang baru saja aku beri K.O.
“Lagian kan gue suruh lu buat nunggu di rumah aja.”
“Aku takut ketahuan kak Icha.”
“Reza?”
Dia menggelengkan kepalanya.
“Dia lagi lembur,” balasnya singkat.
“Ya udah, tapi lu gak papa kan?” lanjut ku.
Annisa menggelengkan kepalanya seraya berucap.
“Alhamdulillah!”
“Bahaya kalo gitu!” timpal ku.
Dia mengernyitkan dahinya tidak mengerti.
“Itu!” tunjuk ku ke arah gunting yang berlumuran darah di tangan Annisa.
Sontak Annisa langsung melemparkan gunting itu ke sembarang arah sambil bergidik takut. Pandangan kami tertuju pada perut preman itu yang mengeluarkan darah.
“Wah,, kalo mati bisa panjang urusannya nih!”
Kalimat itu sukses membuat Annisa melotot panik.
“I…itu kan gak sengaja, lagian aku bisa berdalih kalo aku cuma membela diri.”
“Itu dia masalahnya, kalo adu visum pasti dia yang menang, lu kan gak ada luka apa-apa,” ucap ku menakut-nakutinya.
Wajahnya yang panik sangat lucu. Dia benar-benar wanita yang polos.
“Arkhhh…terus gimana dong?!” timpal Annisa frustasi.
Dia melipat kedua tangannya di atas lutut lalu menenggelamkan wajahnya di sana.
Aku tertawa puas tanpa suara karena telah berhasil mengerjainya. Sebegitu takutnya kah kalau masalah ini sampai ke ranah hukum? Padahal jelas-jelas kalau itu adalah percobaan pemerkosaan.
Aku pun mengulurkan tangan kepadanya.
“Udah nangisnya buat entar malem aja,” sarkas ku.
Semoga saja perkataan ku tidak dianggap sebuah ancaman olehnya. Karena aku keceplosan, upsss…!!!
Annisa mendongakkan kepalanya ke arah ku. Wajahnya sembab karena menangis.
“Terus dia gimana? bawa dia ke rumah sakit!” pinta Annisa.
“Alah,, orang kaya mereka lempar aja ke laut, ayok!”
Dia lalu menerima uluran tangan ku dan ku angkat hingga berdiri. Entah sadar atau tidak, padahal biasanya dia sangat anti apabila bersentuhan dengan pria yang bukan muhrimnya.
“Entar kalo mereka lapor polisi gimana?” ucapnya khawatir.
“Gue yang tanggung jawab.”
Annisa sedikit bernafas lega mendengar ucapan ku.
“Udah ayuk!” ajak ku kembali.
Dia mengangguk seraya mengikuti ku dari belakang.
•••
Kini aku tengah berada di dalam mobil Audi A6 milik Randy. Aku tidak tahu kalau dia anak orang kaya. Padahal saat pertama kali kita bertemu dia seperti orang yang tidak punya masa depan. Bukan menghina tapi kenyataan!
Aku termangu menatap keluar jendela. Masih dalam pikiran yang kacau karena baru saja aku mendapatkan pelecehan seksual. Aku merasa sangat kotor, tubuh ku telah dirasakan oleh pria yang bukan muhrim meski pun hanya sebatas menindih.
“Masih mikirin yang tadi?” tanya Randy yang sukses membuyarkan lamunan ku.
Ku putar bola mata ku ke arahnya. Dia melemparkan senyuman kepada ku. Kalau dilihat-lihat ternyata Randy itu tampan juga. Selama ini aku dibutakan oleh rasa benci ku terhadap sifatnya yang bad boy.
Ehh…tapi tunggu dulu…
“Pelipis mu?!” tunjuk ku ke arah bagian tubuh Randy yang mengeluarkan darah.
“Oh ya gue lupa!”
Sesaat kemudian dia mengambil tisu yang ada di atas dashboard lalu mengelap darah di sebagian pipinya.
“Cuma luka kecil kok,” jawabnya santai.
“Coba sini liat!”
Aku memegang rahang kuat Randy lalu menariknya ke samping agar dia menoleh ke arah ku. Untung saat itu kami sedang berhenti di perempatan lampu merah. Ku lihat ada luka robekan di sana.
“Kita ke apotik dulu!” perintah ku kepadanya.
“Hmm?!” balasnya merasa bingung.
Bukan aku sok peduli kepadanya, tapi aku merasa berhutang budi karena dia telah menyelamatkan aku dari preman tadi. Ingat pada kata yang bercetak tebal.
Randy terkekeh dengan sikap ku yang khawatir kepadanya. Aku tahu pasti di dalam hatinya dia merasa kepedean.
“Jangan salah sangka dulu, aku cuma gak mau berhutang budi sama kamu, aku mau malam ini kita impas!”
“Iya…iya…”
Dengan santainya dia kembali menjalankan mobil itu. Seperti yang aku minta, dia menepikan mobilnya di depan sebuah apotik.
“Tunggu di sini!”
“Uangnya?”
Aku tak menjawab lalu keluar dari mobil untuk membeli obat beserta hansaplast untuk menutupi lukanya.
“Diem!” perintah ku saat sedang mengobati lukanya.
Jarak wajah kami tidak terlalu jauh. Aku dapat melihat sorot matanya mengarah ke bibir ku, membuat ku beberapa kali membasahi bibir ku dengan lidah karena gugup.
Aduh kenapa sih aku ini? Kenapa aku jadi gugup seperti ini? Jantung ku berdegup kencang tak menentu. Sudah bisa dipastikan Randy dapat melihat rona wajah ku yang memerah seperti kepiting rebus.
“Aww…!!! sakit Nis!” pekik Randy saat tidak sengaja aku menggeser kapas di atas lukanya.
“E…eh…m…maaf!”
“Santai aja Nis, gak usah gugup gitu,” ucapnya seraya tersenyum memamerkan giginya yang tertata rapi.
Aku kesal namun ada rasa menggelitik di dada ku. Duh, jangan sampai lah aku punya perasaan padanya. Tujuan ku adalah untuk membalas Budi, tidak lebih!
Setelah selesai mengobati lukanya, aku kemudian membalut luka itu dengan hansaplast agar tidak infeksi terkena debu.
“Makasih ya,” ucapnya berterima kasih.
“Hmm…”
Aku letakkan obat itu di atas dashboard lalu kembali ke posisi semula. Dia lalu mulai menjalankan mobilnya kembali.
“Kita mau kemana?” tanya ku saat kami masuk ke dalam pusat kota.
“Maunya kemana?”
“Ishhh, ditanya malah nanya balik.”
Randy terkekeh tanpa menimpali ucapan ku. Beberapa saat kemudian mobil mengarah ke sebuah restoran yang cukup elit.
“Silahkan tuan putri!” ujar Randy setelah dia membukakan pintu untuk ku.
“Kenapa ke sini? duh penampilan ku berantakan.”
Aku membenahi pakaian ku yang masih sedikit kotor karena kejadian tadi. Mata ku masih sembab.
“Udah ayok, lu cantik kok gak usah ditambah lagi entar kelewatan.”
“Kelewatan apaan?”
“Kelewatan cantiknya,” jawabnya sambil tertawa kecil.
Aku mendengus kesal, tapi saat dia berbalik memunggungi ku tanpa sadar aku menarik kedua ujung bibir ku.
Aku memang jarang sekali dekat dengan pria, bukan karena aku tidak laku tetapi aku yang memutuskan untuk menjaga jarak dengan mereka karena sebagai wanita aku harus menjaga kehormatan ku untuk suami ku kelak.
Tapi untuk kali ini aku beri pengecualian. Aku tidak bisa hidup dengan rasa penasaran seperti ini. Ini untuk yang pertama dan yang terakhir kalinya.
Setelah aku mengetahui fakta di balik ini semua aku tidak akan berurusan lagi dengannya.
Di dalam kami duduk di salah satu meja restauran. Nuansa klasik tercipta saat sebuah band membawakan lagu dengan saxophone.
“Kenapa celingak-celinguk gitu?” buka Randy yang merasa aku seperti tidak nyaman dengan situasi itu.
“Ini terlalu berlebihan, kita kan cuma mau bahas tentang hal itu,” balas ku.
“Pesan dulu!”
Aku menghembuskan nafas frustasi karena dia belum juga mau membuka suara tentang hal yang ingin ku dengar.
“Gue janji nanti bakalan gue kasih tau semuanya.”
Kata-kata itu membuat ku kembali mengikuti permintaannya. Aku kemudian memesan makanan. Pilihan ku jatuh ke salah satu seafood yang pernah aku coba buat namun gagal. Aku penasaran saja bagaimana rasa asli dari resep makanan yang aku temukan di YouBute itu.
“Habis makan! entar lu pulang duluan lagi kalo gue ceritain di awal,” pungkasnya yang sadar kalau aku masih menatapnya penuh selidik.
Beberapa saat berlalu tanpa kata, aku sibuk memainkan ponsel di tangan ku. Namun fokus ku langsung teralihkan ketika sudut mata ku menangkap sosok yang sangat aku kenal.
Dia sedang berjalan bergandengan tangan dengan seorang wanita yang ku taksir umurnya tidak jauh beda dengan bunda.
“Kak Reza?!” batin ku.
Aku tidak salah lihat kan?
Aku kembali memfokuskan pandangan ku ke arah dua insan yang terlihat mesra itu.
Tidak, aku tidak salah lihat kalau itu memang kak Reza, tapi kenapa?! apakah selama ini dia bohong ketika bilang kalau dia selalu lembur pada saat akhir pekan. Apakah dia menjadi simpanan tante-tante?
“Astaghfirullah!” ucap ku sambil mengelus dada.
Rasanya sesak melihat pemandangan itu. Di saat istrinya di rumah tengah menunggu sang suami pulang ke rumah, tapi ternyata suaminya sedang berselingkuh dengan wanita lain. Apalagi menjadi simpanan tante-tante.
“Kenapa?” tanya Randy yang merasa aneh.
“Eng..***k papa kok, aku ke toilet dulu, mau basuh muka.”
“Randy hanya mengangguk pelan.”
Aku kemudian beranjak dari kursi menuju ke toilet. Aku harus mendapatkan kejelasan, jangan berburuk sangka dulu meskipun pemandangan tadi sama sekali tidak dibenarkan.
Aku coba telpon kakak ku, dan ku intip mereka dari sudut yang aman.
Tuttt…tuttt…tuttt…
Aku lihat pria itu melihat ke arah ponselnya. Itu pasti dia melihat ada panggilan masuk dari ku.
“Halo Nis? kenapa?”
Kak Reza menempelkan satu jarinya di depan bibir agar sang wanita tidak berbicara sesaat.
“Kakak dimana sekarang?” tanya ku mengetesnya.
“Masih di kantor ini, banyak berkas yang harus selesai, kamu mau titip apa kalo kakak pulang?”
Bibir ku bergetar penuh emosi. kakak ku berbohong, rasa kecewa hinggap di dada ku. Air mata ku lolos begitu saja.
“Kenapa kak? kenapa kakak lakuin ini!” ucap ku dalam hati.
“Halo Nis?”
“E…eng Nisa pesen martabak manis aja kak,” jawab ku mencari alasan kenapa aku menelponnya.
“Ya udah nanti kalo belum tutup kakak beliin, udah dulu ya, kakak lagi sibuk banget sekarang takutnya malam ini gak selesai,” balasnya langsung menutup panggilan itu.
Badan ku seketika lemas. Aku terduduk dengan bersandarkan tembok. Kak Reza yang selama ini aku banggakan, melakukan hal menjijikkan itu.
Baiklah aku tidak boleh kalut, aku harus bersikap normal. Sejenak aku berdiri lalu membasuh wajah ku yang sembab.
Kemudian aku kembali ke meja dimana aku dan Randy duduk. Posisi kak Reza saat itu memunggungi kami, jadi sepertinya sudut kami aman.
Aku dapat melihat wanita yang datang bersama kak Reza itu. Dari penampilannya terlihat glamor ala Tante girang.
“Kok lama?”
“Urusan cewek,” jawab ku sekenanya.
Randy hanya mengangguk tak banyak bicara lagi. Kami menyantap makanan dalam diam, rasa makanan yang tadi membuat ku penasaran tidak aku hiraukan. Aku menyelesaikannya dengan cepat.
Aku kemudian meneguk air putih yang sengaja aku pesan karena rata-rata minuman restauran itu beralkohol atau paling tidak memiliki soda.
Ku lihat Randy senyum-senyum saat aku meneguk air putih itu. Heran kenapa dia begitu excited melihat ku minum.
“Ahhh…”
Selesai minum aku mengelap bibir ku dengan tisu.
“Ayo cepat ceritain!” sosor ku ketika Randy juga telah selesai dengan makanannya.
“Oke gue akan cerita, tapi lu harus siap mental dulu,” ucapnya memperingati ku.
Aku hanya mengangguk pasti.
“Emm,, mulai dari mana nih?”
“Dari awal!”
Begitu saja masih ditanya, dasar lelaki aneh. Dia tersenyum sesaat.
“Lu masih inget kan waktu acara pernikahan kakak pertama lu? waktu itu secara tertutup keluarga lu ngadain pertemuan buat bahas tentang perjodohan antara Reza sama Ranty?”
Sejenak aku mengingat-ingat. Ya memang ada pertemuan semacam itu, aku pun ada di sana, tapi kenapa dia bisa tahu?
“Mereka nerima perjodohan itu tapi yang sebenarnya terjadi, Reza diam-diam nemuin nyokap gue dan dengan lancang dia nyatain perasaan cintanya ke nyokap gue!”
Aku terbelalak mendengar penuturannya. Ibunya dia bilang? Memang siapa ibunya?
“Rosemala!” jawabnya seakan tahu apa yang ada dalam pikiran ku.
Deggg…!
Aku tutup mulut ku dengan tangan kanan ku tidak dapat berkata apa-apa lagi. Jadi Randy ini anaknya Tante Rosmala sekaligus adik dari kak Ranty?
“A…apa?” kata ku terbata-bata.
Tiba-tiba aku merasakan pusing dan mual. Keringat keluar mengucur padahal ruangan itu ber-AC.
“Iya tapi nyokap gue nolak Reza mentah-mentah karena itu dapat menimbulkan skandal.”
Aku masih mendengarkan dengan seksama. Jantung ku berdetak semakin cepat dari biasanya.
“Tapi Reza gak nyerah gitu aja, setelah dia kuliah di Jakarta karena ngikutin kemauan teh Adibah agar dia dan Ranty semakin dekat, Reza jadi lebih bebas buat deketin nyokap gue.”
“Dan akhirnya nyokap gue nerima cinta Reza dan mereka memulai skandal perselingkuhan itu,” lanjutnya.
Aku menggigit bibir bawah ku. Aku masih bisa mendengarkan perkataan Randy tapi respon tubuh ku aneh.
“Mau dilanjut apa udahan?” tanya Randy yang mungkin menangkap ku tidak fokus mendengar ucapannya.
“Te…terus apa yang mereka lakukan?” balik bertanya.
Randy hanya tersenyum lalu menyatukan jari telunjuk dan jempol membentuk huruf ‘O’, lalu telunjuk satunya keluar masuk di lingkaran itu.
Aku menggelengkan kepala ku tidak percaya. Aku tahu kode yang diberikan oleh Randy. Jadi kak Reza dan Tante Rosemala sudah melakukan hal menjijikkan itu!
Aku pegang samping kepala ku dengan kedua tangan, hampir tak sanggup lagi meneruskan ceritanya. Hati ku sakit, kenangan-kenangan ku bersama kak Reza dan keluarga ku dulu hancur.
Tidak menyangka kalau kakak yang selama ini menjadi panutan ku telah melakukan zina yang paling menjijikkan.
“Lu tau, kakak lu bukan cuma main sama nyonya gue tapi sama banyak wanita, termasuk Ranty dan Icha kakak ipar lu sekarang!”
Lagi-lagi aku dipukul dengan kenyataan yang membuat hati ku sesak. Dada ku panas merasakan emosi.
“Sampai akhirnya gue sama Icha jebak Reza waktu dia lagi main sama Icha di kostnya, gue dateng sama nyokap gue buat ngelabrak mereka.”
Pikiran ku dengan sendirinya terlempar ke beberapa hari yang lalu saat aku menguping pembicaraan kak Reza dan kak Icha di kamar.
“Aku emang udah curiga dari awal, dari saat Tante Rose nangkep basah kita waktu di kost, gak mungkin dia bisa dateng sama si brengsek Randy itu kalo bukan ada bantuan dari kamu!”
Tepat! Akhirnya serpihan puzzle yang selama ini aku susun telah terbentuk sempurna kala apa yang aku dengar dari kak Reza dan apa yang diucapkan Randy cocok.
Usai sudah pencarian ku selama ini tentang masa lalu mereka. Kini rasa penasaran ku berubah menjadi rasa benci kepada kakak ku.
Pandangan ku arahkan kepada lelaki yang sedang menggenggam tangan mesra wanita yang lebih pantas menjadi ibunya itu.
“Kak Reza, Nisa kecewa sama kakak! Tega kakak lakuin ini sama keluarga kita!” ucap ku dalam hati.
Melihat sorot mata ku memandang ke belakang dirinya. Randy kemudian menengok ke belakang.
“Lagi ngeliatin apa?” tanya Randy yang tidak mengetahui kalau punggung yang barusan dilihatnya itu milik kak Reza.
“Kak Reza!” jawab ku singkat.
Seketika dua orang yang sedang aku perhatikan itu berdiri hendak pergi dari restoran itu.
Aku menyentuh tangan Randy lalu berdiri.
“Ikutin mereka!”
Aku langsung menarik tangan Randy untuk segera mengikuti mereka. Setelah membayar kami langsung masuk ke mobil lalu mengikuti mobil hitam yang dikendarai oleh kak Reza.
Di dalam mobil aku merasa tubuh ku benar-benar aneh. Apa aku tadi salah makan? sepertinya baik-baik saja.
Saat itu tiba-tiba tangan Randy menggenggam punggung tangan ku yang berada di atas paha ku.
Kaget, aku merasakan sentuhan itu membuat hati ku berdesir. Tanpa sadar aku justru membalikkan telapak tangan agar kami sama-sama saling menggenggam.
Desiran aneh menjalar dari arah sentuhan Randy mengalir ke sekujur tubuh. Hati ku gelisah, ada sesuatu yang ingin meledak dari dalam tubuh ku tapi aku tidak tahu apa.
Ku genggam tangan Randy semakin keras. Sesekali dia usap punggung tangan ku dengan jempolnya. Ku biarkan dia melakukan itu atau aku malah menginginkannya?
Aku sentuh area intim ku karena merasa lembab di area sana. Hah basah?! Ngompol kah diri ku.
“Shhh…hmm…” desah ku kecil saat aku menekan bagian itu.
“Kenapa tuan putri?”
Pertanyaan Randy mengagetkan ku. Sadar aku menarik tangan ku dari genggaman tangannya.
Aku gigit-gigit jari jempol ku untuk menetralisir rasa itu. Keringat mengucur semakin deras membasahi hijab hingga pakaian ku.
Aku merasa sangat gerah, ingin ku lepaskan hijab ku.
“Astaghfirullah!” timpal ku yang sempat berpikir demikian.
Aku mengelus-elus dada ku mencoba kembali fokus ke arah mobil yang sedang kami ikuti.
Mobil itu masuk ke sebuah area yang cukup remang.
“Dimana ini?” tanya ku kepada Randy.
Dia tidak menjawab namun hanya menunjuk ke sebuah papan dengan lampu LED bertuliskan ‘Amnesia Club Karaoke & Lounge’.
Meskipun aku tidak pernah ke sini tapi aku tahu tempat macam apa ini. Tempat para pendosa menikmati dosa-dosanya.
“Astaghfirullah!”
Sekali lagi aku mengucapkan istighfar karena aku sudah berada di tempat maksiat itu.
“Mau masuk atau?” ucap Randy menggantung.
Aku berfikir sejenak, ku lihat kak Reza sudah di pintu masuk bersama selingkuhannya.
Di satu sisi aku sangat jijik untuk menapaki tempat itu tapi di sisi lain aku ingin melihat apa yang dilakukan kak Reza di dalam, yang pasti bukan hal yang baik.
“Ayok!”
Dengan berat hati aku mencoba masuk ke dalam sana.
“Mana KTP lu?” pinta Randy.
Setelah kami menyelesaikan administrasi, kami masuk ke dalam sana. Suara dentuman musik langsung terdengar keras di telinga ku membuat kepala ku semakin pening.
Gelap sekali! aku hampir tidak dapat melihat apapun. Yang terlihat hanya sinar-sinar laser yang bergerak tak beraturan.
Beberapa orang melihat ku sinis. Dari seluruh pengunjung di sana hanya aku yang memakai hijab dan berpakaian tertutup tanpa menampilkan lekuk tubuh ku.
Tak aku hiraukan tatapan-tatapan itu, toh mereka gak lebih baik dari ku. Ku edarkan pandangan ke penjuru diskotik itu. Tiba-tiba Randy menarik tangan ku ke dekat bartender.
“Tuh sebelah sana,” tunjuk Randy ke arah dua orang yang sedang turun ke floor sambil berjoget.
Tangan ku sudah mengepal. Emosi ku memuncak. Mereka dengan tidak tahu malu berpelukan sambil saling berciuman penuh gairah.
Nafas ku sesak, di dalam sana memang sangat gerah berebut oksigen dengan orang banyak. Aku menoleh ke samping, ku lihat Randy tengah memesan minuman beralkohol lalu meneguknya. Sama saja ternyata dia dengan yang lain.
Fokus ku kembali kepada mereka. Mereka seperti sudah tidak punya adab. Jadi selama ini kak Reza melakukan hal menjijikkan seperti itu.
Seketika aku tersentak ketika sebuah tangan dengan lancangnya merangkul pinggang ku dan menempelkannya di tubuhnya.
“Randy lepas!”
Aku berusaha untuk melepaskan pelukannya namun aku terlampau lemah dan ada sesuatu yang berdesir di dalam dada ku yang membuat diri ku hanya pasrah atas apa yang dia perbuat.
Hmm, bau alkohol tercium dari mulut Randy. Apa dia sedang mabuk?
“Randy kamu mabuk?!” tanya ku agak keras agar didengar oleh Randy.
“Hah?! Apa?! Mabuk? Gak kok, gue gak mabuk,” jawabnya sambil menyeringai.
Jelas-jelas dia sedang mabuk.
Dari belakang dia mempererat pelukannya. Tangannya sudah melingkar sempurna di dada ku.
“Ahhh…shhh…” desah ku ketika tangan kirinya meremas payudara kanan ku dan tangan satunya berada di perut ku sedang mengelusnya.
Aku gigit bibir bawah ku, pertahanan ku hancur. Cuma segini kah keimanan ku? Aku merutuki diri ku sendiri, tapi tubuh ini menginginkan sebaliknya, menginginkan hal yang lebih jauh dari ini.
Aku diam saja malah justru ikut menikmatinya. Tangan ku ku tumpuk di atas punggung tangannya ikut meremas payudara ku sendiri.
Tangan kanan yang semula berada di perut ku ditariknya. Ternyata dia mengambil gelas berisikan minuman lalu meneguknya.
Setelah itu dia memegang rahang ku dengan tangan kanannya lalu memutar kebelakang dan…
Cuppp…
Aku tersentak kaget, ciuman pertama ku yang ku persiapkan untuk suami ku kelak dirampas olehnya. Tubuh Randy yang tinggi membuat ku harus menengadah ke atas untuk menerima ciuman itu.
“Emphhh…”
Lagi-lagi tubuh ku mengkhianati ku. Tanpa di sadari aku malah membuka mulut ku memberikannya akses lebih luas. Lalu seketika…
Serrr…
Aku merasakan suatu cairan aneh masuk melewati tenggorokan ku. Hah?! Apa ini? Aku langsung terbatuk-batuk namun Randy tidak membiarkan ku merubah posisi ku.
Ternyata itu adalah minuman yang sebelumnya dia teguk namun tidak ia telan melainkan ditahan di dalam mulut.
Lagi dosa besar telah aku lakukan. Kali ini aku meminum cairan haram itu. Cairan yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran ku untuk meminumnya.
Randy kembali menuangkan minuman itu di gelas, kali ini dia meminumkannya kepada ku langsung dari gelas itu.
Hingga beberapa saat kemudian pandangan ku mulai kabur sampai akhirnya aku tak sadarkan diri.
Bersambung