Part #9 : Petualangan Sexs Liar Ku
Karena merasa bosan, aku lalu memutuskan untuk pergi jalan-jalan, mumpung aku dapat pinjaman motor dari Justin.
Sekalian refreshing keliling Bandung. Hitung-hitung untuk lebih mengenal tempat di sini.
Aku kemudian beranjak menuju garasi tempat motor itu diparkirkan. Saat aku menyalakan lampu garasi aku tertegun.
“Wow motor Kawasaki ninja new version,” ujar ku dalam hati. (Tidak disebutkan versinya karena berpengaruh terhadap timeline cerita).
Aku usap body motor itu yang berwarna merah. Dalam hati aku berdecak kagum sekaligus beruntung bisa dipinjami motor sekeren itu.
Tak berselang lama aku bersiap-siap dengan memanasi motor yang aku perkirakan sudah lama tidak menyala, kemudian memakai jaket dan helm yang ada di sana juga.
Setelah aku keluarkan motor itu dari garasi, tidak lupa aku mengunci rumah Justin agar tidak kemasukan maling.
Kemudian aku mulai memacu motor itu keluar dari perumahan.
“Gelo sia boy, tarikannya mantap pisan euy…!!!”
Beberapa kali aku menarik gas dengan kencang. Jauh sekali dengan motor ku yang aku tinggal di Jakarta.
Aku pun merasa keren sekali dengan mengenakan jaket kulit, helm full face, dan motor ninja, aku merasa seperti anak jalanan, ehh…
Hampir satu jam aku berkeliling Bandung tanpa tahu arah dan tujuan. Aku melihat ke arah Speedometer, ternyata bensinnya sudah hampir habis.
Aku tidak tahu kalau motor itu begitu boros. Akhirnya aku mampir ke pom bensin untuk mengisi bahan bakar.
Tidak enak juga aku terhadap Justin kalau aku meminjam motornya dan pulang dengan bensin kosong.
Alhasil seratus ribuan keluar dari kantong ku. Pusing juga aku dibuatnya. Persediaan uang saku ku sudah menipis.
Beruntung aku dapat menumpang tinggal di rumah Justin dan makan minum secara gratis, kalau tidak mungkin aku sudah berakhir di emperan toko seperti yang dikatakan Lisa.
Aku tidak bisa berdiam diri seperti ini terus. Dengan tidak ada kejelasan tentang hasil seleksi ku di GB, aku harus memiliki penghasilan lain untuk bertahan hidup.
Tidak enak juga aku terus-menerus mengandalkan Justin. Dia sudah banyak membantu ku, tetapi aku sama sekali tidak punya gambaran apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan uang.
Karena tidak tahu harus kemana lagi, maka aku memutuskan untuk mampir ke salah satu mall di dekat situ. Paling tidak untuk ngadem di cuaca yang sedang terik.
Saat aku masuk ke dalam mall tersebut, aku mendapati pengunjung yang tidak terlalu ramai, cocok untuk sekedar bersantai sambil memandang pengunjung yang sebagian besar dari kalangan menengah ke atas.
Di sana aku berjalan melihat-lihat barang yang dijual tanpa ada hasrat ingin membelinya.
Di saat aku sedang berjalan di lantai satu mall tersebut, tiba-tiba aku mendengar beberapa orang berteriak histeris.
“Aaaaaaaaaaa….!!!!”
Aku pun panik karena tidak tahu apa yang terjadi. Namun dari sorot mata mereka mengarah ke atas.
Dengan cepat aku ikut menengok ke arah atas. Tanpa disangka dan tanpa diduga aku melihat sesuatu menyerupai boneka jatuh tepat ke arah ku.
Dengan reflek yang baik aku tangkap benda itu, namun karena dorongan gravitasi yang kuat genggaman ku hampir saja terlepas.
Secara cepat aku langsung balikkan badan ku agar benda itu berada di atas tubuh ku dan…
Braakkkk…!!!
Aku pun terjatuh dengan posisi terlentang dan sesuatu yang jatuh tadi berada di pelukan ku.
“Aduhhh…!!!” pekik ku.
Sesaat berselang aku lihat benda yang barusan aku tangkap itu. Terkejut aku melihat ternyata itu bukanlah sebuah boneka melainkan seorang anak kecil berusia sekitar 2 tahun.
Setelah itu dengan cepat aku dikerumuni oleh orang-orang yang ada di sana. Anak itu tampak menangis dengan keras. Namun beruntung tidak ada luka yang serius.
Beberapa orang tampak bertepuk tangan sembari menepuk-nepuk pundak ku, dan beberapa orang lagi mengecek keadaan anak itu.
Tidak lama kemudian, datang lah seorang lelaki dan seorang perempuan menghampiri kami dengan ekspresi khawatir.
“Astaghfirullah,, kamu gak papa nak?!” seru wanita itu sambil menangis seraya mengambil anak itu dari dekapan ku.
“Alhamdulillah,, terimakasih mas, kamu sudah menolong anak kami,” ucap lelaki yang datang bersama wanita itu yang ku tebak adalah suaminya.
Aku pun bangkit dari duduk ku.
“Gak papa pak, itu sudah tugas saya sebagai manusia harus saling tolong menolong,” jawab ku sambil membersihkan baju ku yang sedikit kotor karena terjatuh tadi.
Anak itu kemudian dibawa menepi dari kerumunan oleh ibunya. Saat aku akan beranjak untuk pergi, lelaki itu menahan ku.
“Mas, jangan pulang dulu, ikut saya sebentar ya,” pintanya.
Aku pun hanya mengiyakan permintaannya lalu mengikuti ke arah mereka pergi.
Ibu dari anak yang barusan aku tolong itu berhenti di sebuah kursi yang tidak jauh dari situ namun situasinya tidak terlalu ramai.
Dia menangis sesunggukkan karena masih syok mengetahui bahwa dirinya hampir saja kehilangan anak yang disayanginya.
“Terimakasih sekali lagi mas sudah nolong anak saya, kalo gak ada mas pasti anak saya sudah gak ada.”
“Jangan bilang gitu pak, ini sudah takdir kalo anak bapak akan selamat, dan jalannya lewat saya,” ucap ku sedikit merendah.
Lalu lelaki itu merogoh saku belakang celananya dan mengambil dompet miliknya.
Dikeluarkannya uang seratus ribuan sebanyak sepuluh lembar lalu ia berikan kepada ku.
“Maaf mas jangan tersinggung, ini ada sedikit rejeki buat mas karena sudah menolong anak saya.”
Reflek aku menolak pemberiannya karena dari awal aku tidak berniat menolong, hanya saja anak itu jatuh tepat ke arah tubuh ku.
“Gak usah pak, saya nolongnya ikhlas kok,” tolak ku dengan sopan.
Namun setelah aku pikir-pikir kenapa juga aku menolak uang senilai 1 juta ya, padahal aku sedang membutuhkan uang.
Aku pun mengutuk diri ku sendiri. Ingin berubah pikiran tetapi aku gengsi.
“Gak papa mas, ambil aja,” tawarnya lagi.
Sejenak aku terdiam, aku lalu menggaruk bagian kepala samping ku seolah berfikir untuk menerimanya atau tidak.
Namun beberapa saat kemudian aku memiliki ide yang lain yang mungkin bisa aku manfaatkan.
“Maaf pak, saya tetap tidak bisa menerima uang itu, tapi kalo bapak mau membantu, saya punya permintaan,” ungkap ku dengan hati-hati.
“Permintaan apa itu mas?” tanya lelaki itu.
“Kalo boleh saya minta pekerjaan.”
Lelaki itu tampak terdiam mendengar permintaan ku, kemudian dia menegakkan badannya yang semula sedikit menunduk saat memberikan uang itu kepada ku.
“Jadi kamu butuh pekerjaan?”
Aku hanya mengangguk pelan. Dia kemudian kembali mengambil sesuatu dari dalam dompetnya.
“Untuk sekarang saya gak ada lowongan, tapi karena kamu sudah berjasa menolong anak saya…”
Dia tidak melanjutkan kata-katanya lalu menyerahkan sebuah kartu nama beserta uang 1 juta yang tadi aku tolak.
“Ini kartu nama saya, datanglah hari Sabtu atau Minggu. Insya Allah saya ada di rumah.”
Aku lalu menerima kartu nama itu beserta uangnya.
“Terimakasih pak, tapi uangnya gak usah,” ucap ku seraya mengembalikan uang yang aku pegang.
“Sudah, uangnya kamu terima aja, saya ikhlas kok,” tolak lelaki itu.
“Ya udah kalo bapak memaksa saya terima uangnya.”
Kemudian aku menaruh uang beserta kartu nama itu di dalam saku ku.
“Kalo gitu saya permisi dulu pak bu,” pamit ku kepada mereka walaupun mereka belum terlalu tua, lebih cocok dipanggil om dan tante.
“Terimakasih ya mas.”
Kali ini ucapan diberikan oleh wanita yang sedari tadi diam sedang menenangkan anaknya.
Dia tersenyum manis kepada ku. Aku menundukkan tubuh ku dan membalas dengan senyuman juga.
Setelah itu aku pergi dari mall itu dengan perasaan yang senang karena mendapatkan rejeki nomplok.
Kemudian entah dapat ide dari mana, aku memutuskan untuk pergi ke kampus tempat Justin dan Anes kuliah.
Sesampainya di sana aku memarkirkan motor ku, lalu aku berjalan-jalan di sekitar area kampus. Siapa tahu ketemu karakter baru.
Saat sedang berjalan-jalan, aku berpapasan dengan seorang mahasiswi yang mengenakan hijab. Dari wajahnya saja aku sudah mengingat kalau dia adalah adiknya Reza.
“Kebetulan banget nih,” pikir ku.
Tidak aku sia-siakan kesempatan itu, aku pun mendekatinya.
“Hai!” sapa ku kepada dirinya.
Dia sejenak berhenti berjalan lalu menoleh ke arah ku. Sesaat dia terdiam sambil menatap ku dengan tatapan datar.
“Assalamualaikum!” ucapnya ketus lalu kembali berjalan melewati ku.
“Waalaikumusalam!” jawab ku membalas salam darinya kemudian ikut berjalan mensejajarkan langkah ku dengan dia.
Dia menoleh ke arah ku seraya mengernyitkan dahinya karena heran ada orang sok kenal sok dekat.
“Mau kemana?” tanya ku kepadanya.
“Mau tau aja!” balasnya dingin.
“Jutek amat jadi orang, entar cepet tua loh,” ujar ku dengan nada rendah karena tujuan ku bukan untuk memprotes sifatnya kepada ku.
Dia lagi-lagi tidak mengindahkan perkataan ku dan terus berjalan. Aku tetap mengikuti langkahnya.
Sejenak dia berhenti, aku ikut berhenti. Kemudian dia kembali berjalan, aku juga ikut berjalan. Aku sudah seperti bebek yang mengikuti induknya. Dia tampak risih dengan kelakuan ku.
“Ihh,, apaan sih ikut-ikut mulu,” protesnya kembali menghentikan langkah.
“Hehehe,, gak papa, aku cuma pengin kenalan aja,” ungkap ku sambil menyodorkan telapak tangan ku untuk bersalaman.
Dia hanya menatap telapak tangan ku singkat lalu berujar.
“Bukan muhrim!”
Setelah itu dia berlalu meninggalkan ku. Sesaat aku hanya menatap kepergiannya sambil berkacak pinggang dan menggelengkan kepala ku karena tidak habis pikir sifatnya bisa sedingin es.
Namun aku tidak menyerah. Aku kembali mengikutinya secara diam-diam. Aku harap dia tidak menyadarinya.
Setelah aku ikuti, ternyata dia pergi ke perpustakaan. Aku pun ikut masuk ke sana.
Dia tampak sedang memiliki-milih buku mana yang akan dia baca. Dia buka buku yang diambilnya sambil berdiri.
Dari seberang dirinya, aku berpura-pura sedang mencari buku juga. Saat itu posisi kami berhadapan dan hanya dibatasi oleh rak buku yang cukup tinggi. Namun aku masih dapat melihat dirinya dari celah rak yang cukup besar.
Sejenak dia melirik ke arah ku. Aku langsung menutupi wajah ku dengan buku yang aku pegang. Lalu dia kembali berpaling.
Setelah selesai dia memilih buku, dia kemudian pergi ke salah satu meja untuk membaca.
Aku kemudian menghampirinya sambil membawa buku dan duduk tepat di hadapannya lalu bertingkat seolah sedang ikut membaca. Dia sadar akan keberadaan ku.
“Ngapain sih kamu ngikutin aku sampe ke sini?” protesnya kepada ku.
“Yee,, siapa juga yang ngikutin, orang aku mau baca juga,” sergah ku.
Dia tidak menimpali, hanya melanjutkan membaca dengan muka kesal. Sejenak kami terdiam sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Dia sibuk membaca, aku sibuk memperhatikan dia membaca. Sesekali dia melirik ke arah ku, sesekali juga dia tersenyum tampak sedang menahan gelak tawa.
Aku mengernyitkan dahi ku. Memangnya apa yang salah dengan ku. Aku pun mengusap-usap wajah ku takut ada sesuatu yang menempel.
“Ehh,, kenapa kamu ketawa-ketiwi begitu?” tanya ku penasaran.
“Enggak,, gak ada apa-apa kok,” jawabnya sambil mencoba untuk mengkondisikan raut wajahnya.
“Hufttt…”
Dia menghembuskan nafas dalam.
“Ihh,, serius kenapa?” tanya ku lagi.
Lagi-lagi dia menahan tawanya.
“Itu buku mu kebalik!” ucapnya sambil menunjuk ke arah cover buku yang sedang aku pegang.
Dengan raut wajah oon aku melihat ke arah yang ia tunjuk.
“What?!”
Aku hanya cengengesan sambil menggaruk belakang kepala ku yang tidak gatal.
“Hihihihi…!!!”
Tiba-tiba tawanya pecah, dia tampak tidak bisa menahannya lagi, telapak tangannya ia gunakan untuk menutupi mulutnya. Aku pun ikut tertawa bersama dirinya.
“Hehehe,, bisa ketawa juga, kirain mukanya kaku gak bisa ditarik ke belakang.”
Dia lalu berhenti tertawa, namun sudah tidak menampakkan wajah yang dingin seperti sebelumnya.
“Nama ku Randy, nama kamu siapa?” kata ku sambil menyodorkan tangan.
Dia kemudian menatap ku.
“Nama ku Annisa,” jawabnya singkat tanpa menyambut sodoran tangan ku.
“Ohh Annisa, namanya cantik kaya orangnya, hehehe…” ujar ku menggombalinya.
Annisa tampak cuek lalu kembali membaca buku. Aku hanya diam sambil memangku dagu ku di meja sembari memandangi wajahnya.
Ditatap secara intens seperti itu Annisa tampak jengah. Dia lantas menutup buku yang dibacanya kemudian menatap ku.
“Sebenernya apa sih mau mu deket-deket aku?” tanya dia dengan nada meninggi.
“Aku deketin kamu karena…” kata ku sengaja ku gantung.
Annisa memicingkan matanya.
“Aku suka sama kamu!” jawab ku dengan lantang.
“Apa?!”
Dia tampak terkejut.
“AKU SUKA SAMA KAMU!”
Kembali aku ulangi kata-kata ku dengan lebih keras hingga beberapa orang yang berada di situ sontak menengok ke arah kami semua.
Annisa diam mematung, hanya bola matanya yang bergerak ke sana kemari mengedarkan pandangannya ke orang-orang yang menatap kami.
Wajahnya memerah karena menahan malu.
“Maaf mas, mbak ini perpustakaan bukan kafe. Kalo mau pacaran jangan di sini!” sergah seorang penjaga perpustakaan yang merasa terganggu dengan kami.
Kemudian tanpa banyak basa-basi Annisa langsung menutup bukunya dan beranjak dari tempat duduk itu.
Namun saat dia akan pergi, dengan cepat aku menarik tangannya hingga dia agak sedikit mundur ke belakang.
Dia pun menatap ku dengan tatapan amarah tetapi tidak mengeluarkan sepatah kata pun, mungkin takut akan ditegur lagi oleh orang lain.
Annisa lalu berusaha sekuat tenaga untuk lepas dari jeratan tangan ku. Hingga akhirnya aku mengalah karena matanya sudah berkaca-kaca hendak menangis.
Setelah lepas dia dengan cepat berlari keluar dari perpustakaan. Melihatnya berlari lantas aku langsung mengejarnya.
Di luar perpustakaan dia menghentikan larinya dan dilanjutkan dengan berjalan cepat. Aku yang berhasil mengejarnya lalu mengulurkan tangan ku untuk menggapai tangannya.
“Annisa tunggu!”
Belum sempat aku menggenggam tangannya, dia langsung berbalik dan…
Plakkk…!!!
Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipi kiriku. Sejenak dia kibas-kibaskan telapak tangannya, merasa sakit atas tamparan yang ia berikan kepada ku.
“Dasar cowok…!!!” umpatnya menggantung.
Mungkin dia ingin mengumpat dengan kata-kata kasar namun hal itu tidak dibolehkan oleh agamanya. Dia hanya melanjutkan dengan pukulan tangan ke pahanya sendiri.
“Jangan ganggu aku, dasar cowok gila!” seru Annisa yang hanya berani sampai kata ‘gila’.
“Apa sih mau mu? aku gak kenal sama kamu, aku juga merasa gak punya masalah sama kamu! kenapa kamu cari masalah sama aku?”
“Aku gak mau cari masalah sama kamu, aku cuma mau kenalan sama kamu kok!” jawab ku dengan tenang.
“Aku gak tertarik kenalan sama kamu, jadi stop ikutin aku lagi!” ucapnya melarang ku.
Lalu seketika dia berbalik hendak pergi, namun sejenak dia kembali menoleh ke arah ku.
“Dan satu hal lagi, jangan seenaknya pegang-pegang tangan ku! kita bukan muhrim!” imbuhnya lagi, kemudian berlalu.
Aku hanya menghembuskan nafas berat lalu berkacak pinggang.
“Hmm…boleh juga nih cewek,” ucap ku sembari mengangkat salah satu alis.
Bersambung