Part #20 : Getting Closer
“Haduuuh itu acara apaan sih Ran? Masak aku harus ikutan segala?”
“Iya mas, emang gitu. Bisa kan? Ya ya ya?”
“Iya, tapi itu acara apa sih?”
“Itu tuh kayak, apa ya, bisa dibilang mirip malam keakraban, tapi kita disuruh bawa keluarga, bisa orang tua atau saudara yang lain. Nah daripada bapak ibu harus kesini, kan mending sama mas Haris aja.”
“Emang ada ya acara kayak gitu?”
“Lha masak mas Haris nggak tau sih? Itu acara kan udah ada dari dulu, udah turun temurun.”
“Yaa kan kita beda jurusan Ran, beda fakultas, mana aku tau ada acara kayak gitu di tempatmu.”
“Yaa pokoknya gitulah mas. Temen-temenku yang dari luar Jawa aja orang tuanya pada dateng lho. Yang alumni biasanya juga ada yang datang mas. Ya mas ya? Mas Haris dateng ya?”
“Hadeeh, iya deh iya.”
“Asyiiiiikkk, hehehe…”
Haris hanya bisa menggelengkan kepala melihat adiknya itu. Dia baru dibujuk untuk bisa datang ke sebuah acara yang digelar oleh kampusnya Rani, tepatnya jurusan tempat Rani menimba ilmu. Haris memang satu kampus dengan Rani, tapi beda fakultas, dan dia memang belum pernah mendengar ada acara seperti itu sebelumnya.
Acara itu seperti layaknya malam keakraban yang diadakan di aula kampus. Tapi kalau malam keakraban yang biasa pesertanya hanya mahasiswanya saja, dan kadang ada dosen yang ikut juga, tapi kali ini pesertanya juga termasuk orang tua dari para mahasiswa, dan seluruh dosen di jurusan itu akan datang. Karena merasa acara itu mungkin saja ada manfaatnya, dan juga karena desakan Rani, akhirnya Haris mau untuk datang. Lagipula saat ini Haris juga sebagai perwakilan orang tua mereka untuk menjaga Rani disini.
Meskipun jarak antara kota tempat tinggal orang tua mereka dengan kota ini hanya sekitar 2 jam saja, tapi memang daripada menganggu kesibukan kedua orang tua mereka, lebih baik Haris yang datang. Apalagi acara ini digelar bukan di akhir pekan, jadi pilihan terbaik adalah Haris saja yang mewakili orang tuanya. Dan acara ini juga digelar di kampus, jadi tidak akan sampai larut malam selesainya, besoknya dia masih fit untuk masuk kerja.
Di hari acara itu digelar, Haris menjemput Rani di kostnya. Malam ini dia memakai stelan baju yang cukup formal, karena memang konsep acaranya seperti itu. Dia memakai celana panjang bahan warna hitam dan kemeja batik, juga sepatu pantofel. Dia bersiap untuk menjemput Rani ke kostnya. Rani ternyata sudah menunggu. Gadis itu tampak memakai gaun batik selutut yang motifnya mirip dengan kemeja batik yang dipakai Haris, dan sebuah legging membalut kakinya.
Sampai di kampus Haris memarkirkan motornya. Ternyata sudah cukup ramai. Rani berbasa-basi sejenak dengan teman-temannya, sambil memperkenalkan Haris sebagai kakaknya. Setelah itu mereka langsung menuju ke aula tempat acara.
Karena memang acara belum dimulai, mereka memilih untuk menunggu di depan aula, bersama dengan mahasiswa lain yang datang bersama dengan orang tua mereka. Kembali Rani menyapa teman-temannya yang ada disitu. Banyak yang mengira kalau Haris adalah pacar Rani, karena mereka memakai pakaian yang sama, couple-an. Tapi kemudian Rani memperkenalkan kalau Haris ini adalah kakaknya.
“Oalah, masmu tho Ran, kirain pacar kamu, hehe,” ucap seorang temannya.
“Hehe bukan kok. Ini masku, aku kan belum punya pacar, nggak boleh nih sama mas Haris,” ucap Rani sambil melirik Haris.
“Lah, siapa yang ngelarang, kamu aja paling nggak ada yang suka, haha,” sahut Haris.
“Enak aja, banyak tau yang suka,” jawab Rani cemberut.
“Haha, iya mas, banyak yang suka sama Rani, tapi Raninya yang cuek tuh,” sahut salah satu teman Rani.
Haris hanya tersenyum saja melihat Rani dan teman-temannya saling sahut-sahutan. Tadinya dia merasa akan kurang nyaman dengan acara ini, tapi karena teman-teman Rani cukup enak dan cepat akrab, diapun jadi gampang untuk berbaur. Dia juga berkenalan dan ngobrol dengan orang tua dari beberapa teman Rani. Hanya untuk berbasa-basi, menanyakan tentang pekerjaan dan hal-hal seputaran itu.
Tak lama kemudian mereka dipersilahkan masuk ke aula karena acara akan segera dimulai. Rani mengajak Haris untuk duduk di kursi yang agak di depan. Acara malam itu dimulai dengan pemutaran video tentang jurusan Rani, semacam promosi karena isinya adalah menampilkan tentang beberapa prestasi yang didapat oleh anak-anak di jurusan itu, kemudian juga fasilitas-fasilitas dan banyak hal tentang jurusan itu.
Setelah selesai pemutaran video, seorang gadis yang menjadi MC maju ke depan untuk memandu acara. Dan betapa terkejutnya Haris, MC acara ini tak lain adalah wanita yang dia harapkan bisa bertemu lagi. Haris sampai mengucek matanya, belum percaya dengan apa yang dia lihat. Tapi ini benar, MC itu adalah gadis yang dilihatnya di bioskop, dan di toko buku tempo hari.
“Ran, itu MCnya siapa?”
“Kenapa emang mas?”
“Kamu inget kan waktu kita di bioskop aku bilang kalau aku liat cewek? Yang aku liat tu ya itu, si MC itu.”
“Yang bener mas?”
“Iya bener, sama beberapa hari yang lalu aku ketemu sama dia di toko buku, sempet bantuin dia ambil buku juga, tapi belum sempat kenalan. Dia itu siapa?”
“Oalah, dia itu mbak Anin, seniorku mas. Dia sekarang lagi ambil S2. Dia asisten dosen disini, dan kayaknya nanti juga bakalan jadi dosen disini.”
‘Ooh, jadi namanya Anin? Nama yang indah, seindah orangnya.’
“Heh mas, kok malah diem? Kenapa sih?”
“Eh, oh nggak papa Ran, hehe. Akhirnya aku tau juga siapa namanya.”
“Ya elah mas, kirain apaan. Mau dikenalin entar?”
“Eh, boleh Ran boleh. Tapi, dia udah nikah belum? Atau, udah punya pacar belum?”
“Kalau nikah sih belum mas, kalau pacar aku nggak tau.”
“Ooh gitu. Ya udah, entar kenalin sama dia ya?”
“Iya iya.”
Haris tersenyum lebar, hatinya juga tersenyum. Akhirnya doanya yang tidak seberapa itu terjawab juga, bertemu lagi dengan gadis itu, dan sekarang sudah tahu siapa namanya. Ya, gadis dalam bayangannya itu sekarang sudah bernama, dan namanya adalah Anin. Entah Anin siapa, nanti saja dia tanyakan lagi, yang penting sudah ada panggilan yang mungkin akan sering dia sebutkan nantinya.
Tiba saatnya makan malam, para mahasiswa dan orang tua mereka dipersilahkan untuk bergantian mengambil di bagian belakang, yang sudah disiapkan oleh panitia. Rani dan Haris juga ikut mengantri. Setelah mendapatkan makanannya, Rani tak kembali ke tempat duduk mereka tadi.
“Loh Ran mau kemana?”
“Bentar mas, mau nemuin mbak Anin, mau ikut nggak? Katanya mau kenalan tadi?”
“Eh iya iya, ikut, hehe.”
Haris ikut saja kemana Rani melangkah, dan dia memang ternyata menuju ke sebuah kursi, dimana Anin duduk disitu bersama beberapa orang lainnya. Kebetulan sekali 2 kursi di samping Anin kosong, Rani dan Haris segera duduk di kursi itu. Anin menoleh dan hanya tersenyum melihat siapa yang datang, tak tampak keterkejutan di wajahnya.
“Malem mbak Anin.”
“Eh, malem Rani,” jawabnya tersenyum.
“Oh iya, kenalin mbak, ini masku, mas Haris, tadi bilangnya pengen kenalan sama mbak, hehe.”
Anin yang mendengar itu hanya tersenyum, sementara mata Haris langsung melotot ke arah Rani yang malah cekikikan. Tapi tak lama kemudian Haris mengulurkan tangannya, yang disambut dengan hangat oleh Anin.
“Haris, Haristama Nagoya.”
“Anin, Anindya Sahari.”
Baik Haris maupun Anin sama-sama tersenyum, dan cukup lama tak melepaskan jabat tangan mereka.
“Ehem ehem, ini kapan makannya kalau salaman terus?” ucap Rani menyela mereka.
“Ah kamu ini Ran, ganggu aja,” ucap Haris sewot, tapi segera menarik tangannya, sedangkan Anin hanya tersenyum melihat kakak beradik itu.
Tak banyak yang mereka bicarakan saat makan malam ini. Setelah selesai acara makan malam, Haris dan Rani kembali ke tempat duduk mereka tadi dan Anin kembali memandu acara. Haris tak mempedulikan isi acara karena dari tadi terus menatap Anin. Anin beberapa kali membalas senyum Haris saat keduanya saling beradu pandang.
Tak terasa acara itupun selesai juga. Waktu sudah menunjukkan jam 10 lebih. Beberapa orang langsung meninggalkan aula, Haris dan Rani masih bertahan. Sebenarnya Rani hanya menunggu kakaknya saja, karena sepertinya kakaknya itu ingin ngobrol lagi dengan Anin. Dan ternyata, Anin juga menghampiri mereka.
“Belum pulang Ran?”
“Belum mbak, mas Haris mau nginep sini kayaknya tuh, hehe.”
“Hush kamu itu lho Ran. Itu kan masih rame, entar aja keluarnya, nunggu sepi,” jawab Haris sambil menunjuk pintu keluar.
“Oh iya, Anin sama siapa tadi berangkatnya?” tanya Haris berbasa-basi.
“Sendirian kok mas. Oh iya, makasih ya buat yang tempo hari, udah bantuin aku.”
“Ah nggak masalah, cuma gitu doang kok. Terus, ini pulangnya gimana? Berani sendirian?”
“Berani lah mas, rumahku deket kok.”
“Oh, emang dimana rumahnya?”
“Itu mas, di samping kantor polsek,” Anin memberitahukan alamat rumahnya.
“Di samping polsek? Itu bukan rumah dinas kapolsek ya?” tanya Haris. Dia sudah cukup lama di kota ini dulunya, jadi cukup mengerti dengan kondisi di sekitar kampusnya, dan kebetulan kantor polsek yang disebut Anin tadi memang tak jauh dari situ.
“Iya mas, kebetulan ayahku kapolsek sini,” jawab Anin, tersenyum.
“Ooh, kamu putrinya kapolsek tho?” tanya Haris, Anin hanya mengangguk.
“Hayoo lho mas Haris, anaknya kapolsek lho ini, masih berani ngedeketin?” sahut Rani.
“Ya berani lah, ngapain takut? Kan niatnya baik,” jawab Haris.
“Niat baik?” sahut Anin tiba-tiba, sambil menatap ke arah Haris.
“Eh, anu, maksudnya, nggak ada niat buruk, gitu lho Nin, hehe.”
“Halah mas Haris suka malu-malu deh. Udah bilang aja sama mbak Anin, aku seneng kok kalau jadi adiknya mbak Anin,” sahut Rani sambil cekikikan.
“Rani apaan sih?” Haris kembali melotot ke adiknya itu.
Dia tidak marah, hanya malu saja. Apalagi dia dan Anin baru saja berkenalan, pembicaraan seperti itu tentunya bukan waktu yang tepat dibicarakan saat ini. Tapi Rani malah makin lebar tawanya, dan Haris melirik ke arah Anin, yang hanya tersenyum saja melihat kelakuan Rani.
“Eh itu udah sepi, yuk keluar. Udah malam nih,” ajak Anin. Haris dan Rani mengangguk.
Mereka kemudian berjalan keluar, dan langsung menuju ke tempat parkir. Ternyata Anin mengendarai sebuah mobil sedan warna metalik. Saat Anin berpamitan dan mau masuk ke mobilnya, Rani menyenggol pinggang Haris.
“Kenapa Ran?”
“Mbak Anin mau pulang tuh, nggak pengen nanya apa gitu?”
“Nanya apaan lagi emang? Udah malem lho.”
“Yaa apa kek, nomer telpon atau PIN juga bisa kan?”
“Oh iya.”
Haris langsung setengah berlari menghampiri Anin, dan Rani hanya cekikikan melihat kelakuan kakaknya itu.
“Hmm Anin,” panggil Haris sesaat sebelum Anin membuka pintu mobilnya.
“Iya mas, ada apa?” tanya Anin.
“Hmm, itu, boleh minta nomer telpon kamu nggak? Hehe.”
“Ooh, boleh kok.”
Setelah bertukar nomer telpon itu Anin kemudian pamit pulang. Setelah mobil Anin beranjak pergi, barulah Haris dan Rani pulang. Haris mengantar Rani dulu ke kostnya. Meskipun ini sudah lewat dari jam malam kostan, tapi karena tadi sudah ijin maka tak perlu takut tak dibukakan pintu.
Setelah mengantar Rani, Harispun pulang. Sepanjang jalan dia terus saja tersenyum. Akhirnya dia benar-benar berkenalan dengan Anin, bahkan sudah bertukar nomer telpon juga. Tahap pertama sudah dilewati dengan baik, berkat sebuah kebetulan lagi, dan juga bantuan dari Rani. Sekarang tinggal usaha Haris sendiri, untuk bisa mendekati bidadari tak bersayap yang beberapa hari ini terus membuatnya kepikiran.
===
+++
Selama seminggu ini dunia Haris benar-benar teralihkan. Dia sama sekali tidak memikirkan tentang Viona yang sempat membuatnya cemas. Saat ini yang ada dipikirannya cuma Anin seorang. Wanita yang telah berhasil mengalihkan seluruh perhatian Haris. Teman-teman di kantornya juga merasa sedikit heran dengan perubahan sikap Haris. Mereka sempat bertanya-tanya dalam hati apa yang membuat Haris seperti itu, meskipun mulai bisa menebak apa yang terjadi.
Dari sekian teman kerjanya, hanya Eva yang bisa menebak dengan pasti karena sebelumnya memang sudah pernah dicurhati oleh Haris. Awalnya Eva memang belum terlalu melihat perubahan itu, tapi lama-lama dia menyadarinya juga.
“Wah, kayaknya cita-cita kamu terkabul ya Ris? Jadi ceria banget akhir-akhir ini?”
“Hehe, iya mbak. Sukses lah pokoknya.”
“Jadi udah ketemu lagi sama cewek itu?”
“Udah mbak. Nggak cuma ketemu kok, kenalan, ngobrol, tukeran nomer juga. Aku juga udah tau dimana rumahnya, hehe.”
“Oh ya? Wah bagus dong? Emang gimana ceritanya Ris? Sini dong ceritain.”
“Entar aja deh mbak, masih jam kantor nih, kerjaan juga belum kelar.”
“Oh iya. Ya udah, entar jangan pulang dulu, cerita dulu ya.”
“Oke mbak.”
Eva meninggalkan Haris yang masih senyum-senyum di mejanya. Setelah pertemuan malam itu dengan Anin, memang mereka belum pernah ketemu lagi karena memang sama-sama sibuk. Komunikasi juga tidak terlalu sering, karena memang Anin agak jarang membalas pesan-pesan yang dikirim oleh Haris. Tapi dari setiap balasan Anin, Haris bisa tahu kalau gadis itu tidak menutup diri kepadanya. Dan itu yang membuat hati Haris begitu berbunga-bunga.
Seperti yang sudah dijanjikan, setelah semua pekerjaannya selesai dan memang belum waktunya jam pulang kantor, Haris masuk ke ruangan Eva. Ternyata disana ada pak Eko juga. Karena sudah terlanjur janji, dan karena merasa tak ada yang perlu ditutupi, Harispun bercerita tentang apa yang membuatnya seperti itu kepada Eva dan pak Eko.
“Jadi, siapa gadis yang udah bikin kamu sebahagia ini Ris?” tanya pak Eko.
“Haha, pak Eko main tebak aja nih?”
“Loh, bukannya main tebak, Eva udah cerita kok. Sekarang gantian kamu yang cerita.”
“Hehe, iya deh pak. Namanya Anin, Anindya Sahari,” ucap Haris, membuat pak Eko dan Eva saling tatap, kemudian tersenyum.
Haris kemudian menceritakan kepada pak Eko dan Eva, sejak awal dia melihat gadis itu, hingga akhirnya bisa berkenalan. Pak Eko dan Eva hanya diam dan tersenyum saja membiarkan Haris terus bercerita.
“Kayaknya kamu mau serius nih sama cewek itu Ris?”
“Hmm, yaa begitulah pak, hehe.”
“Udah yakin? Kan baru kenal?”
“Yaa makanya kan sekarang kenalan dulu pak, semoga aja memang jodohnya, hehe.”
“Ya udah, kenalan dulu, terus pacarin.”
“Hmm, enggak deh kayaknya pak.”
“Lah, terus?”
“Ya nggak usah pacaran, kalau emang cocok ya langsung nikahin aja, hehe.”
“Haha, serius kamu? Dikejar target apa gimana?”
“Bukan gitu sih pak, tapi kalau emang udah ketemu jodohnya ngapain ditunda-tunda lagi?”
“Nah, ya itu yang betul. Kok ada ya jaman sekarang pemuda macam kamu ini? Haha.”
“Macem saya gimana pak?”
“Iyalah, udah jarang anak muda jaman sekarang yang mau kayak gitu, maunya pacaran dulu, dirasain dulu, kalau cocok baru diresmiin, haha.”
“Haha, bapak nih banyak banget pengalaman kayaknya?”
“Bukan gitu Ris, tapi emang bener kan yang aku bilang? Contohnya kamu sendiri deh, pasti pernah kayak gitu?”
“Haha, wah malah buka-buka aib saya ini pak, hehe. Hmm, gimana ya, namanya juga anak muda pak, hehe.”
“Nah kan, ngaku juga. Tapi nih Ris, kalau boleh usul sih, kalau kamu bener serius sama dia, kamu juga harus cerita lho masa lalu kamu itu kayak gimana, harus sama-sama terbuka.”
“Iya pak, nanti setelah beneran resmi, saya pasti ceritain semuanya.”
“Wah lha kalau itu ngejebak namanya. Kalau mau cerita ya sebelum diresmiin dong,” sahut Eva.
“Lha kok gitu sih mbak?”
“Bener apa yang dibilang Eva Ris. Kalau mau cerita, sebelum kalian nikah. Tujuannya, biar dia tau bener kamu itu seperti apa, jadi nggak ada penyesalan di belakang nanti. Kalau udah nikah, terus baru tau kamu yang dulu itu kayak gimana, terus dia kecewa gimana, apalagi kalau dengernya dari orang lain.”
“Lha tapi kalau cerita sebelum nikah terus dia nggak mau sama saya gimana pak?”
“Ya berarti bukan jodohmu.”
Haris mengernyitkan dahinya. Dia memikirkan sejenak kata-kata pak Eko dan Eva. Haruskah dia mengkuti saran dari mereka.
“Gini lho Ris, kalau bener mau sama dia, ya dia harus tau aslinya kamu itu kayak gimana. Kamu tau jaman sekarang banyak pasangan yang cerai muda, bisa jadi karena mereka nggak saling terbuka sebelum nikah. Nah begitu udah nikah, ketauan aslinya, nggak terima, pisah deh. Kamu mau kayak gitu?”
“Hmm, gitu ya pak?”
“Iya Ris. Makanya buat dia yakin sama kamu, dan bisa nerima kamu yang apa adanya, bukan kamu yang dibuat-buat.”
Haris menganggukkan kepalanya. Dia sudah paham apa yang dimaksud oleh pak Eko, dan dia juga setuju. Meskipun dalam hatinya sekarang jadi ragu, apakah Anin nantinya bisa terima kalau sudah tahu masa lalunya seperti apa. Tapi memang lebih baik Anin tahu duluan, dan itu langsung dari mulutnya sendiri. Dia sangat setuju dengan pak Eko, dia harus bisa meyakinkan gadis itu terhadap dirinya, karena saat ini, meskipun belum terlalu mengenal Anin, dia yakin kalau gadis itu yang akan dia pilih untuk menjadi pendampingnya kelak.
===
+++
“Lidya.”
“Eh, iya bu, ada apa?”
Viona tak langsung menjawab, dia melirik ke arlojinya. Lidya tahu apa yang dimaksud Viona, jam kantor sudah lewat.
“Buru-buru nggak?”
“Hmm, nggak sih mbak, santai aja. Ada apa mbak?”
“Kamu udah dapet info dari kakakmu belum? Soal Titus.”
“Oh iya, lupa tadi mau ngasih tau mbak Viona. Udah mbak, kemarin kakak baru aja cerita sama aku.”
“Terus gimana? Kok bisa si Titus itu udah bebas?”
“Jadi gini mbak, orang yang namanya Titus itu, ternyata udah lama bebasnya, udah beberapa bulan ini lah. Dia bebas karena ada yang ngejamin, dan itu bukan orang biasa mbak. Kalau kata kakak sih, dia salah jenderal di pusat sana, dan orang-orang pada nggak berani ngebantah dia.”
“Huft, aku udah ngira bakal kayak gitu sih. Orang kayak dia, pasti punya backingan orang kuat. Harusnya dihukum seumur hidup, sekarang malah udah bebas.”
Viona menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, seperti ada beban berat yang sedang dia pikirkan.
“Mbak?”
“Iya, kenapa?”
“Hmm, soal mas Aldo, gimana?”
“Entahlah Lid, aku bingung. Sejak pulang dari Jogja kemarin, aku baru 2 kali dateng kesana. Dia masih diperpanjang masa rehabnya, dan dokter disana belum bisa mastiin sampai kapan. Sepertinya, mas Aldo sedang ditahan sama polisi. Terus terang, aku jadi males ketemu sama dia. Selama ini ternyata dia nyembunyiin sebuah kebohongan besar di belakangku. Dan mungkin saja, dia malah udah tau masa laluku seperti apa, kalau dia benar-benar ada hubungan sama Titus.”
“Hmm, terus, mbak Viona maunya gimana?”
“Kalau maksud dari pertanyaanmu itu aku masih mau terus sama dia atau enggak, jujur aku masih bingung. Semakin aku banyak tau, semakin aku pengen pisah dari dia Lid. Kamu tau sendiri kan, betapa bencinya aku sama Titus, dan orang-orang yang berhubungan sama dia.”
“Mbak Viona belum coba omongin ini sama dia?”
Viona menggeleng. “Belum, belum nemu waktu yang pas. Tiap aku kesana, dia tuh bener-bener kayak mas Aldo yang kita kenal sekarang. Kemarin sempet aku mau omongin ini sama dia, tapi begitu lihat dia, kok rasanya jadi ragu-ragu lagi.”
“Ya udah, kita pulang aja kalau gitu. Aku juga ada janji nih, katanya Andi mau ke rumah, ada yang mau dibicarain.”
“Mas Andi? Ada apa emang mbak?”
“Nggak tau juga, dia belum mau bilang, entar aja di rumah katanya.”
“Oh gitu. Ya udah yuk pulang mbak.”
Keduanya pun mengemasi barang-barang mereka, lalu pergi meninggalkan kantor. Sudah banyak karyawan yang pulang, hanya tersisa beberapa saja yang masih lembur. Seperti biasa, jalanan ibukota selalu macet pada jam-jam pulang kantor seperti ini, tapi Viona tak perlu terlalu risau karena dia tidak membawa mobil. Dia sedang malas membawa mobil sendiri, sudah beberapa hari ini dia naik ojek. Tapi hari ini Andi bilang kalau akan menjemputnya. Viona awalnya keberatan, tapi karena Andi memaksa Vionapun ikut saja.
Begitu keluar dari kantor, sudah terlihat oleh Viona kalau Andi menunggu di seberang jalan. Setelah berpamitan dengan Lidya, dia langsung menyebrang dan pulang bersama Andi. Tak banyak yang mereka bicarakan selama perjalanan. Sepertinya Andi juga agak buru-buru, yang penting sampai rumah Viona dulu. Viona sempat curiga Andi ada maunya, tapi dia berpikir positif saja, karena terakhir kali bersama Andi, tidak ada apapun yang terjadi diantara mereka.
“Masukin aja motornya Ndi kalau emang lama,” ucap Viona saat mereka sampai rumah.
“Nggak papa emang?”
“Nggak papa, daripada di luar gitu.”
“Ya udah deh.”
Andi menuruti Viona, dia masukkan motornya lalu menutup pagar tanpa menguncinya. Setelah itu mereka masuk ke rumah, Andi duduk menunggu di ruang tamu, sedangkan Viona masuk untuk berganti baju.
“Loh, nggak mandi sekalian?” tanya Andi saat Viona keluar dari kamarnya, sudah dengan baju rumahan santai.
“Nggak, entar aja. Lu kelamaan nunggu ntar kalau gua pake mandi dulu.”
“Yaelah nggak papa kali Vi, santai aja.”
“Udah nggak papa kok. Jadi gimana, lu mau bahas soal apa?” tanya Viona to the point.
“Nggak ditawarin minum dulu?”
“Astaga, maaf maaf, hehe. Mau minum apa Ndi?”
“Haha, apa aja deh.”
Viona kemudian ke dapur untuk mengambilkan Andi minum, lalu kembali lagi ke ruang tamu.
“Jadi gini Vi, ini tentang Titus,” ucap Andi.
“Ada apa sama dia?”
“Jujur aja, sebenarnya gua tau kalau lu udah ketemu dia di Jogja kemarin. Haris yang ngasih tau. Dia minta tolong sama gua buat jagain lu karena curiga ada orang-orangnya Titus yang ngikutin lu disini. Dia juga minta supaya gua nggak bilang ini ke elu sih.”
“Hadeeh tuh anak ya, udah dibilang jangan, masih aja bilang.”
“Iya, dia bilang lu nggak mau ngasih tau ini ke gua kan? Kenapa emang?”
“Yaa nggak papa, takut ngerepotin aja.”
“Takut ngerepotin atau takut gua minta macem-macem lagi?”
Viona melirik Andi dengan tajam, Andi malam ketawa.
“Haha, nggak usah mikir yang aneh-aneh, gua nggak akan minta itu lagi kok, lu bisa pegang omongan gua.”
“Hmm, terus, kenapa lu nemuin gua dan bilang ini? Bukannya Haris udah minta supaya lu jangan bilang?”
“Iya sih, tapi gua rasa ini perlu. Jadi gini, mulai hari ini gua dinonaktifkan dari tugas dinas Vi.”
“Maksudnya, lu dipecat?”
“Bukan, bukan dipecat. Cuma nonaktif aja.”
“Kok bisa gitu? Emang kenapa?”
“Karena gua dapet tugas khusus, buat nyelidikin si Titus ini.”
“Maksudnya?”
“Gua dapet perintah khusus, bisa dibilang ini tugas rahasia. Seseorang dari pusat, minta sama gua dan kapolres gua buat menyelidiki ini, setelah dia tau masalah Aldo. Karena itu gua dibebastugasin, biar lebih leluasa bergerak.”
“Hmm, oke. Terus, hubunganya sama gua?”
“Sorry Vi, karena selain Aldo ada kaitannya sama orang ini, hmm, sekali lagi sorry, elu juga pernah ada kaitannya sama Titus.”
“Iya Ndi, tapi itu kan udah lama banget. Lu mau libatin gua juga?”
“Tadinya sih enggak, tapi setelah tau lu ditemuin sama Titus, gua pikir iya. Bener apa yang dikhawatirkan sama Haris, kemungkinan kalian ketemu sama dia disana bukan kebetulan. Dan kalau memang begitu, artinya sekarangpun lu ini sedang diawasi oleh orang-orangnya.”
“Terus?”
“Dan kalau prediksi gua bener, sebelum lu balik ke Jakarta, disana lu juga udah diawasi, mungkin diikuti sama anak buahnya Titus. Nah, kebetulan waktu itu, Haris nelpon gua pas masih di bandara, waktu nganterin lu pagi itu. Kalau bener kalian diikuti sama anak buahnya Titus, itu artinya, bisa jadi dia sudah tau kalau Haris nelpon gua, dan mungkin saja, sekarang Titus udah tau siapa gua.”
“Bentar bentar, kok gua agak bingung ya Ndi?”
“Gini deh, coba kalau posisinya dibalik, lu jadi Titus, apa yang baka lu lakuin kalau emang lu bener-bener ngejar seseorang? Pasti diikutin terus kan?”
“Hmm, iya sih.”
“Nah, karena mungkin pertemuan kalian itu bukan sebuah kebetulan, berarti bisa jadi kan lu sebenarnya udah diikutin sejak sebelum itu?”
“Yaa, bisa jadi.”
“Termasuk waktu lu pulang ke Jakarta Vi, lu sama Haris pasti diikutin sampai bandara. Salahnya Haris adalah, dia nggak langsung pulang waktu itu, tapi malah nunggu di bandara dan nelpon gua. Jadi bisa aja, orang itu tau tentang gua, dan apa yang diminta oleh Haris.”
“Hmm, ya ya, gua udah mulai ngerti sekarang. Jadi, Haris juga dalam bahaya dong?”
“Bisa jadi sih, tapi nggak sebahaya posisi kita.”
“Tunggu dulu. Kita?”
“Iya, gua juga termasuk, kalau emang Titus udah tau soal gua.”
“Kenapa lu juga termasuk? Kan harusnya nggak dong, kalau lu cuma diminta buat lindungin gua, harusnya nggak sebahaya itu dong?”
“Iya, kalau cuma ngelindungin lu. Tapi kalau Titus tau gua adalah orang yang berurusan sama Aldo? Pasti dia juga akan nyari banyak soal gua Vi.”
“Terus, kalau posisinya gitu, kenapa lu malah bebas tugas? Bukannya lebih aman kalau lu tetep dinas aja?”
“Iya, aman buat gua, tapi enggak buat elu.”
“Loh, gua? Emang kenapa gitu?”
“Karena lu termasuk prioritas dalam tugas gua. Kalau bener elu diikutin, gua jadi makin mudah buat ngawasin lu, sekalian, makin mudah buat nangkep orang yang ngikutin lu.”
“Apa nggak salah Ndi? Gini, gua mikirnya, kalau elu nggak dinas, lu pasti bakal kesulitan kalau misal nantinya bakal minta bantuan kan kalau ada apa-apa?”
“Masalah itu nggak perlu khawatir, meskipun gua bebas tugas, bukan berarti gua jalan sendirian. Yang jelas, gua bisa lebih bebas buat ngelindungin lu, sekaligus nyari siapa orang yang ngikutin lu, dan nangkep mereka.”
Viona terdiam sejenak. Dia merasa, Andi tidak sepenuhnya jujur dengan alasannya itu. Buatnya, terasa kurang pas, terasa janggal kalau alasan Andi seperti hanya seperti itu saja. Dia yakin, Andi punya alasan lainnya, tapi belum saatnya menanyakan sekarang, karena kalau memang Andi bisa setiap saat mengawasinya, itu memang akan lebih baik untuknya.
“Hmm, ya udah deh, apapun alesan lu, gua cuma bisa bilang makasih. Dan gua harap, lu bisa bener-bener pegang omongan lu.”
“Soal apa? Soal yang gua nggak bakal minta macem-macem?”
“Yaa, salah satunya.”
“Haha, tenang aja Vi, gua bakal pegang omongan gua. Kecuali, elu yang minta, haha.”
“Andi, jangan mulai ah!”
“Haha, bercanda Vi.”
Viona kini tersenyum menanggapi candaan Andi. Kalau sebelumnya dia pasti akan memasang wajah judesnya, kali ini tidak. Entah mengapa, dia merasa sekarang lebih tenang, lebih aman, dan lebih nyaman dengan adanya Andi.
“Hmm, satu lagi Ndi.”
“Apaan?”
“Soal Aldo, gimana?”
“Maksud lu?”
“Aldo sampai sekarang masih harus direhab, gua yakin ini pasti ada campur tangan polisi kan?”
“Iya, memang. Atasan gua yang merintah kayak gitu.”
“Boleh tau alesannya apaan?”
“Terus terang, gua juga nggak tau pastinya karena atasan gua juga nggak mau bilang. Tapi mungkin ini karena dia ada kaitannya dengan Titus. Mungkin kalau ada disana, gerak Aldo bakal terbatas. Dan disana juga sebenarnya ada petugas yang jaga, yang ngawasin dia, lu nggak tau aja siapa, dan gua rasa, lu nggak perlu tau, demi keamanan petugas itu sendiri.”
“Hmm, yaa, gua bisa maklum sih.”
“Lu sendiri, akhir-akhir ini jarang dateng kesana?”
“Gua males Ndi ketemu dia. Gua yang selama ini ngerasa kenal banget sama dia, ternyata dibohongin abis-abisan gini. Gua marah, gua kesel, tapi sampai sekarang gua belum bisa ngomongin ini sama dia.”
“Yaah, kalau masalah itu terserah lu sih, tapi kalau menurut gua, lu nggak perlu buru-buru ngomongin ini.”
“Iya, dan karena gua juga belum siap, kalau misalnya ternyata dia udah tau masa lalu gua seperti apa sama Titus.”
Andi hanya mengangguk. Dia tak terlalu peduli dengan hal itu, karena yang sekarang menjadi prioritasnya hanyalah Titus, dan juga Viona sendiri. Yang penting buatnya sekarang adalah Viona bisa menerima apa yang dia ceritakan dari tadi, meskipun ada satu hal yang belum dia sampaikan ke Viona, yang menjadi alasan sebenarnya, kenapa dia sampai harus dibebastugaskan untuk misi ini.
===
+++
Malam ini Haris sedang duduk di teras rumah Anin. Dia bersama Anin dan ayahnya Anin. Sudah cukup lama Haris berada disana. Ini untuk kedua kalinya Haris main ke rumah Anin, tapi baru kali ini bertemu dengan ayah Anin. Mereka hanya ngobrol ringan saja, sekedar perkenalan.
“Jadi nak Haris kerja di PT Dwiputra? Wah hebat juga ya, itu kan termasuk perusahaan besar di negeri ini.”
“Hehe, iya pak, ya sebuah keberuntungan sih buat saya.”
“Keberuntungan juga harus dikejar nak, bukan cuma ditunggu aja. Itu artinya, sebelumnya memang kamu sudah bekerja keras untuk bisa dapet keberuntungan itu. Yang saya tahu sih, masuk ke perusahaan itu nggak gampang lho.”
“Iya pak, memang tes masuknya lumayan susah. Malah, yang paling susah dari semua tes yang pernah saya ikuti.”
“Terus, disini tinggalnya dimana?”
“Saya masih kost pak, nggak terlalu jauh dari sini sih. Kebetulan saya udah cukup kenal sama daerah ini, jadi rasanya lebih nyaman kalau tinggal di daerah sekitar sini.”
“Iya sih, lebih nyaman tinggal di daerah yang kita udah kenal. Kalau gitu sering balik ke Solo dong?”
“Nggak juga sih pak, malah yang ada seringan orang tua saya kesini, soalnya kan adik saya juga kuliah disini.”
“Oh adiknya kuliah disini? Di kampus mana?”
Haris tak menjawab, dia melirik ke Anin.
“Adiknya mas Haris itu salah satu mahasiswinya ibu yah,” jawab Anin.
“Ooh gitu. Lha jadi kalian udah lama kenalnya dong?”
“Belum kok yah. Kalau sama Rani sih emang Anin udah cukup lama kenal, tapi kalau sama mas Haris, kami baru kenal waktu ada acara di kampus kemarin.”
Anin tersenyum pada Haris. Awalnya Haris bingung, tapi dia kemudian menyadari maksud Anin. Rupanya gadis itu malu-malu untuk menceritakan sebenarnya mereka pernah bertemu sebelumnya di toko buku. Harispun jadi ikut tersenyum.
Obrolan merekapun malam ini berlangsung cukup hangat. Ayah Anin ternyata orangnya cukup terbuka juga, dan itu membuat Haris merasa nyaman. Sebelumnya dia sempat berpikir seperti apa ayahnya Anin yang seorang kapolsek itu, sempat terbayang juga kalau ayahnya sosok orang yang keras, dan akan bersikap kurang ramah saat dia mendekati putrinya. Tapi semua anggapannya itu mentah malam ini.
Haris cukup senang dengan respon ayah Anin. Kemarinpun, saat pertama kali main ke rumah ini, Haris juga sudah bertemu dengan ibunya Anin, dan respon yang didapatkan juga sama seperti ini. Haris merasa jalan yang dia tuju, sudah beberapa langkah lebih dekat dengan tujuan akhirnya. Karena itulah dia berjanji dalam dirinya sendiri untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, berharap kalau gadis manis yang duduk di depannya itu adalah benar-benar jodohnya.
===
+++
“Selamat malam boss, lagi sibuk nggak?”
“Oh kamu Vin, ayo masuk. Lagi santai aja kok ini.”
“Iya, makasih boss.”
Titus mempersilahkan anak buahnya yang dia suruh untuk mengawasi Haris itu duduk di ruang tamu.
“Ada apa kok tumben dateng tanpa diminta? Ada info penting?”
“Iya boss, soal si Haris itu.”
“Ada info apa soal anak itu?”
“Gini boss, saya ikuti beberapa hari terakhir ini, kayaknya sekarang dia lagi deket sama seorang cewek.”
“Deket sama cewek? Apa istimewanya sampai kamu harus laporin hal kayak gini ke aku?”
“Yang istimewa, cewek itu adalah anak tunggalnya Aziz Sahari, polisi yang dulu pernah ngegerebek markas kita disini, yang sekarang dia jadi kapolsek boss.”
“Aziz Sahari? Oh iya iya, aku ingat sama orang itu. Wah kebetulan sekali kalau gitu ya. Bagus-bagus, sekali tepuk, 2 lalat bisa kena ini, hahaha.”
“Iya boss, sepertinya rencana kita akan lebih mudah.”
“Ya ya ya, bagus lah kalau gitu. Terus, udah sampai mana hubungan si Haris sama anaknya Aziz itu?”
“Belum apa-apa sih boss, baru deket aja. Tapi kayaknya ini serius sih, mungkin bisa jadi beneran.”
“Hmm gitu ya. Ya udah, gini aja, biarin aja mereka bener-bener jadi, baru nanti kita usik mereka.”
“Loh, nggak sekarang aja boss, mumpung mereka belum jadi?”
“Nggak, santai aja, nggak usah buru-buru. Kalau sekarang, cewek itu pasti masih sepenuhnya dalam pengawasan Aziz, tapi kalau udah nikah sama si Haris, pasti bakalan pisah rumah kan sama orang tuanya, dan disitu kita bisa lebih gampang buat menjalankan rencana kita.”
“Hmm, iya juga ya. Terus gimana boss? Berarti ada perubahan rencana kan kalau begitu?”
“Iya, itu pasti. Tapi yang penting, kamu tetep awasin aja mereka. Cukup awasin, nggak usah muncul, nggak usah gangguin. Aku nggak mau ribet entar kalau ada apa-apa.”
“Siap boss. Lagian saya juga udah ada target sendiri, si Rani.”
“Rani siapa?”
“Itu loh boss, adiknya si Haris.”
“Oh iya, aku lupa. Gimana? Udah sampai mana sama anak itu?”
“Saya udah kenalan sama dia, udah sempet ngajak keluar juga. Sepertinya sih nggak terlalu sulit, apalagi sekarang si Haris lagi deket sama anaknya Aziz.”
“Nah, bener itu, pepet terus, tapi nggak usah buru-buru. Makin lengket si Haris sama anaknya Aziz, makin gampang buat kamu ngedektin si Rani itu.”
“Iya boss, bener. Makanya sekarang saya main slow aja, main lembut.”
“Udah dimulai?”
“Udah boss, dikit aja sih tapi, biar dia nggak curiga.”
“Haha, bagus-bagus. Ya udah, kamu terusin aja semuanya, dan ingat, jangan bikin hal-hal yang malah ngerugiin kita.”
“Siap boss, beres.”
Bersambung