Part #14 : Petualangan Sexs Liar Ku
Hari pertama kursus mengemudi membuat hubungan ku dengan Tante Dewi menjadi dekat, dan hal yang tidak aku sangka dia secara mengejutkan telah mencium pipi ku.
Meski di perjalanan kami sama-sama terdiam membisu, tetapi aku dapat melihat raut wajahnya tampak senyum-senyum sendiri.
Sebelum benar-benar pulang ke rumah, kami mampir untuk membeli beberapa jajanan untuk Bu Lastri yang telah bersedia menjaga Reihan.
Sesampainya di rumah, kami langsung disambut oleh Reihan yang berlari ke arah kami, saat itu dia sedang bermain sendirian, Bu Lastri entah dimana. Tanpa diduga justru Reihan bergelayut memeluk kaki ku.
“Duh Reihan kangen sama om Randy ya, hehehe…” canda Tante Dewi.
Tanpa pikir panjang aku langsung mengangkat Reihan ke dalam gendongan ku di bagian dada menyerong ke samping.
“Udah cocok belum jadi papanya Reihan? Hehehe…” pungkas ku menimpali candaannya.
Wajah Tante Dewi kembali memerah kemudian berkata,
“Cocok banget.”
Lalu dia mendekat dan mencium pipi kiri anaknya yang berada di gendongan ku. Aku juga merespon dengan mencium pipi kanan Reihan.
Kemudian Reihan merangkul leher ku dan leher Tante Dewi secara bersamaan lalu seketika memundurkan wajahnya seraya mendorong wajah kami ke depan dadanya, membuat wajah ku dan Tante Dewi begitu dekat. Sangat dekat hingga hidung kami saling bersentuhan.
Aku dapat merasakan hembusan nafas Tante Dewi dari mulutnya yang harum. Mata kami saling berpandangan erat.
“Mama papa iyum.” (Mama papa cium) ucap Raihan.
Mendapat restu dari anaknya, aku kemudian semakin mendekatkan bibir ku ke bibir Tante Dewi, dia tampak memejamkan mata. Saat bibir kami hanya berjarak sepersekian milimeter tiba-tiba.
“Maaf nyonya, saya tadi…”
Bu Lastri menahan kata-katanya saat melihat kami akan berciuman. Reflek kami langsung melepaskan rangkulan Raihan yang melilit di leher kami. Tante Dewi panik melihat ekspresi wajah terkejut dari Bu Lastri.
“Eh bi, darimana?”
Bi Lastri terlihat menunduk, tangannya ia satukan di depan celah pahanya.
“Ta…tadi saya tinggal jemur pakaian di belakang,” jawab Bu Lastri terbata.
“Ya udah bibi lanjutin aja, biar Reihan sama saya.”
“Baik, kalo gitu permisi nyonya.”
Setelah itu Bu Lastri pamit kepada kami dan kembali ke belakang. Sesaat aku lirik Tante Dewi, dia juga melirik ke arah ku dengan ekspresi yang tidak bisa aku jelaskan.
“Maaf Ran, Tante juga gak tau kenapa Reihan tiba-tiba jadi manja gitu sama kamu, padahal sama papanya gak pernah kaya gitu,” akunya kepada ku.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Reihan lalu memeluk leher ku dan membenamkan wajahnya di bahu ku.
“Reihan panggilnya om bukan papa, kalo papa lagi kerja sayang,” tukas Tante Dewi sambil membelai rambut anaknya yang berada di pelukan ku.
“Da, papana eyan.” (Gak, papanya Reihan) respon Reihan sembari mempererat pelukannya kepada ku.
Kami berdua tertawa bersama mendengar ucapan anak itu yang belum sempurna.
“Aku jadi papanya Reihan juga mau kok Tan,” canda ku yang membuat wajah manis Tante Dewi kembali memerah.
Dia hanya mencebikkan bibirnya.
“Yee,, papa eyan anteng.” (Yee papa Reihan ganteng)
Kami lagi-lagi tertawa akan tingkah Reihan. Dia kemudian mencubit pipi Reihan dengan gemas.
“Reihan seneng punya papa ganteng?” tanya Tante Dewi kepada anaknya itu.
“Neng!” jawab Reihan singkat sambil mengangguk pasti.
Setelah itu aku kemudian menurunkan Reihan dari gendongan ku.
“Aku ke belakang dulu ya Tan, mau ganti baju,” tukas ku yang disambut senyuman dan anggukan darinya.
Aku pun pergi menuju kamar ku sambil membawa jajanan yang aku beli tadi sebelum pulang.
Saat aku masuk ternyata Bu Lastri sudah berada di dalam sedang duduk kursi setrika dan memainkan hpnya.
Melihat ku yang tiba-tiba masuk, dia langsung menaruh ponselnya dan kembali menyetrika baju.
“Pantes aja gak selesai-selesai, disambi main hp ternyata,” batin ku.
Aku lalu masuk dan duduk di ranjang ku yang bersebelahan dengan meja setrikanya. Aku taruh jajanan yang ku bawa di sudut meja.
“Nih Bu aku beliin jajan dimakan dong.”
Bu Lastri menoleh singkat kala aku membuka bungkus yang terbuat dari dus, namun dia tak kunjung mengambilnya. Aku cuek mengambil jajan itu dan memakannya.
Karena gerah, aku kemudian membuka kaos yang aku kenakan sehingga aku bertelanjang dada dan menampilkan tubuh ku yang atletis.
Ku sandarkan punggung ku di sandaran ranjang dengan tangan ku lipat di belakang kepala ku menampakkan ketika ku yang ditumbuhi rambut tipis.
“Kamu suka sama nyonya ya?” tanya Bu Lastri yang membuat ku terkejut.
Dia lantas menatap ku tajam.
“Kalo iya kenapa Bu?” timpal ku berusaha santai.
“Ati-ati,, kamu gak tau siapa itu tuan Ginanjar, kalo beliau tau bisa habis kamu!” ucap Bu Lastri mengingatkan.
“Emang dia siapa Bu?”
Aku merasa antusias dengan ucapannya.
“Pokoknya kalo beliau bilang kamu habis hari ini, ya kamu pasti habis hari ini beneran!”
“Tapi aku pernah ketemu sama dia, orangnya baik kok,” ujar ku menyanggah kata-katanya.
“Ibu gak bilang beliau jahat kok! tapi itu semua balik ke kamu karena itu hidup kamu, ibu cuma ngingetin.”
Aku mengangguk pelan.
“Ibu bilang gini karena tadi ibu liat kamu ciuman sama nyonya.”
Sebenarnya saat itu aku akan jujur kalau tadi aku tidak sempat berciuman dengan Tante Dewi karena terlanjur kepergok oleh bu Lastri, tetapi aku mendapatkan ide untuk sedikit berbohong.
“Tapi tadi Tante Dewi gak nolak waktu aku cium bibirnya, dia malah kaya nikmatin gitu,” pungkas ku sambil menaikkan dahi ku.
“Itu karena nyonya juga suka sama kamu,” balasnya.
“Tau darimana Bu, kalo Tante Dewi juga suka sama aku?”
Bu Lastri menghembuskan nafas dalam.
“Kamu cowok gak peka apa gimana? dari cara nyonya mandang kamu aja saya udah tau kalo nyonya suka sama kamu,” ungkap Bu Lastri yang secara tidak sadar membuat hati ku terlontar ke sana kemari seperti pin bowling.
Aku senyum-senyum sendiri membayangkan hal itu, sampai Bu Lastri membuyarkan lamunan ku.
“Hush,, mikir apa kamu nih? nyonya itu majikan kamu, inget derajat kamu itu beda sama beliau,” ujar Bu Lastri mengingatkan.
“Ahh,, Bu Lastri nih, baru aja diangkat tinggi-tinggi, langsung dijatohin,” protes ku kepadanya.
Bu Lastri terlihat mencibir namun tidak ada raut jutek seperti sebelumnya. Hal itu membuat ku berpikir kalau dia sudah tidak terlalu membenci ku.
“Ehh Bu, ngomong-ngomong ibu asalnya dari Purwokerto ya?” tanya ku berbasa-basi.
“Iya emang kenapa?” balasnya.
“Aku juga hehehe…”
Dia menoleh sambil melongo.
“Serius kamu?”
Aku hanya mengangguk.
“Daerah mana?”
Aku kemudian menceritakan tentang asal usul ku. Aku juga bertanya tentang Bu Lastri, dia terlihat begitu senang mengetahui aku berasal dari desa yang sama dengannya.
Dia cerita panjang lebar tentang keluarganya, tentang hidupnya di desa tanpa menyinggung masalah dirinya dan mantan suaminya yang kabur.
Kami pun jadi akrab karena pembahasan itu. Bu Lastri mulai terbuka, bahkan dia mulai merespon candaan ku dengan tertawa.
Obrolan kami berakhir ketika aku pamit untuk mandi setelah seharian aku menghabiskan waktu ku bersama Tante Dewi.
Skip…
Lima hari telah berlalu. Aku sudah cukup mahir dalam mengendarai mobil. Namun dalam kursus aturan tetap minimal sembilan kali pertemuan, setelah itu aku akan dinyatakan lulus.
Pagi itu aku tidak ada jadwal latihan, aku sedang membantu Bu Lastri mencuci piring di dapur. Kami ngobrol seperti biasa. Selama lima hari ini memang intensitas obrolan kami cukup banyak.
“Nak Randy udah punya pacar belum?” tanya Bu Lastri di sela-sela obrolan.
“Emang kenapa Bu?” tanya ku balik.
“Gak papa, saya ada anak cewek di kampung tuh, tahun ini mau lulus SMA.”
Aku tertawa kecil sambil mengangguk paham maksud dari pembicaraan itu. Belum sempat aku membalas ucapannya tiba-tiba Tante Dewi datang sambil menggendong anaknya.
“Randy, kamu bisa temani Tante sama Reihan belanja?” tukas Tante Dewi.
“Bisa kok Tan, kapan?”
“Sekarang,” jawabnya singkat.
“Siap Tan, kalo gitu Randy selesein ini dulu, habis itu langsung cus ganti baju.”
Dia hanya tersenyum dan mengangguk pelan, lalu pergi meninggalkan kami. Aku langsung secepat kilat menyelesaikan tugas ku pagi itu.
“Inget pesan saya, hati-hati!” ujar Bu Lastri mengingatkan.
“Iya bu tenang aja,” balas ku lalu pergi meninggalkan dirinya.
Setelah selesai berganti pakaian, aku kemudian menghampiri Tante Dewi yang sedang duduk di ruang tamu bersama Reihan.
“Papa!” tunjuk Reihan saat mengetahui kehadiran ku.
“Om sayang, bukan papa.”
Tante Dewi terlihat merevisi ucapan Reihan, namun anak itu menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Gak papa kok Tan, hehehe…” ucap ku memakluminya.
Kami pun bersiap menuju ke mobil yang masih terparkir di dalam garasi.
“Ran, kamu udah lancar belum nyetir mobilnya?” tanya Tante Dewi saat berada di samping pintu mobil.
“Udah lancar kok Tante,” jawab ku apa adanya.
“Kamu yang nyetir yah.”
Tante Dewi memberikan kunci mobilnya kepada ku.
“Tapi kan aku belum punya SIM Tan.”
Aku ragu dan takut akan kena tilang oleh polisi.
“Udah tenang aja, nanti kita tuker kalo ada polisi,” pungkasnya lalu masuk ke bagian mobil sebelah kiri.
Aku mau tidak mau menuruti permintaannya, dia kan memang majikan ku, dan ini tugas ku sebagai supirnya.
Aku kemudian memacu mobil dengan kecepatan sedang. Raihan yang sedang dipangku oleh ibunya terlihat sangat gembira kala itu, dia terus bernyanyi sepanjang jalan meskipun dengan nada yang tidak jelas.
“Ran, udah jago aja kamu nyetirnya,” ucap Tante Dewi.
Aku pun menoleh dan tersenyum.
“Kalo soal praktek sih cepet menguasai, tapi jangan suruh ngapalin teorinya aja, pusing! hehehe…” jawab ku dengan sedikit gelak tawa.
Tante Dewi hanya menimpali ku dengan senyuman manisnya. Aku kembali fokus ke jalanan takut aku menabrak sesuatu mengingat aku baru saja bisa mengendarai mobil.
Kami mengarah ke sebuah mall yang cukup besar di sana. Aku memarkirkannya di lantai dua parkiran.
Sebelum kami keluar dari mobil, aku menyeletuk.
“Tante yakin mau ke sini?”
Dia menganggukkan kepalanya meyakinkan ku.
“Apa Tante sama Reihan gak trauma?”
Secara tidak langsung aku menyinggung tentang kejadian beberapa waktu lalu yang membuat Reihan hampir saja kehilangan nyawa.
“Kan ada kamu yang jagain kita.”
Tante Dewi menyunggingkan senyum malu-malu.
“Lagian kejadian waktu itu karena keteledoran suami saya.”
“Emang gimana kronologisnya Tan?” tanya ku sambil memandang wajahnya yang memerah.
“Jadi waktu itu Reihan sedang di gendong sama papanya, Tante lagi lihat-lihat baju, terus sama papanya Reihan di dudukin di tepi, dan gak tau kenapa bisa-bisanya pegangannya lepas dan jatuh ke bawah,” jelasnya panjang lebar.
“Untung ada kamu yang jadi penyelamat Ran, makasih ya!”
Aku hanya tersenyum lalu mengangguk pelan.
“Ya udah, yuk keluar!” ajaknya.
Dia kemudian membuka pintu mobil dan keluar membawa Reihan bersamanya. Aku lalu menyusul mereka.
Kami kemudian masuk ke dalam area mall, Reihan berada di tengah, aku menggandeng tangan kanan Reihan, sedangkan Tante Dewi menggandeng tangan kiri Reihan.
Saat itu aku yakin bahwa orang-orang yang ada di sana pasti menganggap kami adalah pasangan suami istri.
Bahkan setelah itu tiba-tiba Reihan minta digendong.
“Papa ndong!” ucapnya seraya mengulurkan kedua tangannya ke atas.
Aku secara naluri langsung mengangkat Reihan ke dalam pelukan ku. Aku gendong Reihan di sebelah kanan.
“Maaf Ran, kamu jadi repot gini, Reihan mintanya aneh-aneh sih,” protes Tante Dewi kepada anaknya.
Reihan malah merespon dengan memeluk leher ku dan merebahkan kepalanya di bahu ku.
“Hmm…manja!” imbuh Tante Dewi lagi.
“Gak papa Tan.”
Aku kemudian meraih tangan kanan Tante Dewi lalu menggandengnya. Ia terlihat mengulum senyum sembari menunduk malu dengan perlakuan lembut ku namun tidak menolaknya.
Kami membeli beberapa barang yang sebagian besar adalah untuk Reihan. Dia terlihat sangat senang bersama ku.
Tante Dewi melipat tangannya di depan sambil menggelengkan kepala karena merasa diabaikan kami berdua yang sedang asik memilih mainan. Namun dari sorot matanya dia juga ikut menikmati momen ini.
“Makasih ya Ran, udah mau nemenin Reihan jalan-jalan, Tante baru pertama kali lihat Reihan sesenang ini loh,” akunya kepada ku.
“Aku juga seneng kok bisa jalan sama Reihan, berasa jalan sama anak sendiri hehehe…” canda ku.
“Ya udah, kamu aja yang jadi papanya Reihan, hehehe…”
Tante Dewi setengah tertawa mengatakannya. Wajahnya menunduk namun bola matanya tepat mengarah ke arah ku.
“Kalo jadi papanya Reihan berarti jadi suaminya Tante juga dong?” goda ku.
“Boleh juga tuh, hehehe…”
Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan sambil tertawa kecil. Aku pun tersenyum lebar mendengar jawabannya.
“Ayuk!”
Kemudian aku merangkul Tante Dewi untuk ikut bergabung bersama kami yang sedang memilih-milih mainan.
Setelah membeli mainan, kami kembali berjalan-jalan di area mall. Reihan terlihat sangat lengket kepada ku.
Dia bahkan sesekali sengaja memanggil ku dengan sebutan ‘papa’ ketika berada di dekat orang lain seolah secara tidak langsung dia memberi tahu kepada orang itu bahwa aku adalah ayahnya.
Kami kemudian menghabiskan waktu bermain di Timezone mall tersebut. Kami bermain bertiga dengan sangat riang.
Aku bahkan sampai mencetak rekor saat bermain lempar bola basket yang membuat Reihan bertepuk tangan gembira sambil melompat-lompat.
Namun tidak dengan Tante Dewi. Dia malah melongo melihat aksi ku yang memecahkan rekor mall tersebut yang sudah bertahan selama dua tahun.
Setelah bermain cukup lama di Timezone, kami lalu pergi untuk makan siang di area food court karena cacing di perut kami sudah demo.
“Ran, kamu jago yah main basket?” tanyanya setelah kami memesan makanan.
Aku kemudian jujur kepadanya bahwa sebenarnya aku datang ke Bandung untuk ikut seleksi timnas. Aku juga sudah mendaftar di tim Garuda Bandung tetapi aku harus mengubur mimpi ku tanpa mengatakan alasannya.
“Kenapa kamu gak bilang dari awal?” tutur Tante Dewi yang membuat aku mengerutkan dahi.
“Memangnya kenapa Tan?” tutur ku penasaran.
“Pelatih tim GB itu suami dari kakak Tante,” beber Tante Dewi.
Aku terkejut mendengar penuturannya. Ternyata pelatih tim GB adalah kakak ipar Tante Dewi.
“Kamu tenang aja, nanti Tante coba bilang sama dua buat mempertimbangkan kamu masuk ke timnya.”
Ucapan Tante Dewi membuat ku sangat senang. Aku merasa harapan ku untuk menjadi pemain basket profesional kembali bangkit setelah aku menguburnya beberapa hari lalu.
“Makasih Tante udah mau bantu Randy.”
Dia tersenyum dan mengangguk pelan, lalu mengelus punggung tangan ku yang berada di atas meja. Saat itu suasana hati ku sangat gembira.
Di saat pesanan sampai, kami mulai menyantapnya. Aku suapi Reihan yang berada di pangkuan ku, dia merespon dengan memakannya lahap. Tante Dewi hanya menyunggingkan senyum manisnya melihat kedekatan ku dengan anaknya.
Setelah selesai berbelanja atau lebih tepatnya jalan-jalan, kami memutuskan untuk pulang. Aku kembali berada di belakang kemudi.
Saat di perjalanan tiba-tiba Reihan meminta untuk pindah ke kursi belakang. Tante Dewi lalu mengangkatnya melewati kedua jok kami.
Jadi saat itu posisi ku dan Tante Dewi berada di depan sedangkan Reihan berada di belakang sendirian.
Di perjalanan pulang suasana agak sedikit macet. Saat di lampu merah tiba-tiba wajah Reihan muncul di antara wajah kami.
Reflek kami memutar bola mata kami ke arahnya. Reihan kemudian menunjuk-nunjuk ke arah kedua pipinya.
“Iyum!” (Cium)
Aku sedikit banyak mengetahui apa maksud perkataannya.
“Ihh,, Reihan aneh-aneh aja tiba-tiba minta cium,” sungut Tante Dewi.
Reihan melakukannya sekali lagi. Tante Dewi lalu menatap ke arah ku untuk melihat respon ku. Aku tersenyum dan mengangguk setuju yang dibalas senyuman juga olehnya.
Lalu kami memposisikan tubuh menyamping, kemudian perlahan kami mendekatkan bibir kami ke pipi Reihan. Aku dan Tante Dewi sama-sama memejamkan mata kala itu.
Namun yang tidak kami duga, tiba-tiba Reihan memundurkan kepalanya sehingga bibir ku bukannya mendarat di pipi Reihan malah mendarat di sebuah benda yang sangat lembut.
Aku terdiam sesaat merasakan benda lembut di bibir ku. Teksturnya berbeda dari pipi Reihan. Saat ku buka mata aku terkejut ternyata benda itu adalah bibir Tante Dewi.
Sesaat kami lepaskan bibir kami yang saling bertaut. Wajahnya memerah, dia kemudian melirik ke arah Reihan.
“Reihan,, nakal banget ihh!” sungut Tante Dewi kepada anaknya.
Reihan hanya tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan.
Melihat ekspresi Tante Dewi yang kesal tapi malu-malu, aku lalu menyentuh dagunya agar dia kembali menatap ku. Dia menggigit bibirnya gugup, aku kembali mendekatkan bibir ku ke bibirnya. Tante Dewi terus menatap bibir ku yang semakin dekat.
“Reihan tutup mata!” perintahnya kepada anaknya.
Tetapi perintahnya itu tidak digubris, malah dia semakin tertawa lebar. Alhasil tangan kanan Tante Dewi terulur ke mata Reihan. Setelah yakin anaknya tidak melihat apa yang akan terjadi dengan ibunya, Tante Dewi langsung mendongak untuk menyambut bibir ku.
Cuppp…
Bibir kami saling berpagutan. Kami tidak menyia-nyiakan kesempatan yang sempit itu. Kami seperti kehausan, saling menyedot air liur masing-masing hingga tetes terakhir.
“Emphh…sssspppp…nyyccppp…ssshhh…”
Bersambung