Part #79 : Farah dan Dea

“Sekarang dimana mobilnya?”

“Di dalam kolam…” jawabnya.

“Hah?”

“Papa-pun lucu… di dalam basement-lah… Masa bisa dimasukin kulkas?” terangnya sambil menggerutu.

“He hehehe… Itu mobilnya matic, ma… Sama dengan kereta matic mama juga… Tinggal gas sama rem aja… Nanti papa ajarin, deh…” jelasku setelah mendapat bisikan dari Lisa tentang Jazz warna hitam yang dikirimnya gress dari showroom untuk orang rumahku. Orang kaya mah bebas ya… Hadiah gak jelas apa tujuannya berbentuk mobil baru kinyis-kinyis.

Sehabis itu, Lisa menemukan spot baru lagi untuk ngentot di area pabrik dan lagi-lagi aku gak bisa menolak karena ia langsung aja mempertontonkan kemaluannya yang becek untuk segera kusodok. Total tiga kali jadinya kami bersetubuh di seputaran pabrik ini. Jangan melakukan hal yang seperti ini kalo tidak tau triknya. Bisa-bisa kalian kesambet penunggu tempat karena berbuat mesum. Apalagi ada banyak penghuni alam ghaib di area ini. Tapi itu pengecualian buatku karena mereka (mahluk ghaib) gak ada yang berani macam-macam denganku setelah aku berhasil menyuap mereka semua beberapa tahun yang lalu dengan ritual makan besar. Seekor kerbau berukuran besar disembelih dan kepalanya ditanam di tengah-tengah area pabrik. Ini semua tentunya atas persetujuan manajemen. Gak pernah ada gangguan dari pihak mereka setelah itu.

“Capek ya, bang?” tanya Lisa kipas-kipas dengan beberapa lembar HVS yang dilipat padahal kami udah duduk di dalam cubicle lagi. Hembusan pendingin ruangan belum benar-benar menyejukkan badan kami.

“Gara-gara Lisa sampe tiga ronde, kan?” kataku duduk bersender dan meraih tumbler minumanku untuk membasahi tenggorokan. Panlok binor si Steven ini benar-benar mengurasku sesiangan ini. Ia tertawa cekikikan. “Gak dibersihin dulu tuh? Apa gak pada lengket?” tanyaku perihal celana dalamnya yang berlepotan spermaku.

“Bentaran… Enak… Geli-geli lengket begini…” katanya malah menggoyang-goyangkan pantatnya yang duduk di kursinya.

“Jorok…”

Kami melanjutkan hari dengan terus bekerja lagi dan tenggelam di dalamnya. Lisa melanjutkan ritme kerjanya dengan giat untuk membantu pekerjaanku yang memang segunung sebelum disetorkan kepada kak Sandra. Selesai satu laporan, berlanjut ke laporan berikutnya. Meng-input data dari bagian-bagian lain, mengecek laporan produksi dan lain-lain sebagainya.

Sekitar jam 5 sore lewat saat office sudah sepi, aku pulang lebih cepat dari biasanya karena aku ada janjian dengan dua binor bersepupu itu di bandara Polonia. Lisa akan kembali lembur untuk menyelesaikan tugasnya. Lisa hanya mengira aku pulang untuk persiapan pergi kuliah tanpa memeriksa udah jam berapa karena sangat fokus sekali dengan pekerjaannya.

“Hei kamu? Ya… kamu…” sapaku sebelum benar-benar pergi. Ia mendongak dari balik layar komputernya. “Jangan lupa makan…” imbuhku. Ia tersenyum lebar dan mengacungkan jempol.

Kupacu mobilku meninggalkan daerah Kawasan Industri ini dan bermacet-macet ria di sore waktu semua orang pulang. Baik pulang kantor atopun pulang sekolah siang. Jalan penuh sesak. Aku memilih-milih jalan yang kira-kira gak terlalu macet tapi agak sulit karena mengendarai mobil yang segede gaban begini. Kalo naik kereta (motor) mungkin aku bisa keluar masuk gang kecil. Masalah mataku yang sedikit rabun tak terlalu kupedulikan. Kalo ada waktu aku mau periksa ke dokter mata aja. Hanya saja aku harus sering-sering memicingkan mata untuk melihat detil-detil tertentu.

Sampe ke Polonia sudah jam enam. Kuparkir si Jero Pajero dengan buru-buru dan kemudian masuk ke dalam bandara. Kangen juga ternyata si Aseng bar-bar ini sama dua binor itu sampe bela-belain lari ke dalam kek takut ketinggalan pesawat. Hanya tinggal sedikit waktu yang tersisa sebelum mereka berangkat. Kok aku semangat kali gini.

“Haloo… Awak dah sampek Polonia, nih… Klen dimananya?” tanyaku sambil berlari-lari kecil. Pastinya mereka sudah masuk ruang tunggu karena sudah check in. Aku hanya ingin tau posisi mereka agar gak terlalu lama mencari. Setelah kasak-kusuk dengan petugas jaga, aku masuk ke bagian dalam Keberangkatan Internasional. Ramai di bagian dalam tapi aku dengan mudah menemukan mereka berdua yang bagaikan dua kuntum bunga yang mekar indah berseri walo lamur mataku saat ini

Farah

Farah dan Dea berdiri menyambutku. Aku melambatkan lari kecilku menjelang mendekati mereka dan hanya berjalan sekarang

Dea

“Semangat kali yang pake lari-lari…” kata Farah menyambutku. Dea tersenyum lebar.

“Hai… Met sore…” sapaku. Malu dong kalo ngos-ngosan karena cuma lari-lari segitu aja. Ngentot aja kuat, lari ngos-ngosan. Malu sama perut. “Udah jam segini… Tinggal setengah jam… kita cuma bisa ngopi-ngopi bentar…” kataku cengengesan. Mereka hanya membawa tas kecil ringkas yang artinya koper-koper sudah dimuat ke pesawat sejak tadi.

“Huuh… Pesawatnya aja delay sampe jam tujuh lima belas, bang…” terang Dea melirik pada jam digital besar yang berkedip-kedip di ujung sana. Ternyata memang penerbangan mereka ditunda sampe jam 19:15 yang artinya 75 menit lagi. Tujuh puluh lima menit yang artinya empat ribu lima ratus detik enaknya dibuat untuk ngapain, ya? Hmm…

“Ada ide, gak?” tanya Farah. Aku dan Dea menatapnya. Padahal kami sedang berdiri di tengah jalan yang rame dilalui orang lalu lalang.

“Apa?”

“Yaa… Kita ngapain kek sambil nunggu delay ini?” kata Farah yang melipat tangannya di bawah dadanya. Ia agak menundukkan tubuhnya saat menyatakan itu. “Apaaa gitu?”

“Farah maunya threesome kayak tempo hari itu, bang…” bisik Dea dengan mata mengernyit menggoda sepupu Arab-nya itu. Ia menutupi mulutnya agar gerakan suaranya tak terbaca padahal suaranya terdengar jelas. Threesome… Hmm. Alangkah nyamannya bisa meniduri dua binor ini sore-sore begini. Dua binor kualitas wahid yang rela berbagi tubuh denganku. Dua-duanya bisa kugarap sekaligus.

“Dea juga mau-tuh… Sok jaim… Yee…” kata Farah membalas dengan menunjuk-nunjuk dan menjulurkan lidah. Tapi masalahnya ini bandara dan mereka gak bisa bebas keluar masuk begitu aja karena sedang menunggu penerbangan yang walo sedang mengalami keterlambatan.

“Tapi ini bandara, loh… Dimana kita bisa threesome?” bisikku dengan suara tertahan agak rapat pada mereka berdua. Aku menggiring keduanya agar menepi karena ada serombongan turis bule back-packer yang akan melintas. Saat menoleh pada salah satu back-packer yang melintas itu, pandanganku tertumbuk pada salah satu layanan maskapai penerbangan. Aku langsung menunjuk ke sana. Pandangan mata mereka mengikuti arah jariku dan langsung paham.

Aku mengikuti keduanya masuk ke dalam lounge maskapai penerbangan plat merah ini dan segera disambut salah satu officer-nya. Aku langsung menanyakan apakah ada ruangan meeting private yang kosong. Dengan cepat mereka menyiapkannya dengan pengaruh selembar kartu sakti kelas Visa Platinum karena yang kuambil adalah yang VIP punya. Segera kubalik tanda ‘Do not disturb’ di pintu agar tak ada yang menginterupsi ‘meeting’ penting kami ini.

“Wiih… Keren idenya bang Aseng… Langsung yang VIP lagi… Mahal, nih…” kata Farah mencoba keempukan sofa yang tersedia di ruangan ini.

“Udah gak usah dibahas… Waktu berjalan terus… Jadi, gak?” tanyaku agak terburu-buru. Karena terpengaruh tengat waktu yang sangat mepet. Ngurus tempat begini aja udah habis sekitar 10 menit.

“Gak sabaran si abangnya… Kalem dong…” kata Farah menurunkan restleting pakaian yang dikenakannya dan tak lama payudaranya menyembul terlihat menantang dibalik bra miliknya. Gaun pendek tak berlengan itu kemudian lolos dari kakinya hingga ia hanya memakai pakaian dalam semata. Posenya menantang duduk santai di atas sofa. “Naah… Kalo udah begini pastinya jadi, dong…” genit gayanya dengan kepala sedikit dimiringkan. “Kamu juga, Dea…”

Dea juga bertindak berani. Dengan tak terburu-buru ia melepaskan pakaian miliknya. Kaos ketat dan rok panjang itu kemudian dilipat rapi untuk dipakai lagi setelah ini. Tersenyum lebar dengan rona bahagia walo hanya pakaian dalam yang membungkus tubuh sintalnya. Ia bergabung duduk di sofa empuk kelas VIP ini dengan Farah. Dua binor cantik dengan tubuh aduhai hanya berpakaian dalam duduk senyum manis dihadapanku, berharap untuk bersenang-senang dalam waktu yang terbatas ini.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. “Kalo ceritanya kek gini… awak harus buka baju jugak-la…” aku mempereteli semua pakaianku dengan cepat, terburu-buru tepatnya karena sudah membayang-bayangkan skenario ini sejak menerima telepon Farah tadi siang. Bayangan threesome dengan dua binor cantik ini. Aseng junior langsung melompat bahagia bebas ke alam liar.

“Hi hi hihihihi… Bang Aseng langsung greng…” komentar Dea melihat kejantananku.

“Langsung on, ya?” komentar Farah. Kedua-duanya tertawa geli sambil menutup mulut.

“Serbuuu!” aku langsung menyerbu mereka berdua. Yang kutubruk pertama kali adalah Farah yang langsung melebarkan kakinya menyambutku. Wajahnya berbinar ceria melebarkan tangannya juga. Gak benar-benar ditubruk, sih karena tanganku langsung bertumpu di sandaran sofa saat kukecup pipinya. “Muahh…” kecupku lalu beralih ke Dea yang ada di sebelah kirinya. Tanganku mengait menarik pinggulnya hingga bergeser rapat dengan Farah. “Muahh…” kecupku juga pada pipi binor si Fahrul itu.

“Hi hi hihihihi… Ganas, yaa… Dua binik orang diembat sekaligus…” goda Farah dengan wajah genit lalu melirik ke arah Aseng junior yang menusuk-nusuk pahanya. Batang kemaluanku diurut-urutnya ke arah pahanya.

“Farah lagi bosan sampe ikut liburan sama Dea ke KL? Trus awak ditinggalin gitu aja di Medan sini?” tanyaku sembari mengupas cup bra miliknya. Toket Arab-nya yang membusung melompat keluar merasa sesak terkungkung dalam penyangganya. Satu pucuknya langsung kuserbu dan kucucup-cucup rakus dengan mata kami masih bertatapan.

“Bang Aseng yang ngilangnya lama banget… Abis Farah dipuas-puasin beberapa kali langsung aja ngilang gak ngasih kabar… Ngikutlah Farah ke KL bareng Dea aja… Gara-gara abang juga, sih…” katanya membelai-belai rambutku dan tiba-tiba direnggut. Kepalaku diarahkan menuju mulutnya, hingga puting mancungnya lepas dari mulutku. “Mmmhhh…” kami berpagutan mulut. Renggutan tangannya melunak pada rambutku.

“Iya, bang Aseng… Abisnya kami berdua kehilangan bang Aseng-loh… Abis dibilangin kami mau pergi… baru bang Aseng merhati’in, kan?” Dea mengalihkan kepalaku mengarah padanya dan aku berganti berpagutan mulut dengannya. Padahal permainan mulutku dengan Farah baru aja mulai hangat, sudah berpindah aja. Lidah Dea semakin mahir sekarang berselancar dengan lidahku saat bersilat lidah. Kecup-kecup bibir dengan permainan lidah makin lihai dilakukannya dibandingkan awal kami bertemu.

Aseng junior-ku mendapat perhatian lebih intensif dari Farah yang kini sudah mengocok-ngocok lembut dengan tambahan ditekan-tekan ke paha dalamnya dekat selangkangan. Saat aku masih bergulat lidah dengan Dea, ia melakukan gerakan-gerakan membuka dan ternyata ia melepaskan semua pakaian dalam yang tersisa. “Aahh…” diriku yang berada di antara bentangan kaki Farah ternyata mendapat kejutan. Aseng junior yang sudah menegang dari tadi sudah dioles-oleskan ke belahan nikmat kemaluan Farah yang berjembut lebat, untuk memanaskan permainan kami.

“Basah, bang… Ahh… Mm…” erang Farah padahal ia sendiri yang ngerjain kemaluannya menggunakan Aseng junior-ku. Aku hanya menambahkan bumbu-bumbu sodokan tetapi memang masih belum bisa menusuk, nyelup aja enggak. Lebih baik kubiarkan saja ia menyenangkan dirinya sementara aku tetap dengan Dea. Tanganku melepas pelan-pelan tali bra dari kedua bahunya dan kemudian kancing pengait di belakang punggungnya.

Pasrah Dea membiarkan bra-nya lepas dari tubuhnya yang segera kuremas-remas dan pilin. Ia mendengus dalam permainan mulut kami. Setangkup tangan untuk masing-masing payudaranya lebih dari cukup untuk menguasai dua bongkahan dadanya. Farah makin gencar menggunakan Aseng junior-ku sebagai alat pemuas dirinya. Kepala Aseng junior semakin kuyup oleh lembab belahan kemaluan Farah dan salah satu payudara sudah menjadi bulan-bulanan mulutku.

“Aaahh… ahhh… Aahh… uhhh… uuhhh… aahhss…. Mmm…” suara keduanya bercampur baur menjadi sebuah melodi yang sangat indah. Untung pintu ruang rapat VIP ini tertutup rapat dan semoga terinsulasi dengan baik. Kedua tanganku dan mulutku bekerja simultan dengan sibuknya. Tak ada yang nganggur. Mulutku bermain bergantian di salah satu payudara Dea sementara tangan kanan menelusup masuk ke dalam celana dalamnya dan mengobel-ngobel kacang itilnya. Tangan kiriku menggerayangi payudara Farah dan Aseng junior masih dipermainkan di bukaan kemaluan binor si Hussein Arab itu. Tusukan-tusukan yang kulakukan belum banyak membuahkan hasil. Sepertinya harus lebih dipanaskan.

Posisi pemanasan ini kurevisi. Farah dan Dea yang duduk berdampingan dengan gelisah di atas sofa ini kupisah dengan diriku di tengah-tengah. Kedua jari tanganku kuberi ludah yang cukup lalu kujejali ke kedua vagina kedua binor itu. Keduanya langsung merintih begitu jariku menyeruak masuk menusuk ke dalam liang kawin mereka yang berjembut lebat. Awalnya kulakukan gerakan mengocok yang perlahan dan semakin cepat. Sempit menggigit liang kawin kedua binor yang belum pernah turun mesin begini selalu membuatku blingsatan. Siapa yang akan terlebih dahulu kucoblos menggunakan Aseng junior nanti?

Aseng junior diremas-remas keduanya selagi vagina mereka kuacak-acak dengan jari. Tak cukup satu jari, jari tambahan kumasukkan menambah tekanan kenikmatan kepada keduanya. Jari-jariku semakin terjepit dan Aseng junior semakin diremas-dikocok rebutan. Bergantian aku memagut bibir-bibir keduanya yang mangap-mangap minta diperhatikan. Lidahku sering dihisap-hisap dan ludahku disedot-sedot rakus. Bibirku dikulum-kulum dan dijilati. Kalo terus begini, aku bisa gila.

Untungnya, apa yang sudah kuusahakan dari tadi kesampaian juga. Susul menyusul kedua perempuan bersepupu itu orgasme dengan cantiknya. Berkejat-kejat keenakan dengan perut kejang dengan aku ada diantara keduanya berkat kerjaan tanganku yang bergerak giat, lincah. Kelojotan tubuh keduanya sangat memuaskan diriku yang berhasil membuat mereka begitu.

“Siapa yang duluan? Ayo suit dulu?” kataku mencabut jari-jariku yang barusan menjejali kemaluan mereka. Mereka tak langsung merespon maksudku. Hanya duduk bersandar pasrah dengan kaki mengangkang lebar dan vagina merah merona basah becek dengan lubang kecil menganga gelap. Aku menjilat-jilat jariku yang terasa enak dengan cairan cinta kedua binor kualitas super ini. Beberapa minggu terakhir ini, mereka sepenuhnya milikku. Mereka untuk beberapa lama hanya bersandar setengah berbaring begitu, mengatur nafas, meneguk ludah lalu bernafas lagi dengan dada naik turun.

Memberi mereka motivasi aku mengelus-ngelus Aseng junior yang akan menjadi hadiah utama perlombaan suit mereka. Dan akhirnya mereka bergerak untuk melakukan suit yang kumaksud. Keduanya mulai melakukan suit Jepang batu-gunting-kertas dengan tertawa-tawa riang. Hentakan tangan keduanya tentu aja menyebabkan guncangan-guncangan indah pada gundukan payudara montok di dada mereka.

“Yess!” Farah melonjak dengan tangan terangkat berhasil menang dengan skor 4-1. Dea merengut lucu dengan mulut manyun.

“Sabar ya, Dea… Nanti dapat bagian juga…” kataku yang mengarah pada sang pemenang suit yang semakin melebarkan kakinya untuk segera kugagahi. “Faraaah… Pemenangnya… Sebentar, yaa…? Kenang-kenangan sebelum klen berangkat ke Malaysia…” ujarku malah berjongkok di hadapan kemaluannya dan langsung saja membenamkan mukaku di antara bentangan pahanya.

“Aahh… Ahhhh…” erang Farah mendapat serangan tiba-tibaku pada kemaluannya. Lidahku bergerak cepat-cepat menjilat lalu seluruh mulutku kugunakan untuk menyedot-nyedot kemaluan menggairahkan keturunan Arab ini dengan seksama. Rasanya yang enak sangat ngangenin untuk dicicipi dengan mulut sebelum kugunakan Aseng junior yang tentu akan menodai rasanya kalo kurasakan setelah itu. Jilatan-jilatan yang sayang untuk dihentikan kulakukan pada bagian kacang itilnya yang dibingkai rambut-rambut lebat pada bagian atas tulang pubisnya dan rambut-rambut pendek di sekitar bibir vaginanya. “Udahh…” kataku sebenarnya berat hati melepas rasa enak mencicipi kemaluan binor ini dengan mulutku tapi waktu kami tidak lama.

Dan segera kuarahkan Aseng junior ke sana menggantikan mulutku sebagai hidangan utamanya. Mulut Farah menganga mengantisipasi gerakan tiba-tibaku berikutnya karena kugesek-gesekkan dahulu bagian kepala Aseng junior untuk membasahinya. Lalu coba-coba kucolokkan masuk dan ternyata dapat tergelincir dengan lancar karena sudah basah oleh permainanku sebelumnya apalagi oralku barusan. “Aaaaahh… Ahhh…”

Rasanya sangat nyaman sekali bisa memasuki liang kawin binor ini dan binor-binor lain tentunya dengan menggunakan Aseng junior yang sewajarnya tak halal bagi mereka. Tapi aku punya wewenang khusus pada mereka yang mengizinkan aku melakukan ini tanpa mereka protes bahkan mereka yang menginginkan ini. Izin khusus untuk menghamili mereka. Dan aku memanfaatkannya sebaik-baiknya demi kepuasanku sendiri karena bila aku puas, mereka dipastikan puas juga. Aku sudah membuktikan itu berkali-kali. Apalagi bonus utamanya, mereka bisa hamil.

Farah mengerang-ngerang mendapat sodokan berulang-ulang. Tadinya hanya pelan-pelan dan sekarang intensitasnya bertambah cepat hingga tubuhnya berguncang-guncang. Apalagi dua payudara montoknya berguncang-guncang juga seirama tubuhnya. Dea yang kuanggurkan hanya kulirik saja karena aku ingin berkonsentrasi sepenuhnya pada Farah dulu dan pada kesempatan berikutnya fokusku akan berpindah padanya. Kuharap ia paham itu. Binor yang menganggur itu memperhatikan pergumulan kami pada wajahku, wajah Farah dan pertemuan kelamin kami.

Aseng junior menarik sejumlah cairan kental putih di bagian pangkal yang merupakan cairan lubrikasi Farah yang menumpuk setelah mengucur melancarkan gesekan-gesekan kami. Tumbukan tubuhku dan Farah tentu saja menimbulkan suara khas ditingkahi erangan dan desahan binor si Hussein yang sudah mabur ke kampungnya sana. Meninggalkan biniknya sendiri disini dan bebas kuapa-apakan aja. Kuewe bebas begini.

“Baaangg… aaah… ahhh… Baaangghh… Ahh… ahh ahh…” Farah mengejang dan kuhentikan gerakan memompaku. Kupeluk tubuhnya dan memagut mulutnya. Kami bergulat beberapa saat, merasakan remasan-remasan liang kawinnya yang berkedut-kedut atas Aseng junior-ku. Pelan-pelan Aseng junior mulai kupompakan lagi dan ia mulai mengerang. Aku menjilati leher dan kupingnya membuatnya semakin menggelinjang. Aseng junior semakin cepat bergerak.

“Cplok cplok cplok…” orgasmenya barusan semakin membuat liang kawinnya basah dan melancarkan gerakan keluar masukku. Aku merasakan ada tangan lain yang mengelus-elus punggungku. Itu pasti tangan Dea tapi kubiarkan saja karena semua perhatianku tercurah hanya pada Farah saat ini. Tubuhnya semua kujamah dengan intensif dengan semua bagian tubuhku. Tanganku meraba-raba ke segala penjuru, pinggangku memompa maju mundur dengan rajinnya, merangsek vagina binor blasteran Arab ini. Sesekali aku memagut mulutnya lagi dan bermain-main dengan lidahnya. Ia menyedot-nyedot lidahku yang menyetorkan ludah. Dengan senang hati ia menyambut semua saliva-ku yang kemudian kuambil kembali.

Aseng junior terasa makin keras dan enak oleh liang basah dan lancar disodokinya dengan cepat di posisi paling konvensional manusia membuat keturunan ini. Sudah terasa geli-geli enak apalagi, aku sudah mencapai batas durasi ketahananku yang gak hebat-hebat kali. Apalagi mengentoti binor seseksi dan semontok ini, nafsuku sudah di ubun-ubun dan sesegera mungkin akan ngecrot.

Kutumpukan kedua tanganku di samping leher Farah dan gerakanku makin liar dan cepat. Menengadah merasakan gelegak spermaku berkumpul, hendak meledak tertembak melalui saluran sempit menuju alam bebasnya di dalam rahim binor semok ini. Farah juga memejamkan mata merasakan Aseng junior yang sedang memborbardir kemaluannya semakin membengkak dan…

“Crroootttt crroottt crroootttt!” Kutekan tubuhku erat-erat pada selangkangan Farah. Kedua bola pelerku menguras muatannya berulang-ulang. Ini jatah milik Farah dan meluncur sukses memasuki rahim binor cantik bermata sendu ini. Ia merintih merasakan gelegak spermaku mengisi perutnya. Ia berkejat-kejat juga keenakan, mungkin mencapai klimaksnya juga. “Ooohh… oohh…” erangku keenakan. Kusodok-sodok selangkangan Farah saat mata kami bertatapan. Ia tersenyum lebar dengan puas seakan mengucapkan terima kasih sudah membuatnya menikmati semua ini. Kukecup bibirnya dan kami berpagutan sebentar.

Saat kucabut Aseng junior dari liang kawinnya, Farah tak kunjung memperbaiki posisinya, ia tetap duduk rebah bersandar di sofa ini dengan kaki mengangkang lebar. Ditutupnya permukaan vaginanya agar spermaku tak mengucur bebas meninggalkan lahan basahnya. Ia berkali-kali menjilati bibirnya yang kembali kering akibat hembusan nafas akibat masih ngos-ngosan. Ia hanya menikmati after taste persetubuhan kami dengan mata terpejam. Tapi aku harus beralih pada Dea sekarang.

“Sori ya, Dea… Gak ngambek, kan?” bisikku merapatkan diri padanya. Lalu kukecup bibirnya yang disambutnya antusias.

“Enggak, kok… Pokoknya Dea dapat giliran aja… Masih ada setengah jam lagi tuh…” katanya melirik pada jam dinding di ruang meeting VIP ini. “Cukuplah keknya, bang…” ia kembali mengelus punggungku. Tangannya yang lain berkelana dan menemukan Aseng junior yang melemah dengan belepotan spermaku bareng Farah tadi. Dikocok-kocoknya tanpa memperdulikan rasa lengket. Sentuhan tangan halus lembutnya semoga bisa membangkitkan Aseng junior segera.

Kami lalu berciuman dengan panasnya. Dea semakin mahir bersilat lidah denganku. Semua teknik yang pernah kugunakan padanya dibalaskannya dengan sempurna tanpa canggung. Lakiknya, si Fahrul apa gak kaget biniknya jadi jago ciuman begini? Itu keuntungan buatnya. Tanganku juga gak tinggal diam dan memerah kedua payudaranya yang membusung melengkung punggungnya yang pengen dijamah. Jari-jariku lincah memainkan dua tombol pentilnya, dipilin-pilin, pelintir dan cubit. Lidahnya membelit bagai ular yang lincah. Lidahku disedot-sedot.

“Uuuhh…” erangnya kala mulutku turun dari leher ke dada dan menemukan payudaranya. Lidahku liar memainkan putingnya dan remasan pada daging kenyalnya. Dea sudah membuka kakinya lebar-lebar hingga aku tepat di atas tubuhnya. Perutku bahkan bisa merasakan jembut lebat pada permukaan kemaluannya. Ahh… Jembut lebatnya yang sedikit basah karena orgasmenya akibat permainan jariku di awal tadi bareng Farah. Kugesek-gesekkan perutku pada vagina Farah dan ia menggelinjangkan tubuhnya. Pinggulnya bergoyang selagi payudaranya kukenyot-kenyot.

Dan tiba saatnya mulutku untuk mengoral vaginanya. Mulutku langsung melahap semua permukaan terbuka kemaluannya dan sedot. “Slrrruuppp…. Srrpp… Ahhh…” semua rasa segar Dea ada di mulutku. Kuulangi lagi dan lagi berkali-kali. Ujung lidahku bermain-main pada kacang itilnya membuat Dea mengerang-ngerang seksi. Tangannya membelai-belai rambutku sesekali menekan agar aku fokus di satu bagian tertentu. Liang kawinnya sepertinya sudah siap untuk menerima serangan utama, apalagi Aseng junior sudah bangkit lagi dan greng!

Berdiri sedikit menekuk lutut, aku mengarahkan kepala Aseng junior menuju lubang kecil gelap di belahan lebar kaki Dea. “Hhhhmmm…” desisku sendiri merasakan lembut sekaligus sempit menggigit liang kawin Dea yang kubelah. Binor itu juga mengerang dengan mata terpejam menikmati prosesi penetrasiku. Sodok-sodok pelan hingga seluruh batang Aseng junior-ku bisa memenuhi jalan liang kawinnya. Grenyam-grenyam liang kawin sempitnya segera memijat batang kemaluanku, apalagi tekanan yang dirasakan kepala Aseng junior yang paling sensitif membentur jalur terdalamnya.

“Ah ah ah ah ah…” erang Dea ketika aku mulai melakukan pompaan mengentotinya. Farah yang masih ada tepat disamping Dea kini yang gantian memperhatikan kami. Ia masih menyumpal mulut vaginanya dengan tangan agar spermaku jangan keluar dulu. Lidahnya menjulur mengejekku yang kubalas dengan juluran lidah juga. Kami sama-sama tertawa tanpa suara lepas itu dan aku kembali fokus pada Dea yang tetap memejamkan matanya. Mungkin sedang membayangkan kalo suaminya-lah yang sedang bercinta dengannya, bukan pangeran kodok bernama Aseng mesum ini. Bebas, sih. Karena kenikmatan yang kurasakan sangat maksimal dari tubuhnya, terlepas apapun yang sedang dibayangkannya. Masing-masing punya preferensi sendiri.

“Uuuuhhhh…” rintih Dea meremas kedua pergelangan tanganku yang sedang memerah kedua payudara montok berguncangnya. Ia merintih berulang-ulang menikmati rasa luar biasa yang merajai tubuhnya. Terkadang ia merinding-rinding, terkadang meracau keenakan. “Aaww… Enaknya… Uuhh… Mm…” Dua payudaranya kuremas dalam satu tangkupan tangan. Daging lembut kenyal itu kuadu bagian pucuk pentilnya dan kugesek-gesek selagi Aseng junior masih secara intens kukocokkan keluar masuk.

“Mmhh… Ah ah ahhh…” tubuhnya berkelojotan tergial-gial terutama bagian dalam liang kawinnya yang meremas-remas Aseng junior-ku. Ini pertanda ia mendapatkan klimaks puncaknya. Kugesek-gesek pelan saja seiring desahan mendesis Dea yang baru saja keenakan mendapat orgasmenya. Kuangkat sebelah kakinya hingga tubuhnya miring ke arah Farah. Nafasnya masih tersengal-sengal saat bertatapan dengan Farah yang tersenyum dikulum nakal. Mulut Dea yang terbuka dikecup sepupunya itu memberi support agar tetap bersemangat saat aku memposisikan diriku agar tepat di posisi menyamping begini.

Waktu sudah semakin mepet karena aku juga harus berangkat kuliah setelah melepas mereka berdua yang berangkat jam 19:15 nanti. Kakiku berada di antara paha kiri Dea dan Aseng junior masih terbenam dengan nikmatnya di liang kawin binor ini. Mulai kugerakkan lagi pinggangku maju mundur dan Dea mulai mengerang lagi. Farah mendukung dengan memeluk sepupunya itu. Erotis sekali menyaksikan rangkulan keduanya. Gerakan memompaku menyebabkan kedua binor bersaudara itu berguncang-guncang. Aku menggedor bagian bokong Dea yang lebar, melesakkan Aseng junior yang semakin licin dan nikmat merangsek liang kawinnya.

Tanganku mencengkram pada bagian pinggulnya sementara lincah dan lentur pinggangku bergerak memompa Aseng junior selancar-lancarnya. Dea terus mengerang-ngerang disaksikan Farah yang mengelus-ngelus lengannya. Melihat keduanya saling berpandangan, membuatku semakin bersemangat ingin segera ngecrot lagi di dalam liang kawin binor kedua di ruangan rapat ini. Ini threesome yang sangat memabukkan tetapi sayangnya terbatas oleh waktu. Hanya ada beberapa belas menit lagi tersisa sebelum fight mereka take-off.

“Aahh ahh ahh ahh ahh…” erang Dea merasakan diriku terus memompa liang kawinnya yang basah. Himpitan pinggulnya terasa semakin menekan Aseng junior-ku walo aku belom lama udah ejakulasi pada Farah, tetapi sensasi posisi menyamping ini tak bisa kupungkiri selalu membuatku cepat ngecrot. Kedua bola pelerku menciut mengkerut berusaha memompa isi muatannya keluar sekali lagi. Gelegak nikmatnya sudah terasa dan kepala Aseng junior menjadi sangat sensitif kala berbenturan di dalam liang sempit binor keturunan Aceh ini.

“Uuh… Mm…” kutekankan perutku menempel rapat pada bongkahan bokong Dea, menyemprotkan muatan pelerku memasuki tubuhnya. “Crroott… croott… crooottt!” Lututku terasa lunglai setelah menyemburkan spermaku untuk kedua kalinya malam ini. Aku hanya berdiri masih dengan kelamin menyatu di dalam tubuh Dea, menikmati rasa enak dan nikmat ejakulasi barusan. Dea megap-megap di depanku walo masih dielus-elus Farah. Pipinya dikecup-kecup sepupunya itu dengan senyum lebar.

Cabut, mundur dan duduk lemas di samping Dea dengan Aseng junior masih setengah menegang, miring kesamping berselemak sperma. Aku mengatur nafasku yang lumayan berat sehabis olah kelamin barusan. Ada yang menyentuh Aseng junior dan mencoba membersihkanya. Farah ternyata. Dengan beberapa lembar tisu ia mengelap batang kelaminku yang masih berkedut-kedut enak.

“Udah kerja keras, nih… Sayangnya waktu kita terbatas ya, bang…” ujar Farah masih membersihkan tiap sisi penisku dengan seksama. Dikecupnya kepala Aseng junior beberapa kali seperti tanda terima kasih. Tangannya menggenggam batangku yang lunglai kelelahan. Lembaran tisu itu menjadi beberapa buah kepalan sisa pembersihan hingga kemaluanku kering.

“Hh…” jawabku sekenanya. Sebenarnya karena masih lemas. Aku mencari-cari pakaianku dan memakainya kembali dengan malas-malasan karena tau mereka harus segera menaiki pesawatnya yang mungkin saat ini sudah bersiap-siap di parkiran. Aku harus memposisikan Aseng junior di dalam sempak dengan senyaman mungkin karena ia masih sedikit tegang hingga terasa sesak saat mengancingkan celanaku kembali. “Apa ini?” aku menoleh pada kedua binor itu.

“Yang ini punya Farah… Yang ini punya Dea…” kata Farah menyodorkan dua buah benda mirip strip itu padaku.

Aku melongo padanya lalu beralih pada Dea yang juga yang sedang memakai pakaiannya kembali. Binor itu tersenyum manis sekali saat memasukkan kakinya ke dalam celana dalamnya. Payudaranya menggantung indah, bergoyang-goyang. Di dalam perutnya… Di dalam perut mereka berdua.

“Ya… Betul, bang! Kami hamil!” seru Farah ceria sekali.

Hamil.

Berikutnya kedua binor itu menciumi pipiku bertubi-tubi dan aku hanya pasrah aja menerima hujanan bibir dari dua perempuan dewasa yang sedang mengandung janin mungil di dalam rahim mereka. Dua test pack yang disodorkan Farah tadi adalah buktinya. Keduanya menampilkan hasil positif hamil. Inikah sebenarnya yang ingin mereka sampaikan padaku. Obrolan sebenarnya, mengkabarkan berita positif kehamilan mereka. Sangat menyenangkan sekali.

“Kenapa gak ngasih tau dari awal? Awak kan bisa ngasih selamat dengan bener… Ihh… Gimana sih ini? Pake ngeseks lagi… Ini kan masih hamil muda kali… Gak boleh begini-begini dulu-la…” aku baru tersadar. Karena seingatku beberapa binor ada yang langsung gak enak badan setelah berada di dalam status hamil begini. Takut ada apa-apa akibat permainan kami barusan.

“Enggak kok, bang… Aman…” kata Dea masih rapat memelukku bareng Farah yang menyandarkan pipinya di leherku. “Dea belum ngerasa apa-apa… Farah juga, kok… Ini cuma buat surprise ke abang aja sebenarnya…” ujarnya lagi. Farah mengangguk-angguk membenarkan.

“Farah bahagia banget, bang… Bisa hamil begini… Eh… Barengan sama Dea… Sempurna banget! Muahh…” kata Farah mengecup pipiku kuat.

“Tapi kan gak gini… Kalian juga mau terbang ke Malaysia… Apa gak pa-pa?” khawatirku berlebihan mungkin.

“Kami kan hamil… bukan sakit, bang… Hamil kan bukan penyakit… Ini anugrah…” kata Farah menenangkanku. Benar juga. Sejauh ini mereka hepi-hepi aja dan enerjik. Mungkin kebahagiaan ini yang membuat mereka sedemikian bersinarnya. Untuk Farah, dapat dipastikan kalo janin di rahimnya adalah anak dariku. Hanya aku menyirami rahimnya sejak suami tak bertanggung jawabnya itu melarikan diri. Bagi Dea, fifty-fifty hasilnya karena ia pernah ke KL untuk menemui suaminya untuk program kesuburan keduanya. Gak masalah.

Wajah keduanya cerah saat aku ngajak ngobrol janin yang ada di dalam perut mereka. Lalu kukecup bergantian perut-perut yang sebenarnya masih rata aja tanpa ada tanda-tanda membuncit sama sekali. Ini masih hitungan minggu harusnya dari pembuahannya. Masih berupa sel-sel yang dalam proses pembelahan untuk menjadi janin seutuhnya. “… jagain mamanya… Baik-baik di dalam… Cepat besar dan jadi kebanggaan orang tua… Cerdas… Pintar… Cantik… Ganteng… Baik hati…” sapaku diantara kecupanku.

Keduanya hanya bisa menatapku haru begitu aku berdiri lagi.

“Ayo… Itu pesawatnya udah mau berangkat-loh…” kataku mendorong tubuh keduanya agar segera keluar dari ruangan ini. Keduanya sudah berpakaian rapi lagi. “Nanti di pesawat… ke toilet… trus basuh yang bersih… Yang tadi gak bakalan jadi anak lagi, tau…” bisikku di ambang pintu tetapi pasti terdengar jelas oleh mereka berdua yang dibalas dengan tertawa cekikikan geli.

Aku melepas keduanya dengan perasaan bangga. Bangga bisa membantu mereka berdua sedaya upayaku. Ahh… Menyenangkan sekali bisa menghamili binor-binor ini. Rasa nyaman dan aman menggauli mereka, bisa ejakulasi sepuas-puasnya tanpa takut efek samping tanggung jawab karena bakalan ada pria resmi pendamping mereka yang menanggung bibitku. Tanpa sadar aku terus melambaikan tanganku bahkan saat sosok keduanya menghilang di balik pintu Keberangkatan itu.

Saat aku meluncur keluar dari bandara Polonia, seekor burung besi tinggal landas dan membumbung tinggi membawa para penumpangnya menuju tempat tujuannya. Kelip-kelip lampunya seakan senada dengan hentak pelan suara musik yang kuputar di head unit mobilku. Suasana jalan agak ramai tak terlalu kuperdulikan karena suasana hatiku saat ini sangat riang sekali mendapat kabar bagus ini. Apalagi sebelumnya aku bisa menyetubuhi kedua binor itu lagi setelah sekian lama aku sibuk dengan urusan lain yang banyak menyita waktuku.

“Julio… Misalnya ni aku telat… Tolong titip absen dulu, ya?” ujarku begitu teleponku diangkat pria itu. Aku gak terlalu yakin bisa sampe tepat waktu di kampus dan ini antisipasiku. Aku yang sering duduk di belakang pastinya akan sulit ditandai dosen yang mengampu jam pertama kelas.

“Sori loh nih, bang Aseng… Wa gak masuk kelas, nih… Lagi bawa Amei periksa dokter kandungan, nih…” jawabnya di sana. “Sori-loh, bang…”

“Ooh… Ya-udah… Gak pa-pa… Selamat, yaa…” kataku memberinya selamat sekali lagi atas kehamilan istrinya. Lalu aku meneruskan basa-basi selamat itu untuk beberapa lama lalu beralih ke pak Ferdi. Ternyata pria itu juga sedang membawa istri sirinya, Mayumi-chan ke dokter kandungan. Dua orang yang akan dimintai tolong buat nitip absen juga sedang berhalangan masuk. Aku malah disarankan minta tolong pada tiga perempuan dalam genk perusahaannya. Cherni, Neneng ato Aisa. Padahal harusnya tiga perempuan itu gak bisa masuk abis Aisa kesurupan kemarin. Mereka kini keknya masih nginap bareng.

Perkiranku meleset, karena lepas dari wilayah bandara, lalu lintas mulai lengang. Kalo begini, aku gak akan telat untuk mencapai kampusku. Kupacu Pajero ini agak lebih cepat di jalanan lengang dan tak lama aku memasuki parkiran kampus dengan aman sentosa. Tepat waktu masuk kelas tanpa harus terlambat apalagi harus nitip absen.

“Eh… Masih panjang rentalnya, bang? Ck ck ck…” komentar bocah sengak itu lagi yang langsung berlalu begitu diliatnya aku turun dari mobil ini kembali. Ia juga baru turun dari mobilnya. Siapa nama anak itu kemaren? Wito? Dito? Lek-lek… Sabar, Seng. Yang sabar tinggalnya di Mabar. Aku hanya bisa mengikuti langkahnya, menjaga jarak darinya.

“Loh?” heranku langsung mendekat dan menghampiri mereka bertiga. Tapi aku tetap ke kursi yang biasa kududuki, di bagian belakang. “Udah sehat, ito?” sapaku ke boru Siahaan yang asik bercengkrama dengan kedua temannya, Cherni dan Neneng. Kok udah masuk kuliah aja dia? Apa juga udah masuk kerja walo baru kemaren kesurupan kuntilanak. Apa udah gak lemas lagi?

“Sehat-lah, bang… Bosan kalo di rumah aja…” jawabnya.

“Maksa dia, bang… Padahal udah kami bela-belain permisi gak masuk kelas…” kata Neneng. Cherni juga mengangguk-angguk membenarkan.

“Seharian di rumah Cherni mati bosan aku-lah…” jawabnya. “Abis gak ngapa-ngapain… Disuruh tidoor aja trus sama Cherni… Kek penyakitan aja aku dibuat dua orang ini… Udah sehat kek gini-pun…” cerocosnya. Jarang sekali melihat Aisa seriang ini. Dia biasanya hanya menimpali percakapan teman-temannya dengan kalimat pendek yang lebih cenderung sarkas. Kini ia sepertinya lebih terbuka paska terbukanya semua perasaan mereka bertiga atas satu sama lainnya. Hubungan 3R pelik mirip logo Recycle-Reduce-Reuse itu.

“Ooh… Kalo gitu udah benar-benar sehat-laa…” kataku membesarkan hatinya. Aku condong ke arahnya dan berpegangan pada sandaran kursi yang didudukinya.

“Bang Aseng bauk pepek-la kurasa…”

Kimak! Hidungnya mengendus-endus sisa aroma tubuhku yang tertinggal. Aku sontak mundur balik lagi ke posisi awalku. Bauk pepek katanya. Sialan ini aroma Farah dan Dea. Kombinasi vagina kedua binor itu rupanya masih bisa tercium oleh hidung Aisa. “Ahh… Asal aja pun kau ngomong, ito… Bauk keringatku ini… Belum sempat pulang aku… Tau, kau?” elakku mempertimbangkan untuk pindah, menjauh dari mereka bertiga. Kursi di sudut dekat dinding kosong gak pernah ada yang nempatin. Tapi keliatan kali kalo aku menghindar dan menambah yakin Aisa kalo ini benar-benar bauk pepek.

Hanya dua perempuan temannya itu yang merespon ucapan Aisa barusan dan mereka bertiga berbalik untuk menatapku dengan berbagai ekspresi. Untung gak ada yang lain. Neneng berbisik-bisik pada Aisa yang duduk di tengah. Keduanya tertawa tanpa suara. Cherni kepo pengen tau dua perempuan itu menertawakan apa. Aisa membagikan informasi itu dan panlok itu ikut tertawa. Ketawa gak pantas ketiganya terhenti takala dosen masuk dan kuliah dimulai.

Aku mengendus-endus pakaianku. Cuma bauk keringat-nya… Dari mana asal bauk pepek ini? Aku menghembuskan nafas dan menampungnya di tanganku, bau bangke. Kuendus-endus jari-jari tanganku. Kimak dari sini ternyata setelah kubaui. Dan yang paling pasti adalah di Aseng junior yang sudah mengobok-obok pepek dua binor; Farah dan Dea kurang dari satu jam yang lalu. Apa aku mandi aja di toilet kampus, ya? Kimak-la…

Kubela-belain mandi hanya sekedar membasahi tubuhku walo tanpa ada handuk untuk mengeringkan tubuh. Kugosok-gosok tubuhku sekenanya ditambah diendus-endus berulang-ulang. Mandi pake sabun cuci tangan yang tersedia di toilet begini untuk menghilangkan sisa aroma tubuh perempuan yang menempel di badanku. Mengeringkan tubuhku yang basah, aku melompat-lompat di dalam toilet kecil yang hanya berisi toilet jongkok, sebuah kran air dan sebuah ember plus gayungnya. Toilet ini jauh tersembunyi di dekat tangga nun jauh dari kelasku. Mungkin ini fasilitas yang sering dipakai para tenaga kebersihan gedung kampus ini. Sengaja kupilih di sini agar gak diketahui siapapun.

Setelah rapi, aku keluar lagi dengan percaya diri. Semoga tak ada aroma pepek yang masih tercium siapapun. Aku akan menyempurnakan mandiku nanti di rumah aja. Masih kerasa dingin oleh butiran air yang masih menempel di sekujur tubuh karena gak dikeringkan dengan handuk. Cuek ajalah. Bersiap untuk kelas kedua berikutnya.

“Booss… Ada waktu bentar, gak?” tiba-tiba ada yang menyusulku dari belakang.

“Eh… Ya… Ada apa?” begitu kukenali sosok yang sepertinya sedang menyergapku ini. Untung insting bertarungku gak refleks menendang kepalanya begitu tak kurasakan ada bahaya. “Dito, ya?”

“Iya, boss… Sori mengganggu waktunya sebentar… Ada minat buat bersenang-senang?” ia langsung nyerocos kek sales MLM yang berusaha prospek mangsa baru. Ia menunjukkan padaku sebuah video pendek dari HP-nya yang bergerak-gerak liar dengan lampu-lampu menyilaukan. Tapi kemudian aku menangkap gerakan yang syur sekali di tengah layar. Beberapa perempuan muda sedang meliuk-liukkan badannya di tengah panggung. Disekitarnya ada banyak pria hidung belang menyoraki para perempuan seksi ini.

“Striptease?” gumamku mengerti apa maksudnya. “Sori… awak gak tertarik begituan…” tolakku sehalus mungkin. Apa mukakku mesum kali hingga si borjong satu ini menawariku nonton striptease. Ini-nya rupanya kerjamu. Di club malam? Kok gak di club kau… malah di kampus? Nyarik ayam kampus?

“Atau mau yang lebih private? Bisa dipake-loh penarinya, boss…” tawarnya lebih mendesak menggulir pada video berikutnya dimana sang penari udah benar-benar bugil dan sedang dipegang-pegang para penonton di bawahnya.

“Enggak-la, Dito… Awak gak tertarik yang kek-kek gitu… Sori-la…” tolakku dengan tambahan permintaan maaf. Aku pulak yang sampe mintak maaf. Yang hebat-la si borjong satu ini. Kalo cuma striptease aja-nya, geleng… kecil-la itu sama ku… Kusuruh 19 peri rambut merahku muncul di sini semua, telanjang mereka di depanku gak pernah make apa-apa. Ini nonton striptease pasti disuruh bayar. Mahal pulak tuh.

“Gak mahal, boss… Ayok-la…” si pukimak ini makin memaksa.

“Stop ya, lae… Kubilang stop, stop kau!” hardikku. Aku mengacungkan satu jari. Jan sampek matamu kucucuk pake jari ini. Dia berhenti mendesakku. “Gak ada duitku buat yang kek-kek gitu… Bagus uangnya kubelikkan susu anakku… Kubelikkan bombon anakku… Gak minat pulak aku nengok kek-kek gitu… Entah udah bekas siapa-siapa aja-pun perempuan itu… Gatal-gatal pulak kontolku jadinya nanti… Dah kenak raja singa aku… Udah bagus-bagus aku jadi raja kerajaan Mahkota Merah… mau kau kasikan raja singa pulak aku… Enggak!” terdiam si borjong itu ngeliat aku ngerepet kek mamak-mamak. Sampe make aku-aku ngomongku barusan. Pantang itu. Marah mamak nanti…

“Dah-la… Awak mau masuk kelas lagi…” aku ngeloyor aja menjauh darinya tak perduli apapun yang ditawarkannya.

“Gratis… Untuk perkenalan kukasih gratis, boss…”

Now, we’re talking.

Si Dito borjong ini ternyata baru nyadar kalo ekonomi diriku tak seperti yang disangkakannya selama ini. Ngeliat selama ini aku cuma naik Supra X 125 buat kuliah, dikiranya aku gak berduit. Ngejek aku yang dikiranya rental Pajero dua hari ini dan baru ketahuan saat ia menguping dengar pembicaraan perempuan 3R itu tentang mobilku. Punya mobil mahal=punya duit banyak. Ka-ching! Matanya langsung ijo mendapat client potensial sepertiku. Begitu mungkin di pikirannya.

Tapi aku gak janji untuk datang malam ini ke club tempatnya bekerja karena aku ada agenda tersendiri yang lebih penting selain hura-hura. Ada orang rumah yang harus ditengok dan dijenguk keadaannya. Bagaimana keadaannya seharian ini? Bagaimana kabarnya malam ini? Apakah ia masih terluka? Ini yang paling penting untukku sekarang setelah kuberikan ia waktu untuk mager seharian penuh. Akankah ia menggunakan waktunya?

“Alo… Perempuan-perempuan 3R… Pulang naik apa?” sapaku menyusul ketiganya yang menuruni tangga.

“Apalah 3R yang abang bilangin ini? Ntah hapa-hapa aja…” kata Aisa yang turun paling belakang di antara mereka bertiga.

“Julio gak masuk… Pak Ferdi juga… Bang Aseng bawa mobil, kan? Anterin kita pulang, ya?” pinta Cherni. Neneng dan Aisa juga ngarep.

“Ya udah ayok-la… Cabut kita langsung… Tapi awak langsung pulang, ya… gak pake singgah-singgah lagi…” jawabku menggiring ketiganya menuju parkiran.

Malam ini aku pulang kuliah tepat waktu. Tepat waktu itu artinya enggak melalak (jalan-jalan) lagi entah kemana-mana. Benar-benar abis nganterin perempuan 3R itu sampe ke rumah Cherni, aku langsung pulang ke rumahku. Mobil Lisa gak ada di dalam basement ketika kumasukkan mobilku. Itu artinya dia belum pulang. Mobil Jazz itu ada di deretan paling depan parkiran bawah tanah ini. Warnanya hitam seperti Pajero-ku.

“Lisa… Betul-betul kau ini, ya…?” kataku begitu ia mengangkat teleponku.

“Kenapa, bang? Masalah mobil itu, ya?” ia pasti tersenyum lebar di sana. “Kalem, bang… Cash itu kok Lisa bayar… Mbak tinggal make aja… Nama kepemilikannya langsung nama mbak, kok…” sambungnya.

“Iyalah… Eh… Lisa kok belum pulang? Lagi dimana ini?” tanyaku menanyakan keberadaannya.

“Kenapa…? Kangen, ya gak ngeliat Lisa di rumah….?” godanya. “Lisa lagi shopping pakaian kerja nih, bang… Kan tadi Lisa udah bilang pakaian kerja Lisa terbatas… Jadinya harus beli beberapa potong, nih…” ia lanjut menjelaskan keberadaannya.

“Oh… OK, deh… Ati-ati, ya? Kalo mall-nya udah tutup baru pulang, OK?”

“OK, deh…” jawabnya akur denganku.

Tepat setelah aku menutup telepon, aku bertemu Tiara yang bertepatan keluar dari kamar Rio. “Bang Aseng…” sapanya.

“Malam, Tiara… Apa kabar?” balasku.

“Baik semua, bang… Anak-anak baik… Rio baru aja tidur… Tiara juga udah mau tidur…” katanya laporan penutup kegiatannya.

“Kakakmu gimana?”

“Dari pagi sampe siang di kamar trus sampe ada orang showroom mobil datang membawa mobil hadiah kak Lisa… Kakak marah-marah karena kak Lisa gak bisa dihubungi… Kakak langsung masuk kamar dan gak keluar-keluar sampe sekarang… Mobilnya disuruh masukin basement sama bang Misnan…” papar Tiara menjelaskan ringkasan kegiatan istriku hari ini. “Kak Lisa nyogok kakak supaya gak marah pake mobil baru ya, bang?” tebak Tiara dengan muka sedih.

“Keknya memang gitu… Supaya kakakmu gak marah sama Lisa… Kok Tiara sedih gitu?” tanyaku melihat ekspresinya.

“Tiara gak bisa ngasih begituan ke kakak… Kakak masih marah sama Tiara ya, bang?” ngaku Tiara.

“Ya enggak-la, Tirr… Itu akal-akalan si Lisa aja itu… Buktinya kakakmu malah tambah marah sama Lisa, kan? Udah… Tiara gak usah mikir macam-macam… Kerja aja kek biasa… Biar awak yang ngadepin kakakmu… Abang ke kamar dulu, ya…” aku langsung meninggalkannya untuk menuju kamarku agar gadis itu gak merasa bersalah terus-terusan telah melakukan hal yang gak senonoh pada orang rumahku.

Kunci pintu belum juga diperbaiki. Ini karena istriku gak keluar-keluar kamar makanya si Misnan gak berani mengganti kerusakan kunci pintu dengan yang baru. Di atas ranjang dia berbaring dengan selimut menutupi tubuhnya. Matanya terpejam erat. Lampu kamar redup seperti saat kami hendak beranjak tidur. Aku melewatinya dan menuju kamar mandi untuk menyempurnakan mandiku yang nanggung di toilet kampus tadi. Gak pake lama aku sudah selesai dan merayap masuk ke dalam selimut ke arah belakangnya.

“Mama? Udah tidur?” bisikku dekat telinganya. Kupeluk pinggang langsingnya. Kuhirup aroma tubuhnya. Wangi tubuhnya yang kusuka.

“Hmm…” jawabnya hanya menggeliat tanda belum tidur.

“Pasti belum makan, kan?”

“Gak selera…” jawabnya masih pendek.

“Nanti sakit… Anak-anak dan papa bakal sedih-loh…” rayuku.

“Biarin… Ini salah papa juga…” jawabnya masih ngambek. Malah ke akunya juga.

“Papa minta maaf, ya? Tapi papa udah nyingkirin itu semua setan-setan dari mama… Mereka gak bakal mengganggu mama lagi…” janjiku padanya. “Mama masih ingat si Bobi gak?” kataku mencoba mengingatkannya.

“Bobi yang mana?” ia masih memunggungiku. Mungkin dia heran kenapa aku malah menyinggung nama ini.

“Bobi yang dulu sempat suka sama mama itu-loh… Ingat?”

“Bobi? Bobi Putranto teman kalian itu? Kenapa dia? Bukannya dia udah meninggal?” ia mulai tertarik pembahasanku dan berbaring menghadap langit-langit. Tentu dia masih ingat. Gak banyak pria bernama Bobi kenalannya.

“Papa curiga kalo dialah dalang serangan yang menyasar mama itu…”

“Dia? Tapi dia bukannya udah meninggal? Itu sudah lama sekali… Tunggu… Apa dia bisa hidup lagi?” ia kaget dengan pertanyaannya sendiri.

“Mungkin… Segala kemungkinan bisa terjadi di dunia kami ini… Kami akan menyelidikinya nanti… Kami maksudnya papa, Iyon sama Kojek… Karena sepertinya ia juga mengincar kami semua…”

“Gara-gara mama gak menerima dirinya?” potongnya begitu saja.

“Itu baru kemungkinan… Satu dari banyak kemungkinan…”

“Picik sekali otaknya! Apa dikiranya dengan semua yang dimilikinya bisa memaksakan perasaan orang padanya… Apalagi kami terlalu banyak perbedaan yang mendasar yang tak mungkin dilewati… Makanya mama gak pernah membuka hati untuknya…”

“Dan malah memilih si Aseng ini…” hidungku berkembang besar mengatakan hal yang membanggakan tersebut.

“Setelah banyak pertimbangan yang sulit tentunya…” ia merenung dan menatap jauh ke kegelapan. Aku tau ada ibadah sholat malam sampe Istikharah di sana. “Apa itu tidak melanggar takdir? Bangkit lagi dari kematian…”

“Seperti yang tadi papa bilang… Itu baru satu dari sekian banyak kemungkinan… Mungkin saja ia sebenarnya belum mati… Sekedar memalsukan kematiannya… Bisa jadi, kan?” usulku akan teori baru.

“Lalu muncul setelah bertahun-tahun kemudian… dan mengganggu mama?” ia mulai kesal lagi. Untungnya kekesalannya kini beralih pada Bobi. Bukan Lisa, Tiara maupun diriku.

“Penasaran mungkin?” teoriku lagi. Ada banyak kemungkinan, kan? “Apalagi setelah mama jadi semok bohay semlohay ginuk-ginuk gress begini… Bisa membangkitkan mayat menjadi hidup kembali… Wow… Istriku memang sangat keren…” pujiku.

“Ishh… Orang ini masih tanda tanya besar kenapa bodi mama bisa kayak gini tiba-tiba… Papa seneng kali rupanya mama jadi kek gini?” desaknya.

“Naah… Ini pertanyaan jebakan nih namanya… Kalo papa jawab seneng… Oo jadi bodi mama dulu gembrot… Gendut… Gak seksi lagi… Kendor sana-sini… Gitu?” jawabku mencoba meniru gayanya bicara kalo lagi merepet. Ia tersenyum dikulum ketahuan belangnya.

“Enggak-loh…” jawabnya tengsin.

“Gini… papa ceritain kronologisnya…” aku lalu menceritakan tentang kelompok Burong Tujoh dengan salah satu anggotanya yang bernama Mutee dan keterkaitannya atas perubahan bentuk fisik drastisnya lalu lanjut ke kuntilanak hitam ratu Tobrut bernama Fatima itu. Tentu aja detil-detil mesumnya kuhilangkan sama sekali. Bagaimana Mutee merubah dirinya menjadi gambaran sempurna tubuh istriku, yang telah yang berhasil kubantai dengan sebuah tusukan mandau di perutnya. Lalu pertarunganku dengan anggota Burong Tujoh lainnya hingga duel Ribak Sude dengan kelompok itu di tengah hutan rimba gunung Leuser. Lompat kemudian ke kejadian kemaren yang menentukan semuanya karena ternyata ratu kuntilanak hitam ini sangat berhubungan erat dengan Mutee. Fatima ternyata selama ini mendapat suplai energi kehidupan langsung dari Mutee sebagai pemanen energinya. Fatima ternyata juga adalah pion dari Lord Purgatory.

“Ingat nama Fatima?” tanyaku mencoba ingatannya akan nama yang menjadi kunci terbongkarnya peran Bobi di kasus ini. Ia menggeleng.

“Fatima?” tapi masih mencoba mengingat walo samar.

“Ingat dulu kami tebak-tebakan inisial namamu yang F itu?” aku mencoba mengingatkannya lagi.

“Ya… Fatima… Bobi selalu memanggilku dengan nama itu… Ya-ya… Dia ngotot selalu memanggil mama dengan nama buatannya itu… Mama gak pernah mau ngejawab kalo dia manggil pake nama itu… Enak aja ganti-ganti nama orang seenak udele dhewe…” ia kesal sekali saat itu dipanggil dengan nama rekaan ngasal oleh Bobi. Pemuda itu lebih seringnya dipanggil dengan nama depannya, Bobi. Hanya segelintir orang yang memanggilnya dengan panggilan Putra dan orang itu terutama Iyon yang cukup akrab dengannya. Kalo aku sering memanggil kedua namanya berganti-ganti.

“Nah… Yang merasuki mama itu adalah ratu kuntilanak hitam yang bernama Fatima… Nama Fatima ini diberikan oleh Lord Purgatory yang memakai cincin akik besar yang dulu sering dipake Bobi… Liat korelasinya, kan?” lanjutku pada kesimpulan akhir.

Ia tercenung dan menatapku. Merenungi semua kata-kataku. Matanya bergerak-gerak membaca air mukaku dan menilai semua ceritaku walo sedemikian remang penerangan kamar ini. Tak lama kemudian, ia menelusupkan mukanya ke pangkal leherku, mencari keamanan. Kedamaian.

“Jadi selama ini… papa sibuk sana-sibuk sini itu sedang menyelidiki ini?” simpulnya di pelukanku.

“Kurang lebih…”

“Jadi gangguan-gangguan itu… semua karena dia?” tentu sudah tak terhitung banyak hal yang sudah terjadi. Semenjak dari rumah kami yang di Mabar, di rumah kompleks ini, luka-luka yang kualami setelah pertarungan melawan Banaspati dan Burong Tujoh. Semuanya berekskalasi hingga pada kejadian kemunculan sang Lord Purgatory walo tak sebegitu langsung karena ia langsung melarikan diri dari tubuh Tiara.

“He-eh…”

“Papa hati-hati, ya… Apapun yang terjadi… mama tetap sayang papa…” pelukannya semakin erat.

“Makasih, ma…” Aku bisa merasakan dirinya yang biasanya sekarang. Dirinya yang dulu. Tangannya dengan leluasa menelusup masuk dan merogoh dengan lancang ke dalam celanaku—menemukan Aseng junior. Kuciumi ubun-ubunnya. Lama kami berpelukan begitu hingga ia tertidur lelap ditandai dengan tangannya tak ada pergerakan lagi di Aseng junior yang hanya setengah bangun karena tau, sentuhannya hanya sekedar sentuhan.

Aku harus mempersiapkan diri. Tak ada salahnya kalo harus tetap rutin berlatih. Apalagi musuh semakin hari semakin berbahaya saja. Setelah ini, entah masalah apa lagi yang akan menimpaku, orang-orang dekatku, orang-orang di sekitarku. Kalo itu terjadi, setidaknya aku sudah siap dengan tenagaku sendiri. Tempat yang paling afdol untuk berlatih tentu saja di daerah kekuasaanku, di tepi hutan kecil, di hamparan rumput halus.

Bersambung

istri teman
Membalaskan Dendam Istri Teman Kantor Ku
Cerita Dewasa Menjadi Simpanan Tante-Tante
tante kesepian
Ngintipin tante kesepian yang lagi masturbasi
ngentot hot
Cerita hot pacar kakak ku yang tau cara memuaskan wanita
tante hot
Menikmati tubuh ibu dan tante ku sendiri
mama muda hot
Memuaskan nafsu Siska yang gak pernah puas dengan suaminya sendiri
Awalnya penasaran akhirnya keterusan
tante haus akan sex
Main dengan tante girang yang kesepian akan sexs
Tante sis, aku ketagihan memek kamu
pembantu hot
Meremas Dan Merangsang Pembantu Sange Bagian Dua
Pacar sange gara gara cuma pakai daster
tante hot
Lama tak pulang di suguhi kenikmatan tubuh tante ku yang cantik
Bercinta Dengan Anak Pak RT
istri teman sexy
Istri Temanku Yang Aduhai
Cerita seks memuaskan hasrat kakak ipar
Foto bugil ABG SMA cantik toket gede pamer memek pink