Part #17 : Petualangan Sexs Liar Ku
Selesai mandi aku masuk ke dalam kamar ku hanya dengan celana boxer dan handuk di leher ku tanpa atasan. Di dalam aku melihat Bu Lastri sedang menyetrika pakaian seperti biasa.
Melihat ku datang dia langsung menoleh dengan tatapan yang tidak bisa ku artikan. Aku cuek saja lalu melompat ke arah ranjang melewati gundukan pakaian yang belum disetrika.
Ku raih ponsel ku karena sedari tadi aku belum sempat mengeceknya, takut kalau saja ada pesan yang penting terutama dari kak Ranty.
Benar saja dia sudah mencoba menghubungi ku beberapa kali sejak tadi pagi. Aku kemudian mengirim pesan padanya kalau ponsel ku aku tinggal untuk mengikuti latihan.
Saat sedang mengetik tiba-tiba Bu Lastri menyeletuk.
“Kamu beneran suka sama nyonya?”
Deggg…
Perhatian ku teralihkan dari layar ponsel. Ku tatap Bu Lastri yang masih setia dengan setrikanya.
“Maksudnya gimana?”
“Saya tau kok kamu sama nyonya tadi di kamar ngapain!”
Duarrr…!!!
Jantung ku seakan meledak mendengar penuturan dari Bu Lastri. Ternyata aku kepergok olehnya saat sedang bercinta dengan Tante Dewi.
“E…em…tadi aku diajakin sama Tante Dewi kok, jangan kasih tau om Ginanjar ya,” mohon ku kepadanya.
Bisa gawat kalau Bu Lastri sampai mengadu ke om Ginanjar. Kalau dengan Justin mungkin aku hanya akan babak belur tapi kalau dengan dia bisa-bisa aku akan dijebloskan ke dalam penjara.
Bu Lastri menghembuskan nafas berat sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Saya akan adukan kamu ke tuan Ginanjar kalo seandainya kamu menyakiti nyonya Dewi.”
“Hah!?”
Aku terkejut mendengar perkataan Bu Lastri, belum paham apa yang dia maksud.
“Iya, tapi sepertinya itu gak terjadi, malah sebaliknya, nyonya merasa bahagia waktu ada kamu,” ujar Bu Lastri membuat jantung ku perlahan kembali ke tensi yang normal.
“Serius nih Bu, gak dibilangin ke om Ginanjar?” tanya ku memastikan lagi.
Dia mengangguk pelan.
“Saya ini udah kerja sama nyonya Dewi dari dia masih sekolah, dulu dia itu orangnya ceria, suka becanda, kalo ketawa gak jaim, humble, tapi setelah menikah dengan tuan Ginanjar, dia berubah jadi pendiam, murung, suka bengong, setelah kehadiran den Reihan hidupnya membaik tapi belum bisa mengembalikan seperti dulu, tapi…”
“Tapi?”
Bu Lastri menggantung kata-katanya.
“Tapi sejak kehadiran kamu di hidupnya, dia perlahan kembali seperti dulu, bahkan saya baru pertama kali lihat dia senyum pas liat kamu lagi main sama den Reihan tadi di ruang tengah.”
“Masa iya?”
Aku tidak sadar karena terlalu asik bermain dengan Reihan saat setelah pulang belanja tadi.
“Bahkan diam-diam tadi nyonya ngerekam pake hp waktu kalian lagi main loh, saya gak sengaja liat waktu lewat ruang tengah tadi.”
Aku tersenyum sembari mengangguk.
“Emm,, kalo seandainya tuan Ginanjar udah gak ada, kamu mau gak nikah sama nyonya?”
Bu Lastri bertanya sembari memangku dagunya di atas meja setrika.
“Hah?! maksudnya udah gak ada gimana Bu?”
“Ya semisal mereka cerai atau tuan Ginanjar meninggal gitu, hihihi…” jawab Bu Lastri seraya tertawa kecil.
“Hush! jangan gitu, orangnya masih ada kok.”
“Ini kan semisal, bukan ngarepin orangnya meninggal beneran Randy!”
Aku menghela nafas panjang.
“Hmm,, gimana ya? aku kan udah punya pacar Bu, entar pacar ku ditaruh dimana?”
“Alah, pacar mu suruh ke laut aja!”
Bu Lastri memajukan bibir bawahnya memprotes diri ku yang memikirkan pacar ku.
“Hehehe,, enak aja ibu ini.”
Ku cubit pipi Bu Lastri dan menggoyangkan ke kiri dan ke kanan.
“Ishhh, sakit tau Ran!”
Tangan ku di tepisnya ke samping.
“Coba Ran pikirin baik-baik, kalo kamu nikah sama nyonya, kamu bakalan kaya mendadak, secara terlepas dari suaminya, keluarga nyonya memang dari kalangan berada,” bujuk Bu Lastri terus menerus kepada ku padahal hal itu belum tentu terjadi.
“Hahaha,, aku bukan cowok matre Bu, gak kaya mantannya…”
Aku menghentikan kata-kata ku melihat ekspresi wajah Bu Lastri berubah. Aku tahu dia pasti merasa tersindir karena pengalamannya terdahulu sempat menjalin hubungan dengan lelaki yang kabur membawa semua tabungan Bu Lastri.
Aku jadi tidak enak dan merasa bersalah karena sudah keceplosan mengatakan hal sensitif seperti itu.
“M…maaf Bu, bukan maksud mau ngungkit masalah ibu,” ujar ku canggung.
Dia tampak tersenyum kecut.
“Kamu tau dari nyonya ya?”
Aku hanya mengangguk.
“Itu semua benar dan ibu harap kamu tidak seperti lelaki sialan itu!” ucap Bu Lastri dengan sedikit penekanan.
“Tenang aja, aku gak pernah manfaatin cewek demi uang kok.”
“Iya ibu tau, kamu juga sepertinya tulus sayang sama anaknya bahkan melebihi ayah kandungnya, kamu gak keberatan kan jadi ayah sambung Reihan?”
Pertanyaan Bu Lastri membuat ku terkejut, karena itu adalah perandaian yang sangat jauh. Namun aku tak bisa menjawab apa-apa dan hanya mengangkat kedua bahu ku.
“Liat nanti aja deh,” timpal ku memutuskan obrolan lalu beranjak keluar kamar karena ingin buang air kecil.
Skip…
Satu bulan berlalu begitu saja. Aku terlelap dengan peran baru ku yaitu menjadi sosok ayah bagi Reihan daripada menjadi supir untuk Tante Dewi.
Hari-hari itu juga aku dan Tante Dewi sudah selayaknya suami istri. Hal itu dibantu oleh Bu Lastri yang selalu memberikan kesempatan kami berduaan dengan mengajak Reihan tidur di kamarnya setelah selesai bermain bersama ku.
Siang itu, setelah kami melakukan persetubuhan yang panas, Tante Dewi masih rebahan di atas dada ku yang bidang. Aku memeluk punggungnya sembari mengelus pelan.
“Sayang!” panggilnya.
“Hmm?!”
“Aku mau ngomong sesuatu boleh?”
“Mau ngomong apa?”
“Tapi janji jangan marah ya.”
Ekspresi wajahnya tampak ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu yang ada di hatinya.
“Janji!” jawab ku singkat.
Tante Dewi menatap ku dalam. Telapak tangannya ia kepalkan lalu ia letakkan di atas dada ku dan dagunya ia tumpu di atas kepalan tangannya.
“Besok mas Ginanjar pulang ke rumah.”
Sejenak Tante Dewi diam untuk melihat perubahan ekspresi wajah ku.
“Oh, terus kenapa emangnya?”
Aku memasang raut wajah santai seakan itu bukan masalah besar, padahal dalam hati aku sedikit merasa cemburu.
“Kamu tau kan kalo sebenernya kamu gak dibolehin tinggal di sini sama dia, kamu cuma dibolehin beberapa hari sampai kamu dapat kontrakan.”
“Oh, ya udah nanti aku cari kontrakan dulu kalo gitu.”
“Sssttt…no!”
Jari telunjuknya menempel di bibir ku.
“Aku gak mau kamu tinggal di tempat sembarangan!” sergah Tante Dewi.
Ku pegang pergelangan tangannya lalu ku arahkan jarinya masuk ke dalam mulut ku. Dia mengikuti gerakan itu begitu saja.
“Aku ada kenalan yang punya apartemen gak jauh dari sini, nanti kita liat-liat yah,” ajaknya sembari memainkan jarinya di dalam mulut ku.
“Gak usah ahh, cari kontrakan yang murah aja, lagian aku gak sanggup bayar kalo apartemen,” tolak ku.
“Ihh, siapa yang suruh bayar.”
“Maksudnya gratis gitu?”
“Enggak, aku yang bayarin tenang aja sayang,” ungkapnya manja.
“Enggak ahh, kalo gitu nanti aku bayar nyicil ya.”
“Gak usah, orang akunya juga ikhlas kok.”
“Ihh, bukan gitu konsepnya sayang, gak sesuai sama prinsip ku.”
Aku mencubit hidungnya dengan jari telunjuk dan jari tengah ku yang ditekuk.
“Pokoknya nanti aku bayar nyicil,” tegas ku tak mau diganggu gugat.
“Hmm…ya udah deh terserah kamu aja.”
Tante Dewi kemudian menarik jarinya yang berada di dalam mulut ku lalu mengulum jarinya sendiri dengan sensual.
Aku hanya tersenyum melihat kelakuannya. Setelah itu dia bangkit dari atas tubuh ku dan beranjak menuju kamar mandi.
Setelah kami sama-sama membersihkan diri, kami bersiap pergi untuk melihat apartemen yang diceritakan oleh Tante Dewi.
Sebenarnya dari tadi Reihan merengek minta ikut dengan kami, tetapi Bu Lastri terus mengalihkan perhatian Reihan agar aku dan Tante Dewi bisa jalan berdua.
“Ayo Ran keburu Reihan minta ikut lagi,” ucapnya seraya menarik tangan ku menuju ke mobil.
“Kenapa gak diajak sekalian?”
“Repot nanti kalo tiba-tiba minta pulang gimana?”
“Oh, iya iya…”
Aku hanya manggut-manggut dan mengikuti saja permintaan dari Tante Dewi. Kami pun pergi ke apartemen yang dimaksud dengan menggunakan mobil yang aku kemudikan.
Sesampainya di sana kami sudah disambut oleh teman Tante Dewi yang sudah menunggu di dalam.
“Hay wi, apa kabar? lama gak ketemu, makin cantik aja,” sapa temannya yang ku ketahui namanya Mirna.
“Baik banget mir, kamu juga makin cantik dari waktu terakhir kita ketemu.”
Mereka lalu cipika cipiki kemudian membawa kami masuk ke dalam apartemen.
Aku tertegun melihat seisi apartemen itu tak menyangka bahwa aku akan tinggal di sini, dan mengingat berapa banyak uang yang harus aku keluarkan untuk itu.
“Gimana Ran? kamu suka gak sama tempatnya?”
Aku belum menjawab, masih melongo melihat kemewahan di sana.
“Randy?!” panggilnya lagi.
“Eehh,, iya Tan, bagus kok, cuma Randy mikir berapa tahun ya bayarnya kalo gini, hehehe…”
“Hugh, dibilang gak usah bayar juga.”
“Gak, tetep Randy bayar nanti,” ungkap ku tetap pada pendirian.
“Ini ponakan mu yang kamu ceritain kemarin, wi?”
Tante Mirna menunjuk ke arah ku namun matanya tertuju pada Tante Dewi. Dia tersenyum lalu mengangguk.
“Iya mir, gimana ganteng kan?” tanya Tante Dewi penuh rasa bangga.
“Mantap wi, pinter kamu nyari ponakan, hehehe…”
Aku mengernyitkan dahi ku, bingung atas apa yang sedang mereka bicarakan, yang jelas bukan ‘ponakan’ itu yang mereka maksud.
“Ehh iya wi, minggu depan kan ada acara reuni SMA, kamu ikut ya ehmm…siapa tau ketemu sang mantan, hehe…”
“Duh gimana ya mir, aku gak tau harus ngapain kalo ketemu sama dia, dulu aku udah ngecewain dia,” ujar Tante Dewi.
“Udah santai aja, kalian juga udah sama-sama menikah, gak ada yang perlu dikhawatirkan,” balas Tante Mirna menenangkan.
“Kamu bawa aja ponakan mu ini buat nemenin, aku yakin kalo suami kamu gak akan bisa, ya kan?” lanjut Tante Mirna.
Dia mengangguk pelan, membenarkan pernyataan dari temannya itu.
“Nanti aja deh aku pikir-pikir dulu,” putus Tante Dewi lalu sejenak menatap ku.
“Ya udah nanti kabarin kalo jadi, aku pulang dulu, gak enak sama mertua kelamaan nitipin anak.”
“Oke bye say!”
“Bye!”
Tante Mirna kemudian pergi meninggalkan kami berdua. Setelah pintu terkunci rapat, Tante Dewi kembali menghampiri ku.
“Gimana sayang, kamu suka kan sama apartemennya?” tanya Tante Dewi manja lalu duduk di sofa ruangan itu.
“Terlalu mewah, hehehe…”
Aku menyusulnya duduk di sofa.
“Udah ambil aja, aku gak enak kalo harus batalin.”
Dia kemudian menyandarkan kepalanya di bahu ku, aku otomatis merangkul punggungnya.
“Iya deh, tapi nyicilnya lama gak papa ya.”
“Iih, dibilang gak usah juga ngeyel,” rajuk Tante Dewi seraya mencubit pinggang ku.
Saat itu wajah kami begitu dekat, mata kami saling bertemu. Perlahan kami memajukan bibir kami yang berjarak sekian sentimeter, dekat dan semakin dekat hingga…
Cuppp…
Bibir kami saling bertemu. Tante Dewi menarik nafasnya dalam, kami mulai permainan kedua kami di hari itu.
Dia mulai menjulurkan lidahnya masuk ke dalam yang ku sambut dengan kuluman di lidahnya.
“Achhh…mmhhh…nyyccppp…”
Ku raup semua kenikmatan dari mulut Tante Dewi. Aku letakkan tangan ku di pipinya, ku usap pelan penuh kelembutan.
Dari apa yang pernah kami lakukan, aku tahu kalau dia lebih menyukai permainan yang lembut dan romantis ketimbang yang bar-bar.
“Mau lagi Tante?”
Dia tampak cemberut mendengar perkataan ku.
“Dibilang kalo lagi berdua jangan panggil Tante.”
“Iya sayang, lupa hehehe…”
Tante Dewi kemudian memposisikan dirinya di atas pangkuan ku menghadap ke arah ku. Tangannya ia lingkarkan di leher ku, tangan ku aku letakkan di pinggangnya.
“Mumpung lagi berdua sayang, besok kayaknya gak bisa soalnya mas Ginanjar pulang.”
Aku hanya tersenyum lalu mengangguk. Kami kembali berciuman, sembari itu aku buka kancing blousenya satu per satu.
Dia membantu ku melepas pakaiannya setelah kancing terakhirnya terlepas, menampakkan gundukan dua gunung yang begitu menggoda dibalut bra krem yang sangat pas dengan ukuran payudaranya.
Ku cium belahan payudaranya, wangi tubuhnya membuat saraf di otak ku mengirimkan sinyal pada kontol ku untuk mempersiapkan diri.
Tampak Tante Dewi merasakan tonjolan di selangkangan ku membesar dan mengeras. Dia tertawa kecil kala berhasil membangunkan singa lapar.
“Sayang, aku mau kasih sesuatu buat kamu,” cakap Tante Dewi seraya menurunkan tubuhnya dari pangkuan ku menjadi berlutut di hadapan ku.
Dia buka kancing jeans yang aku kenakan lalu menurunkannya hingga terlepas. Niscaya hanya celana dalam yang masih tersisa membungkus kontol ku.
Dia hirup tonjolan yang tercetak di CD ku sambil memejamkan mata.
“Ssshhh…ouhhh…” desah ku merasakannya.
Tante Dewi kemudian menurunkan celana dalam ku hingga kini kontol ku yang tegak berdiri terpampang jelas di hadapannya.
Dia usap kedua paha ku dengan tangannya ke atas dan ke bawah. Lalu dia mendekatkan wajahnya ke arah kontol ku.
Cuppp…
Mula-mula dia mencium bagian tengah batang kontol ku, kemudian ia gesekkan bibirnya di sepanjang menara itu.
“Ouhhh…nikmat sayang!”
Itu pertama kalinya dia melakukan itu pada ku. Aku memang tidak pernah meminta oral seks padanya karena sungkan. Sekarang dengan inisiatif dan suka rela dia memberikannya pada ku.
Tangannya menggenggam batang kontol ku, dikocoknya sesaat sambil memandangi wajah ku yang mupeng.
“Jangan ketawa ya, ini pertama kalinya aku ngelakuin ini loh.”
“Hah!?”
Aku tak percaya dia belum pernah melakukan oral seks bahkan dengan suaminya sendiri?
Aku dapat membayangkan betapa membosankannya kehidupan seks mereka, pantas saya Tante Dewi benar-benar mencurahkan seluruh gairahnya kepada ku.
“Uhhh…sshhh…”
Kepala kontol ku sudah tenggelam di dalam mulutnya. Ia sedot-sedot kepalanya lalu lidah Tante Dewi menyapu lubang kontol ku sehingga membuat ku kegelian.
“Shhh…sayang…enakkk…”
Tante Dewi tersenyum, aku kira dia masih amatir karena itu baru pertama kali, namun pikiran ku salah, dia benar-benar lihat dalam melakukannya.
Dia kemudian mulai memaju mundurkan kepalanya di atas kontol ku. Beberapa kali giginya sempat mengenai dinding batang kontol ku hingga aku sedikit meringis.
Beberapa saat kemudian Tante Dewi melepaskan kulumannya di kontol ku. Saliva yang tertinggal membuat air liur tersambung antara kepala kontol ku dan bibir Tante Dewi.
Dengan posisi duduk aku buka kancing dan resleting celana Tante Dewi lalu menurunkan celana sekaligus CD yang dipakainya ke bawah.
Maka terpampanglah segitiga bermuda milik Tante Dewi dengan dibalut bulu tipis di atas lipatan memeknya.
Sejenak aku melirik wajah Tante Dewi. Dia tersenyum sambil membelai rambut belakang kepala ku.
Ku teruskan aktivitas ku di sana. Ku cium perut Tante Dewi yang rata tanpa lipatan lemak yang berlebih. Pusarnya ku jilati hingga dia menggelinjang.
“Achhh…ghellii…shayangg…” pekiknya.
Aku turunkan ciuman ku ke bawah hingga mencapai vaginanya. Bau harum nan semerbak menusuk hidung ku, tanpa ragu aku julurkan lidah ku membelah lipatan memeknya.
“Emphhh…therusss…nhikmattt…”
Dia angkat salah satu kakinya ke sofa, rambut ku diremasnya dan di tekan-tekan ke area sensitif itu.
Ku mainkan klitorisnya yang menonjol dengan tarian lidah ku. Tante Dewi kembali menggelinjang, wajahnya menengadah ke atas. Dia mencapai orgasmenya yang pertama.
“Ouhhh…Rhann…!!!”
Tubuhnya limbung dan hampir jatuh sebelum dengan sigap aku tangkap. Ku angkat tubuhnya ke dalam gendongan ku, dia secara otomatis melingkarkan tangannya di leher ku.
“Mhauuu…khemana…???”
“Kita cobain ranjangnya yuk!” ajak ku yang dijawab dengan anggukan oleh Tante Dewi.
Aku gendong dia menuju ranjang apartemen itu, ku rebahkan dia di atas kasur yang empuk. Sesaat kami berciuman dengan posisi aku menindih dirinya.
Setelah puas berciuman, kami masuk ke menu utama. Aku sudah bersiap di antara paha Tante Dewi. Dia mengangkat pinggulnya untuk membetulkan posisi.
Ku lebarkan kakinya dan ku tekuk ke depan. Tangan Tante Dewi membimbing kontol ku ke surga duniawi miliknya.
Saat posisinya pas, langsung ku tekan perlahan menikmati setiap gesekan dinding vaginanya di batang kontol ku.
“Ouhhh…ssshhh…!!!” desah kami berdua.
Saat itu posisi kontol ku sudah masuk sepenuhnya dengan lancar. Ku tatap mata Tante Dewi, ku sibakkan rambut di dahinya ke belakang sehingga wajah cantiknya terpampang jelas di hadapan ku.
Ku dekatkan bibir ku di telinganya seraya berbisik.
“I love you sayang.”
“Enghhh…!!!”
Tante Dewi mulai merintih kala aku mulai menggoyangkan kontol ku memompa memeknya.
Cleppp…cleppp…cleppp…
Bunyi kelamin kami saling beradu dengan irama yang santai. Kedua kaki Tante Dewi melingkar di pinggang ku.
Kami melakukannya dengan saling berpandangan. Dia menatap ku sembari menggigit bibir bawahnya.
“Achhh…shayanggg…akhuu…pinghinn…shepertiii…inhiii…shelamanyahhh…!!!”
Aku tersenyum kemudian mencium bibirnya.
“Aku juga,” jawab ku singkat.
Ku percepat pompaan kontol ku yang membuat tensi memanas.
Plokkk…plokkk…plokkk…
Pinggul kami saling menghentak membuat ranjang yang kami tiduri bergoyang-goyang.
Saat sedang berpacu meraih puncak kenikmatan yang hakiki tiba-tiba ponsel Tante Dewi berdering, dia sontak menyuruh ku untuk menghentikan pompaan ku.
“Mas Ginanjar telpon!”
Dia langsung mendorong tubuh ku hingga kontol ku terlepas dari memeknya.
Ploppp…
Sedikit keluar cipratan air kenikmatan kami menandakan dia sangat basah kala itu.
“Kok tau kalo dia yang telpon?”
“Nada deringnya sengaja aku bedain sama yang lain.”
Tante Dewi kemudian berlalu kecil menuju ke sofa yang tadi ia duduki sebelum ku gendong.
“Halo pah?” sapa Tante Dewi.
“….”
“Hah, jadinya sore ini pulang?”
“….”
“Oh, Reihan emm…lagi tidur nih.”
“….”
Karena lama menunggu aku hampiri Tante Dewi yang duduk dengan posisi setengah menungging memperlihatkan lubang yang banjir sehingga membuat sofa itu basah.
Iseng aku duduk di belakang dirinya, lalu tanpa meminta izin aku arahkan kontol ku ke vaginanya dan…
Blesss…
“Aihhh…!!!”
Reflek Tante Dewi membungkam mulutnya sendiri yang keceplosan.
“….”
“Ehngg…ehngak papa pahhh…”
Dia menjawab dengan terbata-bata. Dia lirik ke belakang dan melotot memprotes aksi ku.
Aku hanya tersenyum menggoda lalu perlahan ku pompa dengan ritme santai. Aku juga sempat melepaskan bra yang sedari tadi masih menempel di dadanya.
“….”
“Ehhh…udhah kok…shamaa…bibhii…”
“….”
“Ehnggakk…mamahhh…ghkkk…papa…kok…ya udhahh hati-hati di jhalannn ya pahhh…”
Tuuuutttt…
Telpon ditutup oleh Tante Dewi, kepalanya dia putar ke belakang, menatap tajam ke arah diri ku.
“Khamuuu…nakhalll…yahhh…!!!”
“Hehehe…lama sih, emang gak liat di sini ada yang cemburu,” tunjuk ku kepada diri ku sendiri.
Tante Dewi tertawa kecil mendengar itu.
“Masaa sih kamuuu cemburuuu…”
“Iya lah.”
Dia membetulkan posisinya di pangkuan ku. Kini dia duduk memunggungi ku. Kami mulai lagi aktivitas yang sempat tertunda tadi. Kali ini dia yang lebih aktif menarik turunkan tubuhnya di atas kontol ku.
Aku remas kedua bokongnya, ku bentangkan hingga aku dapat melihat lubang anusnya yang keriput.
Ku lumuri jempol kiri ku dengan air liur kemudian ku oleskan di lubang itu. Tante Dewi masih semangat menggenjot kontol ku.
Setelah lubang itu berpelumas, dengan sekali dorong jempol ku masuk ke Adam anusnya.
“Awhhh…shakittt…khamuuu…ngaphainnn…???”
Jempol ku seolah di apit oleh lubang yang sangat ketat. Aku coba tusuk lebih dalam.
“Anghhh…!!!”
Tante Dewi menjerit kesakitan. Sontak aku keluarkan lagi jempol ku.
“Maaf sayang.”
“Jhangann…ghituu…laghii…sakhitt…tauu…”
Kami kemudian lanjutkan permainan kami. Tante Dewi bergoyang semakin cepat di pangkuan ku.
“Ouhhh…shayanggg…akhuuu…mhauuu…nyhampeee…!!!”
“Ahhh, aku juga mau nyampe sayang, keluarin dimanaaa?”
“Di dhalemm…ajhaa…achhh…!!!”
Aku semakin semangat untuk memompa dari bawah. Keringat sudah membasahi tubuh kami walaupun ruangan ber AC.
Beberapa saat kemudian aku merasa akan sampai, maka dalam hitungan detik…
Crottt…crottt…crottt…
Dalam waktu yang bersamaan.
Srrtt…srrr…srrr…srrr…
Tante Dewi mencapai orgasme yang dahsyat. Tubuhnya bersandar di dada ku dengan kepala menengadah ke atas sambil mengatur nafasnya.
Setelah nafas Tante Dewi berangsur normal, wajahnya menatap ke arah ku, lalu…
Cuppp…
Pipi ku diciumnya sesaat.
“Makasih sayang, aku puas banget main sama kamu, sayangnya besok kita kayaknya gak bisa ketemu deh.”
Wajahnya ia benamkan di leher ku.
“Iya aku ngerti kok, hubungi aku kalo ada apa-apa ya,” pinta ku sembari membelai rambutnya.
Dia hanya mengangguk pelan. Kami lalu membersihkan tubuh kami dari sisa persenggamaan barusan.
Saat Tante Dewi sedang memakai pakaiannya kembali di depan cermin, aku datang menghampirinya dari belakang langsung memeluknya.
“Om Ginanjar jadinya pulang nanti sore?” tanya ku sambil mengelus perutnya yang rata.
“Iya nih, makanya harus pulang cepet, belum masak lagi.”
“Sambutannya udah kaya presiden aja,” sindir ku.
Tante Dewi tersenyum melihat wajah cemberut ku dari arah cermin.
“Kamu cemburu?”
“Iyalah!”
Dia membalikkan badannya lalu mengalungkan tangannya di leher ku.
“Aku juga penginnya di sini terus sama kamu, tapi gimana lagi udah tugas ibu negara,” jawabnya setengah bercanda.
Ku cium bibirnya, entah mengapa aku tak pernah bosan dengan hal itu. Bibirnya sudah menjadi candu ku. Setelah ciuman kami terlepas, dia kembali menyeletuk.
“Pulang dulu sayang,” pamitnya kepada ku.
“Aku langsung di sini hari ini?”
“Iya kan tadi kamu denger sendiri mas Ginanjar pulangnya dipercepat hari ini.”
Aku mengangguk pelan. Aku bahkan belum membawa pakaian apa-apa ke sini. Tapi ya sudahlah.
“Kalo ada waktu main ke sini ya bawa Reihan.”
Tante Dewi tersenyum karena tahu aku menyayangi anaknya juga bukan hanya menyayangi ibunya.
“Pastinya,” jawabnya singkat.
Aku mengantarkan dia sampai ke pintu, setelah dia hilang dari penglihatan, aku kembali masuk ke dalam apartemen.
Saat duduk di sofa aku melihat sebuah tas kecil. Ya itu tas milik Tante Dewi yang tertinggal.
“Waduh teledor amat dia ya,” batin ku.
Aku kepo ingin membuka isi tasnya. Di dalam sana hanya terdapat dompet dan berbagai kosmetik. Namun ada satu benda yang menarik perhatian ku.
Benda yang fungsinya sama dengan benda yang pernah diberikan oleh Bu Siti kepada ku dahulu, tapi ini bentuknya digital.
“Testpack!” pikir ku.
Ku ambil benda itu. Aku terbelalak saat mata ku menangkap dua buah garis melintang di sana.
“Hah?! Tante Dewi HAMIL?!
Bersambung