Part #8 : Petualangan Sexs Liar Ku

Setelah keluar dari kamar mandi, aku dan Anes duduk di kursi teras depan. Aku ingin mendengarkan cerita dari Anes yang belum diketahui oleh Justin.

“Jadi gimana ceritanya kak?” tanya ku tepat saat kita duduk.

“Hah? cerita soal apa?” jawab Anes sedikit amnesia yang membuat aku menggaruk kepala ku yang tidak gatal.

Anes hanya tertawa kecil melihat tingkah ku itu.

“Gimana kak ishh…malah becanda!”

Sesaat tawanya hilang berganti dengan wajah yang serius. Pandangannya beralih ke jalanan sepi di depan rumah. Anes menghembuskan nafas berat.

“Jadi gini ceritanya…”

Wajah Anes masih ke arah jalanan tetapi matanya melirik ke arah ku. Aku dengan raut wajah penasaran kemudian duduk menyamping menghadap dirinya dengan posisi berjegang.

“Jadi dulu waktu SMA, aku pernah pacaran sama orang Bali, dia seorang tatto artist.”

“Terus?”

“Yah, dia sebenernya gak pernah nuntut aku buat bikin tatto kaya dia yang tattonya full body.”

Aku hanya mengangguk-angguk.

“Tapi pernah waktu itu jobnya lagi sepi dan gak ada orang yang bisa jadi media dia buat bikin tatto.”

“Dia sampe uring-uringan karena passion dia gak tersalurkan.”

Anes kemudian menatap ku penuh.

“Kamu tau gak sih, kalau orang yang udah kecanduan bikin tatto tapi gak ada media bisa bikin dia stress kaya orang kecanduan narkoba?”

“Gak tau,” jawab ku singkat sambil menggelengkan kepala.

Anes mengangguk sesaat.

“Ya gitu, jadi aku kasihan sama dia terus akhirnya aku mau jadi media dia buat bikin tatto.”

“Ohh gitu, kirain kak Anes anaknya Yakuza, hahaha…” timpal ku sedikit bercanda untuk mencairkan suasana yang sedikit tegang.

Anes kemudian memukul lengan ku.

“Kalo aku anak Yakuza, kamu udah gak ada sekarang, hihihi…” balas Anes dengan candaan juga.

“Terus gimana reaksi orang tua kakak waktu tau kakak punya tatto di punggung?”

“Marah banget pastinya Ran, sampe gak diakui anak aku,” jelas Anes dengan raut wajah sedikit murung.

“What? maksudnya gak dianggap anak gitu?”

Anes hanya mengangguk, dia melirik ke arah ku singkat lalu kembali ke jalanan lagi.

“Aku kabur deh sama Hansh.”

“Hansh?”

“Pacar ku dulu,” ujar Anes menjelaskan.

“Oh gitu.”

Aku jawab sembari mengangguk pelan.

“Hampir 6 bulan aku jadi pelarian sama dia, sebelum akhirnya…”

“Akhirnya?”

Anes terlihat ragu untuk meneruskan. Aku hanya mengernyitkan dahi ku, penasaran apa yang akan dia katakan selanjutnya.

Sesaat dia menengok ke arah dalam rumah melalui kaca jendela, mungkin untuk memastikan Justin tidak mendengar.

Aku pun sontak ikut menengok ke arah dalam. Kalau dipikir untuk apa aku melakukannya juga ya, ahh lupakan.

Anes kembali menatap mata ku. Kami saling berpandangan.

“Dia ditangkap polisi karena narkoba.”

Deggg…

Mata ku melotot, mulut ku terbuka membentuk huruf ‘O’, sebelum jari tangan Anes mengatupkan kedua bibir ku. Anes tersenyum kecut.

“Biasa aja dong ekspresinya.”

Seketika aku menepis tangan Anes lirih.

“Aih,, bibir ku dower nanti,” sungut ku.

Anes hanya tertawa kecil melihat ekspresi ku.

“Ehmm,, terus kalo dia pake narkoba, apa jangan-jangan kakak juga…”

Aku mencoba menerka tapi tidak berani untuk melanjutkan karena takut dia tersinggung.

“Iya,” jawabnya singkat.

Aku kembali terkejut.

“Aku pernah pake barang itu sama dia.”

“Ta…tapi kakak gak ikut ketangkep kan?” ucap ku memastikan karena khawatir.

Anes menggelengkan kepala.

“Aku di tolong sama om ku, and that’s another story,” ujar Anes menimpali perkataan ku.

“Hah, artinya?”

Aku yang tidak bisa bahasa Inggris bertanya dengan polosnya.

“Bhahaha…!!!”

Anes malah tertawa terbahak-bahak membuat ku bingung.

“Belajar lagi ya dek, bentar lagi mau jadi pemain basket profesional harus bisa bahasa enggress…” pungkas Anes sambil menepuk-nepuk pundak ku.

Aku hanya mengatupkan bibir ku rapat.

“Terus gimana kak? lanjutin dong ceritanya.”

“Intinya om ku yang nolong aku dari keterpurukan, dari titik terendah ku, dia yang buat aku bangkit dan jadi seperti sekarang ini, jadi model dan bisa lanjutin kuliah,” ucap Anes panjang lebar.

“Wah, kayaknya ada cerita yang spesial nih sama om kakak?”

Anes tidak langsung menjawab, namun ia rebahkan kepalanya di samping pundak ku.

“Kalo aja om Sakti belum punya istri, hihihi…”

Hanya itu yang keluar dari mulut Anes, lalu seketika dia memeluk lengan ku. Hawa dingin menyeruak ke dalam tubuh kami.

Saat itu sudah lewat tengah malam.Anes terlihat memejamkan matanya.

“Kak!” panggil ku.

“Hmm?” jawab Anes dengan bergumam.

“Kenapa kakak mau cerita ini ke aku tapi gak mau cerita ke Justin?”

“Karena…”

“Karena?”

Aku masih menunggu jawabannya.

“Karena aku percaya sama kamu Ran, terus aku gak ceritain Justin tentang kisah ku yang sebenernya itu karena aku takut dia jadi jijik sama aku,” ucap Anes.

“Jijik kenapa?”

“Aku takut Justin gak bisa terima masa lalu ku, jadi aku terpaksa bohong dan bilang kalo aku emang hobi tatto.”

Aku kemudian memegang kedua bahunya, lalu aku hadapkan dia ke arah ku. Mata kami saling bertemu.

“Kak, kalo Justin memang benar-benar cinta sama kakak, dia pasti akan terima kakak apa adanya,” pungkas ku kepadanya.

“Ta…tapi Ran, Justin itu lelaki yang sempurna, dia pantes dapet cewek yang jauh lebih baik daripada aku.”

Anes tampak menundukkan kepalanya.

“Aku yakin kok Justin bukan orang yang begitu, aku juga laki-laki, aku tau kalo dia mencintai kakak dengan tulus.”

Dia kembali menatap ku.

“Kalo kamu gimana Ran?” tanya Anes tiba-tiba.

Glegg…

Aku menelan ludah mendengar pertanyaannya.

“Aku gimana maksudnya kak?”

“Iya kamu, gimana perasaanmu sama aku?”

Anes memperjelas pertanyaan itu. Saat itu aku bingung harus menjawab apa karena di satu sisi aku memang memiliki perasaan terhadapnya, tetapi di lain sisi aku takut jika aku mengatakan yang sebenarnya itu akan membuat hubungan ku dengan Anes dan Justin akan menjadi buruk.

Aku juga masih memiliki kak Ranty yang sangat aku cintai.

“Kalo kakak sendiri gimana perasaannya sama aku?”

Aku mencoba mengelak pertanyaannya.

“Ihh,, kok ditanya malah balik nanya?” balas Anes protes.

“Hehehe…jawab aja kak!”

Anes menghembuskan nafas berat.

“Aku gak tau perasaan apa ini, tapi aku ngerasa nyaman di dekatmu Ran,” ucap Anes tegas.

“A…apa kakak suka sama aku?” tanya ku dengan sedikit gugup.

“Mungkin lebih dari itu,” jawab Anes singkat.

“M…maksudnya?”

Anes lalu menatap ku lebih dalam.

“Aku kayaknya jatuh cinta sama kamu Ran!”

Deggg…

Ucapan itu seolah membuat jantung ku nyaris berhenti. Aku mematung dan tidak bisa berkata apa-apa kala itu. Pikiran ku terbang jauh membayangkan apa yang akan terjadi apabila hal ini menjadi sebuah affair.

Anes kemudian melambaikan tangannya di depan wajah ku.

“Halooo…halooo Ran!” ujar Anes membuyarkan lamunan ku.

“Ehhh…iya kak?”

“Ishh…malah bengong!”

Anes melipat kedua tangannya di depan.

“Maaf kak…”

Aku sedikit ragu untuk melanjutkannya perkataan ku.

“Asal kakak tau, aku juga punya perasaan yang sama, sama kakak!” imbuh ku lagi.

Anes tampak terkejut, mulutnya melongo. Namun sesaat kemudian dia tersenyum. Anes lalu mendekatkan wajahnya ke arah wajah ku sembari berkata.

“Ran, gimana kalo kita jalanin hubungan ini diam-diam,” pungkas Anes dengan nada serius.

Sejenak aku diam untuk berfikir tentang apa keputusan ku.

“Aku tau kalau kamu udah punya pacar, aku juga punya. Ini bukan soal kebutuhan tapi tentang perasaan. Jadi bisa kan kita jalanin hubungan ini…”

Anes menggantung kata-katanya sesaat.

“…tanpa seks!” lanjut Anes kemudian.

Aku memicingkan mata ku.

“Jadi kita pacaran tanpa ml?” tanya ku memastikan.

Dia tidak menjawab melainkan hanya mengangkat kedua alisnya. Aku sejenak tertawa kecil. Anes sontak memicingkan mata.

“Hmm…kenapa?”

“Gak papa sih, emangnya kakak kuat?”

Anes menaikkan sebelah bibirnya.

“Harusnya itu pertanyaan buat mu!” jawab Anes percaya diri.

“Heihh,, serius nantangin? oke kita liat aja nanti.”

“Deal?!”

Anes menjulurkan jari kelingkingnya.

“Deal!”

Aku merespon dengan mengaitkan jari kelingking ku dengan miliknya.

“Berarti kita jadian nih?” tanya ku kepadanya.

“As you wish!” jawab Anes sembari tersenyum manja.

Setelah jari kami terlepas Anes kemudian bangkit dari duduknya untuk beranjak masuk ke dalam rumah.

“Aku tidur dulu, ngantuk!”

Namun sesaat sebelum dia melewati pintu, aku tiba-tiba bangkit dan menahan tangannya. Reflek Anes menoleh ke arah ku.

Tak menunggu waktu lama langsung ku tarik tubuhnya ke dalam pelukan ku, lalu ku cium bibirnya dalam.

“Emphhh…ssppphhh…”

Bibir kami saling berpagutan, dia kemudian membalas ciuman ku dengan begitu ganas.

Tangan kiri ku aku letakkan di belakang lehernya dan ku dorong agar bibir kami lebih menempel erat.

“Emmm…ccppp…sssshhh…sshhhpp…”

Anes terlihat sangat semangat dengan ciuman kami. Aku letakkan tangan ku yang satunya di payudara kirinya yang besar.

Merasa toketnya disentuh, Anes reflek menggenggam pergelangan tangan ku dan hendak ditepis.

Namun sesaat kemudian dia urungkan niatnya dan justru menggenggam punggung tangan ku yang sedang berada di payudaranya.

Dia membiarkan tangan ku meremas payudaranya yang sebelumnya tidak pernah ia ijinkan.

“Besarnya…!!!” batin ku.

Payudara terbesar yang pernah aku sentuh dan aku remas. Telapak tangan ku sampai tidak muat.

Sedikit demi sedikit dia mulai merelakan bagian tubuhnya satu per satu untuk ku jamah.

Saat itu aku sudah tidak meremasnya lagi namun aku goyangkan secara memutar.

Aku melakukan french kiss kepadanya sambil menunduk karena Anes lebih pendek dari aku.

Belum sempat aku mengeluarkan jurus andalan ku tiba-tiba…

Bukkk…

“Ouchh…!!!” pekik ku merasakan suatu benda menghantam junior ku yang tengah tegang.

Ternyata Anes baru saja memukul kontol ku dengan telapak tangannya dari luar celana.

“Tidak semudah itu!” ucap Anes sambil menyunggingkan senyum nakal lalu dengan cepat berbalik meninggalkan ku sendirian di teras rumah.

“Hmm…”

Aku hanya bergumam seraya menggelengkan kepala ku kemudian ikut masuk ke dalam rumah.

Saat sampai di dalam aku sudah tidak mendapati Justin yang tadi tertidur di sofa.

Tidak ada tanda-tanda ada orang di kamar mandi lalu kamar Justin dan Anes juga sudah tertutup. Pasti Justin sudah berada di dalam kamar bersama Anes.

Semoga Justin tidak mendengar pembicaraan ku bersama Anes.

Karena mengantuk, akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke kamar ku dan tertidur.

Skippp…

Pagi harinya aku terbangun karena mendapati sinar matahari yang terang menembus tirai jendela kamar ku.

Aku lalu memutuskan keluar kamar karena lapar. Saat sampai di meja makan ternyata sudah ada Justin dan Anes yang sedang sarapan. Anes tampak memalingkan wajahnya dari ku.

“Wih,, si kebo baru bangun wkwkwk…” canda Justin yang secara tidak langsung menyindir ku yang tidak melakukan apapun selama menumpang di rumahnya.

“Wkwkwk…beban banget gue yah,” jawab ku menimpali candaannya.

Tanpa permisi aku langsung mengambil martabak telor yang ada di meja makan.

“Oyy,, mandi dulu sana, jorok amat,” sergah Justin kepada ku.

“Iya-iyaaa!” balas ku sambil beranjak menuju ke kamar mandi.

Sebelum sempat aku masuk, Justin tiba-tiba memanggil ku.

“Ran!”

Aku menoleh kepadanya.

“Anes bilang katanya lu butuh kendaraan, di garasi ada motor gue lu pake aja, tapi awas jangan sampe lecet ya.”

Aku terkejut namun sumringah karena akhirnya aku dapat kendaraan untuk bepergian. Jadi aku tidak jenuh berada di rumah terus.

“Wah serius nih? thanks banget yah,” pungkas ku gembira.

“Makasih sama Anes, kalo bukan dia yang minta sama gue, gak akan gue kasih pinjem lu.”

Aku lalu mengalihkan pandangan ku kepada Anes.

“Makasih ya Nes, ehh kak.”

Anes melirik ku dan hanya mengangguk pelan. Entah dia jadi canggung karena semalam atau dia takut ketahuan oleh Justin tentang hubungan baru kami.

Aku tak ambil pusing lalu masuk ke kamar mandi dan membasuh tubuh ku dengan air dingin.

Aku melamun jauh memikirkan apakah aku salah menjalin hubungan dengan Anes di belakang Justin.

Dia sudah baik terhadap ku, namun aku malah mengkhianati kepercayaannya. Selain itu aku juga telah mengkhianati kak Ranty.

“Arkhhh…!!!” umpat ku sambil memukul tembok kamar mandi yang terbuat dari keramik.

Entah mengapa justru aku merasa bersalah jika aku berselingkuh secara hati daripada berselingkuh secara fisik.

Setelah selesai mandi, aku keluar dengan hanya menggunakan handuk yang aku lilitkan di pinggang ku.

Saat itu Justin dan Anes sudah berangkat ke kampus. Lalu aku kemudian berganti pakaian dan merenung.

Pikiran ku berkecamuk, aku merasa pusing memikirkan tentang kejadian semalam.

Aku butuh seseorang untuk setidaknya menenangkan pikiran ku. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran ku untuk menghubungi Lisa.

Dia adalah satu-satunya orang yang dapat aku ceritakan tentang masalah ku. Seketika aku langsung meraih ponsel ku dan mencari kontak Lisa.

Sudah lama sejak aku terakhir mengobrol dengannya. Aku penasaran apa yang sedang dia lakukan.

Tut…tut…tut….

Belum juga diangkat.

Tut…tut…tut…

“Halo?”

Aku tersenyum mendengar suara yang aku kangeni.

“Halo sayang,” jawab ku dengan nada lembut.

“Maaf ini siapa ya?”

Tiba-tiba senyum ku langsung hilang.

“Ini gue oyy, Randy!” ucap ku sedikit keras.

Aku yakin betul kalau itu adalah suara Lisa.

“Randy siapa?”

Dia malah pura-pura tidak mengenal ku.

“Aysuuuu…!!! umpat ku dengan cukup keras.

“Wkwkwk…”

Seketika terdengar suara tertawa dari seberang.

“Ehmm…!!!”

Aku hanya mendehem sedikit keras.

“Ada apa Randy, kok tumben nelfon, kirain udah lupa sama gue.”

“Mana mungkin lah gue lupa sama orang yang selalu ada buat gue di saat gue susah,” ujar ku dengan nada manja.

“Bacod!”

Aku sedikit tersentak, bukan karena tersinggung, melainkan kesal karena berhasil dikerjai dirinya.

“Asem ni cewek!” batin ku.

“Bau-baunya lagi ada masalah nih,” terka Lisa.

“Wkwkwk…iya!”

“Nah kan, gue bilang juga apa, baru aja pindah kota udah dapet masalah aja.”

“Ya gimana lagi dong, emangnya gue mau apa dapet masalah.”

“Ya udah, ada masalah apa?” tanya Lisa kepada ku.

Aku kemudian mengganti voice call menjadi video call. Sesaat kemudian Lisa menerimanya.

Lalu wajah ku berubah menjadi sumringah kala aku melihat wajah Lisa yang masih sama seperti terakhir kali kita bertemu. Wajah yang aku rindukan.

Aku melihatnya berpakaian rapi dan berada di sebuah gedung yang aku tidak tahu tempatnya.

“Wih,, rapih amat, lagi dimana lu?” tanya ku kepadanya.

“Lagi ngampus lah, barusan gue sempetin keluar kelas gara-gara lu telfon,” sergah Lisa.

“Wow, jadinya lu kuliah? wkwkwk…emangnya otak lu mampu?” ujar ku meledeknya karena mengetahui otaknya dan otak ku itu 11 12.

“Enak aja lu, gini-gini calon sarjana keles,” jawab Lisa percaya diri.

“Kalo gak DO! hahaha…!!!” timpal ku sembari tertawa terbahak-bahak.

“Hahahaha,, asem kau yah!”

Sesaat kami tertawa bersama.

Belum sempat aku ceritakan tentang masalah ku saja, hati ku sudah agak plong hanya dengan berbicara dengan Lisa sebentar.

Dia memang orang spesial yang pernah hadir dalam hidup ku. Aku sangat beruntung memiliki sahabat seperti dirinya.

“Nah, lu sendiri gimana? udah jadi pemain pro ya? kamar lu aja keliatan bagus, kirain lu tinggal di emperan toko.”

“Enak aja, kalo gue tinggal di emperan toko entar gue diculik tante-tante gimana dong, secara kan muka gue ganteng,” jawab ku sambil bergaya memegang daguku dengan jari telunjuk dan jempol.

“Halah PD abis lu,” sanggah Lisa sambil memajukan bibir bawahnya.

Aku hanya tertawa kecil karena terkekeh dengan Lisa.

“Hmm…tadi katanya mau cerita!”

Tiba-tiba Lisa mengingatkan ku akan hal itu. Sedikit demi sedikit senyuman ku pudar berganti dengan wajah yang datar.

“Jadi gini Lis ceritanya, gue ada main sama cewek, terus…”

“Nah kan udah gue duga, hehehe…” potong Lisa dengan sembrono.

“Ishhh, dengerin dulu,” ucap ku sebal.

“Hehehe… lanjutin dah.”

“Cewek itu ceweknya Justin.”

“What?! lu ada main sama ceweknya temen lu sendiri?” tanya Lisa agak terkejut.

“Iya gitu deh.”

“Hmm…terus masalahnya apa?”

Sesaat kemudian Lisa justru menimpalinya dengan santai.

“Ya itu masalahnya! dia itu pacarnya temen gue, yang bantu gue hidup di sini,” jelas ku kepadanya.

“Emm… harusnya sih selama gak main hati fine-fine aja, kalo perlu ajakin threesome deh,” jawab Lisa tanpa beban.

Duarrr meme…

Lisa yang aku harapkan bisa memberikan solusi atas masalah ku malah memberi saran yang gila dan tidak masuk akal.

“Ya ampun, kenapa gue pernah suka sama cewek gila macam Lisa…!!!” sergah ku.

“Ehh,, apa lu bilang?”

“Enggak-enggak, bukan Lisa lu, Lisa backlink!” jawab ku dengan asal.

“Ohh,, kirain gue.”

“Duh begonya udah sampe ke tulang sum-sum ni anak,” pikir ku.

“Berarti udah clear kan masalahnya?” ucap Lisa sambil memberi isyarat ‘ok’ dengan jarinya.

“Clear gundul mu!”

Lisa sedikit tersentak.

“Itu lah masalahnya, yang sekarang kebalikan dari yang sering gue alami.”

“Maksudnya gimana sih?! ceritanya muter-muter mulu kaya odong-odong.”

“Jadi gue sama dia belum pernah ngentot,” ungkap ku dengan gamblang.

“Loh, gimana? katanya lu ada main sama dia.”

“Gue ada rasa sama dia, dan dia juga ada rasa sama gue.”

“Rasa?!” tanya Lisa singkat.

“Iya.”

“Rasa yang gimana?”

“Rasa yang pernah gue rasain sama lu, rasa yang gue rasain sama kak Ranty,” jelas ku kepadanya.

“Maksudnya cinta?”

“Mungkin,” balas ku ragu.

“Tinggal bilang gitu aja repot!”

“Hehehe…”

Aku hanya tersenyum kecut. Sejenak kami terdiam, Lisa mengangguk pelan sambil memikirkan sesuatu.

“Hmm…kalo udah urusan hati repot juga, apalagi sekarang lu udah ada kak Ranty.”

“Gue juga bingung Lis.”

“Kenapa lu bisa suka sama dia?”

“Gue juga gak tau Lis, rasa itu datang begitu aja.”

“Terus kak Ranty gimana? katanya lu mau nikahin dia.”

“Kalo itu sih masih jadi prioritas gue,” jawab ku.

“Jadi pacar teman lu itu cuma jadi selingan?”

Aku hanya mengangkat kedua bahu ku karena tidak tahu harus menjawab apa.

“Gini deh, kalo menurut gue sih lebih baik lu nyerah aja sama perasaan lu, kalo lu lanjut bakalan banyak hati yang terluka, terutama kak Ranty sama temen lu itu, lu bakal di cap pengkhianat karena nusuk temen lu dari belakang,” jelas Lisa panjang lebar.

Aku mengangguk-anggukkan kepala ku tanda paham akan ucapannya barusan.

“Gue juga pernah ngerasain Ran, cinta gak kesampaian, rasanya sakit dan butuh waktu lama untuk sembuh, jadi sebelum terlanjur rasa lu semakin dalam sama dia, lebih baik lu akhiri sekarang juga,” ujarnya lagi.

“Emangnya lu cinta sama siapa?” tanya ku kepadanya.

“Sama lu lah, bego!”

“Gue kan juga cinta sama lu!”

“Iya,, tapi waktu gue sadar, itu semua udah terlambat.”

Lisa tampak tersenyum kecut. Sejenak kita terdiam, lalu aku kembali menyeletuk.

“Lis!” panggil ku.

“Apa?”

“Gue mau kok jadiin lu istri yang kedua.”

“Gundul mu…!!!” sungut Lisa namun kemudian tersenyum singkat.

“Hahaha…!!!”

Aku menimpali dengan tertawa terbahak-bahak.

“Udah ahh Ran, gue masuk ke kelas dulu, udah ijin kelamaan,” pungkasnya.

“Ya udah sana, belajar yang rajin, biar gak di DO, wkwkwk…”

“Fuck you…!!!” balas Lisa sambil meringis terkekeh menampakkan giginya yang tertata rapi.

Aku sangat merindukan saat-saat berbincang seperti ini bersamanya. Sesaat kemudian Lisa memutuskan sambungan video call itu.

Aku lalu melemparkan ponsel ku ke atas kasur kemudian tiduran seraya tangan ku aku lipat di belakang kepala. Aku pejamkan mata sembari tersenyum.

Bersambung

istri muda bos
Keperjakaanku Di Renggut Istri Bos Ku
tante cantik
Ngentot Dengan Calon Mempelai Yang Ganteng
Cerita Dewasa ABG Sekolah Ingin Merasakan Enak-Enak
Foto jilbab telanjang masih ABG suka nonton video bokep
tante anak hyper
Menikmati tubuh tante hyper dan anak nya yang sexy
tante hot
Menikmati tubuh ibu dan tante ku sendiri
gadis alim
Nadya, Gadis Alim Yang Tergoda
mami Mertua sexy
Mami Mertua Tergila-gila Dengan Kontol Ku
cewek cina bugil
Antara Perih Dan Nikmat
mamah muda
Mencoba Oral Sexs Dengan Mamah Muda
adik ipar
Bercinta Dengan Siska Adik Ipar Ku
Ngentot Gadis Desa Yang Masih Polos
Ngentot Gadis Desa Yang Masih Polos
sma hot
Cerita hot bercinta dengan papa tiri tersayang
Cerita mesum dengan Hana gadis imut yang jago jilat
anak kost
Kost bareng dengan mbak santi, saudara ku yang montok
Kenangan indah dengan bu guru bawel ketika mendaki gunung bersama