Part #4 : ku mengantar Nissa ke sekolah
Hari ini Aku mengantar Nissa ke sekolah. Pukul 6:30, setelah buru-buru mandi wajib dan sarapan, kami pun meninggalkan rumah. Kebetulan juga ada kelas pagi jadi Aku bisa langsung berangkat ke kampus. Sebelumnya, Aku sudah mengirim pesan ke Harun kalau hari ini Aku tidak nebeng karena bawa motor sendiri. Jujur, Aku agak sedikit kecewa mengingat Aku tak punya alasan untuk mampir ke rumah Harun sepulang kuliah dan mencuri kesempatan untuk mengulangi perbuatanku dengan Elma kemarin. Apalagi Mama juga menugaskanku untuk menjemput Nissa sepulang sekolah.
Sepanjang perjalanan, payudara Nissa terus-terusan menempel di punggungku. Sudah berapa lama Aku tidak memboncengnya seperti ini? Padahal tahun lalu saat Ia kelas 1 SMA dan Aku kelas 3 di sekolah yang sama, Akulah yang mengantarnya tiap hari. Sepertinya payudara Nissa benar-benar tumbuh dalam waktu setahun terakhir.
Oh tidak. Jangan Nissa juga. Jangan sampai Aku malah nafsu pada semua anggota keluargaku. Apa yang terjadi denganku? Kenapa dalam waktu sehari saja pikiranku sudah melantur seperti ini? Bahkan tadi pagi Aku sempat kepikiran lagi pada paha Kak Sasha yang hanya mengenakan handuk saat ngobrol denganku.
“Kak, tumben ga lari pagi tadi?”
“Kakak kesiangan, biasanya sih subuh udah mulai lari,” jawabku menimpali Adikku. Meski pikiranku sedang tidak jernih, jujur Aku memang merindukan momen kekeluargaan seperti ini. Sepanjang kuliah Aku terlalu fokus akan mengejar nilai bagus hingga mulai jarang berinteraksi dengan Adikku.
“Kamu juga dong ikut Kakak lari,” timpalku.
“Nanti aja deh Kak, lagian kalau ikut cuma ngelambatin Kakak doang.”
“Nggak ngelambatin kok. Kakak juga kan larinya bukan buat jadi atlet. Jadi kalau memang mau istirahat ya istirahat.”
“Besok deh kalau bangun, hehehe,” balasnya cengengesan. Paling Nissa kesiangan lagi besok, batinku.
“Kak sore ga usah jemput ya?” ujarnya begitu motorku sudah berjalan dekat sekolahnya.
“Lah memang kenapa?”
“Udah ada yang antarin Kak.”
“Ah janganlah, nanti diomelin Mama.”
“Ih, nanti Aku bilang ke Mama kalau Kak Dio yang jemput.”
“Kalau Kak Sasha yang ngadu gimana? Memang siapa sih yang antar kamu pulang?”
“Ih posesif banget sih jadi Kakak. Amanlah kalau Kak Sasha, Aku kan sering main ke kamarnya, bisalah diomongin. Emang kayak Kakak apa ga akrab sama Kak Sasha,” godanya, entah mengapa ucapan itu membuat pipiku panas.
“Yaudah deh, tapi jangan sampai ada apa-apa ya,” bersamaan dengan itu motorku pun telah tiba di depan gerbang sekolah Nissa.
“Makasih ya Kak,” ucap Nissa sembari berjalan masuk ke dalam area sekolah.
Aku tiba di kampus 10 menit setelahnya. Setiba di kelas ku lihat kelas masih sepi. Kelas pagi memang selalu dipenuhi oleh mahasiswa dan dosen yang terlambat, jadi wajar apabila pukul 6:50 seperti ini pun bangku-bangku kelas masih kosong.
“Yo!” teriak Harun dari bangkunya. Ia sedang duduk bersampingan dengan Elma. Entah mengapa kakiku merasa agak gugup untuk melangkah ke sana, meski begitu aku tetap menghampirinya. Aku duduk di sebelah kanan Harun. Elma duduk di sebelah kiri Harun. Jika digambarkan, kelas Kami terdiri dari dua sisi, sisi kanan dan kiri. Posisiku di bangku terdepan paling kanan tepat di dekat lorong kelas yang menghubungkan sisi kiri dan kanan kelas.
Selama 15 menit menunggu, Aku dan Harun banyak berbincang mengenai tugas dan urusan kuliah lainnya. Entah mengapa sepanjang waktu itu pula tak sekali pun Elma ikut nimbrung dalam pembicaraan Kami. Padahal biasanya Ia selalu aktif jika membahas tentang urusan kuliah. Ia hanya sibuk memandangi buku-buku catatannya. Di sisi lain Aku cukup lega karena Harun nampak tidak curiga sama sekali atas apa pun yang terjadi kemarin. Wajahnya masih seriang biasanya.
Sepanjang kelas, Aku sesekali turut mencuri pandang ke arah wajah dan dada Elma yang terlihat timbul dari sweater berwarna birunya. Ku bandingkan wajahnya pagi ini dengan wajahnya kemarin kala sedang menikmati jilatanku di payudaranya. Ku bayangkan pula sweaternya tersingkap sehingga menampilkan payudaranya yang tak habisnya kupandangi kemarin. Mendadak penisku jadi keras lagi. Untung saja Aku menggunakan buku kuliah untuk menutupinya dari atas.
Setelah kelas Kami nongkrong berempat di kantin. Aku, Harun, Elma, dan Aurel. Aurel merupakan sahabat Elma yang pada akhirnya jadi akrab denganku dan Harun juga. Hampir tiap nongkrong formasi Kami seperti ini. Harun duduk di sebelah kananku dengan Elma duduk di hadapannya, sedangkan Aurel duduk di hadapanku. Hanya saja sepanjang kelas tadi Aku tidak melihat Aurel duduk di mana. Mungkin karena terlalu fokus memerhatikan Elma.
“Harun!” terdengar sebuah teriakan dari belakang kami.
Ternyata dari rombongan teman-teman lamanya. Meski memasang wajah mendengus, Harun tetap menyusul ke sana. “Bentar ya,” katanya pada Kami.
“Kamu kok diam aja seharian El?” Tanya Aurel membuka obrolan setelah Harun pergi. Hatiku sedikit bersorak saat Ia menanyakan itu. Jujur Aku juga penasaran.
“Hah? Ga kok, lagi mikirin tugas aja,” jawab Elma, tepat pada saat itu matanya memberikan tatapan ganjil ke wajahku. Entah apa maknanya, tatapan itu membuat pipiku merah.
“Ga usah mikirin tugas mulu lah. Mikirin Harun noh sana,” ujar Aurel sambil menunjuk ke arah Harun. Benar saja, saat itu Harun terlihat bercanda berdua dengan Amanda, mahasiswi yang dianggap sebagai bidadari angkatan Kami. Banyak senior yang mencoba memikat Amanda namun sejauh yang ku ketahui sampai saat ini Ia masihlah jomlo. Satu lagi alasan mengapa Harun mengurangi intensitas nongkrong dengan teman-teman bekennya adalah karena kecemburuan Elma pada Amanda yang terlalu menempel pada suaminya itu.
Ucapan itu tidak membuat perubahan pada wajah Elma. Ia hanya menengok sesaat sebelum akhirnya diam lagi. Satu yang tak diketahui Aurel saat itu, dari bawah meja jari kaki Elma sedang menyentuh kaki kananku, seakan memberi kode. Ku pikir meski merasa tak suka Harun dengan Amanda berdekatan seperti itu, Ia juga masih sadar diri atas perbuatannya kemarin.
“Apa sih Rel, namanya juga teman wajar kalau akrab kayak gitu,” timpaku mencoba membela Harun.
“Ya kan Aku cuma suruh Elma mikirin Harun aja. Ga ada yang suruh mikirin dia dekat sama Amanda. Emang salah ya istri mikirin suami sendiri?” dalihnya sambil memeletkan lidah ke arahku. Aurel memang lebih cerewet dan blak-blakan. Sama seperti Harun, Ia juga memiliki banyak teman di luar kelompok kami. Sifat supelnya membuatnya dikenal oleh banyak orang bahkan oleh para senior pun. Aku juga tak paham betul kenapa dia lebih sering nongkrong dengan kelompok Kami yang dipenuhi oleh kutu buku sepertiku dan Elma.
“Hih Aurel,” Elma gemas sambil memukul kecil temannya yang satu itu. “Ngegoda mulu kerjaannya, awas aja kalau Kamu ada cowok bakal ku gangguin setiap hari.”
“Aduh Iya, gak lagi,” jawab Aurel sambil menangkis tangan Elma. Tingkah mereka hanya membuatku tersenyum.
“Iya nih Aurel pikirannya aneh-aneh mulu,” timpaku bercanda sembari meminum air putih dari botolku. Namun ternyata candaanku mendapatkan tanggapan yang tidak terduga.
“Yang pikirannya aneh mah Kamu Yo. Dari tadi di kelas tititnya berdiri terus. Gak malu apa?” Pruuttt, ucapannya itu membuat air yang sudah masuk ke mulutku langsung tersemprot keluar. Mengucur bebas ke arah meja dan celanaku. Akibatnya orang-orang di kantin refleks menengok ke arah kami. Hal yang ku pikir bisa ku tutupi dengan baik ternyata masih saja ketahuan.
“A—Apaan sih Rel, ada-ada aja hahaha,” jawabku salah tingkah, ku akhiri dengan tawa canggung untuk menutupi rasa maluku. Kini orang-orang tak lagi menengok ke arah Kami, dan kembali sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
“Kamu pikir ga kelihatan apa? Makanya lain kali kalau pikirannya lagi kotor jangan duduk di dekat lorong. Kelihatan banget tau! Ga tau deh yang lain pada merhatiin apa nggak.”
“Jadi Kamu merhatiin Rel?” ucap Elma datar tanpa menampilkan ekspresi, sekali lagi membuatku tersedak. Sialan, bisa mati tersedak Aku di sini.
“E—enggaklah, y—ya si Dio-nya sendiri terlalu heboh nampilinnya, mau ga mau pasti kelihatan,” kini gantian Aurel yang salah tingkah. Elma terus menatapnya dengan tatapan menyelidik.
Bersamaan dengan itu Harun pun kembali ke bangku Kami. Menyelamatkan ku dari situasi yang membuat mati gaya ini.
“Ada apaan nih mejanya basah?” tegur Harun dengan ekspresi kebingungan. Yang hanya dijawab oleh Kami dengan senyuman penuh makna.
Sekilas tentang Aurel, ia adalah perempuan keturunan Chinese. Ia berambut pendek seleher yang dibiarkan tergerai, dengan poni yang membuatnya nampak seperti bocah. Tingginya sekitar 157 cm. Postur tubuhnya sebenarnya biasa saja, dengan payudara dan bokong yang mungkin berukuran tidak besar. Namun karena sering mengenakan rok selutut yang ketat dan kemeja yang dua kancingnya dibuka, sehingga Ia cukup populer sebagai perempuan seksi di angkatan kami.
Apalagi seperti yang ku jelaskan sebelumnya, Aurel ialah orang yang supel dan blak-blakan sehingga memiliki jaringan yang luas di kampus. Banyak juga lelaki yang sering sok akrab denganku hanya agar bisa duduk di dekat dengan Aurel. Hanya saja sifat tak acuh Aurel membuat mereka mundur perlahan-lahan. Jika Elma memiliki wajah Indonesia yang ayu dengan kulit yang coklat muda, Aurel ini memiliki wajah menawan oriental dengan kulit putih yang khas.
Waktu menunjukkan pukul 5 sore saat Aku tiba di rumah. Di rumah hanya ada Kak Sasha yang pulang terlebih dahulu. Tidak seperti biasanya kala Ia hanya berdekam di kamar seharian, kali ini Ia menghampiriku yang sedang duduk di sofa sambil membaca novel karangan Mario Vargas Llosa yang berjudul The Green House. Kehadirannya yang mendadak duduk di sebelahku membuat fokusku sedikit buyar. Wajahnya terlihat begitu manis dengan kacamata bergagang abu-abu. Kak Sasha hanya mengenakan kaos berukuran kebesaran dan celana pendek.
Satu hal yang belum ku sampaikan, Kak Sasha adalah idolaku dari kecil bahkan mungkin masih sampai saat ini. Saat kecil dulu Aku sering memimpikan agar bisa berjodoh dengan sepupuku ini. Harapan yang tentu saja mustahil. Mungkin rasa taksir itu pulalah yang membuat Aku jadi begitu canggung sehingga jarang ngobrol dengannya lagi. Masih jelas di kepala Kami berdua akan keakraban di masa lalu, mulai dari liburan bareng hingga tidur berdua kala itu. Nissa yang masih kecil kala itu merupakan anak mami sehingga selalu tidur berdua dengan Mama.
“Kamu gak sama Nissa Yo?”
“Nggak, katanya dia diantar temennya.”
“Oh…” jawabnya santai. Namun yang tak ku duga adalah, mendadak Ia membaringkan kepalanya di pahaku. Dengan posisi berbaring Ia meluruskan kakinya ke sandaran kursi. Memamerkan paha dan kaki panjangnya yang begitu cerah. Celananya benar-benar pendek seakan hanya menutupi sampai pangkal paha saja.
Tubuhku langsung tertegun kaku, tidak tahu harus bertindak apa atas perbuatannya yang mendadak itu. Akhirnya Aku pun lanjut membaca buku untuk menutupi rasa canggungku. Sial, Aku tak bisa lagi fokus pada huruf-huruf yang berbaris di buku.
“Kita udah jarang ngobrol ya sekarang Yo,” ucapnya, membuka percakapan.
“Iya Kak,” balasku, bingung sebenarnya harus menjawab seperti apa pernyataan itu.
“Padahal dulu dekat banget sampai sering tidur bareng.”
“Hahahaha—,” tawaku canggung, “Iya Kak, kayaknya sejak Kakak datang kuliah ke sini kita jadi ngejauh.”
“Iya kan? Sekarang Kamu sudah mau dewasa. Lihat badanmu nih Yo, macho banget,” jawabnya sambil memijat pergelangan tanganku.
Entah keberanian dari mana yang ku dapatkan, setelah menutup novelku, tanganku langsung mengelus rambut Kak Sasha pelan. Rambutnya begitu halus dan tebal. Sepertinya elusan itu membuatnya nyaman karena Ia tak bereaksi sama sekali atas atas perbuatanku.
“Kamu ada pacar gak sekarang?” tanyanya. Kini kedua matanya menatap fokus ke wajahku dari bawah.
“Ga ada, kalau Kak Sasha?”
“Gak ada juga Yo,” jawabnya, jemarinya kini mulai bergerak di lenganku, naik perlahan hingga naik ke sisi lengan kaosku.
“Masa sih… masa orang seperti Kak Sasha ga ada pacarnya,” timpaku.
“Hahaha, ya emang Aku orang seperti apa sih?”
“Kak Sasha itu cantik, tinggi, pintar lagi, kalau Aku teman sekelas Kakak di S2 mungkin udah bakal nembak dari dulu,” ucapku, entah mengapa secara pasif agresif Aku mulai menumpahkan isi hatiku yang sebenarnya pada sepupuku itu.
“Oh ya? Kenapa harus jadi teman kelas Kakak buat nembak?” jawabnya. Aku menunggu senyuman meledeknya keluar, namun tidak, wajahnya nampak serius. Ekspresinya dingin seakan benar-benar menanyakan.
“Ya soal— soalnya pasti Mama ga ngizinin kalau Aku pacaran sama Kakak,” sialan, kenapa jawabanku seperti anak SD seperti ini? Memang benar kalau Aku masih perlu belajar cara komunikasi yang tepat. Masa di saat seperti ini masih saja nyinggung-nyinggung tentang orang tua.
“Kalau sama Tante Dian kan bisa dibicarakan. Tante kan tahu Aku anaknya gimana Kamu anaknya gimana,” jawabnya, masih dengan wajah yang serius. Aku menatapnya lekat, mencari tahu apakah Ia sedang menjebakku atau apa? Di sisi lain, jemarinya masih meremas-remas lengan atasku dan beberapa kali menyentuh ketiakku.
Tanganku yang sebelumnya hanya mengelus rambutnya kini balik meraba lengannya. Jemariku ku buat naik perlahan hingga memasuki sisi lengan kaosnya. Meraba lengannya yang mulus dan empuk membuat penisku setengah berdiri. Aku menyentuh ke arah ketiaknya yang ditumbuhi oleh bulu-bulu halus, dan memainkannya dengan jari-jariku hingga wajah Kak Sasha memerah.
“Emang Kak Sasha mau sama orang kayak Aku?” tanyaku, kini rasa grogiku mulai pudar. Keberanian mulai tumbuh dalam diriku. Ku dekatkan wajahku dengan wajahnya secara perlahan.
“A—aku, Hhhhh,” Ia mengeluarkan desahan. Karena pada saat yang sama lenganku sudah masuk ke dalam celah kaosnya. Menyentuh bra, dan meraba payudaranya dari luar. Ku elus pelan celah-celah payudaranya yang tidak tertutupi bra. Tanganku mulai memutari lekuk payudaranya seakan sedang mengukur bulatan milik kakak sepupuku itu. Ukuran payudaranya sedikit lebih besar dibandingkan milik Elma jika ku takar.
Kini wajahnya benar-benar merona merah. Nampak hidungnya sedikit kembang kempis seakan menahan deru nafas yang kencang. Wajah Kami sudah saling berdekatan. Karena wajahku dari atas dan Dia dari bawah maka sisi muka kami saling berlawanan. Mataku menatap bibirnya, begitu juga matanya yang berhadapan dengan bibirku.
“T-tangan Kamu Yo,” ucapnya sambil memasukkan tangannya ke dadaku juga. Dengan nakal jarinya mulai memainkan putingku.
“Kak Sasha memangnya mau sama Aku?” ucapku perlahan. Meski terdapat rasa nafsu dalam diriku, kata-kataku juga dipenuhi oleh rasa sayang yang tulus. Sepertinya rasa yang ku pelihara sejak lama belumlah pudar. Kini bibir Kami telah begitu dekat, nafasnya terasa hangat menghantam leherku, begitu juga nafasku yang menghantam lehernya. Ku lihat bibirnya mulai membuka pelan. Jemariku sudah menyentuh sisi atas payudaranya, dan sedang bersiap masuk ke dalam bra Kak Sasha.
Bibir Kami sudah hampir bersentuhan sebelum tiba-tiba ponselku berbunyi. Suara telepon entah dari siapa.
“Angkat dulu,” ucapnya, kini wajah Kami kembali menjauh.
“Nanti aja Kak, paling dari teman.”
“Gapapa angkat dulu,” ucapnya sambil meraih ponselku di meja. “Tuh kan dari Nissa,” dia mengubah posisinya menjadi duduk, membuat tanganku yang sudah hampir bergerilya di payudaranya jadi terlepas keluar.
“Halo,” dengan malas Aku mengangkat telefon itu.
“Kak Dio, huhuhuhu, jemput Nissa di sekolah,” jawab Nissa sambil tersedu. Ah sialan, siapa yang nekat membuat Adikku menangis?
Bersambung