Part #37 : I know I’m late, But You have to know

“Hmm bagus, ini udah bener. Wah hebat ya kalian cepet juga belajarnya.”

“Hehe makasih pak. Ini juga karena pak Haris yang ngajarinnya enak, jadi kami gampang mengertinya pak.”

“Heh udah dibilang panggil mas aja, kesannya tua banget aku dipanggil pak.”

Susu montok

“Yaa kan ini masih di kantor pak. Lagian pak Haris kan atasan kami.”

“Udah santai aja. Dulu aku juga kayak gitu kok sama mbak Eva.”

“Bu Eva? Bu Eva yang di kantor pusat pak?”

“Iya, dia dulu kan disini sebelum kesana. Dulu aku juga sama seperti kalian, manggil dia ibu. Tapi dia keberatan dan terus maksa aku buat manggil mbak aja. Awalnya ya aku sungkan, tapi lama-lama malah jadi kebiasaan manggil dia mbak.”

“Ooh gitu ya pak.”

“Heh, mas, bukan pak.”

“Hehe maaf pak, eh mas. Aduh rasanya kok aneh ya, haha.”

“Haha belum terbiasa aja itu, entar juga malah jadi kebiasaan. Kalian boleh panggil aku pak kalau ada tamu dari kantor pusat, paham?”

“Paham pak, eh mas, hehe.”

“Ya udah, kalian boleh balik ke tempat.”

“Baik mas.”

Haris masih berada di kantornya. Dia baru saja menerima dan memeriksa laporan dari anak pekerjaan kedua anak buahnya. Dan dia cukup puas, semua yang dia ajarkan ke anak buahnya sudah bisa mereka mengerti dengan baik. Haris tersenyum, dengan begini dia bisa pulang lebih cepat, sesuai dengan jam pulang kantor. Entah kenapa hari ini dia ingin sekali pulang cepat. Meskipun tadi Rani sudah mengabari kalau Anin baik-baik saja dan sedang istirahat, tapi tetap saja perasaannya tak enak.

Pantat Rani

Tok… Tok.. Tok…

Terdengar pintu ruang kerja Haris diketuk.

“Ya masuk.”

Tak lama kemudian pintu itu terbuka, lalu masuklah satpam kantor yang sudah cukup akrab dengan Haris.

“Ada apa pak?” tanya Haris.

“Ada tamu yang mau ketemu sama bapak.”

“Tamu? Siapa?” tanya Haris lagi. Dia tak merasa ada janji dengan siapapun hari ini.

“Katanya temen lama bapak, namanya bu Melia.”

“Melia?” Haris mengernyit, mencoba mengingat-ingat temannya yang bernama Melia. Tapi sepertinya tidak ada temannya yang memiliki nama seperti itu.

“Hmm, ya udah suruh masuk aja pak,” pinta Haris ke satpam itu.

“Baik pak.”

Satpam kantor itu kemudian pergi meninggalkan ruangan Haris. Sementara Haris masih mencoba mengingat-ingat temannya yang bernama Melia, dan dia masih belum ingat. Sepertinya memang tidak ada temannya yang bernama Melia.

Tok… Tok.. Tok…

Kembali terdengar pintu ruangan Haris diketuk.

“Masuk..”

Begitu pintu terbuka dan seorang wanita masuk ke ruangan itu, Haris sangat terkejut melihatnya.

“Mira? Kamu ngapain kesini?”

Wanita itu ternyata adalah Mira, mantan kekasihnya. Haris baru ingat, kalau nama lengkap Mira adalah Amira Meliasari, pantas saja dia memakai nama Melia, karena kalau memakai nama Mira mungkin Haris tidak akan menerimanya.

“Boleh aku duduk dulu?” tanya Mira.

“Silahkan. Tapi aku harap kamu tidak datang kesini untuk yang aneh-aneh.”

“Makasih. Dan kamu tenang saja, aku tidak akan berbuat aneh-aneh, apalagi mengganggu hubunganmu dengan Anin.”

Segera Mira duduk. Haris masih terkejut, tapi dia tidak ingin sampai kelepasan, karena saat ini dia masih di kantor.

“Jadi untuk apa kamu datang kesini?”

“Ada beberapa hal yang ingin aku bicarain sama kamu. Tapi sebelumnya aku ucapin selamat karena istri kamu sekarang udah hamil.”

“Makasih. Lalu kamu ingin bicarain apa?”

“Hmm, apa nggak sebaiknya kita bicara di luar aja Ris?”

“Kenapa?”

“Pertama, ini jelas bukan urusan kantor. Dan yang kedua, aku nggak ingin sampai ini di dengar orang-orang kantormu.”

“Memangnya kamu mau bicarain apa?”

“Soal Titus, dan apa saja yang dia rencanakan.”

“Titus?” betapa terkejutnya Haris saat Mira mengucapkan nama itu.

“Ya. Gimana? Mending kita bicarain ini di luar aja.”

“Nanti Mir, ini masih jam kantor.”

“Lebih baik sekarang, sebelum semuanya terlambat.”

Haris ragu untuk menuruti Mira. Dia khawatir Mira merencanakan sesuatu yang buruk padanya. Tapi melihat tatapan tajam dari mata Mira, sepertinya memang ada hal yang sangat penting yang harus dibicarakan segera. Haris cukup mengenal Mira dengan baik selama pacaran dulu, meskipun pada akhirnya hubungan mereka hancur. Tapi Haris jadi penasaran, apa yang sebenarnya ingin dibicarakan Mira.

“Dimana kamu mau bicarain ini?” tanya Haris memancing.

“Terserah kamu, yang penting nggak di kantor.”

Mendengar jawaban Mira, Haris bisa menyimpulkan kalau wanita itu tidak memiliki niat buruk padanya. Karena juga Mira yang menentukan tempatnya, bisa jadi dia sudah mempersiapkan semuanya. Tapi bisa jadi itu hanya akal-akalan Mira saja. Siapa tahu dia kesini sudah bersama dengan orang lain, yang akan membuntuti mereka nantinya.

“Kamu tenang aja. Aku datang kesini sendiri. Bahkan bisa dibilang, aku pergi secara sembunyi-sembunyi biar Titus nggak tau,” ucap Mira seolah bisa membaca pikiran Haris.

Haris semakin bingung. Pergi secara sembunyi-sembunyi? Ada apa sebenarnya antara Mira dengan Titus? Karena semakin penasaran akhirnya Haris menyetujui ajakan Mira.

“Ya udah, kamu tunggu diluar. Aku ijin dulu sama bossku.”

“Oke.”

Tanpa lebih banyak bicara Mira keluar dari ruangan Haris. Haris sendiri sebenarnya masih bingung, tapi dia juga penasaran. Akhirnya dia merapikan meja kerjanya lalu keluar untuk menemui pak Eko. Dia meminta ijin kepada pak Eko dengan alasan ada kepentingan mendesak. Pak Eko yang saat itu sedang sibuk mengiyakan saja tanpa banyak bertanya pada Haris.

Haris keluar dari kantornya. Terlihat Mira sudah menunggu di dekat parkiran. Diapun menghampiri Mira.

“Aku bawa motor dan cuma bawa 1 helm, gimana?”

“Terserah kamu aja, kan kamu yang nentuin mau pergi kemananya.”

Haris berpikir sejenak. Tadi Mira bilang kalau dia perginya sembunyi-sembunyi, bisa jadi sekarang anak buah Titus mencarinya. Meskipun bisa saja Haris pergi ke tempat yang sudah dia pilih tanpa Mira memakai helm, tapi itu akan riskan jika sampai anak buah Titus melihatnya. Akhirnya Haris meminjamkan 1 helm lagi ke satpam yang berjaga disitu.

Setelah mendapat pinjaman helm, Haris berangkat membonceng Mira ke tempat yang sudah dia tentukan. Sebuah tempat makan yang tak jauh dari kantornya. Tempatnya berada di pinggir jalan dan tak jauh dari situ ada pos polisi, jadi kalau ada apa-apa bisa dengan mudah nantinya Haris minta bantuan. Mira sebenarnya tahu apa yang ada dipikiran Haris, dia tahu mantan pacarnya itu khawatir, tapi Mira tak peduli, karena memang dia tidak ada niat buruk apapun kepadanya.

Sesampainya di tempat itu, mereka masuk dan mencari tempat duduk yang agak ke dalam sesuai permintaan Mira karena apa yang ingin dia bicarakan ini adalah hal yang penting. Haris menurutinya karena menurutnya meskipun di tempat yang agak ke dalam, tempat ini masih cukup aman buatnya. Merekapun memesan minuman saja, karena belum terasa lapar, masih sore.

“Oke, jadi apa yang mau kamu bicarain Mir?”

Mira tampak terdiam sebentar. Dia menarik nafas panjang sambil memejamkan matanya. Saat matanya terbuka, Haris agak kaget melihat mata itu sedikit memerah.

“Pertama banget, aku mau minta maaf sama kamu atas semua yang terjadi diantara kita.”

“Mir, itu kan udah lewat. Udahlah jangan dibahas. Aku sekarang udah sama Anin. Lagian kamu mau bicarain soal Titus kan?”

“Dengerin dulu Ris. Karena dari sini semuanya berawal. Aku tau ini udah terlambat, tapi kamu harus tau, semuanya.”

“Hhhff, baiklah. Lanjutin ceritamu.”

“Sebelum aku bicara lebih jauh, satu hal yang perlu kamu tau adalah apapun yang akan aku katakan kali ini semuanya adalah jujur. Tidak ada satupun yang aku buat-buat seperti yang pernah aku katakan kepada Anin dulu. Kamu tau aku luar dalam Ris, kamu pasti tau aku bohong atau tidak nantinya.”

Haris hanya mengangguk. Sejauh ini melihat ekspresi dan tatapan mata Mira, Haris beranggapan kalau mantan pacarnya itu benar-benar mengatakan apa adanya.

“Semua berawal saat kita masih pacaran dulu. 2 bulan sebelum kamu dateng nemuin aku untuk terakhir kalinya, ada seorang pria yang datang ke aku. Dia mendekatiku, tapi selalu aku tolak. Bahkan aku sampai bilang kalau aku sama kamu udah tunangan dan sebentar lagi nikah, tapi orang itu terus mendekatiku.”

Mira memulai ceritanya. Haris sebenarnya tak ingin mendengar cerita soal masa lalu, tapi kalau ini ada hubungannya dengan Titus, maka mau tak mau dia harus bersabar mendengarnya. Dan kembali dari apa yang dilihat Haris dari Mira, sejauh ini Mira berkata jujur.

“Pria itu lebih tua 2 tahun dari kita, sudah bekerja, sudah mapan. Karena terus aku tolak, akhirnya dia minta agar aku mau sekali saja keluar makan malam dengannya, dan setelah itu tidak akan menggangguku lagi.”

“Karena aku juga nggak pengen diganggu lagi sama dia, akhirnya aku setuju. Tapi ternyata dia menipuku Ris. Dia ngasih aku obat tidur, dan malam itu aku diperkosa habis-habisan sama dia.”

Mira mulai terisak ketika menceritakan hal itu. Bagaimanapun dia sendiri harus kembali membuka luka lamanya, dan itu sangat menyakitkan baginya.

“Nggak cuma malam itu, besok-besoknya dia terus memperkosaku. Aku bahkan dipaksa buat keluar dari kantorku. Aku nggak bisa nolak, karena dia ngancam dengan foto dan video. Tapi bukan cuma itu, dia juga ngancam bakal nyakitin orang tuaku, dan bahkan kamu juga.”

“Waktu terakhir kita ketemu itu, sebenarnya aku udah hamil. Aku dikasih ijin buat nemuin kamu, untuk yang terakhir kalinya. Waktu itu aku pengen banget terus terang sama kamu, tapi aku nggak berani. Aku nggak peduli kalau dia nyakitin aku, tapi aku takut dia bakal nyakitin kamu atau orang tuaku.”

“Karena itu setelah aku pulang kamu langsung nggak bisa dihubungi?” tanya Haris memotong.

“Iya, karena aku memang udah dilarang buat nemuin kamu. Tapi akhirnya dia ngasih ijin, dengan catatan itu terakhir kalinya buat kita ketemuan.”

“Lalu?”

“Karena kondisinya aku udah hamil, akhirnya aku terima dia. Kami nikah lalu pindah kesini. Sejak saat itu, bukan hanya dengan kamu, tapi komunikasi dengan keluargaku juga diputus sama dia. Dan satu hal yang baru aku tau, ternyata dia itu adalah anak kandung dari Titus, gembong narkoba yang waktu itu baru saja keluar dari penjara.”

Haris terkejut mendengarnya. Jadi ini hubungan antara Mira dan Titus? Mira adalah menantu Titus yang terpaksa menikah karena dihamili oleh anaknya?

“Saat aku tau itu semuanya udah terlambat Ris. Aku udah dicekoki bermacam obat-obatan terlarang, makanya aku jadi kayak gini sekarang.”

Haris kembali mengangguk. Pantas saja penampilan Mira sekarang berbeda dengan dulu saat bersamanya. Sekarang jadi lebih kurus dan wajahnya juga nampak pucat, tidak segar lagi.

“Hhfftt. Terus?”

“Beberapa bulan kemudian, suamiku itu tewas dalam sebuah kecelakaan. Aku yang udah terlanjur putus kontak dengan semua orang akhirnya tinggal sama Titus. Apalagi waktu itu aku juga keguguran, sebulan setelah suamiku meninggal.”

Haris mengangguk-angguk. Jadi cerita tentang kehamilan dan keguguran Mira memang benar adanya. Hanya saja apa yang menjadi penyebabnya yang membuat Haris agak miris juga mendengarnya.

Bagaimanapun juga, Mira adalah orang yang sempat mendapat tempat khusus di hatinya. Mengetahui hal sebenarnya yang terjadi pada Mira, ada rasa amarah muncul di dalam hatinya. Dia merasa sangat prihatin, iba dengan apa yang terjadi pada Mira.

“Awalnya Titus bersikap baik padaku, tetap menganggapku sebagai menantunya. Tapi ya gitu, dia juga terus nyekokin aku obat-obatan itu, sampai aku bener-bener kecanduan. Tapi akhirnya belangnya Titus muncul juga. Aku nggak lagi cuma menjadi menantunya, tapi juga tempat dia melampiaskan nafsu binatangnya.”

“Maksudmu, dia…”

“Iya, dia memperkosaku waktu aku lagi sakaw. Dan sejak itu aku nggak lebih dari sekedar budah seksnya saja.”

Haris menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tak bisa membayangkan betapa beratnya apa yang harus dialami oleh Mira selama ini.

Tiba-tiba timbul rasa bersalah Haris pada Mira. Kalau dulu dia mau menuruti apa yang diinginkan Mira, mungkin kejadiannya tidak akan seperti itu. Waktu itu, saat baru beberapa bulan dia lulus kuliah, Mira sudah memintanya untuk menikahinya. Tapi karena saat itu belum memiliki pekerjaan, Haris menolak dan menjanjikan segera setelah mendapat pekerjaan dia akan menikahi Mira. Tapi sayang nasib berkata lain.

“Maaf Mir, kalau dulu aku mau nurutin kemauan kamu, mungkin…”

“Sudahlah, semua sudah terjadi. Lagian kamu sekarang sudah bahagia dengan Anin kan?”

“Iya. Lalu, tujuanmu menemui Anin waktu itu?”

“Itu perintah Titus. Dia punya dendam pribadi ke mertuamu, makanya aku disuruh untuk merusak hubungan kalian. Tapi sekarang aku bersyukur, karena waktu itu kamu datang, jadi rencana kami berantakan, meskipun akibatnya aku disiksa oleh Titus.”

“Disiksa?”

“Iya. Dia menyuruh para anak buahnya untuk memperkosaku.”

“Astaga.”

Kembali Haris menggelengkan kepalanya. Benar-benar berat apa yang harus ditanggung oleh Mira.

“Tapi itu bukan masalah Ris. Karena sejak menjadi budak Titus, aku sendiri sudah merasa diriku nggak ada gunanya, nggak ada harganya lagi. Lagipula, sebenarnya aku menentang rencana Titus, tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa.”

Mira terdiam sejenak, menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Haris masih melihat, dan yakin kalau apa yang dikatakan Mira dari tadi adalah sebuah kejujuran.

“Jadi, apa rencana Titus sebenarnya?” tanya Haris.

“Awalnya, hanya kamu yang jadi sasaran.”

“Tunggu dulu. Aku yang jadi sasaran? Kenapa?”

“Sebab pastinya aku tak tahu, tapi mungkin ini ada hubungannya dengan mbak Viona. Pasti kamu udah denger soal mbak Viona kan? Apalagi waktu itu Titus nemuin kamu.”

“Hmm, iya. Aku udah tahu soal itu. Lalu?”

“Begitulah. Dia merencanakan sesuatu padamu. Tapi setelah tau kamu berhubungan dengan Anin, Titus juga ingin sekalian menghancurkan Aziz, mertuamu.”

“Caranya?”

“Yang pertama, dengan menjadikanmu seperti mas Aldo.”

“Seperti mas Aldo? Maksudnya?”

“Iya. Mas Aldo itu udah sejak lama jadi anak buah Titus. Dia kemudian menyuruh mas Aldo untuk mendekati mbak Viona, dan akhirnya mas Aldo sampai berhasil menikahi mbak Viona. Titus nggak mau ngelepasin mbak Viona begitu saja. Yah, kamu tahu lah, yang jelas sekarang mbak Viona udah ditangan Titus lagi.”

“Jadi mbak Viona sekarang ada sama Titus? Dimana? Di kota ini?”

“Iya. Tapi bukan hanya itu Ris. Mungkin kamu khawatir sama dia, tapi ada hal lain yang harus lebih kamu khawatirin lagi.”

“Apa?”

“Adik dan istrimu.”

“Rani dan Anin? Maksudnya gimana Mir?”

“Titus mau menjerat kamu agar menjadi sama seperti mas Aldo melalui Rani. Dia juga mau menghancurkan Aziz melalui Anin.”

“Dengan cara seperti apa?”

“Gavin.”

“Gavin? Jadi, Gavin termasuk bagian dari kalian juga?”

“Iya. Gavin mengenal Rani bukan kebetulan. Dia sudah mengincarnya. Dan maaf Ris, Gavin udah berhasil memerawani Rani, bahkan tanpa Rani sadari dia sudah dicekoki obat-obatan terlarang oleh Gavin.”

“Apa???”

“Itu benar Ris. Dan rencananya dalam waktu dekat ini, Titus mau menculik mereka berdua, karena itulah aku nemuin kamu sekarang untuk ngasih tau semua ini.”

“Kenapa Mir? Kenapa nggak dari dulu kamu bilang semua ini? Kenapa baru sekarang? Kamu menunggu Rani dikayak gituin dulu baru ngomong sama aku???”

Emosi Haris meledak mengetahui apa yang terjadi pada adiknya. Dia marah kepada Mira yang tak memperingatkannya dari dulu. Sekarang sudah terlambat, kehormatan adiknya telah direnggut oleh Gavin.

Ternyata benar kecurigaan Anin selama ini bahwa sebenarnya Gavin itu bukan orang baik. Sayang dia sama sekali tak menyadarinya, karena saking pintarnya Gavin menyembunyikan belangnya.

“Sudah kubilang, aku nggak bisa berbuat apapun untuk melawan semua keinginan Titus. Aku sudah jadi budaknya, yang harus menuruti apapun yang dia katakan.”

“Lalu kenapa sekarang kamu bisa nemuin aku bahkan bisa ceritain semua ini?”

“Itu karena minggu lalu ada seseorang yang nemuin aku.”

“Seseorang? Siapa?”

“Namanya Bobby, dia seorang intel kepolisian. Dia nemuin aku waktu sedang belanja di minimarket. Disitu dia bilang kalau dia mengetahui semua yang terjadi padaku, termasuk Titus dan komplotannya.”

“Awalnya aku sempat takut akan ditangkap waktu itu, tapi ternyata dia bilang akan membebaskanku dari cengkraman Titus. Dia juga yang menyuruhku untuk menemuimu dan menceritakan semua ini. Tujuannya, agar kamu lebih berhati-hati. Terserah kamu mau menjaga Rani dan Anin sendirian, atau kamu minta bantuan kepada mertuamu.”

Haris sebenarnya masih emosi. Tapi kemudian dia teringat pertemuannya dengan Aziz kemarin. Aziz bilang ada petugas khusus dari kepolisian yang ditugasi untuk menyelidiki Titus, termasuk pembunuhan yang terjadi terhadap Andi. Apakah Bobby yang menemui Mira ini orang yang dimaksud itu?

“Kenapa si Bobby itu nggak menemuiku langsung?”

“Aku kemarin juga tanya itu sama dia, karena menurutku dia lebih mudah menemuimu, sedangkan aku harus diam-diam, sembunyi dari Titus agar bisa ketemu kamu kayak gini. Tapi Bobby bilang, urusan kamu, Rani dan Anin bukan urusannya. Urusannya hanyalah Titus dan komplotannya. Jadi selagi dia dengan urusannya itu, aku yang diminta buat nemuin kamu.”

“Tapi ini kan ada hubungannya sama kami juga Mir. Titus udah ngusik aku dan keluargaku, harusnya dia yang datang langsung ke aku, atau dia yang mencegah semua ini. Aaarrgghh…”

Haris benar-benar kesal. Dia kesal pada Mira, tapi dia lebih kesal dengan orang yang bernama Bobby itu. Jika memang benar Mira berada dalam cengkraman orang seperti Titus, memang wajar baru menemuinya sekarang karena harus curi-curi kesempatan. Tapi, soal si Bobby ini, kenapa tidak menemuinya langsung? Seolah menganggap dirinya, dan juga keluarganya yang terancam oleh Titus sebagai hal yang sepele.

“Soal itu aku juga nggak tau Ris. Yang jelas, sekarang tugasku udah selesai. Aku udah ceritain semuanya sama kamu. Aku berharap kamu bisa menjaga Rani dan Anin baik-baik.”

“Untuk Rani mungkin sudah terlambat, dia sudah berhasil dinodai dan dicekoki oleh Gavin. Tapi sebelum makin jauh, kamu lebih baik memaksa mereka untuk putus, dan juga melaporkan Gavin ke polisi. Kasihan Rani Ris. Jujur aja waktu itu aku sempat dimaki-maki dan disiksa Titus saat aku menolak rencana mereka pada Rani. Dia udah kuanggap seperti adikku sendiri, jelas aku tidak rela. Tapi, yaa begitulah, aku sama sekali tak punya keberanian dan kekuatan untuk melawannya.”

“Tapi Anin, dia masih belum tersentuh oleh Titus, jadi sebaiknya kamu benar-benar menjaganya.”

Haris terdiam. Dalam hatinya dia marah sekali pada Gavin yang telah menodai adiknya, dan dia berjanji akan membuat perhitungan dengan pria itu. Di sisi lain, dia juga bersyukur dulu pernah menemui Aziz setelah kedatangan Titus ke pernikahannya, karena sejak itu dia dan Anin terus dijaga oleh anak buah Aziz.

Hanya saja Haris tak sampai berpikir untuk meminta agar Rani dilindungi juga. Saat itu dia terlalu percaya pada Gavin bahwa pria itu yang akan melindungi Rani, tapi ternyata Gavinlah musuh yang sebenarnya, dan sudah berhasil mengambil mahkota paling berharga milik Rani.

“Kapan? Kapan mereka berencana menculik Rani dan Anin?”

“Pastinya kapan aku belum tau, yang jelas dalam waktu dekat ini. Bisa saja dalam minggu-minggu ini. Yang pasti kamu harus semakin waspada Ris. Tapi kalau nanti aku tau, aku akan langsung menghubungimu, aku udah tau nomermu kok.”

Kembali Haris terdiam. Menunggu kabar dari Mira bukanlah sesuatu yang bijak. Itu sama saja namanya dengan mempersilahkan Titus dan anak buahnya berbuat hal yang tidak diinginkan kepada adik dan istrinya. Dia harus mengambil langkah terlebih dahulu untuk mencegahnya, yaitu mengatakan semua ini kepada Aziz. Terlebih lagi, dia masih sangat yakin kalau sampai saat ini, anak buah Aziz masih menjaga istrinya.

“Sialan!!!”

Tiba-tiba Haris memekik. Dia baru menyadari sesuatu dan mengambil handphonenya. Dia membuka lagi pesan WA yang tadi siang dikirimkan oleh Rani.

“Kenapa Ris?”

“Hari ini, Gavin ke rumahku.”

“Apa?”

Tak menjawab Mira, Haris langsung mencoba menghubungi Rani dan Anin, tapi sama sekali tidak ada yang mengangkat. Tiba-tiba perasaan Haris menjadi sangat tak enak. Apakah jangan-jangan mereka sudah diculik? Tapi bukankah harusnya ada anak buah Aziz yang menjaga mereka?

Kembali Haris mencoba untuk menghubungi Rani dan Anin. Tersambung, tapi tak ada satupun yang mengangkat. Melihat itu, Mirapun menjadi ikut panik. Dia merasa kalau ada sesuatu yang buruk terjadi. Mira lalu mengambil secarik kertas dan sebuah pulpen yang ada di meja itu, kemudian menuliskan sesuatu.

“Sebaiknya kamu pulang sekarang, pastikan mereka ada dimana. Atau kamu hubungi mertuamu. Kalau Rani dan Anin tidak ada di rumah, ada kemungkinan mereka dibawa kesini,” ucap Mira sambil memberikan kertas itu kepada Haris. Tertulis 2 alamat disana.

“Yang pertama itu rumah yang aku tinggali bersama Titus. Yang kedua itu rumah Titus yang lainnya, yang jarang didatangi. Dan oh iya, buat ngingetin lagi, mbak Viona dan mas Aldo sekarang sudah ada disini.”

“Kamu bisa pulang sendiri kan?” tanya Haris.

Mira hanya mengangguk. Setelah itu langsung saja Haris pergi dari tempat itu. Buru-buru sekali dia memacu motornya untuk bisa secepatnya sampai di rumah. Dia bahkan beberapa kali nyaris tabrakan. Makian orang-orang di jalan tak dihiraukannya. Dia hanya ingin cepat sampai rumah, memastikan kondisi Anin dan Rani.

Sampai di rumah, kondisinya sepi tapi pagarnya terbuka lebar-lebar. Tidak ada mobilnya terparkir disitu. Langsung saja Haris masuk ke rumah, yang ternyata pintunya juga tidak terkunci. Haris terkejut saat masuk ruang tengah. Beberapa potong pakaian yang dia tahu milik Rani berserakan disana, membuat perasaannya jadi makin tak menentu.

Haris langsung memeriksa kamar Rani dan kamarnya sendiri. Tak ada satupun orang. Dia hanya melihat handphone Anin dan Rani tergelatak disana. Dia melihat kondisi kamar Rani, termasuk tempat tidurnya, masih sangat rapi. Hal berbeda justru terjadi dikamarnya yang agak berantakan, bahkan tempat tidurnya juga.

Haris mendekati tempat tidurnya, memperhatikan baik-baik apa yang ada disitu. Dia kemudian terbelalak menemukan sesuatu, yang dia sangat mengenal apa itu. Cairan sperma yang belum begitu mengering. Pikirannya langsung berkecamuk. Apa yang tadi terjadi disini? Apa yang terjadi pada Anin dan Rani?

“Bajingaaaaaannn!!!”

Haris berteriak keras sekali. Emosinya begitu meluap, tapi dia bingung apa yang harus dilakukannya. Dia tak tahu kemana Rani dan Anin dibawa. Dia kembali teringat kertas yang diberikan oleh Mira kepadanya.

“Sial! Ada 2 tempat, mana dulu yang harus aku datangi!!!”

Saat sedang kalut, tiba-tiba Haris mendengar suara mobil berhenti di depan rumahnya. Dia cepat-cepat kedepan, berharap itu adalah mobilnya. Tapi ternyata bukan. Seorang pria yang tak lain adalah sahabat dekatnya, yaitu Bagas datang dengan tersenyum membawa parcel buah-buahan. Tapi begitu melihat ekspresi wajah Haris yang penuh amarah, senyuman Bagas langsung hilang.

“Loh Ris, kamu kenapa?”

“Gas, anterin aku!”

“Kemana?”

“Nyari Anin sama Rani!”

“Loh, memangnya mereka kemana?”

“Mereka diculik Gas, sama gembong narkoba.”

“Hah? Gembong narkoba? Kok bisa?”

“Nanti aku ceritain. Yang jelas kita berangkat sekarang!”

“Ii.. iya iya. Ayo kalau gitu.”

Melihat Haris seperti itu, apalagi setelah mendengar kalau Anin dan Rani diculik, membuat Bagas panik juga. Haris kemudian memberikan alamat yang tadi diberikan Mira kepada Bagas. Setelah itu mobil Bagaspun meluncur, meninggalkan rumah Haris yang masih dalam kondisi terbuka lebar pintu dan pagarnya.

Bersambung

mantan sexy
Perpisahan ternikmat dengan mantan pacar tercinta
pengantin baru ngentot
Ga sengaja melihat tetangga sebelah rumah sedang main di kamar
Cerita Dewasa Selingkuh Dengan Istri Bosku Sendiri
model hot
Menikmati tubuh istri teman sendiri yang luar biasa
gadis alim
Nadya, Gadis Alim Yang Tergoda
wanita sexy
Maaf Kan Aku Suami Ku Tersayang
Pembantu binal
Seorang Pembantu Binal Yang Haus Sexs
gadis kampung
Menikmati tubuh gadis kampung berdada indah
Nikmatnya Bercinta Dengan Tanteku
Foto Ai mizushima di entot rame rame
Gambar Bokep Janda Toge Bikini Kuning
masturbasi
Cerita sex menikmati puncak gairah di warnet
ibu mertua hot
Nikmatnya ngentot mama mertua saat istri ku tidur
Cerita sex kehormatan yang ternodai
Cerita Dewasa Mandi Bareng Dengan Bibiku Yang Cantik
mama muda memek
Nikmatya Ngentot Ibu Muda Tetangga Ku