Part #1 : Petualangan Sexs Liar Ku
Setelah berpamitan dengan kak Ranty dan kedua orang tuaku di stasiun, aku kemudian berjalan menuju kereta api untuk menaikinya.
Terlihat jelas raut wajah kak Ranty yang tampak berat untuk melepaskan kepergianku. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa karena ada kedua orang tua kami.
Aku melambaikan tangan kepada mereka untuk yang terakhir kalinya di pintu kereta api sebelum menuju ke kursi yang telah aku pesan.
Di sana aku duduk di bagian kanan gerbong yang paling dekat dengan kaca. Beberapa saat kemudian datang seorang wanita mengenakan hijab syari yang panjangnya sampai pergelangan tangan.
Saat datang dia melemparkan senyuman ke arahku yang kemudian aku balas dengan senyum juga kepadanya.
Kemudian wanita itu berusaha untuk menaruh tasnya yang cukup besar di bagasi atas kereta.
Dia tampak kesulitan karena postur tubuhnya yang agak pendek. Dia angkat tangannya ke atas untuk mendorong tasnya masuk hingga hijabnya tersingkap dan menampakan kedua payudaranya yang cukup besar walaupun tertutup baju yang longgar.
Melihat dia kesulitan aku lantas mencoba membantunya.
“Sini mba, saya bantu!” tawarku kepadanya.
Saat aku bangkit dan mengangkat tanganku, aku tak sengaja menyenggol buah dadanya yang sebelah kiri dengan sikutku sehingga gumpalan itu berguncang ke atas dan bawah.
“Ehhh…!!!” pekiknya kaget sekaligus menutupi dada yang tak sengaja ku senggol.
“Eh, maaf mba gak sengaja,” ujarku meminta maaf.
“E…enggak papa mas,” balasnya lirih.
Wajahnya terlihat memerah saat mengalami kejadian itu. Setelah tasnya masuk ke bagasi, aku lalu kembali duduk dan disusul oleh dirinya.
Saat itu aku sangat merasa tidak enak padanya. Dia duduk dengan wajah menunduk ke bawah. Situasinya sangat canggung.
“Kenapa nih cewek, kaya gak pernah sentuhan sama cowok aja,” batinku.
Beberapa saat kami terdiam. Kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun. Aku memilih untuk bersandar ke kaca untuk menikmati pemandangan.
Sejenak aku melihat wanita yang berada di sebelahku itu tampak panik. Dia merogoh sakunya berusaha mencari sesuatu.
“Kenapa mba?”
Aku mencoba menanyakannya. Dia menoleh ke arahku.
“Eh itu emm…hp saya,, kayaknya ada di dalam tas,” jawabnya kebingungan.
Sepertinya dia mau menghubungi seseorang tapi dia tak bisa mengambilnya karena hpnya ada di dalam tas yang sudah tersimpan di bagasi.
Aku lalu menawarkan hpku untuk di pakainya karena dari mimik wajahnya sepertinya ada hal yang penting.
“Nih mba, pake punya saya aja.”
Dia tampak ragu-ragu, namun akhirnya menerima tawaranku. Saat dia melihat hpku, ku lihat dia terdiam dan sedikit terbelalak tanpa melakukan apapun.
Ternyata dia melihat walpaper hpku yang menampilkan fotoku dan kak Ranty sedang berciuman secara sensual.
“Istri saya mba,” jawabku santai.
Dia sedikit menoleh ke arahku. Ku lihat jempolnya gemetar saat menekan tombol di hpku. Namun aku hanya bersikap santai.
Kemudian dia mulai menelfon seseorang. Aku hanya melipat tanganku di depan lalu ku pejamkan mataku.
“Assalamualaikum teteh, ini Aisyah teh, Ai pinjem hp orang, hp Ai di dalam tas susah diambil,” ucapnya kepada seseorang di seberang telefon.
“……..”
“Iya teh, ini udah di kereta lagi perjalanan ke Bandung.”
“……..”
“Amin, iya teh nanti kalo Ai udah nyampe Ai kabari,” jawab wanita itu yang ternyata bernama Aisyah.
Kemudian dia menutup telefonnya lalu mengembalikannya kepadaku.
“Terima kasih mas,” ujarnya berterima kasih kepadaku.
Aku melemparkan senyuman seraya menerima hp dari tangannya.
“Mba mau ke Bandung?” tanyaku berbasa-basi.
“Iya mas,” balasnya singkat.
“Oh, kuliah atau kerja?”
“Ngajar mas, di pondok pesantren Al-h****h.”
Aku mengernyitkan dahiku. Sepertinya aku pernah mendengarnya tapi entah dimana.
“Oh gitu, emang mba umurnya berapa kok udah ngajar?” tanyaku penasaran.
“25 tahun mas, lulusan pondok juga, ini juga baru dikabarin kalo pondok pesantren lagi nyari pengajar soalnya yang sebelumnya pindah,” pungkasnya menjelaskan kepadaku.
“Oh gitu ya,” timpalku singkat.
“Lha masnya mau ke Bandung juga? kerja atau keluarganya di sana mas?”
“Enggak sih mba, keluarga saya di Jakarta, saya ke Bandung mau cari peruntungan seleksi jadi pemain basket,” jelasku jujur.
“Oh gitu, memangnya udah punya anak berapa mas?” ujarnya balik bertanya.
“Belum punya mba, pengantin baru,” jawabku berbohong.
“Gitu ya, pantesan lagi mesra-mesranya yah,” katanya secara tak langsung menunjukan tentang foto walpaper hpku.
“Kalo mba sendiri, sudah punya anak berapa?”
Aku lihat mukanya sedikit memerah mendengar pertanyaanku, lalu dia meremas ujung hijabnya dengan menggunakan jari.
“Sa…saya belum nikah mas, dari waktu di pondok sampai sekarang belum pernah kenal sama lelaki sama sekali.”
Wajahnya menunduk. Sepertinya dia malu kepadaku karena mungkin dia menganggap bahwa aku akan berfikir kalau dirinya tidak laku. Padahal aku sama sekali tidak berfikir demikian.
“Belum ketemu aja mungkin jodohnya mba, wanita secantik mba sih gampang nyari jodoh hehehe,” balasku sedikit bergurau.
Matanya sedikit terbelalak, tangannya ia letakkan di depan bibir menutupi rasa terkejutnya mendengar ucapanku.
“Ma…masa sih mas?”
Aku hanya tersenyum lalu mengangguk. Sepertinya dia tidak pernah dipuji oleh lelaki sebelum diriku.
“Iya mba, kalo saya belum nikah juga saya mau sama mba, hehehe…”
Wajahnya langsung bersemu merah, lalu ia palingkan dariku hingga kepalanya membentur besi sandaran sebelah kiri. Kursinya memang sedikit rusak, kainnya robek sehingga besi di dalamnya keluar.
Dukkk……
“Aduh…!!!” pekiknya.
Dia langsung memegangi kepalanya yang terasa sakit.
“Eh,, kenapa mba?”
Aku kemudian mengecek kepalanya. Wajah kami sangat dekat. Matanya menatapku tak berkedip, dia diam menahan nafas kala aku menyentuh wajahnya.
Dahi kirinya tampak sedikit membiru, namun tidak terlalu parah. Yang parah justru jantungnya yang berdetak kencang.
“Gak papa mba, kursinya emang agak rusak, mau tukeran sama saya?” tawarku kepadanya.
“Eng…enggak usah mas, saya di sini aja,” pungkasnya sembari membetulkan posisi duduknya.
Kemudian kami mulai terdiam. Aku melihat wanita itu sangat polos bahkan lebih polos dari Ririn. Dia mengobrol dengan lelaki saja tergagap begitu.
Sudah 1 jam perjalanan yang aku tempuh di dalam kereta. Aku lihat wanita yang berada di sebelahku tampak tertidur dengan posisi tegap.
Kepalanya sedikit bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti guncangan kereta. Sampai kepalanya jatuh ke sebelah kiri.
Dengan reflek aku langsung menjulurkan tangan kiriku ke arah besi itu agar kepalanya tidak terbentur lagi.
Alhasil kini posisinya aku seperti merangkulnya sembari dia bersandar di telapak tanganku.
Aku diamkan saja posisi itu karena aku tak tega untuk membangunkannya. Posisi itu aku tahan hingga sekitar 2 jam sampai kereta berhenti pada stasiun tujuanku.
“Mba…mba sudah sampai tujuan,” ucapku membangunkannya.
Dia kemudian terbangun lalu mengusap wajahnya menggunakan telapak tangan. Dia agak kaget melihat posisi tanganku yang menyangga kepalanya.
“Astagfirullah mas, sejak kapan tangannya di sini?” tanya dia sedikit terkejut.
“Sejak mba tidur, tadi kepalanya mau kepentok lagi makannya saya tahan pake tangan,” jawabku memberi alasan.
“Kenapa gak di bangunin mas,” ucapnya sembari bangkit dari duduknya dan bersiap-siap untuk turun dari kereta.
“Gak tega mba, kayaknya tidur pules banget.”
“Saya jadi gak enak kalo gitu mas.”
Dia kemudian berusaha untuk mengambil tasnya yang berada di bagasi.
“Saya bantu mba!”
Aku kemudian membantunya menurunkan tas yang dibawanya itu.
“Makasih banyak mas, maaf udah ngerepotin.”
“Gak papa mba, saya bawain sampe keluar ya.”
“Gak usah mas, saya bawa sendiri aja.”
“Gak papa mba, kata orang kalo kita suka membantu sesama, suatu saat kita akan dibantu juga kalo lagi kesusahan.”
Dia hanya mengangguk lalu kami keluar kereta secara bersamaan.
“Mba habis ini naik apa?” tanyaku saat kami berada di pintu keluar stasiun.
“Naik taksi mas,” jawabnya singkat.
Kebetulan saat itu kami melihat sebuah taksi yang kosong.
“Itu mba ada taksi yang kosong,” ucapku sambil menunjuk ke arah taksi itu.
“Iya mas.”
Aku lalu mengantarkannya ke arah taksi itu.
“Makasih banyak mas, semoga tuhan membalas kebaikan mas,” pungkasnya berterima kasih kepadaku.
“Amin, sama-sama mba.”
Kemudian dia masuk ke dalam taksi itu lalu pergi berlalu dari pandanganku.
Setelahnya aku kemudian kembali fokus kepada tujuanku yaitu ke lokasi yang ditunjuk oleh Justin.
Aku kemudian memesan ojek online untuk mengantarkanku ke tempat tujuan. Setelah aku mendapatkan ojol, aku langsung meluncur ke tkp.
“Sudah sampai di titik antar ya,” ucap bang ojol itu.
Lalu aku turun di sebuah perumahan yang cukup elit. Aku kembali mengecek hpku, aku baca alamat yang diberikan Justin baik-baik.
“Blok B nomor 13,” batinku.
Aku cari-cari namun tidak menemukannya karena ada beberapa rumah yang tidak memiliki petunjuk jadi aku sempat kesasar.
Kemudian aku memutuskan untuk menelfonnya.
Tuuuutttt…
Tuuuutttt…
“Halo sob?” sapa Justin dari seberang.
“Halo Tin, gue udah sampe di alamat yang lu kasih nih, tapi gue bingung rumahnya yang mana,” ujarku melalui hp.
“Loh udah dateng, gak bilang dulu kalo mau dateng hari ini,” jawab Justin.
“Ya kirain boleh dateng kapan aja.”
“Bukan gitu, soalnya gue sekarang ada di kampus, pulangnya sekitar 2 jam lagi, kalo lu mau lu dateng aja ke kampus gue, daripada lu di situ kaya orang ilang.”
“Ya udah kalo gitu kirim lokasi lu,” pintaku kepadanya.
“Sipp!” balasnya singkat.
Beberapa saat kemudian lokasinya ia kirim.
“Sial bener nih, gue harus bolak-balik kaya gini,” umpatku dalam hati.
Namun akhirnya aku kembali memesan ojol untuk pergi ke kampus Justin, kampus yang pernah mengalahkanku dulu.
Sesampainya di kampus Justin, aku langsung mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru.
“Gila nih, ceweknya cakep-cakep bener, lumayan deh kalo dapet satu hehehe…”
Aku kemudian berjalan di sekitar untuk berwisata mata. Ternyata saat itu sedang ada ospek untuk penerimaan mahasiswa baru. Terbukti banyak calon mahasiswa yang mengenakan pakaian atribut ospek.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba hpku berbunyi, ternyata Justin yang menelfon.
“Halo!” sapaku.
“Halo sob, lu dimana? udah nyampe belum?”
“Udah ni, di depan gedung utama.”
“Ke kantin sini, gue lagi ada di sini.”
“Sebelah mana?”
“Belakang gedung C,” jawabnya.
“Oke gue ke sana sekarang.”
Lalu ku tutup telfonnya.
Aku kemudian bertanya pada salah satu mahasiswa yang melintas. Setelah aku mendapatkan petunjuk darinya aku lalu bergegas menuju ke kantin kampus itu.
Di sana aku mengedarkan pandanganku untuk mencari Justin. Tiba-tiba ada seorang yang melambaikan tangan kepadaku. Itu adalah Justin bersama seorang wanita.
Lalu aku pergi menghampirinya.
“Oy sob, gimana kabarnya?” tanya Justin kepadaku sambil menjulurkan tangannya yang menggenggam untuk tos.
“Baik aja,” jawabku singkat sembari menyambut tosnya.
Aku kemudian bersalaman dengan wanita yang ada di sebelah Justin. Tangannya halus, wajahnya putih bersih dan cantik seperti model.
Dia melemparkan senyuman kepadaku yang ku balas dengan senyuman juga. Lalu kami sama-sama duduk.
“Oke gini sob, kemarin gue udah ngomong sama manajer tim garuda bandung, katanya dia bakal mempertimbangin lu, tapi dia pengin liat dulu permainan lu, jadi hari selasa besok lu harus dateng ke markas buat ketemu sama manajer,” jelasnya panjang lebar.
“Kalo itu sih gue siap kapan aja.”
“Sip lah, terus kuliah lu gimana? apa udah selesai?”
Deggg…
Aku sempat bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Bagaimana aku bisa menjelaskan kalau aku baru lulus SMA.
Apakah ini akan menjadi masalah di kemudian hari apabila aku harus berbohong.
Aku memutuskan untuk jujur saja.
“Sebenernya gue gak pernah kuliah, gue baru lulus SMA,” ungkapku dengan jujur.
“What?! kok lu bisa ikut POM?” tanya Justin dengan terkejut.
“Gue dibayar sama mahasiswa di kampus itu buat gue ikut main.”
“Wah pemain gelap lu ternyata, bisa didiskualifikasi lu.”
“Itu kan dah lewat, ya kali aja seorang pemain pro hampir kalah sama anak SMA,” balasku menyindirnya.
Tampaknya Justin seorang pemain basket yang fair. Dia tidak terpancing sama sekali dengan sindiranku. Kalau orang lain pasti sudah ngamuk-ngamuk.
“Berarti usia lu belum nyampe 20 ya?”
“19 tahun,” jawabku singkat.
“Prospek lu mungkin bisa lebih bagus kalo gitu.”
Aku hanya mengangguk.
Setelah itu kami ngobrol tentang banyak hal. Kami mulai lebih mengenal satu sama lain.
Dari perkenalan kita, aku tahu kalau dia adalah keturunan Indonesia-Jerman. Kedua orang tuanya menetap di Jerman dan Justin tinggal di Indonesia untuk melanjutkan karirnya sebagai pemain basket. Dia tinggal di rumahnya bersama pacarnya.
Aku sempat terkejut kalau mereka berdua kumpul kebo. Apakah kehidupan di sini bisa sebebas itu? Entahlah aku saja baru pernah ke kota ini.
Beberapa saat kemudian Justin berucap.
“Oh ya sob, gue masih ada jam kuliah nih, cuma 2 SKS (2 jam kuliah), lu tunggu bentar, nanti kita pulang bareng,” ucapnya seraya bangkit dari kursi kantin itu.
“Okelah,” balasku singkat.
Mereka berdua kemudian pergi dari hadapanku sambil berangkulan. Aku hanya geleng-geleng kepala.
“Gila ya, hidup di sini ternyata lebih bebas, seandainya gue bisa ajak kak Ranty ke sini, hmm…”
Aku kemudian memutuskan untuk berjalan-jalan. Saat itu rupanya ospek sudah selesai dan beberapa calon mahasiswa baru sedang menunggu jemputan pulang.
Mataku terhenti saat aku melihat seorang calon maba yang menarik perhatianku.
Wajahnya yang cantik dengan dibalut hijab menambah keanggunan gadis yang belum ku ketahui namanya itu.
Waktu aku akan mendekatinya tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti tepat di depan gadis itu.
Gadis itu tampak tersenyum kepada pemilik mobil itu kemudian masuk ke dalam mobil lewat pintu sebelahnya.
Saat gadis itu membuka pintu mobil, aku dapat melihat seseorang yang ada di belakang kemudi.
Betapa terkejutnya diriku ternyata dia adalah Reza!
“Shit! kenapa harus dia? apa dia masih suka main cewek?” pungkasku dalam hati.
Merasa penasaran aku berusaha untuk mengikuti mereka, namun aku tidak memiliki kendaraan saat itu. Aku mencoba mencari cara.
Saat itu aku melihat seorang ojol yang baru saja selesai mengantar penumpang ke kampus itu.
Aku buru-buru menghampirinya.
“Bang, ojek bang!” ujarku kepada bang ojol tersebut.
“Belum diorder om!” balasnya.
“Offline aja, cepet udah buru-buru.”
Aku langsung naik ke atas motornya. Ojol itu tidak punya pilihan lain selain mengikuti perintahku.
“Kemana nih om,” tanya ojol itu.
“Ikutin mobil itu,” jawabku sambil menunjuk mobil yang dikendarai Reza.
Kamipun mengikuti mobil tersebut. Ternyata mobilnya masuk ke perumahan yang sama dengan perumahan Justin tapi beda blok.
Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar. Gadis itu mencium punggung tangan Reza lalu turun dari mobil.
Aku mengernyitkan dahiku, lalu aku turun dari ojol itu dan membayarnya. Mataku kembali tertuju kepada mereka.
Gadis itu kemudian melambaikan tangan kala Reza kembali pergi dengan mobilnya.
Setelah Reza pergi, dia kemudian masuk ke dalam rumah. Karena penasaran maka aku hampiri rumahnya.
“Apa hubungan Reza sama gadis itu ya? kayaknya deket banget.”
Saat berada di depan rumahnya kemudian aku ketuk pintu rumah itu.
Tokkk…tokkk…tokkk…
Tidak ada yang membukakan pintu. Kembali ku ketuk pintunya lagi.
Tokkk…tokkk…tokkk…
“Iya bentar,” ucap seseorang dari dalam.
Beberapa saat kemudian pintupun terbuka. Ternyata yang membukakan pintu adalah seorang wanita yang mengenakan hijab panjang sambil menggendong seorang bayi di pelukannya.
Melihatku wanita itu tampak sangat terkejut, matanya terbelalak hingga menampilkan bulat bola matanya.
Aku memicingkan alisku. Wajahnya tampak sangat familiar. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya bahkan mengenalnya.
Setelah aku mengingat-ingat wajahnya, aku baru sadar ternyata dia adalah…
ICHAAA…!!!
Bersambung