Part #20 Tamat : Kali ini aku harus bertanggung jawab
Mataku tak kunjung lepas dari jarum jam di dinding sepanjang kelas berlangsung. Ibu dosen yang sedari tadi terus berkomat-kamit mengucapkan materi tak lagi ku pedulikan. Aku sudah mengatakan akan datang ke wisuda Kak Sasha hari ini. Begitu kelas ini selesai aku akan langsung bergegas menuju kampus Kak Sasha. Meski sebenarnya aku masih memiliki satu kelas lagi siang nanti, namun sepertinya aku akan membolos saja.
Tiba-tiba sebuah colekan di pundak mengalihkan perhatianku.
“Apaan?” ternyata colekan itu berasal dari Dito, mahasiswa yang duduk di belakangku.
“Nih,” ucapnya sambil menyodorkan kertas yang terlipat.
Aku menerima kertas itu dengan pandangan bingung. Segera ku buka dan menemukan sebaris tulisan tertera.
“KITA HARUS BICARA SETELAH KELAS”
Sekali lihat saja sudah bisa ku tebak. Ini adalah tulisan tangan Aurel. Aku seketika langsung menengok ke belakang, tepat di saat yang bersamaan mata Aurel juga sedang menatapku. Aku hanya mengangguk kecil pertanda bahwa menyetujui ajakannya. Nampak wajah Aurel lebih tegang dari biasanya.
Ding Ding Ding
Keheningan kelas terinterupsi. Kali ini dering telepon dari ponsel sang dosen bergema.
“Ibu angkat dulu ya,” ucapnya, lalu mengangkat teleponnya sambil tetap duduk di bangku mengajarnya.
Kira-kira apa ya yang akan diucapkan Aurel selesai kelas? Paling ia mau minta maaf karena sudah jalan sama mantannya, atau mungkin malah mau membela diri? Kadang ia memang susah ditebak.
“Inalillahi…” ucap sang dosen lantang membuyarkan lamunanku. Ku lihat bu dosen itu menutup mulutnya dengan telapak tangan, matanya nampak melotot. Sepertinya ia baru saja mendapat kabar duka yang menyedihkan. Mungkin saja sanak keluarganya ada yang baru wafat.
Tak lama, bu dosen itu langsung menutup teleponnya. Dengan mata berkaca-kaca ia lalu mengalihkan fokusnya kembali kepada kami.
“Mohon maaf, kelasnya tidak bisa ibu selesaikan,” suaranya sedikit bergetar. “Telepon barusan itu ngasih kabar duka kalau… kalau Pak Yono baru saja ditemukan meninggal dunia. Saya minta teman-teman untuk mengirimkan doa untuk beliau…”
Ibu dosen itu masih terus melanjutkan kata-katanya, namun diriku sudah tak sanggup lagi mendengarkan. Dunia seketika terasa berputar. Keringat dingin dengan cekatan membasahi tubuhku.
Pak Yono meninggal? Meninggal di mana? Karena apa? Apa Mama pelakunya? Oh sialan, kepalaku tak henti-hentinya memikirkan skenario yang sebenarnya terjadi. Ta-tapi kan Mama semalam tak jadi ke hotel Pak Yono. Buktinya jam 9 malam ia berada di kamar bersamaku. Apa Mama melakukannya sebelum itu? Apalagi Mama tak ikut makan malam bersama kami semalam. Oh sial, aku harus segera bertemu Mama saat ini.
Sepertinya dosen telah menutup kelas, seluruh mahasiswa sudah langsung beranjak meninggalkan bangku. Dengan terburu-buru aku memasukkan bukuku ke dalam ransel.
“Dio…” Aurel telah berdiri tepat di samping bangkuku.
Aku segera menoleh ke wajahnya. Nampak ia sedang tertunduk lesu.
“Kita harus bicara sekarang.”
“Kalau gitu aku balik duluan ya,” ucap Elma yang sedari tadi duduk di sebelahku. Ia hanya sendiri berangkat ke kampus hari ini. Harun tak kunjung menampakkan diri. Meski penasaran dengan kelanjutan hubungan mereka pasca peristiwa kemarin namun aku masih menahan diri untuk mencari tahu. Biar Elma saja yang membuka diri padaku terlebih dahulu kelak.
Aku langsung menarik tangan Aurel ke sisi belakang kelas yang sudah kosong. Dengan tubuh yang masih menegang, aku menatap matanya.
“Pak Yono meninggal, ka-kamu terlibat dengan itu nggak?”
Aurel memberikan wajah bingung, lalu menggeleng cepat berulang kali.
“Ma-maksud kamu terlibat?”
Untuk sesaat aku memang sempat berpikir bahwa Pak Yono juga turut mengancam Aurel dengan cara yang sama ia mengancam Mama kemarin. Terlebih dengan kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki keluarga Aurel, ku rasa masuk akal jika ia bisa membalas perbuatan orang yang pernah nyaris memperkosanya. Namun setelah ku tatap wajah Aurel sekali lagi rasanya jelas memang ia tak tahu apa-apa. Berarti pelakunya mengerucut, kecurigaanku kepada Mama kini telah semakin bulat.
“Hahahaha, gapapa kok Rel,” aku tertawa untuk menyembunyikan rasa gelisahku, yang justru memancing tatapan aneh dari Aurel. Sepertinya kini gantian dia yang curiga.
“Jangan aneh-aneh deh, maksud kamu apa dengan nanyain aku terlibat dalam kematian Pak Yono?”
“Nggak kok, aku salah mikir doang.”
“Kelihatan banget kalau kamu salah tingkah. Jujur sama aku, Yo. Dua hari lalu kamu ke ruangan dia kan? A-apa yang sebenarnya terjadi?” ucapnya sambil meremas telapak tanganku.
“Aku harus pergi, Rel,” ucapku, sambil berjalan meninggalkan ruangan kelas. Meninggalkan Aurel dan percakapannya yang belum dimulai. Di kepalaku saat ini hanya ada satu, yakni menemui Mama sesegera mungkin.
Setelah menembus kemacetan jalan raya aku pun tiba di kampus Kak Sasha. Nampak di luar gedung, Mama yang mengenakan kebaya sedang menemani Nissa memakan es krim. Sepertinya masih menunggu Kak Sasha keluar dari gedung wisudanya. Mereka tersenyum melihat kedatanganku.
Namun aku sedang tak bisa berbasa-basi saat ini. Aku langsung menghampiri Mama dengan wajah yang tergesa.
“Ma, aku mau ngomong,” ucapku sembari menarik pelan tangan Mama.
“Nanti, Yo. Om Salim udah mau sampai, nanti dia susah nyari kita kalau Mama pergi,” balas Mama sambil menahan tubuhnya.
“Penting, Ma, cepat aja.”
“Emang tentang apa?” sambil melihat ke sekitar yang nampak riuh, aku berbisik ke telinga Mama.
“Tentang…”
“Halo semuanya…” ujar suara di belakang kami, memotong ucapanku.
Nampak Om Salim, mengenakan pakaian batik dan celana kain. Seperti biasa ia selalu nampak rapi. Rambut putihnya dibasahi sehingga terlihat klimis. Pria yang gayanya culun seperti ini kok bisa-bisanya mendapatkan hati Mama.
Deg.
Aku tak menyadari kehadiran sesosok gadis yang sedari tadi berdiri di belakang Om Salim. Sosok perempuan bertubuh ramping, jangkung, dengan rambut dikuncir. Berdiri cuek sambil memainkan ponselnya.
“Nissa, Om pernah bilang kan kalau Om punya anak seumuran kamu. Kenalin ini Desy.”
Mendengar namanya disebut, Desy langsung mengalihkan matanya lepas dari ponsel.
Tepat pada saat yang bersamaan, mata kami bertiga beradu. Takkk, ponsel Desy terjatuh, untung saja hanya menimpa area rerumputan yang tak terlalu keras.
Nissa dan aku menatap nanar ke arah Desy, sedangkan Desy menatap kami bergantian.
“De-Desy…” ucap Nissa terbata. Ku lihat mulutnya menganga terkejut. Begitu pula dengan Desy, yang bahkan tak kunjung memungut ponselnya di bawah. Wajahnya nampak memerah.
“Kayaknya kalian sudah saling kenal ya?” ucap Mama memotong keheningan.
“I-iya, Ma. Desy satu sekolah dengan Nissa,” balas Nissa, masih dengan tergagap.
“Loh, kata kamu Desy sekolah di SMA 13, Mas. Nissa kan SMA 31,” tegur Mama ke Om Salim.
“Oh berarti Desy SMA 31 ya? Saya memang gampang ketukar kalau urusan angka-angka gitu. Berarti lebih gampang dong kalau mereka sudah saling kenal, bentar lagi kan jadi saudara… hahaha,” tawa Om Salim, tak lucu.
Ia tak sadar saja betapa salah tingkahnya kami malam ini. Baru saja beberapa hari lalu aku, Nissa, dan Desy menghabiskan semalaman di kamar hotel untuk melakukan threesome. Tidak ada sedikit pun bagian tubuhnya yang tak ku jilati malam itu, pikirku sambil menatap Desy.
Perlahan aku sudah bisa mengontrol rasa terkejutku. Setelah apa yang ku lalui selama dua minggu terakhir ini, rasanya aku sudah cukup kebal pada peristiwa tak terduga seperti ini. Begitu juga dengan Nissa, yang perlahan sudah bisa berjalan mendekat ke arah Desy. Ia menunduk untuk mengambil ponsel Desy di rumput lalu menyerahkan padanya. Sebaliknya, Desy masih tertegun diam sambil menerima ponsel itu. Kepalanya tertunduk, masih mencoba menghindari kontak mata dengan kami.
“Berarti Desy teman sekolah Nissa ya, ha ha ha…” ucap Mama lemah, kali ini ia seakan berbicara pada dirinya sendiri. Ku lihat ekor matanya menatap sinis padaku. Oh sial, bodohnya aku. Tadi malam, saat bercinta di kamar aku memberi tahu semua nama perempuan yang pernah ku cumbu kepada Mama. Nampaknya Mama baru saja tersadar begitu melihat kecanggungan kami.
“Dio, Mama mau ngomong,” kali ini gantian Mama yang menarik tanganku menjauh. Dari belakang saja aku sudah bisa menebak bahwa Mama pasti sedang memasang wajah kesal saat ini.
Setelah dirasa sudah cukup sepi, kami pun berhenti.
“Jangan bilang Desy yang kamu maksud semalam itu dia?” tegas Mama.
Sambil menggemeretakkan kakiku, aku memberanikan diri membalas tatapan Mama. “Iya, Ma. Memang dia.”
“Astaga Dio!” balas Mama kencang. Ia lalu memijat-mijat kepalanya sambil berjalan mondar-mandir. Setelah beberapa detik mengabaikanku, Mama lalu berjalan mendekat. “Kamu tau ga sih!” Mama mengambil nafas sebentar lalu mengatur nada bicaranya, “kamu tau ga sih kalau bentar lagi dia bakal jadi adik kamu juga?”
“Kan waktu gituan ga tau, Ma.”
“Ya, cari tahulah! Jangan sembarangan nyelup aja kamu,” balas Mama, garis-garis kekesalan semakin nampak dari raut wajahnya.
“Lagian ga cuma Dio doang,” hup, aku buru-buru menutup mulutku sendiri.
“Maksudnya, bukan cuma kamu?”
“Nggak kok, Ma,” kini aku tak berani menatap wajah Mama.
“Jangan bilang Nissa juga ikut?”
“…” aku hanya bisa diam membisu.
“Ahhh!” ucap Mama sambil berjalan menjauh. “Kalian itu Mama bebasin malah kayak gini.”
“Lagian mukanya bule, Ma. Siapa yang nyangka kalau dia anak Om Salim.”
“Istri dia dulu orang Belgia!” ucap Mama seakan benar-benar ingin menjitakku. Tangannya sudah begitu gemas. Ia menarik nafas panjang, menatapku sekilas lalu berjalan meninggalkanku.
Dengan wajah kesal Mama berjalan kembali ke arah Om Salim, Desy, dan Nissa. Namun aku langsung buru-buru mengejarnya. Terlalu banyak distraksi, sampai-sampai aku lupa akan pembahasan yang seharusnya ku ucapkan.
“Ma, tentang kematian Pak Yono.”
Langkah Mama seketika terhenti. Sambil masih memunggungiku ia bicara, “Kenapa dengan dia?”
Kali ini nada suaranya lebih pelan dan dingin. Nada yang justru membuatku lebih takut dibanding mendengar omelannya tadi.
“I-itu bukan perbuatan Mama kan?”
Namun Mama tak bergeming, ia masih tetap memunggungiku. Kakiku mulai merasa lemas. Ini masalah yang jauh lebih serius, urusannya sudah mencakup nyawa orang lain.
“Ma?” ucapku kini aku sudah tepat di belakangnya.
Lagi-lagi Mama tak kunjung bergeming.
“Ma? Tolong bilang ke aku kalau itu bukan perbuatan Mama!”
Kali ini Mama hanya tertunduk. Bagiku diam berarti iya. Duniaku terasa runtuh seketika. A-apa setelah ini Mama akan dicari oleh polisi?
“Aku ga mau Mama bertindak sejauh itu hanya demi aku. Tolong bilang kalau Mama ga ngebunuh Pak Yono semalam!”
Tanpa ku sadari suaraku terlalu tinggi, sampai membuat beberapa orang di sekitar kami menoleh. Mama akhirnya membalikkan badan kembali padaku.
“Tolong pelankan suara kamu,” ucap suara teduh dari arah depan. Nampak Om Salim berjalan mendekat. Ia lalu menaruh tangannya di pundakku. “Kamu ga perlu khawatir, bukan Dian yang ngebunuh orang itu. Semuanya perbuatan saya…” ia terdiam sejenak, “Maksud saya, semuanya perbuatan orang suruhan saya.”
“Mas,” ucap Mama, seakan menahan Om Salim agar tak bercerita.
“Gapapa, cepat atau lambat dia pasti akan tahu juga,” ucap Om Salim sambil tersenyum, memamerkan tatapan teduhnya. Namun kali ini, ia tak terlihat lemah seperti biasanya, sebaliknya ada aura ganjil yang menyiratkan sifat misterius. “Saya harap kamu ga kecewa, namun kamu harus tahu siapa orang yang nanti akan jadi Papa kamu ini.”
“Maksud Om?”
Om Salim menengadah menatap langit terlebih dahulu. Seperti sedang meminta wangsit sebelum berbicara denganku. Setelah sudah merasa yakin, ia pun mulai menjelaskan.
“Saya bukan pria kantoran seperti yang kalian kira, sebaliknya, saya ini pemimpin dari kelompok XXX (nama disamarkan). Mungkin kamu pernah dengar namanya ya? Intinya, seluruh dunia malam di kota ini berada di bawah kekuasaan saya. Saya punya ratusan anggota yang akan lakukan segala cukup dengan saya menggerakkan telunjuk saja. Itu juga yang saya lakukan semalam, setelah Mama kamu mengadu ke saya tentang perbuatan lelaki itu, mengancam kamu, mengancam perempuan-perempuan di kampus. Saya juga punya anak perempuan, saya gak bisa bayangin kalau hal itu terjadi ke Desy, dan nanti kalian akan jadi keluarga saya juga jadi saya gak akan biarin hal buruk seperti itu menimpa kalian. Makanya saya suruh anak buah saya untuk menyamar jadi pengantar makanan, bikin Yono itu mati keracunan. Bukan salah kamu, bukan salah Dian juga orang itu sekarang mati, dia hanya nyari masalah dengan orang yang salah.”
“Saya harap apa yang saya katakan ini ga akan mempengaruhi sifat kamu ke saya. Pada dasarnya saya ini hanya orang tua biasa, hehehe,” ucap Om Salim sambil mengelus kepalaku.
“Mama ga cuma lakuin ini demi kamu, Yo. Ini juga demi perempuan-perempuan lain yang sudah jadi korban dia,” ucap Mama.
“Tapi gimana kalau polisi nyari Om?”
“Gak usah khawatir. Semuanya berjalan bersih dan cepat, lagipula hari ini saya sudah kirim amplop tanpa nama berisi uang di depan rumah dia. Anggap saja itu kompensasi untuk keluarga yang ditinggalkan.”
Aku menarik nafas panjang, mencerna semua ucapan dan pembelaan yang diucapkan Om Salim. Setidaknya aku bisa lega karena tahu bahwa Mama tidak bersalah, atau setidaknya tidak secara langsung bersalah pada kematian Pak Yono. Namun bagaimana rasanya aneh mengetahui bahwa seseorang harus dibunuh karenaku. Huft, pelan-pelan aku pasti akan terbiasa dengan keadaan ini.
“Itu Kak Sasha udah keluar,” teriak Nissa tiba-tiba.
“Sasha!” tegur Mama, lalu berlari memeluknya. “Akhirnya kamu selesai juga,” ucapnya, sambil memperbaiki toga Kak Sasha yang agak miring. Sifat keibuannya Mama kembali muncul.
Ku lihat kepala Kak Sasha menengok ke kami seakan sedang mencari sesuatu. Ia baru berhenti kala matanya bertemu denganku. Begitu pelukan Mama dilepas, Kak Sasha langsung berjalan cepat ke arahku. Aku yang tak siap pun menyodorkan tanganku untuk menyelamati Kak Sasha. Kak Sasha mengabaikan tanganku, sebaliknya ia langsung memelukku erat.
“Ternyata kamu benar-benar datang.”
“Aku memang janji akan datang, Kak,” ucapku sambil balik merangkulnya.
“Selamat ya Kak,” bisikku ke telinganya.
“Aku udah harus pergi besok pagi, Yo,” balasnya, kali ini ia menekankan wajahnya ke pundakku.
Kini perasaan berat menghinggapi hatiku. Waktu yang selama ini ku hindari akhirnya akan datang. Kak Sasha akhirnya akan pergi bekerja di kota lain, jauh dari kami. Mungkin akan berjodoh dengan orang lain di sana. Ku tekan tubuhnya lebih erat. Entah mengapa, dengan pelukan ini aku jadi merasa jauh lebih mengenal Kak Sasha. Ia yang biasanya selalu nampak dingin dan diam, kini mampu meluapkan emosinya di pundakku. Rasanya aku sudah yakin, aku memang menyayangi perempuan ini.
Lama sekali kami berpelukan. Sampai-sampai saat pelukan kami lepas, ku lihat tatapan bingung dari arah Mama dan Nissa. Mungkin mereka dapat melihat bahwa ada perasaan yang tak biasa yang timbul di antara kami, lebih dari sekadar seorang sepupu yang akan berpisah.
“Selamat ya, Sasha,” ujar Om Salim begitu pelukan kami lepas. “Oh iya, kenalin ini Desy, anak Om.”
“Kenalin, aku Desy,” ucap Desy melangkah malu-malu sambil menyodorkan tangan.
“Sasha. Makasih ya udah datang.”
“Selamat ya Kak.”
Gantian Nissa yang lari memeluk Kak Sasha. “Kok Nissa ga disamperin sih, Kak?”
“Hehehe iya, ini kan kakak peluk,” ucap Kak Sasha.
Aku hanya memerhatikan pemandangan itu sambil tersenyum. Kini sebuah episode dalam hidupku telah dimulai. Mungkin akan dilakukan tanpa Kak Sasha, namun aku akan kedatangan orang baru yakni Om Salim dan Desy. Ketegangan yang sedari tadi sempat terjadi antara aku dan Mama lenyap begitu saja begitu Kak Sasha datang. Yang terpenting, kini tak ada lagi ancaman dari Pak Yono yang perlu dikhawatirkan. Kini hanya keceriaan saja yang ingin kami rayakan. Keceriaan yang memang seharusnya hadir dalam keluarga kami.
Acara wisuda Kak Sasha ditutup oleh acara makan-makan yang dirayakan di sebuah restoran. Sepanjang siang tadi aku sudah mulai membuka diri kepada Om Salim dan merasa bahwa ia memang lelaki yang tepat untuk Mama. Desy juga perlahan sudah mulai lancar bercengkerama dengan kami. Ku harap ia telah benar-benar menerima fakta bahwa ia pernah bersenggama dengan calon saudara tirinya ini.
Malam telah tiba. Dengan penuh rasa lelah aku terpaku di atas kasur. Sambil membaca buku yang tak sepatah kata pun bisa diserap ke dalam otakku. Meski masalah Pak Yono telah selesai diatasi, namun kali ini perasaan sedih menghinggapi kepalaku.
Besok pagi, Kak Sasha akan berangkat ke stasiun untuk memulai hidupnya yang baru. Tak ada lagi kehadirannya yang biasanya rajin menyiapkan hidangan di rumah ini. Dan yang paling membuatku galau, tak ada lagi tatapan teduhnya yang selalu membuatku salah tingkah.
Ia akan segera memulai hidup barunya. Dengan pekerjaan dan kesibukan yang juga baru. Mungkin pula ia akan bertemu dengan calon jodohnya kelak di sana. Oh tidak, tak boleh ku biarkan.
Dorongan adrenalin membuatku bangkit dari tempat tidur. Kak Sasha boleh pergi, namun ia tak boleh pergi sebelum mengetahui isi hatiku. Dengan tergesa-gesa aku menuju kamar tidur Kak Sasha.
“Kak Sasha!” ujarku sambil mengetuk pintunya cukup kencang.
Kak Sasha langsung keluar menghampiri. Nampak di atas ranjang sedang terbaring koper yang masih terbuka. Sepertinya ia sedang berkemas untuk besok.
“Dio,” ucapnya dengan wajah bingung, namun tanpa bertanya lagi, ia langsung membuka lebar pintunya seakan mengisyaratkan agar aku masuk. Aku pun masuk ke kamar, diikuti dengan suara pintu yang ditutup oleh Kak Sasha.
“Belum tidur ya Kak?”
Ia hanya diam saja lalu mengambil duduk di sebelahku.
“Kenapa kamu ke sini?” tanyanya, sambil menoleh padaku.
Kak Sasha memang tidak suka berbasa-basi. Aku mengambil nafas panjang lalu menatapnya balik. Dadaku mulai bergemuruh.
“Aku cuma ingin ketemu kakak dulu malam ini, untuk ngomong kalau… ka-kalau…”
Kak Sasha terus menatap, menungguku menyelesaikan ucapan. Melihat wajahnya yang manis sekilas menumbuhkan keberanianku. Aku sudah yakin saat ini.
“Kalau sebenarnya aku suka sama kakak. Sejak dulu, sejak kita kecil aku selalu kagum sama kakak. Melihat kakak sebagai perempuan yang cantik, dewasa, mandiri, sampai akhirnya beberapa waktu terakhir ini aku sadar kalau aku ga ingin berpisah dengan kak Sasha. Aku mau kita tetap berhubungan, ga cuma sebagai sepasang sepupu. Lebih dari itu, aku ingin Kak Sasha jadi pacar aku.”
Kak Sasha tetap menatapku lekat. Tipis mulai tersimpul senyum dari bibirnya.
“Kamu yakin, Yo?”
Aku menggenggam kedua tangannya, memegangnya dengan erat. “Yakin, kak.”
“Meskipun kita akan berpisah mulai besok kamu siap menunggu?”
“Aku akan selesaiin kuliahku lalu nyusul Kak Sasha di sana.”
“Meskipun aku sepupu kamu?”
“I-iya, Kak. Aku yakin Mama juga pasti izinin, karena…”
“Karena apa?”
“Ga kok, gapapa,” hampir saja aku keceplosan untuk berkata “Mama pasti izinin karena Mama juga pernah berhubungan badan denganku kok, jadi hubungan antar sepupu ga ada apa-apanya.”
Kak Sasha lalu tersenyum. Tangannya tetap menggenggamku erat.
“Aku juga suka sama kamu sejak lama,” ucap Kak Sasha lalu menarik nafas. “Ada sisi dalam diri kamu yang ga pernah aku lihat dari cowok lainnya. Makanya lulus SMA aku langsung minta kuliah di sini, biar dekat dengan kamu. Sayangnya bukannya semakin dekat, hubungan kita malah jadi canggung. Mungkin karena terlalu suka, aku jadi malu buat berinteraksi dengan kamu.”
“Ja-jadi Kak Sasha ngerasa seperti itu juga?”
“Iya,” ucapnya sambil tertunduk malu. Perasaan lega benar-benar menghampiri diriku. Ternyata perasaanku terbalas dengan baik oleh Kak Sasha.
“Aku mau nanya satu hal,” ucap Kak Sasha.
“Apa itu?”
“Cewek yang kita temuin di supermarket itu… maksud aku Aurel, sebenarnya apa hubungan kamu dengan dia?”
Aku sedikit memutar mata kala menjawabnya. Rasanya sulit untuk menjelaskan hubunganku dengan Aurel. Eh ngomong-ngomong apa ya yang tadi Aurel mau bicarakan di kampus?
“Cuma teman kok, Kak,” ucapku sambil tersenyum.
“Oh, soalnya waktu itu kelihatannya dekat banget. Tapi kayaknya memang aku deh yang kekurangan teman lawan jenis, jadinya suka posesif sendiri hehehehe.”
Kali ini kami berdua hanya saling berdiam di dalam kamar. Tangan Kak Sasha menggenggam erat tanganku, lutut kami saling bersentuhan, namun wajah kami saling memandang ke arah yang berbeda. Kami masih berusaha menyembunyikan perasaan berbunga-bunga yang menghinggapi kami. Entah mengapa perasaan sungkan justru lebih terasa setelah perasaan kami diucapkan.
“Jadi…” ucapku pelan, memecahkan keheningan. “Kakak perlu istirahat ya? Kalau gitu aku balik kamar ya.”
Aku pun berdiri dari ranjang, berjalan menuju pintu. Ku tatap wajah Kak Sasha sekali lagi yang masih bersemu merah. Kita bertemu lagi besok pagi, pikirku.
“Kamu kok selalu pergi tiap saat seperti ini?” tanya Kak Sasha tiba-tiba.
Aku langsung menengok balik.
“Maksud kakak?”
“Iya, tiap kali kita punya momen untuk berdua seperti ini kamu selalu milih untuk diam lalu pergi ninggalin aku.”
“E-enggak kak, sebenarnya maksud aku supaya kakak bisa isti…”
“Ssstttt,” Kak Sasha yang telah berjalan mendekat kini menempatkan jari telunjuknya di bibirku.
“Aku gak mau dengar alasan lagi, Yo,” ucapnya.
Jari telunjuk Kak Sasha begitu hangat di bibirku. Perlahan jarinya melemas, lalu bergerak mengelus bibirku, lalu ke pipiku. Telapak tangannya kini terasa hangat menggenggam wajahku. Tanpa disadari kini tubuh kami sudah saling berdiri dalam jarak yang dekat. Wajahku berada tepat di depan wajahnya, hidung kami saling menghembuskan nafas yang berat, kacamata kami hampir beradu. Ku tatap wajahnya sekali lagi, raut merona masih merekah jelas di sana. Mata Kak Sasha nampak sayu. Salahkah jika aku terbawa suasana? batinku.
Namun aku tak mau membiarkan batinku lama bergejolak. Dengan dorongan adrenalin yang ku punya, langsung ku sentuh wajah Kak Sasha. Meraba kulit pipinya yang putih dan halus, ku kecup bibirnya dengan pelan. Setelah beberapa saat bibir kami bertemu, aku pun mengeluarkan lidahku. Kak Sasha tidak merespons ciumanku, namun tak juga menarik kembali tubuhnya. Ku dorong sekali lagi lidahku masuk, namun sekali lagi Kak Sasha tak jua membuka bibirnya.
“Ma-maaf,” ucapku sambil menarik kepalaku. Kak Sasha tertunduk pelan, sekilas raut sedih terpampang dari wajahnya.
Kak Sasha sekali lagi tak mengucapkan sepatah kata pun. Apakah ia merasa aneh karena dicium oleh sepupunya sendiri? Entahlah, yang ku tahu saat ini aku jadi salah tingkah juga. Tidak, lebih dari itu aku jadi turut merasa bersalah. Hanya karena ia menahanku untuk tinggal tak berarti aku bisa menciumnya begitu saja.
Kali ini wajahku yang memerah. Lebih baik aku segera kembali ke kamar daripada memperkeruh suasana.
“Selamat tidur, Kak,” ucapku sekali lagi berbalik.
Belum sempat aku tanganku meraih gagang pintu, Kak Sasha sekali lagi meraih tanganku. Apa Kak Sasha mau marah du-
Cuppp
Belum sempat aku bereaksi, kali ini Kak Sasha lah yang menerjang wajahku terlebih dahulu. Bibirnya menghujam bibirku, kedua tangannya diletakkan di leherku hingga naik perlahan ke pipiku. Ciuman Kak Sasha penuh dengan rasa tergesa. Ia menyandarkanku ke arah pintu. Lidah Kak Sasha menyusup masuk di antara celah bibirku, menyentuh langit-langit dan lidahku secara bergantian.
Aku mulai bisa mengendalikan diri. Ku balas ciuman Kak Sasha. Gantian lidahku yang masuk ke dalam mulutnya. Ku jilati seluruh rongga mulutnya yang wangi daun mint. Ku sedot air liur Kak Sasha, ia bereaksi dengan memegang wajahku lebih kencang. Ku letakkan kedua tanganku sisi samping pinggangnya, menyentuh perut rampingnya yang masih dilapisi kaos band longgarnya. Ini adalah pertama kalinya aku ciuman tanpa menunduk karena tubuh Kak Sasha sedikit lebih tinggi dariku.
Kini tanganku mulai menjalar ke selusur lekuk tubuh Kak Sasha. Naik perlahan ke atas, menyusuri sisi perut, terus naik hingga akhirnya menyentuh sisi bawah payudaranya. Tidak ada jejak kain pelapis di sana. Dia tak mengenakan apa pun di balik kaosnya. Di balik kaos tipis itu terasa betul tekstur kulit payudara Kak Sasha yang kenyal.
Bibir kami masih terus berciuman. Sesekali aku membuka mata, melihat wajah memerah Kak Sasha yang sedang memejamkan mata. Keringat sudah mulai membasahi dahinya meski aku belum memberikan rangsangan apa pun. Nafas Kak Sasha yang semakin lama semakin hangat dan berat menimpa mulutku.
Cukup lama aku menyentuh sisi bawah payudara Kak Sasha. Entah mengapa, aku terlalu kagum dengan perempuan di hadapanku saat ini sampai ingin menghabiskan waktu selama mungkin seperti ini. Penisku sudah berdiri begitu tegak. Sangat tegak sampai-sampai jepitan celana dalamku terasa cukup sakit.
Kali ini aku menuruti nafsu. Ku telusuri lagi sisi payudara Kak Sasha. Menyentuh sisi samping lalu ke sisi atas payudaranya. Ku putari payudara yang berukuran bulat dan sedikit terangkat ke atas itu, hingga akhirnya tanganku mengenai kedua gundukan kecil dari balik kaos. Itu adalah puting payudara Kak Sasha, puting yang berukuran mungil namun terasa keras. Dengan perlahan ku tekan puting itu…
“Aduh…”
Ya, aduhan itu adalah suaraku. Tepat pada saat yang bersamaan, Kak Sasha menggigit lidahku cukup kencang. Beruntung tidak sampai berdarah.
“Ma-maaf, Yo,” ujar Kak Sasha yang dengan panik langsung mengintip ke dalam mulutku. “Kamu gapapa kan?”
“Gak apa-apa kok, Kak.”
Kak Sasha mulai merapikan kembali pakaiannya, lalu duduk di atas ranjang. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia diam dengan kepala tertunduk. Entah karena apa, ia nampak merasa sangat bersalah. Tak biasanya Kak Sasha terlihat seperti ini.
“Ini memang salahku,” ucapnya.
Aku langsung berlutut di hadapannya. Sambil menengadah, aku coba menenangkan Kak Sasha.
“Kak, beneran gapapa kok. Udah ga sakit lagi sekarang,” kataku, sambil menarik tangan Kak Sasha yang masih menutupi wajahnya.
“Aku tahu aku ga bisa lakuin hal kayak gini, Yo,” jawabnya, tanpa ku sangka ternyata Kak Sasha meneteskan air mata. Wajahnya benar-benar tampak sedih.
Huft, berarti memang benar. Sepertinya Kak Sasha belum sanggup untuk bersetubuh dengan sepupunya sendiri. Untuk beberapa detik aku tertunduk lesu, lalu dengan berat hati aku menatap lagi wajah Kak Sasha.
“Aku tahu pasti aneh buat Kak Sasha untuk bercumbu dengan sepupu sendiri seperti Aku. A-aku minta maaf, Kak, udah terlalu agresif,” ucapku sambil mencium punggung tangan Kak Sasha. Ku elus rambutnya sekali lagi, lalu ku tatap wajah Kak Sasha. Matanya masih basah, wajahnya masih merah. Rasanya ini adalah pertama kalinya aku membuat seorang perempuan menangis, dan rasanya buruk. Terlebih jika perempuannya adalah perempuan yang benar-benar ku sayangi.
“Selamat tidur, Kak,” ucapku.
“Aku bukan nangis karena takut bercumbu dengan sepupu sendiri, Yo,” balas Kak Sasha, menghentikan niatku untuk berdiri.
“Aku nangis karena aku malu, walau aku sudah sedewasa ini aku sebenarnya belum pernah… aku masih perawan, Yo. Bahkan ciuman pun gak pernah.”
Ucapan Kak Sasha barusan membuat mulutku menganga. Selama ini aku hidup di dunia di mana anak SMA seperti Nissa dan Desy saja sudah benar-benar menguasai teknik bercinta, juga Aurel dan Elma yang benar-benar ketagihan pada tubuhku, tak ku sangka bahwa Kak Sasha yang usianya lima tahun lebih tua dariku justru begitu awam tentang hal ini.
“Jangan lihat aku kayak gitu,” ucapnya sambil memalingkan wajahnya. “Aku tahu aku payah. Aku ngerasa bersalah banget karena udah gigit lidah kamu.”
“Gak… gak gitu, Kak,” ucapku, sambil terus memegang kedua tangan Kak Sasha. “Kak Sasha udah hebat kok ciumannya, aku bahkan ga nyangka kalau Kak Sasha belum pernah ginian.”
“Ga usah besarin hati aku. Emang kenyataannya gitu. Selama ini aku selalu nolak semua laki-laki yang nembak aku, jangan kepedean…” ucapnya begitu melihatku tersenyum, “Aku nolak mereka karena ingin serius kuliah.”
“Jadi bukan karena nungguin aku tembak, ya?” ucapku menggodanya.
“Y-ya itu juga sih sebagian,” balasnya sambil tersipu. “Ah udahlah, Yo, aku jadi tambah malu.”
“Ngapain sih malu sama aku, pacar sendiri juga.”
“Ih kata siapa pacar? Aku kan belum nerima.”
“Emang Kak Sasha gak mau?”
“Cium aku lagi, Yo,” ucap Kak Sasha sambil tersenyum.
Aku menyibak rambut Kak Sasha dari bawah. Ku lihat matanya yang sudah kembali sayu lagi. Sepertinya ia berusaha keras menahan nafsunya tadi.
“Aku ingin kasih ciuman yang spesial untuk Kak Sasha.”
“Ciuman spesial?”
“Iya, Kakak coba tutup mata aja.”
Kak Sasha mematuhi permintaanku. Dengan rasa deg-degan aku lalu mengambil nafas. Di depan wajahku saat ini ialah kedua belah paha Kak Sasha yang dilapisi oleh celana pendek tipis. Paha dan kaki jenjang Kak Sasha yang ditumbuhi sedikit bulu nampak begitu menggiurkan. Ku letakkan tanganku di tangan Kak Sasha, menarik turun celananya.
“Kenapa dibuka?” tanya Kak Sasha, namun di saat yang bersamaan ia juga agak mengangkat pantatnya agar celananya lebih mudah ditarik.
Dalam waktu sekejap celana pendek Kak Sasha sudah sepenuhnya dilepas. Kejutan lain hari ini, Kak Sasha ternyata tak mengenakan celana dalam. Jadilah di depanku saat ini terpampang paha putih telanjang Kak Sasha. Ku lebarkan kedua kaki Kak Sasha. Nampaklah vagina Kak Sasha yang merah, tembem, dan dipenuhi bulu. Cairan kemaluan sudah nampak dari bibir vaginanya.
Masih tetap memejamkan mata, nafas Kak Sasha sudah naik turun tak karuan. Ku dekatkan wajah ke vaginanya. Aroma kewanitaan yang menggairahkan membuatku semakin berani.
“Kak Sasha mau dicium kan?”
“Apa sih, Yo, yang benar ahhhhhhh ahhhhh,” Kak Sasha belum sempat menyelesaikan ucapannya, lidahku sudah terlebih dahulu menyentuh vaginanya. Ku cium vagina yang masih begitu rapat itu layaknya sedang menciumi bibir. Ku jilati klitoris lalu bibir vagina, lalu sesekali menyedot klitoris lagi yang membuat Kak Sasha menggelinjang tak karuan. Ku tempelkan hidungku di bulu vagina Kak Sasha yang sudah basah.
“Ahhhhh Yo, enak banget ahhhh,” ucap Kak Sasha. Karena tak sanggup menahan diri, Kak Sasha langsung membaringkan diri di ranjang. Tangannya menjambak erat rambutku. Ingin sekali rasanya ku sodok vaginanya dengan jariku, namun setelah dipikir-pikir rasanya tak enak jika tanpa sengaja keperawanannya jebol dengan cara itu.
Vagina Kak Sasha terus mengeluarkan pelumasnya sendiri. Semakin banyak cairan semakin wangi pula vaginanya. Kaki Kak Sasha sudah mengejan menggantung di atas lantai.
Ku lepaskan kepalaku dari vaginanya. Dengan tatapan penuh nafsu aku naikkan tubuhku ke atas ranjang. Sebagian kaos Kak Sasha terangkat, memamerkan perut ratanya.
“Ke-kenapa berhenti?”
“Aku mau ini,” ucapku sambil memasukkan tangan Kak Sasha ke celah celanaku. Tangannya yang hangat langsung bersentuhan dengan batang penisku yang sedang menegang. Ku gerakkan tangannya naik turun, Kak Sasha menurutinya. “Kakak mau gak?”
Kak Sasha mengangguk dengan tatapan sayu. Ia menggigit bibir bawahnya. Ku lihat tubuhnya menggelinjang meski tak disentuh. Sepertinya ia benar-benar merasa gantung.
Ku angkat kaosku ke atas, ku tarik turun pula pakaianku. Kini aku sudah telanjang sambil setengah menindih tubuh Kak Sasha. Aku lalu mendekatkan penisku pada wajah Kak Sasha yang masih terbaring, ia pun mengangkat wajahnya.
“Kulum penis aku.”
Kak Sasha langsung menurutinya. Ia memasukkan penisku ke mulutnya. Meski sesekali masih kena gigi, namun aku enggan menegur Kak Sasha. Aku tak ingin dia merasa minder seperti tadi. Semakin lama isapan Kak Sasha semakin nikmat. Ia sudah pandai menggunakan lidahnya. Ia menjilati selusur penisku dari bawah ke atas bergantian lalu mengulumnya lagi.
“Ahhh betul Kak, kayak gitu.”
“Seponganku enak?”
“Enak banget, Kak,” ucapku lalu mendorong penisku masuk lagi ke mulutnya. Sesekali aku mendorongnya cukup dalam sampai Kak Sasha kesulitan nafas. Uniknya, Kak Sasha justru selalu tersenyum seiring semakin dalamnya penisku.
Rasanya penisku sudah hampir mencapai klimaks. Segera ku tarik penisku yang sudah basah kuyup keluar.
“Aku boleh minta lebih?” tanyaku.
“Malam ini aku milikmu, Yo,” ucapnya.
Dengan lembut aku kembali menindih tubuh Kak Sasha yang masih mengenakan kaos. Ku buka lebar pahanya, ku dorong masuk penisku.
“Ehhhhh,” Kak Sasha meringis.
“Sakit ya?”
Kak Sasha menggeleng, “Kayaknya terlalu gede buat aku, Yo.”
Penisku sudah merasa cenat-cenut ingin segera dipuaskan. Begitu juga dinding vagina Kak Sasha yang masih basah. Aku tak boleh kehilangan akal.
Ku cium bibir Kak Sasha sekali lagi. Ia membalasnya dengan pagutan yang tak kalah liar. Kedua tangannya memegang pipiku seakan tak ingin mulutku terlepas darinya. Ku remas payudaranya dari luar.
Crrtttt…. crtttt… crrttttt….
Selagi berciuman ternyata kelamin kami saling bergesekkan. Beberapa sentuhan awal rasanya tak terlalu kami sadari, namun seiring dengan makin basahnya vagina Kak Sasha rasa gesekkan antar kelamin kami juga semakin nikmat. Vaginanya yang tembem dan dilapisi rambut melilit penisku dengan ketat.
“Ahhhhh, Yo…”
“Iya Kak, gini aja ya.”
Saking nikmatnya, kami tak lagi berciuman. Kini aku dengan posisi agak menungging sedang menggesekkan penisku naik turun ke vagina Kak Sasha. Naik turun dengan begitu kencang di vaginanya yang terus menerus mengeluarkan cairan baru.
Ku angkat kedua kaki jenjang Kak Sasha, ku letakkan di atas pundakku. Sedangkan Kak Sasha menarik dua lapis bantal untuk ia letakkan di kepalanya. Sambil saling bertatapan kami terus menggeseki kelamin kami. Kak Sasha juga sesekali turut menggerakkan pinggangnya mengikuti tempo.
Penisku yang sudah sangat tegang juga tak mau kalah. Dengan kecepatan tinggi, aku menggunakan tenaga agar dapat cukup menekan kencang vagina Kak Sasha. Keringat sudah membasahi tubuh kami. Ku lihat kaos abu-abu Kak Sasha juga yang sudah semakin transparan dibasahi keringatnya sendiri. Siluet puting payudaranya yang mengencang keras membentuk jelas dari balik kaosnya. Sesekali ku cium lagi bibirnya namun tetap terlepas seiring dengan liarnya pergerakkan kami.
“Ahhhh Yo, vagi…na…ku rasanya ahhh nikmat, aku… gak bisa jelasin ahhhhh.”
“Penis aku juga nikmat kak, ahhh.”
Kak Sasha berpegangan erat di lenganku. Kakinya yang bersandar di pundakku terjatuh, akhirnya ia menggantinya dengan melingkarkan kakinya di bokongku.
“Ahhh puasin aku Yo, besok aku ga di sini lagi ahhh.”
Desahan Kak Sasha membuat rasa akan klimaksku kembali muncul. Vagina Kak Sasha yang tebal rasanya semakin nikmat saja seiring tiap gesekan. Ku kecup pipinya berkali-kali.
“Kak, aku udah mau cumhhh.”
“Ahhh iya, cum di aku sayang.”
Tak pernah sebelumnya aku orgasme dengan gesekan seperti ini. Namun kali ini rasanya begitu nikmat. Penisku terangsang begitu hebatnya. Ku remas kencang payudara Kak Sasha dari luar kaosnya.
“Ahhhh Kak, aku cum ahhhh.”
“Ahhhh enak Yo.”
Crotttt… crottttt…. crotttt…
Spermaku dengan kencang menyemprot jauh hingga ke kaos Kak Sasha. Cairan putih kencang itu menetes kencang di kaos berwarna gelap itu.
“Hhhhh, hhhh, aku udah cum Kak,” ucapku sambil mengelus rambut Kak Sasha yang basah karena keringat.
“Aku masih pengen, Yo,” ucap Kak Sasha. Matanya jauh lebih sayu dari sebelumnya. Wajahnya semakin merona. Hidungnya kembang kempis menahan deru nafas yang kencang.
Ku lihat ke arah penisku yang masih berdenyut. Anehnya, bukannya melemas, penisku justru semakin keras. Rasa nafsu tak sedikit pun meredup dari diriku, sebaliknya aku jadi semakin terangsang. Ku sentuhkan ujung penisku ke vagina Kak Sasha.
“Kamu masih bisa?” tanya Kak Sasha.
“Sampai pagi juga bisa,” jawabku sombong.
“Kalau gitu tunggu,” ucap Kak Sasha sambil memasang wajah menggoda. “Ini udah basah,” ia menunjuk kaosnya, yang selain bersimbah keringat juga sudah dilumuri oleh cairan spermaku.
Ia mengangkatnya bajunya lambat. Mulai dari memamerkan tubuhnya yang garis lekuknya semakin nampak seiring keringat yang membasahi, sedikit bulu di perutnya, naik ke atas menuju sisi bawah payudaranya yang menjulang ke atas, puting merah coklat muda dengan areola yang kecil. Ukuran payudara Kak Sasha cukup besar, tak sebesar Nissa tentu, namun lebih besar dari perempuan lain yang pernah ku setubuhi. Hingga akhirnya kaosnya terpampang ke atas, nampaklah pemandangan yang membuatku semakin bernafsu. Ialah bulu ketiak Kak Sasha yang tak terlalu tebal namun tetap terlihat, entah mengapa bulu ketiak itu terasa begitu serasi dengan tubuh Kak Sasha. Aku menonton pemandangan itu sambil mengocoki penisku.
“Belum,” ucapnya, kali ini ia meraih ikat rambut di atas laci. Sambil mengangkat kedua tangannya, Kak Sasha mencepol rambutnya. Dalam sekejap, rupa Kak Sasha jadi jauh lebih dewasa dengan rambut seperti itu.
Kini kami berdua sudah saling telanjang bulat. Kak Sasha lalu menghampiriku sambil merangkak.
“Aku mau di atas, Yo.”
Aku hanya bisa mengangguk sambil menelan lidah. Tak ku sangka perempuan secantik ini mau jadi kekasihku.
Aku bersandar di dinding. Kak Sasha lalu sambil mengangkang menduduki penisku.
Crrttt…
Kini kedua kelamin kami sudah beradu. Sambil menunduk, Kak Sasha melumat bibirku. Kak Sasha sepertinya cepat belajar, dalam sekejap saja ia sudah dengan handal menggesekki penisku dari atas. Semakin lama, vagina Kak Sasha terasa semakin basah juga.
Hal yang sedari tadi ku simpan-simpan akhirnya kini tersaji begitu saja di hadapanku. Payudara tegak Kak Sasha yang bergerak naik turun seiring gerakan Kak Sasha seakan mengundangku. Langsung ku tarik payudara Kak Sasha dan menyedotnya dengan liar. Slurpp, suara air ludahku bertemu dengan puting payudara Kak Sasha.
“Ahhhhh enak banget jilatanmu.”
Aku mengisap puting payudara Kak Sasha secara bergantian. Dengan tempo yang sangat cepat aku mengganti isapan dari kiri ke kanan tiap tiga sedotan payudara. Kak Sasha semakin menggelinjang. Tangannya melingkar di leherku, sementara gesekannya semakin kencang.
“Ahhh Yo, vaginaku rasanya ahhh gatel Yo.”
“Gesekin ke penisku Kak supaya enak.”
“Mau lebih,” ucap Kak Sasha sambil menggigit bibirnya.
Entah kenapa aku tak begitu kepikiran untuk memasukkan penisku ke vagina Kak Sasha lagi. Dengan digesekkan seperti ini saja rasanya benar-benar sudah sangat enak. Sebaliknya, aku memikirkan cara lain untuk memuaskan Kak Sasha.
Setelah puas menjilati payudara Kak Sasha, kali ini aku mengangkat tangan kirinya ke atas. Nampaklah bulu ketiak yang agak rimbun dan sudah nampak basah. Aku suka ketiak bersih seperti yang dimiliki Aurel ataupun Nissa, hanya saja hari ini melihat ketiak berbulu Kak Sasha benar-benar membuat nafsuku semakin buas. Bagaikan kelaparan ku serobot ketiak Kak Sasha. Bulu yang masuk ke mulutku ku jilati dengan liar. Seakan merespons Kak Sasha semakin mempercepat gesekan vaginanya.
Demi mempermudah jilatanku, Kak Sasha sedikit mendorong tubuhnya maju, sedangkan tangannya yang satu berpegangan pada dinding. Pantatnya kali ini terangkat sedikit lebih tinggi sehingga membutuhkan usaha lebih bagi kelamin kami untuk tetap bergesekkan. Perubahan posisi Kak Sasha itulah yang kemudian menuntun pada peristiwa yang tak diduga.
Blesssss
“Ahhhhh,” Kak Sasha meringis.
Tanpa diantisipasi, sebagian penisku masuk ke vagina Kak Sasha yang sedikit terangkat. Mungkin karena semakin sering dirangsang dan terlalu basah, sehingga lubang yang begitu rapat itu akhirnya membuka sendiri. Rasanya seluruh kepala penisku masuk. Untuk sejenak kami berdua berhenti bergerak. Kak Sasha kali ini berpegangan erat pada bahuku yang licin.
“Sakit Kak?”
“Ga kok, aku masih tahan,” ucap Kak Sasha sambil menggigit bibirnya.
“Mau dikeluarin lagi?”
“Jangan, Yo. Aku udah gatel banget, mau ini…” ucapnya sambil bersandar di bahuku.
Aku langsung memainkan kedua payudara Kak Sasha agar cairannya terus mengalir. Tubuh kami yang licin saling berpelukan. Aku sudah siap mendorong masuk penisku.
“Kak, ini pasti bakal enak,” ucapku, lalu tanpa memberi aba-aba ku dorong lagi penisku yang masih ditindih Kak Sasha.
“Aku sayang Kak Sasha.”
Slurrpppp
Tanpa sepengetahuan Kak Sasha, aku menjilati telinganya. Reaksi Kak Sasha yang sedikit melonjak kegelian berhasil membuat penisku sepenuhnya masuk ke dalam vaginanya.
“Errrrr ahhhhh,” erang Kak Sasha, sambil menekan lenganku erat. Matanya terpejam, dahinya sedikit mengkerut menahan sakit.
Ku rasakan penisku masuk sepenuhnya ke dalam lubang yang basah, kenyal, dan sempit. Penisku terjepit
Bukannya diam menunggu agar vaginanya terbiasa, Kak Sasha justru langsung menggenjot vaginanya bergerak naik turun. Tak butuh waktu lama, Kak Sasha sudah memegang kendali. Ia bergerak begitu cepat dengan desahan yang begitu kencang.
“Ahhhh penis kamu enak banget, Yo, kalau kamu ikut aku pindah tiap hari kita gini…”
“Ahhh iya Kak.”
Keringat dari rambutku jatuh bercucuran. Payudara Kak Sasha yang licin menimpa dadaku berkali-kali. Ku raih keduanya, lalu ku tekan erat putingnya.
“Ahhhhh enak Yo, vaginaku tambah gatel ahhh.”
Kak Sasha kali ini gantian menjilati telingaku. Rangsangannya membuat berhasil memacu libidoku yang memang sudah tinggi. Kali ini ku dorong tubuhnya terbaring. Kedua kelamin kami masih saling melekat, sehingga aku tetap terus menggenjotnya selama proses itu. Tak ku sadari bahwa ternyata di area pinggang dan pahaku ada sedikit darah yang telah bercampur dengan cairan vagina. Jejak keperawanan Kak Sasha yang baru saja ku renggut.
Takkkk takkk takkkk
Suara tubuh kami yang beradu begit kencang terdengar. Derak ranjang kayu yang sudah cukup tua juga sepertinya bisa terdengar hingga keluar. Namun aku tak lagi peduli, malam ini begitu panas.
Ku lirik ke arah penisku. Secara janggal, ukuran penisku malam ini lebih besar dari pada saat-saat sebelumnya. Pantas saja aku merasa lebih terangsang dari biasanya.
Cepol rambut Kak Sasha sedikit berantakan kala ku baringkan. Sebagian terkibar bebas seiring genjotanku. Beberapa menutupi matanya. Pemandangan yang indah nan berantakan ini membuatku semakin tak tahan. Apalagi wajah Kak Sasha yang sedari tadi terus mangap keenakan.
“Ini malam paling nikmat ahhhh yang pernah ku rasain ahhh.”
“Aku juga, Kak. Aku juga,” Aku benar-benar jujur saat mengatakannya. Hari ini memang hari yang baik buatku.
Ku cium bibir Kak Sasha sekali lagi. Ku rasakan penisku sudah hampir mencapai orgasme.
“Ahhhh Dio, kayaknya aku juga mau cum hahhhh rasanya aneh… enak banget ahhh…”
Kali ini ku tarik keluar penisku. Ganti posisi, kali ini aku menunggingkan tubuh Kak Sasha. Ku tusukkan penisku masuk.
“Ahhhh Yo ini paling enak.”
Ku pandangi lehernya yang terekspos dari belakang. Terdapat beberapa tahi lalat kecil di belakang lehernya. Rambutnya masih terangkat ke atas. Kak Sasha bertumpu pada sikunya di atas bantal.
“Keluarin Kak, keluarin,” ku percepat genjotanku.
“Yesshhhh, aku mau ahhh.”
“Iya Kakhhhh…”
“Ahh Yo, aku mau…. aku mau cummmhhhhhh….”
“Aku juga Kak Sas ahhhhh…”
Srrrttt… srttt…
Crottt… crottt…. crotttt…
Kami orgasme nyaris bersamaan.
Ternyata sama seperti Mama, Kak Sasha juga bisa squirt. Tubuhnya menggelinjang hebat bersamaan dengan denguhan kencang keluar dari mulutnya. Setelah semprotan ketiga yang mengalir deras Kak Sasha tak mampu lagi menopang tubuhnya, ia pun terbaring lemas di atas ranjang.
“Hhhh… astaga, ke mana aja aku selama ini. Ternyata seks enak banget ya,” Kak Sasha tertawa kecil dengan nafas yang menderu.
“Enaknya kalau sama aku aja, Kak,” ucapku sambil berbaring di sebelahnya.
“Hehehe makanya, cepet lulus terus samperin aku ke kota B.”
Dingin AC yang sedari tadi tak kami rasakan, perlahan menghujam tubuh basah kami. Kami berciuman sekali lagi. Kali ini perasaan penuh kasihlah yang kami rasakan.
“Kak, aku bersih-bersih terus istirahat ya. Sampai ketemu besok pagi,” ucapku sambil mencium pipi Kak Sasha.
“Terima kasih ya, Dio,” ucap Kak Sasha sambil tersenyum manis.
“Terima kasih kembali.”
Setelah berpakaian, aku meninggalkan kamar Kak Sasha. Untungnya rumah nampak sedang lengang saat itu. Mungkin Mama dan Nissa kelelahan karena harus bangun pagi sebelum ke wisuda Kak Sasha tadi. Seandainya ada orang yang duduk di dekat kamar Kak Sasha tadi tentu saja suara senggama kami akan terdengar.
“Jadi sekarang sama Sasha juga?”
Deg
Suara itu muncul dari arah dapur. Nampak Mama sedang memotong apel di sana. Aku melirik ke arah Mama dengan wajah kagok. Mama adalah satu-satunya orang yang mengetahui seluruh rahasiaku. Semoga saja dia tak keberatan ditambahi satu rahasia lagi.
“Kak Sasha ini beda, Ma.”
“Beda maksudnya?”
Ku lihat wajah Mama juga sudah turut serius. Tangan kanannya tak kunjung melepas pisau yang digunakannya tadi.
“Aku beneran serius sama dia. Kak Sasha juga balas perasaanku. Jadi… jadi mungkin Dio berencana buat jalin hubungan jangka panjang dengan dia.”
Kali ini Mama berjalan ke arahku. Matanya menatap tajam.
Tak. Mama menepuk pundakku.
“Ya, baguslah kalau gitu. Asal kamu bisa serius sama dia. Jangan sakiti hati dia. Ingat loh, Sasha itu udah kayak anak Mama juga. Jadi kalau kamu macam-macam,” Mama menepuk pundakku lagi, lalu mulai tertawa.
“I-iya Ma,” ujarku gemetaran. “Ka-kalau bisa pisaunya tolong dilepas dulu he he.”
Mama melirik ke arah tangan kanannya yang sedari tadi digunakan menepuk pundakku. “Oh hahaha, Mama sampai lupa. Yaudah, kamu buruan bersih-bersih sana.”
Aduh, baru saja tadi mengutarakan perasaan sudah dapat ancaman aja dari Mama, batinku.
Pagi-pagi sekali, aku sudah terbangun. Setelah mengangkatkan semua barang bawaan Kak Sasha ke mobil, kali ini aku gantian membuatkan dia bekal untuk di kereta api. Toh, selama ini selalu dia yang membuatkan masakan untuk kami di rumah. Sekaranglah waktunya aku balas budi.
“Kak Dio! Ada tamu tuh!” ucap Nissa dari ruang tamu.
“Hah tamu? Siapa yang niat banget nyamperin aku jam 5 pagi?”
Dengan perasaan bingung aku pun berjalan menuju teras. Di depan teras nampak seorang perempuan berambut pendek dengan poni, berkulit putih, dengan koper kecil di tangannya.
“Hai Dio.”
“A-Aurel?” ucapku. Aku sampai memicingkan mata kalau-kalau bisa salah lihat. “Kok kamu bisa tahu rumahku?”
“Kalau rumah kamu pasti susah nyarinya, makanya aku nanya ke orang kampus rumah Bu Dian di mana. Akhirnya… aku ditunjukkin sama mereka,” ucapnya sambil tersenyum manis.
Aku menengok ke arah dalam, jaga-jaga jika Kak Sasha kebetulan melihat. Bagaimana pun ia adalah kekasihku saat ini. Apalagi semalam ia juga sempat menanyai tentang Aurel.
“Kamu mau ke mana bawa koper?”
“Aku kabur dari rumah, Yo,” ucapnya sambil tertunduk lesu. Oh, drama apa lagi ini?
“Ka-kabur kenapa?”
“Kamu pasti ingat kan kalau di supermarket beberapa hari lalu aku jalan dengan Dimas. Cowok yang aku bilang ke kamu sebagai mantan aku.”
Dengan sedikit mendengus, aku memalingkan wajah. Masih kesal saja rasanya dibohongi Aurel seperti itu.
“Sebenarnya kita memang udah putus.”
“Udah putus tapi jalan bareng, gitu?”
“Dengerin aku dulu, dari kemarin aku mau bicarakan ini,” ucapnya kini ia berdiri lebih dekat. “Kita udah putus tapi nasib menentukan kalau kita gak boleh putus.”
“Maksud kamu?”
“Kita udah dijodohin. Selesai kuliah udah diatur buat nikah terus ngurusin bisnis keluarga dan segala hal membosankan lainnya,” Aku tersenyum sinis mendengar ucapannya. Ternyata selama ini aku hanyalah bagian kecil yang hanya dalam kehidupan Aurel. “Jangan ketawa kamu, Yo. Kamu ga tau betapa beratnya bagi aku untuk jalanin ini. Jalanin hidup dengan orang yang gak aku sayang sama sekali.”
“Dan karena itu juga kamu kabur?”
“Iya, aku ingin orang tuaku bisa tau, kalau mereka ga bisa seenaknya nentuin hidup aku. Selama ini mereka selalu datang dan pergi begitu saja dalam hidupku, mereka jarang ada di rumah lalu tiba-tiba aja muncul untuk ngatur-ngatur. Selama ini aku nurut aja, sampai akhirnya aku ketemu dengan laki-laki yang baik buat aku. Laki-laki yang selalu ada saat aku butuh dan bisa melindungi aku. Dan akhirnya aku sadar, kalau aku ingin hidup dengan laki-laki itu…”
Aurel mengambil nafas panjang. Tak ku sadari sorot mata Aurel nampak berkaca-kaca seakan sedang berusaha menahan tangis.
“Laki-laki itu… laki-laki itu kamu, Yo.”
Aku sudah bisa menebak jawaban Aurel. Tapi masih saja rasanya kelu mendengarkan ini secara langsung. Waktunya sangat tidak tepat.
“Yo, kamu ada teman malah nggak dipersilakan duduk. Sini masuk, Aurel kan?” ujar Kak Sasha dari arah pintu memanggil Aurel. Wajah Kak Sasha nampak lebih serius namun tetap berusaha ramah kala menyapa Aurel. Aurel yang tentu saja tak tahu hubunganku dengan Kak Sasha tersenyum mendengar sapaan Kak Sasha.
“K-Kak Sasha, sejak kapan kakak di situ?”
Kak Sasha hanya tersenyum pahit. Sepertinya ia mendengar banyak.
Hidupku memang tak bisa dibuat sederhana,
Nissa harus berangkat sekolah, sedangkan Mama katanya sedang tak enak badan. Oleh karenanya saat ini di mobil hanya ada kami bertiga. Aku menyetir, Kak Sasha di bangku depan, dan Aurel di bangku belakang. Bisa dibayangkan tentu betapa canggungnya keadaan di mobil saat ini.
“Jadi Kak Sasha udah mau pindah ya? Padahal belum sempat main bareng,” ujar Aurel, sepertinya ia masih mengingat ajakan main Kak Sasha saat bertemu dengannya di supermarket. Di antara kita memang hanya dialah yang tak terlalu merasakan kecanggungan ini.
“Iya ya, lain kali kalau aku balik sini kita main bareng. Nanti ku masakkin makanan deh,” ucap Kak Sasha. Dia dengan mudah menyembunyikan keadaannya.
Sepertinya keadaan akan baik-baik saja. Aku akan bicara dengan Kak Sasha via telepon nanti, dan berbicara dengan Aurel di perjalanan pulang. Setidaknya aku tak perlu menghadapi keduanya sekaligus.
Stasiun nampak lengang pagi ini. Wajar pagi buta seperti ini kereta keberangkatan jarak jauh memang masih sepi. Sedangkan kereta jarak dekat sendiri tak ada yang melintasi stasiun ini.
“Kereta Kak Sasha tinggal sepuluh menit lagi, ya?” tanya Aurel. Selama sisa perjalanan di mobil tadi mereka memang jadi terus bercengkerama. Aku sedari tadi hanya bisa memandangi komunikasi mereka dengan wajah tegang.
Kak Sasha hanya mengangguk sambil mengenakan jaketnya. Berbeda dengan Aurel yang mengenakan setelan rok dan kemeja, Kak Sasha kali ini mengenakan celana jins panjang dengan parka berwarna khaki yang bisa melindunginya dari dinginnya suhu kereta.
“Oh ya, Aurel,” ucap Kak Sasha begitu kami sudah mendekati tempat pengecekan tiket.
“Ya?”
“Maaf, aku curi dengar, tapi kalau gak salah tadi kamu ngucapin cinta ke Dio, ya?”
Deg, siapa pun tolong bawa aku pergi, batinku.
Ku lihat wajah Aurel tersipu merah, sambil tertunduk ia senyum malu-malu. Sial, aku jadi merasa bersalah pada Aurel. Ia tak tahu apa-apa.
“I-iya Kak,” jawab Aurel, sambil mencubit lenganku kencang.
“Jawaban Dio apa?”
Aurel langsung memandangiku dengan tatapan sengit. Seakan baru sadar bahwa aku belum sempat membalas ucapannya tadi.
“Nanti di jalan pulang aku jawab,” jawabku dengan senyum kikuk.
“Kenapa gak sekarang aja?” tanya Kak Sasha.
Aurel masih terus terdiam. Kali ini kami semua berada dalam situasi yang membingungkan. Aku cuma tak memperhitungkan betapa Kak Sasha yang pendiam bisa begitu berani dalam situasi seperti ini
“Aku masih ada sedikit waktu untuk nungguin jawaban Dio,” ucap Kak Sasha.
“I-iya Kak, benar kata Dio, mungkin di jalan pulang aja nanti kita bisa ngobrolinnya.”
“Gak bisa, Aurel. Asal kamu tahu kalau baru aja semalam tadi Dio ngucapin perasaannya ke aku. Dia udah jadi pacar aku sekarang, jadi kalau memang hari ini dia milih kamu, aku akan ninggalin kota ini dan ngelupain hubungan kami.”
“Ta-tapi kalian kan?”
“Sepupu? Ya, kami memang sepupu. Tapi kita tidak bisa milih mau mencintai siapa kan?”
“Kalau Dio milih tetap sama Kakak?”
“Berarti kamu harus mundur. Hargain hubungan kami berdua, aku yakin pasti gak akan sulit bagi kamu untuk nemu laki-laki yang cocok.”
“Kakak nyepelein perasaan aku, ya?” kali ini Aurel mulai merasa sewot.
“Hei, hei, tolong bicarakan baik-baik saja,” ucapku, berusaha menengahi.
“Ya kan gara-gara kamu!” ujar mereka bersamaan. “Seenaknya ngedekatin semua perempuan.” Kali ini mata para pengunjung stasiun menoleh ke arah kami.
Aku tak bisa menyalahkan Kak Sasha karena memaksaku untuk memilih. Karena memang benar kata mereka, akulah yang patut disalahkan. Toh, aku memang sempat merasa patah hati karena Aurel. Aku memang memiliki perasaan kepada mereka berdua. Hanya saja kali ini aku tak bisa lagi merasa nyaman. Seseorang memang harus tersakiti.
Ku tatap ke arah Aurel. Kini ia tertunduk sambil mengepalkan tangan. Jika aku memilih Kak Sasha maka ia tentu akan mengambil kopernya dan kembali pulang ke rumah. Untuk apa dia mati-matian melawan orang tuanya demi lelaki yang bahkan tak memilihnya? Mungkin dia lebih memilih tinggal di sana dengan nasib yang ia anggap tidak membahagiakan daripada membiarkan dirinya berharap pada orang yang salah.
Ku lirik ke arah Kak Sasha. ia menatapku balik sambil mengangkat kedua bahunya. Ia juga sama bingungnya. Aku menunggu siapa tahu ia ingin berucap sesuatu, namun tak kunjung sepatah kata keluar dari mulutnya. Yang aku tahu, jika aku melepaskan Kak Sasha saat ini maka sama saja aku melepaskannya selamanya. Hati Kak Sasha yang selama ini tertutup telah dibuka hanya untukku saja. Bahkan lebih itu, ia juga hanya membukakan tubuhnya untukku juga. Mungkin akan sulit baginya untuk percaya pada cinta lagi jika aku mengkhianatinya saat ini.
Namun aku harus memilih. Kereta Kak Sasha akan berangkat tiga menit lagi. Aku harus menjawab penantian mereka.
Kali ini aku harus bertanggung jawab.
“Aku pilih…”
Tamat