Part #3 : Mereka semua sedang berkumpul di depan TV

Mereka semua sedang berkumpul di depan TV saat Aku tiba. Aku telah memberi tahu lewat pesan singkat bahwa Aku akan pulang sebelum maktu makan malam. Mungkin karena itu pula mereka begitu girang begitu Aku datang. Sepertinya mereka sedang menungguku pulang untuk segera makan malam bersama. Pasti mereka sangat lapar ya. Kami memang selalu makan malam bersama seperti ini kecuali jika ada agenda lain yang membuat Kami tak bisa makan malam secara lengkap. Mereka adalah keluargaku.

Oh ya, di rumah Aku hanya tinggal berempat. Bersama Mama, usianya 42 tahun, bekerja sebagai dosen di kampus tempatku kuliah, Nissa, adikku yang berusia 18, saat ini Ia sedang mengenyam bangku pendidikan kelas 3 SMU. Juga Kak Sasha, kakak sepupuku yang tinggal bersama kami sejak merantau ke kota Kami 5 tahun lalu. Saat ini Kak Sasha sedang mengenyam bangku pendidikan S2, usianya 24 pada akhir tahun ini. Tentang Papa? Ia sudah memiliki keluarga lain sekarang dan telah lama meninggalkan rumah. Di mata Kami Papa bukanlah orang yang patut dibahas lagi.

Sedikit deskripsi tentang mereka. Mama, biasanya dipanggil Bu Dian atau Tante Dian, ialah single parent yang tangguh. Sehari-hari Ia mengenakan jilbab saat meninggalkan rumah. Saat di dalam rumah Ia lebih sering mengenakan tank top dan celana pendek berbahan nylon. Kebiasaannya ini memang agak berbeda dengan Ibu-Ibu lain pada umumnya yang lebih senang mengenakan daster saat di rumah. Mama memang senang berolahraga, khususnya zumba dan berlatih tinju secara otodidak. Mengherankan bukan? bahkan samsak tinju yang digantung di belakang rumah lebih sering digunakan oleh Mama daripada Aku. Menurutku bertinju ialah pelarian Mama dari emosi pasca dikhianati di masa lalu. Makanya tak mengherankan, meski sudah berusia 42 tahun, tubuh Mama masihlah ramping dengan tangan yang meski kecil, namun samar-samar terlihat berotot.

Jika ku perhatikan, dada Mama juga tidak besar, entah berapa ukurannya Aku tak paham, yang jelas serasi dengan tubuhnya yang kecil. Cukup aneh mengingat kebanyakan wanita seusianya pasti telah mengalami pembesaran payudara setelah beberapa kali melahirkan dan menyusui. Oh iya, tinggi Mama ialah 160 cm. Meski rambutnya hanya sepanjang leher, Ia tetap sering mengikatnya. Mama memiliki kulit putih cerah dan mulus sehingga membuatnya terlihat seperti wanita berusia 30 tahunan.

Mama

Sedangkan adikku Nissa ialah seorang remaja yang menggeluti seni. Ia aktif menulis bahkan sampai memenangkan lomba cipta puisi tingkat provinsi. Ia juga mengenakan jilbab dalam kegiatan sehari-hari di luar. Jika di rumah, Ia lebih sering mengenakan daster atau baju kaos. Ia tak sering berolahraga seperti Mama, jadi badannya nampak kurus, layaknya remaja seusianya. Meski kurus, jika ku perhatikan sekilas, dada dan pantat Nissa nampak jauh lebih besar dari Mama. Mungkin karena badannya kecil atau apa, dada Nissa selalu terlihat nyembul dari balik pakaiannya yang mungkin hanya berukuran S itu.

Nissa bertubuh lebih pendek dari Mama, mungkin 155-157 cm. Rambutnya sebahu, sedikit dipirang berwarna merah di bagian bawahnya dan sering digerai begitu saja. Warna kulit Nissa agak berbeda dengan Mama. Kulitnya berwarna sawo matang, meski masih jauh lebih putih daripada Ku yang memang terlihat gelap. Papa Kami memang berkulit gelap, oleh karenanya tidak ada satu pun dari Kami yang benar-benar terlihat persis seperti Mama.

 

Nissa

Kak Sasha berasal dari kota B. Tubuhnya lebih tinggi dariku, mungkin sekitar 170 cm atau lebih. Tubuhnya sedikit lebih berisi dari Nissa dan Mama namun tak sampai terlihat semok. Dadanya berukuran sedang, entah seberapa besar Aku tak tahu. Ia tidak mengenakan jilbab saat keluar rumah sehingga memamerkan rambut sebahunya yang hitam lebat. Mungkin karena hanya keponakan saja, sehingga Mama tidak menyuruh Kak Sasha untuk menutup aurat, tak seperti Nissa yang diawasi cukup ketat.

Aku dan Kak Sasha tidak terlalu akrab. Mungkin karena selisih umur yang tidak terlalu dekat dan juga karena kesibukannya sehingga lebih sering keluar rumah dan berdekam di kamar tiap kali sedang tak keluar. Padahal di masa lalu Kami sangatlah akrab hingga Aku berusia 12 tahun. Tiap kali Ia berlibur ke rumah, Kami selalu menghabiskan waktu bersama. Bahkan saat Ia sudah SMA sekali pun Kami masih selalu tidur bareng. Sampai suatu ketika Ia datang ke sini untuk benar-benar merantau, hubungan yang ku pikir akan semakin erat justru perlahan merenggang. Bahkan bisa dibilang keakraban Kami di masa lalu menjadi alasan kecanggungan Kami saat ini.

 

Kak Sasha

“Kakak dari mana aja sih? Kita udah lapar tau,” ucap Nissa sambil memotong ayam goreng dengan sendoknya.

“Dari rumah Harun, main PS,” balasku singkat. “Perutku juga lapar tahu,” yang tentu saja hanya ku sampaikan dalam hati.

“Kamu tuh ke rumah Harun terus, apa mereka ga keganggu?” kali ini Mama yang membalas ucapanku.

“Orang Aku diajak sama mereka Ma.”

“Lain kali kalau pulang malam Kakak makan di luar aja,” balas Nissa sembari memeletkan lidah.

“Enak aja, yang masak kan bukan Kamu,” balasku, sambil memalingkan wajah ke Kak Sasha. Sehari-hari Ia lah yang sering memasak di rumah Kami. Ia memang memperoleh keterampilan memasak dari Ibunya. Kak Sasha hanya tersenyum tipis begitu Aku memalingkan wajah ke arahnya. Senyum yang sangat manis, membuatku salah tingkah lalu balik fokus ke makanan di piringku.

Setelah makan malam, Aku bergabung dengan Mama di depan TV. Kak Sasha dan Nissa sudah masuk kamar duluan. Sebenarnya Aku juga ingin segera masuk ke kamar dan mulai mengkhayalkan kembali apa yang terjadi siang tadi antara Aku dan Elma. Namun sayangnya Mama memintaku untuk duduk dulu menemaninya di depan TV.

Saat ini Mama sedang mengenakan tanktop putih dengan celana pendek nilon bewarna hitam, bayangan bra berwarna hitam terlihat jelas dari balik tanktopnya. Aku yang sudah biasa dengan pemandangan seperti ini pun tidak pernah mengambil pusing penampilan Mama yang selalu seksi. Aku sedang duduk di sisi kiri sofa, sedangkan mama di sisi kanan. Aku duduk dengan bersandar ke arah pegangan sofa sambil bermain ponsel. Sehingga bisa dibilang Aku sedang duduk mengangkang ke arah Mama.

“Kamu tadi kuliahnya gimana?”

“Lancar aja kok Ma,” jawabku pelan.

“Kok ga langsung pulang?”

“Soalnya nebeng Harun Ma.”

“Terus kalau nebeng?” sejak tadi Ia terus memberikan pertanyaan-pertanyaan kosong seperti ini.

“Ya pulangnya ngikut dia,” jawabku cuek, Sambil masih melihat layar ponselku. Kebetulan saat itu Aku sedang membuka instastory yang baru diunggah Elma. Nampak dirinya sedang berswafoto bersama suaminya di antara rak-rak makanan di supermarket. Senyum tipis di wajahnya benar-benar mengindikasikan seakan tak ada apa-apa yang baru saja terjadi hari ini. Hebat juga ibu muda itu menutupi perbuatannya.

“Mama besok pagi mau ngisi seminar di kota S. Di sananya bakal tinggal beberapa hari, Mama belum tau pastinya. Kamu nganterin Nissa sekolah ya.”

“Iya Ma, aman.”

“Ih Kamu tuh, kalau Mama kasih tahu didengar dong,”

Tiba-tiba saja tangannya meraih ponsel yang sedang ku genggam. Refleks tanganku balik menarik ponsel yang direbut Mama. Refleksku saat menahan ponsel membuat Mama sedikit tertarik dan hampir menindih tubuhku. Lututnya sudah berada dekat dengan pahaku sedangkan tangannya yang mengambil ponsel masih diletakkan di atas pahaku.

Kami terpaku dalam posisi seperti itu. Gundukan payudara Mama yang sedikit menyembul dari balik tanktopnya kini telah berada di hadapanku. Ku lihat ada satu tahi lalat kecil di sisi atas payudaranya yang sangat putih itu. Entah mengapa pemandangan yang biasanya tak ku perhatikan itu tiba-tiba saja membuat penisku berdiri lagi. Ini pasti karena penisku masih merasa gantung saat bersama Elma siang tadi. Oh tidak, saat ini Aku hanya memakai celana pendek cargo tanpa celana dalam, jangan sampai Mama melihat tonjolanku. Dengan hati-hati Aku pun melipat kakiku untuk menutupi tonjolan penis itu.

“Oh lagi lihatin istri temanmu ya,” ucap Mama tertawa kecil sambil melihat ke arah layar ponsel. Ya, Aku memang sedang membuka profil Instagram Elma.

“E—enggak kok,” jawabku.

“Apanya yang enggak? Kamu dari tadi Mama ajak ngomong ga ditimpalin ternyata lagi ngelihatin Elma,” Mama memang mengenal Harun dan Elma karena beberapa kali datang ke rumah. kebetulan pula semester ini Kami bertiga memang sedang mengambil mata kuliah yang diampu oleh Mama.

“Ga ada kok,” ucapku salah tingkah, sambil menarik ponsel dari tangan Mama. Tarikan tanganku membuat tangan mama yang sebelumnya berada di area pahaku ikut tertarik. Punggung tangannya tanpa sengaja menyentuh batang penisku. Menyentuhnya dengan posisi tubuh yang benar-benar sudah hampir menindihku sepenuhnya. Ku lihat bibir Mama sedikit menganga karena tak menyangka dengan perlawananku.

Ia tidak langsung mengubah posisinya. Untuk sejenak tangannya tetap ditempatkan di penisku, sebelum akhirnya ditarik kembali. Anehnya, Mama tidak menarik tangannya mundur secara langsung. Ia justru menaikkan tangannya terlebih dahulu yang sebelumnya berada di area pangkal penisku perlahan-lahan ke atas menyentuh batang penisku hingga kepalanya sampai akhirnya ditarik kembali. Gerakan itu berjalan cukup lambat, seakan Mama sedang mengukur ukuran penisku. Matanya tetap mengarah ke arah celanaku selama itu terjadi.

Ia pun kembali ke sisi kanan sofa, tempat duduknya yang sebelumnya. Matanya terpaku ke arah televisi yang sedang menampilkan acara lawak. Bibirnya terkatup rapat, Ia tak lagi mengajakku bicara. Sampai setidaknya 30 menit kemudian.

“Duh Mama ngantuk nih besok berangkat pagi, Kamu jangan lupa ya besok anter Nissa.”

“Iya Ma.”

Mama menatapku lamat untuk beberapa saat, tanpa mengeluarkan ucapan apa pun. Tatapan penuh makna yang tak bisa ku tebak. Sebelum akhirnya melangkah ke arah kamarnya meninggalkan diriku dengan kesengsaraan kecil di balik celanaku.

Penisku masih begitu tegang. Sifat Mama hari ini entah mengapa terlihat begitu seksi di mataku. Aduh… sejak kapan Aku bisa terangsang karena Mama? Mama sadar tidak sih kalau tadi Ia baru saja menyentuh penisku yang tegang? Kenapa semua wanita selalu meninggalkanku dalam kebingungan hari ini?

Di kamar Aku termenung cukup lama. Bayangan akan tubuh telanjang Elma memenuhi pikiranku. Aku membayangkan puting tegaknya yang ku sedot dengan kencang siang tadi, bayangan akan air susu yang menetes dari putingnya membuat penisku semakin menegang. Kini tanganku mulai meraba penisku, ku tarik celanaku sampai lutut. Ku coba untuk mengocoknya, namun rasa ngilu masih muncul dari penisku. Akhirnya Aku pun hanya merabanya pelan.

Ku bayangkan wajah Elma. Perut kecilnya yang terlipat, rambut pirang warna abu-abunya yang unik. Teringat lagi akan pujian dan kata-kata kotor yang Ia ucapkan. Sindiran-sindiran yang ditujukan untuk suaminya di depan mukaku membuat Aku semakin terangsang, ah siapa yang sangka perempuan secerdas Elma bisa punya kepribadian sebinal itu. Sedikit lagi, sedikit lagi tadi kita bisa benar-benar bersenggama. Seandainya saja Maura tidak bangun.

Tiba-tiba bayangan akan kejadian di depan TV tadi berkelindan di kepalaku. Kulit payudara putih mama yang dibungkus dengan bra hitam dan tanktop putih kini gantian menjadi khayalanku. Punggung tangannya yang menyentuh penisku benar-benar terasa nyata sampai saat ini. Bibirnya yang terbuka memberikan kesan sensual yang ganjil. Ah Mama, apakah boleh jika penisku menginginkanmu? Sialan, saking terangsangnya Aku sampai membayangkan hal yang tidak-tidak kepada Mama.

Selagi asyik mengkhayal terdengar suara dari kenop pintu kamarku. Benar saja, secara pelan pintu kamarku telah dibuka.

Ah sial! Aku sedang tak pakai celana. Mana penisku yang sedang berdiri tegak masih dibalut selimut. Karena tak sempat memasang celanaku kembali, Aku pun refleks memejamkan mata. Pura-pura saja tertidur. Berharap orang itu langsung keluar setelah melihatku terlelap. Berharap Kami tak perlu saling berinteraksi dalam situasi yang aneh seperti ini. Sialnya, bukannya langsung keluar kala melihatku sudah tertidur, langkah kaki itu malah mendekat ke arah kasur.

“Mama? Nissa? Kak Sasha? Ga mungkin Kak Sasha kan dia ga pernah lagi masuk kamarku.” Sambil terpejam aku coba menerka siapakah orang yang datang itu. Jantungku berdegup kencang. Langkah itu semakin mendekat sampai akhirnya benar-benar duduk di sisiku sebelahku. Tonjolan penisku dari selimut pasti benar-benar terekspos saat ini, apalagi Aku belum sempat mematikan lampu tidur.

Siapakah orang ini dan sampai kapan Aku harus pura-pura tidur?

Cukup lama keadaannya terus seperti ini. Menit demi menit berlalu tak ada suara yang dikeluarkan oleh orang itu. Tapi Ia masih di sini, duduk di sampingku, entah apa yang dilakukannya. Masih terasa jelas bobot tubuh seseorang sedang duduk di sisi kanan kasurku ini. Ingin sekali Aku mengintip, namun bagaimana jika ternyata Dia sedang menatap ke wajahku? Bagaimana caraku menjelaskan tentang celanaku yang ku peloroti tanpa menghasilkan dialog yang canggung?

Dan hal yang tak disangka pun terjadi.

Selimutku perlahan disibak ke bawah. Penisku tiba-tiba merasakan hangat dari genggaman tangan seseorang. Awalnya Ia melingkarkan telapak tangannya ke penisku, oh genggamannya begitu kencang dan sempit, membuat penisku merasa sesak. Penisku kini semakin mengeras. Pelan-pelan Ia menaik turunkan genggamannya, mengocok penisku dengan perlahan.

Ahhh ingin sekali Aku mengerang. Rasanya benar-benar membuatku melayang. Tidak seperti saat Aku mencoba masturbasi kala penisku terasa ngilu, kocokan dari lengan orang ini sungguh membuat sensasi nikmat dari penisku. Ku rasakan testisku ikut mengeras juga kala Ia menggenggamnya dengan tangan yang satunya. Oh sialan, Aku tak bisa tahan terus seperti ini.

Kini Ia menghentikan kocokan tangannya dan mulai meraba-raba kepala penisku dengan jemarinya. Membuat spermaku yang sudah siap keluar menjadi tertahan lagi. Kemudian jemari itu turun perlahan, meraba-raba urat yang membentuk di penisku yang sudah sekeras kayu ini.

Jemarinya yang satu sudah tidak lagi menggenggam testisku. Tiba-tiba kurasakan lututnya ikut bergerak. Apakah dia juga sedang masturbasi? Mencolok-colok vaginanya seperti yang dilakukan Elma siang tadi. Oh badanku masih terasa melayang, kini tangannya mulai mengocok penisku lagi. Kali ini tangannya dipenuhi dengan cairan hangat, mungkin baru saja diludahi sebelum mengocokku. Saking nikmatnya jemariku mulai meremas kencang ke sprei.

Siapakah orang ini? Ah ingin sekali Aku membayangkan wajah seseorang sebelum pertahananku jebol dan penisku memuntahkan semua sperma yang telah ku tahan sepanjang hari. Namun sulit bagiku, sosok misterius ini benar-benar membuatku penasaran sampai tak bisa membayangkan wajah siapa pun secara benar. Semuanya terasa abu-abu, sesekali wajah Mama, Nissa, Kak Sasha, Elma, bahkan selebritis idolaku bergantian masuk ke kepalaku seakan salah satu dari merekalah yang sedang mengocok penisku saat ini.

Terdengar nafas berat yang tertahan dari mulut orang itu. Semakin lama semakin kencang, deru nafasnya berbunyi. Tapi tak ada suara dari mulutnya, Aku masih saja tak sanggup menerka sosoknya. Tidak lama lagi Aku akan benar-benar menumpahkan spermaku. Kedua telapak kakiku mulai menegang. Aku sudah tak sanggup lagi.

Ku dengar suara karet celana yang membentur pinggang. Sepertinya Ia sedang mencoba menarik celananya agar lebih leluasa. Benar saja, selanjutnya celana itu ditariknya. Dipeloroti dengan begitu tergesa-gesa sehingga celananya menyentuh pahaku.

I—inikan…

Inikan bahan celana nilon Mama? Ternyata orang yang memasuki kamarku adalah? Ah sialan, tiba-tiba bayangan di kepalaku semakin jelas. Sekujur tubuh Mama yang sangat putih mulus kini muncul di khayalanku. Payudaranya yang masih begitu kencang dengan puting yang berwarna gelap, tubuhnya yang ditumbuhi otot-otot kecil muncul di kepalaku. Rambutnya yang diikat bergoyang naik turun sembari memainkan vaginanya sendiri. Tidak pernah sebelumnya Aku membayangkan Mama telanjang seperti ini.

 

Mama

“Ah,” saking nikmatnya, Aku tak sanggup menahan eranganku. Namun Aku beruntung, pada saat yang bersamaan erangan yang lebih kencang juga keluar dari mulut Mama “AAHHH.” Begitu teriaknya hebat.

Kini tangannya bergerak semakin kencang. Kebiasaannya berlatih tinju sepertinya memberinya kekuatan sehingga tidak merasa pegal padahal telah lama mengocokku seperti ini. Mulutku kini menganga, membayangkan wajah Mama sambil mendengarkan desahannya.

Aku tak tahan lagi. Spermaku kini mulai menjalar ke batang hingga ke kepala penisku. Ahhh spermaku pun meluncur hebat. Menghasilkan beberapa kali semprotan, meninggalkan penisku yang masih dikocok oleh Mama. Bersamaan dengan itu juga desahan yang lebih kencang keluar dari mulutnya. Sepertinya Mama juga mengalami orgasme. Sampai-sampai tubuhnya setengah terbaring di sisiku. Terasa betul rambutnya yang diikat menimpa pipi kananku.

Oh sialan, ingin sekali Aku melanjutkan ini. Ingin sekali Aku meraih lehernya dengan tanganku kemudian memberikan ciuman seperti yang diajarkan Elma siang tadi. Menghujam bibirnya yang nafasnya masih berderu hebat. Namun Aku terlalu lama berpikir, tubuh itu telah berdiri meninggalkan kasur hingga ku dengar suara pintu menutup kembali. Ia telah keluar meninggalkan kamar.

Ku buka mataku untuk mengintip. Namun kejutan lain menjumpaiku. I—inikan?

Sinar mentari pagi menjumpai mataku. Buru-buru ku lihat ke arah jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul 5:50 pagi. Hah? Apakah baru saja Aku bermimpi? Sebelum Mama memasuki kamarku jam di ponsel masih menunjukkan pukul 11 malam. Tidak– tidak mungkin ini mimpi. Rasanya begitu nyata.

Ia barusan meninggalkan kamar tadi. Ku lihat ke arah penisku, perut, kaos, dan spreiku yang dipenuhi cairan sperma kering. Tidak terlihat ada lipatan di sisi kanan kasur seakan baru saja yang duduk di sana, sisi itu juga tak terasa hangat. Ya, sekuat apa pun Mama tidak mungkin juga Ia sanggup mengocok penisku selama 6 jam lebih. Apalagi Ia akan berangkat pagi hari ini.

Oh Iya? Aku harus mencari Mama untuk membuktikannya sendiri. Segera ku kenakan celanaku dan berlari keluar kamar. Ku lihat di ruang keluarga, dapur, hingga kamar tidurnya, Mama tak ada.

“Nyari Tante Dian? Baru aja keluar tadi. Katanya mau ke kota S,” suara Kak Sasha terdengar dari belakangku begitu Aku membuka pintu kamar Mama.

“Oh sudah berangkat ya, hehe.”

“Emang kenapa? Buru-buru amat nyarinya,” Kak Sasha berbicara denganku sambil berdiri di depan kamar mandi. Ia sedang mengenakan handuk, sepertinya baru saja mau masuk mandi. Paha jenjangnya nampak begitu mulus dari jarak seperti ini. Pertanyaan itu membuatku salah tingkah.

“E—enggak kok, cuma mau minta uang jajan aja sebelum dia berangkat. Soalnya mau beli buku kuliah Kak,” jawabku sambil cengengesan salah tingkah.

“Oh pakai uangku aja dulu kalau gitu, nanti gantinya ku minta Tante Dian.”

“Ga usah Kak, ga mendesak kok,” jawabku lemas sambil berjalan kembali ke kamar tidurku.

Sial. Aku ternyata hanya bermimpi. Bermimpi basah saat sedang asyik membayangkan Elma dan Mama. Sialnya Aku justru malah memimpikan Mama kandungku sendiri.

Bersambung

foto bugil anak sma
Foto bugil anak sma lagi sange colok memek pakai jari
ngentot mam
Mengobati Rasa Kesedihan Mama Bagian Dua
cewek cantik pembantu
Main Dengan Pembantu Sebagai Balas Budi Bagian Satu
pembantu lugu
Melampiaskan hasrat ku pada pembantu tante yang hot
Bercinta dengan mama
Mengobati Rasa Kesedihan Mama
gadis mandi
Hubungan Tabu Dengan Pacar Saudara Ku Sendiri
dosen sexy
Cerita dewasa pemerkosaan ibu dosen yang cantik
adik tiri
Cerita Ml dengan adik tiri yang sampai sekarang masih ku lakukan
mtsmadrasah jilbab bugil
Nikmatya Ngentot Cewek Madrasah Berjilbab
gadis lihat bokep
Ngentot dua gadis manis yang terangsang karena melihat bokep
dua gadis sexy
Nonton Bokep Bareng Saudara Tiri Yang Cantik-Cantik
teman ngentot
Kenikmatan ketika aku sedang DIJARAH dua teman lelakiku bagian 1
Foto Bugil Pelajar India Nekad Selfie Telanjang
Cerita sexs akibat di rumah sendirian
tante cantik
Ngentot Dengan Calon Mempelai Yang Ganteng
pembantu hot
Meremas Dan Merangsang Pembantu Sange Bagian Dua