Ekstra Part #2 : Randy x Ranty+Lisa
Saat ini aku tengah berada di rumah kontrakan Icha yang baru. Rumahnya tidak terlalu besar namun nyaman, dan yang terpenting dekat dengan apartemen ku sehingga aku tidak terlalu memakan waktu untuk pergi ke sini.
Jujur saja sejak aku mengasuh Aira, aku tidak pernah mau jauh lagi dengannya. Aku seolah ketergantungan terhadap kehadiran anak ku. Apalagi tumbuh kembang Aira sekarang sangat pesat.
Di sini aku sedang bermain bersama anak ku. Dia sudah bisa belajar berjalan walaupun hanya beberapa langkah lalu terjatuh di pelukan ku. Aira tampak sangat gembira. Dia tertawa renyah saat dengan tergesa-gesa berjalan ke arah ku agar cepat sampai.
Icha sedang melipat pakaian-pakaian milik Aira sambil memperhatikan ulah anak dan ayah dari anaknya. Beberapa saat kemudian Icha tampak menggulir ponselnya. Senyum tersungging di bibir Icha kala melihat ke arah benda pipih itu. Aku pun penasaran.
“Ngapain senyum-senyum sendiri? Kesambet loh!”
Mendengar kalimat itu Icha melemparkan pandangannya ke arah ku.
“Gak papa. Ini aku lagi chat sama teman kuliah ku dulu. Katanya seminggu lagi mau wisuda.”
“Wisuda?!” Icha hanya mengangguk pelan.
Sejenak aku berpikir. Icha kan satu kampus dengan kak Ranty, itu berarti kak Ranty juga sebentar lagi akan wisuda.
Hmm…aku harus menemuinya. Sudah lama aku tidak menghubunginya. Apa kabar dia ya? Kakak ku sekaligus kekasih ku yang sekarang seperti hubungan tanpa status.
Jujur aku bimbang. Aku masih mencintai kak Ranty tapi tidak sebesar dulu. Mungkin karena intensitas hubungan kita yang hilang. Ditambah di sini aku sedang mengejar seorang wanita yang juga sudah mencuri hati ku.
Sepertinya membuat kejutan untuk dia di hari sebelum wisuda adalah ide yang bagus. Yah, mungkin sehari dua hari coach Roy akan mengijinkan ku untuk libur latihan. Aku akan pulang tanpa mengabarinya terlebih dahulu.
Saat sedang merencanakan kejutan untuk kak Ranty tiba-tiba aku dikejutkan oleh rasa hangat yang menjalar di paha ku. Setelah aku lihat ternyata Aira yang sedang duduk di paha ku pipis.
“Aduh Cha! Aira pipis!” lontar ku padanya.
Icha malah terkekeh diikuti oleh Aira yang berhasil mengerjai ku.
“Bagus Aira! Sering-seringlah biar hemat popok sama cucian sprei.”
Aku cemberut namun sama sekali tidak marah. Icha lalu menggendong Aira untuk dibersihkan dan diganti celananya. Aku menatap punggung ibu muda itu yang melangkah pergi.
Satu lagi yang harus aku ingat bahwa aku sudah memiliki tanggung jawab kepada dua malaikat itu. Icha yang saat ini sudah menjanda tidak memiliki siapapun kecuali anaknya. Orang tuanya sepertinya juga sudah tidak peduli dengannya.
Aku pusing memikirkannya. Ada tiga wanita di dalam hati ku. Semuanya aku cintai. Ahh…apakah aku poligami saja? Aku menggeleng cepat.
“It’s too good to be true,” batin ku seraya tertawa hambar.
Dua hari sebelum wisuda kampus kakak ku, aku pulang ke Jakarta. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu lagi dengan kak Ranty. Rindu ku sudah sampai ke ubun-ubun.
Sekitar jam lima pagi aku berangkat dari Bandung. Tiga jam perjalanan yang aku tempuh untuk sampai di Jakarta dengan menggunakan kereta api. Aku memilihnya karena lebih simpel dan nyaman.
Sesampainya di Jakarta aku keluar dari kereta api seraya menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan-nya. Udara Jakarta yang pengap namun aku rindukan karena telah banyak kenangan yang aku torehkan di sini.
Saat itu sekitar pukul delapan. Aku tidak tahu apakah kak Ranty ada di rumah atau tidak, tapi aku memutuskan memesan ojek online untuk mengantar ku pulang ke rumahnya.
Ku tarik sudut bibir ku kala melihat rumah sederhana yang aku tinggali setahun yang lalu. Keadaannya tidak berubah sama sekali, hanya cat temboknya yang sedikit memudar.
Di depan pintu aku ketuk pintu rumah itu, tak ada respon. Ku coba membukanya dan ternyata terkunci. Dalam hati aku bertanya, “apakah kak Ranty tidak ada di rumah?”
Kalau ayah ku pasti berangkat bekerja dan ibu ku sudah berada di pasar. Maka aku putuskan untuk memutari rumah dan masuk melalui jendela dapur yang pecah.
Ahh…aku jadi teringat di malam saat aku melepaskan keperjakaan ku bersama kak Ranty. Aku dan kakak ku pulang larut malam setelah melakukan hal itu dan masuk melalui jendela ini.
Tanpa berlama-lama aku masuk setelah menarik lepas grendel jendela itu lewat lubang pecahan kacanya.
Setelah berada di dalam aku mengedarkan pandangan ku ke sekitar ruangan. Masih sama persis.
Tujuan utama ku langsung pergi ke kamar kak Ranty untuk mengecek apakah dia ada di kamar atau tidak. Saat sampai di depan pintu, aku perlahan membukanya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Di sana aku melihat seorang wanita tengah tertidur menyamping dengan selimut mengcover sebagian tubuhnya.
“Ckckck…besok wisuda kok sekarang malah masih malas-malasan. Mana kayaknya nyenyak banget lagi, sampai-sampai ada yang ketuk pintu gak tau.”
Aku lalu mendekatinya dari belakang. Aku terkesiap melihat rambut kak Ranty kini dipotong pendek ala bob, padahal setahu ku dia lebih suka memanjangkan rambutnya hingga sepunggung.
Iseng aku ikut masuk ke dalam selimut lalu memeluknya dari belakang. Dia tak bergeming, ku lanjutkan aksi ku dengan mengendus-endus lehernya yang terbuka lebar karena potongan rambut itu.
Bau badan kak Ranty yang sangat memabukkan. Bau badan yang dulu aku nikmati dengan puas. Tak terasa tongkat ajaib ku menegang sehingga menyundul belahan pantat kak Ranty yang tertutup celana tidur.
“Emhhh…” Dia mendesah pelan dalam tidurnya.
Namun demikian dia tidak terusik hanya sedikit merubah posisi membiarkan tangan nakal ku bergerilya di area dadanya.
Timbul pertanyaan di kepala ku, “kenapa di saat dia tau aku yang notabenenya kekasih dia berada jauh di kota lain, tetapi dia tidak heran ada tangan yang memainkan tubuhnya?”
Aku semakin intens, kini tangan ku bukan hanya menyentuh dan mengelus, namun juga meremas gundukan kenyal itu. Lehernya ku kecup dan ku jilat keringatnya serta ku tinggalkan beberapa tanda kepemilikan di sana.
Kak Ranty akhirnya menggeliat seraya memutar tubuhnya ke arah ku.
“Emhhh…pah, capeee…”
Deggg…
Aku tertegun mendengar lenguhan kak Ranty. Apa maksudnya? Pah? Papah?!
Saat pandangan kita bertemu, mata kak Ranty yang semula setengah tertutup seketika membulat sempurna lalu sedikit menekan dada ku mundur. Dia seperti sedang melihat hantu saja kala itu.
“Ra…Randy?! K…kamu…”
Bukan reaksi itu yang sebenarnya aku inginkan. Aku berharap dia melompat ke arah ku dan memeluk ku dalam karena rasa rindu yang menggebu akhirnya terobati. Kini dia hanya terpaku menatap ku heran.
Namun beberapa saat kemudian senyum mengembang di bibirnya. Dia lalu bangkit terduduk masih sambil menatap ku.
“Randy kapan pulang?! Kenapa gak pernah ada kabar?! Kakak itu cemas tau sama kamu! Kamu udah lupain kakak ya?!” cerocos kak Ranty panjang lebar.
Aku juga merubah posisi ku duduk.
“Maaf kak, hp-ku rusak nomor kakak hilang, jadi Randy gak bisa hubungi kakak. Lebih lagi Randy lagi sibuk menata karir,” ungkap ku memberi alasan.
Kak Ranty mengangguk. “Gak papa, yang penting kamu udah balik, kakak seneng banget!”
Dia lantas memeluk ku erat. Ku balas pelukannya tak kalah kuat. Seluruh kerinduan tertumpah saat itu juga. Meskipun dalam hati aku masih bertanya-tanya mengenai gumamannya yang menyebutkan kata ‘pah’ tapi aku mengabaikannya. Mungkin aku hanya salah dengar.
Tiba-tiba kak Ranty sudah berada di pangkuan ku berhadapan dengan ku. Tangannya melingkar di leher ku.
“Kamu tau gak kakak kangen banget sama kamu. Kamu gak lupa kan sama janji mu?” tanya kak Ranty membuat ku terdiam.
Dulu aku berjanji untuk menikahinya, tapi saat itu aku masih sangat labil. Aku berkata tanpa memikirkan caranya. Bagaimana bisa aku menikah dengan kakak kandung ku sendiri.
Secara resmi sangatlah mustahil karena di dalam kartu keluarga kami adalah kakak beradik, sedangkan secara siri pernikahan kami tidak akan sah karena status tersebut.
Tanpa menunggu aku menjawab, kak Ranty sudah menempelkan bibirnya di bibir ku. Kami berciuman mesra.
Seketika kami larut dalam pergumulan yang panas hingga kedua kelamin yang telah lama tak jumpa kembali reuni. Kak Ranty melayani ku dengan sepenuh hati, walaupun begitu aku merasa ada yang berbeda dari persenggamaan kami saat ini. Entah itu cuma perasaan ku saja atau memang karena kita sudah lama tidak bercinta.
Kami melakukannya hanya sekali karena kak Ranty bilang kalau dia lelah karena semalam dia sibuk menyiapkan wisudanya besok. Aku memakluminya dan dia kembali tertidur karena tampaknya dia sangat tidak bertenaga.
Setelah itu aku memutuskan untuk pergi ke pasar tempat ibu ku berjualan. Aku pergi menaiki motor butut ku yang dulu aku tinggalkan. Kondisinya masih bagus, mungkin ayah ku yang merawatnya.
Di area pasar aku mencari-cari lapaknya. Seingat ku tidak jauh dari tempat jualan daging. Dan yah aku menemukannya. Aku melihat seorang wanita paruh baya tengah mengobrol dengan pemilik lapak di sebelahnya. Dia lah ibu ku. Aku pun menghampirinya.
“Mah!” panggil ku agak keras karena suasana memang sedang ramai-ramainya.
Mendengar itu ibu ku menoleh. Dia teramat sangat terkejut melihat ku sudah berada di hadapannya.
“Ya ampun Randy! Kamu kapan pulangnya nak?!”
Ibu ku berjalan memutar untuk keluar dari lapaknya kemudian seketika dia memeluk ku erat.
“Iya mah. Baru aja tadi pagi nyampe Jakarta.”
Ibu ku kemudian melepaskan pelukannya tapi tidak genggaman tangannya di kedua lengan ku. Dia mengedarkan pandangannya dari atas kepala sampai bawah kaki ku.
“Kamu kayaknya lebih berisi daripada terakhir kali mamah lihat ya?” celetuk ibu ku melihat tubuh kekar ku meskipun masih tertutup baju.
“Iya lah, kan aku atlet basket sekarang. Jadi ya emang harus gedein badan.”
Entah mengapa pandangan ibu ku terhenti di bagian selangkangan ku yang menonjol. Aku memang belum puas saat bersenggama dengan kak Ranty sebelumnya, jadi tongkat ku masih saja berdiri.
“Mah!” seru ku membuyarkan lamunannya.
Ibu ku langsung tersadar dan menggeleng cepat. Dia lalu menoleh ke arah teman yang sebelumnya ia ajak bicara.
“Nih buk, anak lanang saya yang baru pulang dari merantau.”
Ibu ku memperkenalkan ku pada temannya dengan bangga. Aku hanya melemparkan senyuman ramah.
“Wah, anaknya ganteng ya, tinggi, badannya bagus. Bibit unggul nih Yee, gak ada mirip-miripnya sama kamu Ros. Hehehe…”
“Hmm…masa gak mirip?!” Ibu ku mengangkat tangan ku melingkarkan di bahunya seraya dia memeluk ku dari samping.
“Iya beda jauh. Apalagi sama pak Solihin. Gak mirip sama sekali!”
“Iya lah mana mungkin mirip. Anak saya ini kan bibit unggul dari almarhum suami saya yang dulu.”
“Oh gitu, ternyata bukan anak pak Solihin toh, pantesan gak mirip. Eh…mas mau gak sama anak saya? Dia juga cantik loh. Baru lulus SMA.”
Ibu ku mencibir. “Yee…mana mungkin anak saya mau sama anak njenengan. Dia tuh pacarnya artis, minimal model lah.”
Ku lihat teman ibu ku hanya memajukan bibir bawahnya tampak tidak memprotes kata-kata ibu ku yang cukup menyakitkan.
Ibu ku lalu mengajak ku ke suatu tempat. Aku bingung mau dibawa kemana.
“Ini Randy mau dibawa kemana sih? Entar jualannya mamah gimana? Gak ada yang jaga.”
“Gak papa ditinggal sebentar. Mamah ada perlu sama kamu.”
Kami berjalan ke tepi pasar itu hingga sampai di tempat WC. Di sana ada empat kubikel yang mana tidak ada toilet khusus wanita ataupun pria. Semua jadi satu, kebetulan saat itu hanya satu yang sedang dipakai dan yang lainnya kosong.
Ibu ku langsung menarik ku masuk ke salah satu ruang kecil itu. Hmm…aku tahu apa yang ibu butuhkan pada saat itu.
Benar saja tak mau menunda lama lagi ibu ku beraksi. Suara desahan terdengar berlomba dengan suara kerumunan orang di sekitar sana.
“Oughhh…khamuu…phunyaaa…pacharrr…Rhannn…?” tanya ibu di sela desahan.
“Punya mah…kenapa?”
“Phastii…pacharrrmu…keenakhan…yahhh…kamuuu…giniinnn…”
Aku tak menjawab dengan kata namun dengan tindakan. Ku hentakkan tongkat keras ku semakin cepat hingga akhirnya ibu ku mencapai pelepasannya dan dibarengi dengan pelepasan ku.
“Ouhhh…Rhannn…mamahhh…khangennn…mamahhh…nyhampee…!!!”
Tubuh ibu ku kelojotan dan hampir saja terjatuh dari tepi bak mandi kalau saja aku tidak sigap menahannya. Nafasnya memburu dan wajahnya terlihat sangat puas.
Setelah selesai melepaskan hajat, kami keluar dari WC itu satu persatu karena takut ada yang menangkap basah kita.
Sebelum aku pergi, kami menyempatkan ngobrol sejenak. Aku katakan kepulangan ku ke Jakarta untuk menghadiri wisuda kak Ranty.
Ibu ku juga bercerita kalau hubungan mereka tidak membaik sama sekali selama setahun ini, atau justru bisa dibilang semakin memburuk. Kak Ranty bahkan sudah tidak mau menatap ibunya lagi.
Dan yang lebih mengejutkan ku, kata ibu ku kak Ranty lebih sering tidak pulang ke rumah dan menginap di rumah temannya. Itu pun dia ketahui dari yang diceritakan oleh ayah ku.
Dalam hati aku bertanya-tanya sebenarnya kak Ranty menginap dimana? Apakah ada hubungannya dengan bungkus rokok dan kondom yang pernah aku lihat di foto profil kakak ku?
Arkhhh…kenapa rasanya aku jadi tidak tenang begini. Tampaknya ada banyak hal yang sudah aku lewatkan di sini. Tentang perubahan kak Ranty.
Aku pun memutuskan untuk berjalan-jalan lagi. Kini tujuan ku ke rumah Lisa, sahabat ku. Meskipun kadang ia menyebalkan namun ada rasa rindu di hati ingin bertemu dengannya. Banyak kenangan yang kita lalui bersama. Dia lebih tahu diri ku lebih dari siapapun.
Namun di rumahnya aku tidak bertemu dengan Lisa, melainkan ibunya. Saat itu dia hanya mengenakan celana dalam tanpa penutup dada hingga bagian kenyal itu menggelantung.
Ibunya tidak berubah, masih cuek terhadap kondisinya dalam hal berpakaian atau mungkin dia memiliki fetish eksibisionis? Entahlah kalau saja bukan aku yang datang bisa dipastikan dia akan diperkosa.
Dengan santainya dia bilang kalau Lisa sudah tidak tinggal di situ lagi melainkan tinggal bersama pacarnya. Dia pun memberi tahu alamat tempat pacarnya tinggal. Dia bersikap seperti memakai pakaian lengkap padahal dia sedang bertelanjang.
Aku pun pergi menuju alamat yang diberi oleh ibunya itu. Hmm…dia tinggal bersama pacarnya ya? Kenapa aku kok jadi cemburu ya? Padahal kita hanya berstatus sahabat atau TTM. Pasti mereka sudah melakukannya berulang kali.
Sesampainya di alamat tujuan aku mendapati sebuah rumah kost yang cukup bagus. Sepertinya itu adalah kost bebas melihat beberapa laki-laki dan perempuan berlalu lalang di sana.
Aku pun bertanya pada salah satu penghuni kost itu. Dia menunjuk sebuah kamar nomer 16 yang berada di lantai satu.
Ku ketuk pintunya, hanya beberapa detik pintu terbuka dan aku melihat seorang wanita yang begitu ku kenal melongo di samping pintu memandang diri ku. Dia hanya memakai daster pendek dan tanpa dalaman karena tonjolan kecil di dadanya tercetak jelas.
“Lah…Randy?!” Lisa menunjuk tepat ke arah hidung ku seakan tidak percaya.
Aku tersenyum lebar dengan dada membusung dan kedua tangan yang aku masukkan ke dalam saku celana.
“Lah…Lisa?!” respon ku seakan ikut-ikutan kaget.
Wanita itu menggembungkan pipinya seraya meninju perut ku cukup keras hingga aku memekik kecil.
“Aduh…dasar ya lu dari dulu gak berubah kasarnya,” ucap ku sambil mengelus-elus bagian yang ia tonjok.
“Kemana aja lu gak ada kabar? Nomor hp ganti gak ngomong-ngomong. Lu lupa ya sama gue?” cerca Lisa sambil berkacak pinggang.
“Mana mungkin gue lupa sama orang yang udah nemenin gue selama tiga tahun ini,” kekeh ku seraya mengacak rambutnya yang sedikit disemir pirang.
Dari dalam tiba-tiba muncul seorang pria dengan bertelanjang dada dan mengenakan bokser.
“Siapa yang?” tanya lelaki itu.
“Oh…ini yang namanya Randy yang pernah aku ceritain yang…”
Entah kenapa mendengar kata ‘yang’ membuat ku mual. Itu juga kata yang pernah kak Ranty sebut untuk memanggil Reza.
“Oh yang itu.” Kami kemudian berjabat tangan.
Aku tidak tahu apakah Lisa menceritakan tentang hubungan kami begitu apa adanya. Kalau iya, seharusnya pacarnya tidak bersikap terlalu santai begitu kalau dia bukan penganut kehidupan bebas.
“Eh yang, aku boleh keluar bentar gak sama Randy?”
Aku sedikit terkejut dengan ucapan Lisa. Padahal aku belum mengajaknya jalan karena merasa tidak enak dengan pacarnya.
“Ya udah, entar pulangnya titip mie ayam deket pengkolan yah.”
Pria itu merangkul leher Lisa lalu meremas payudaranya sambil mencium bibir perempuan itu. Hal itu ia lakukan seolah menyiratkan bahwa dia sudah mendapatkan kepemilikan atas wanita itu. Aku hanya mengerjapkan bibir ku sambil membuang muka.
Setelah Lisa berganti pakaian kami pergi dengan menggunakan motor butut ku. Beberapa saat hening sebelum aku memecahkan kekakuan.
“Mau kemana nih?” tanya ku kepadanya.
Yah memang Lisa kan yang mengajak ku pergi jadi dia yang menentukan mau kemana.
“Terserah.” Jawaban khas wanita.
“Ke hotel yuk!”, “Adawww…!!!” pekik ku karena Lisa tiba-tiba mencubit pinggang ku keras.
“Dasar mesum! Yuk! Hehehe…” Aku mendengus kesal melihat tawa Lisa dari pantulan cermin spion.
Tapi tawa itulah yang kadang kala menaikkan mood ku saat sedang down. Walaupun kami tidak akan pernah bisa bersama selamanya namun aku berharap tawa itu tidak pernah meninggalkan bibir manisnya.
“Tapi masa langsung ke hotel. Kemana dulu kek.”
“Kemana?”
“Emm…eh ya, lu kan pernah bilang kalo lu punya anak dari ibunya Ririn. Kenapa gak lu temuin mereka? Biar anaknya tau kalo bapaknya masih eksis di dunia ini,” ungkap Lisa dengan santai seperti di pantai.
Sejenak aku berpikir. Benar juga ya, aku bahkan sampai lupa soal guru seks ku dulu. Bagaimana keadaannya sekarang? Sudah bisa apa sekarang? Kalau memang dia lahir ke dunia ini usianya hanya terpaut beberapa bulan dengan Aira.
“Pinter lu ya. Gue aja sampe gak kepikiran loh wkwkwk…”
“Huhhh…dasar otak jongkok. Anak sendiri dilupain.”
“Lu sama aja. Bedanya lu kuliah gue kagak!”
“Bisa gak sih gak ngomong ‘kuliah’? Otak gue mendadak pusing denger kata itu.”
“Wkwkwk…jangan memaksakan diri, Lis! Kasihan otak lu yang segede upil dapet siksaan yang begitu berat. RIP otak!”
Tukkk…!!!
“Aduh…!!!” Kepala ku menjadi korban dari jitakan Lisa.
“Anj*ng lu Ran! Gue lagi berusaha nih. Moga-moga otak gue gak jebol deh. Sayang otak sayang otak!”
Lisa menepuk-nepuk kepalanya sendiri berharap isi kepalanya tidak tumpah dan bertahan sekitar tiga tahun lagi. Kelakuan Lisa mengundang gelak tawa dari ku. Dia memang tidak pernah mengecewakan untuk urusan jadi mood booster.
Kami pergi menuju sekolah SMA kami. Sekolah yang menjadi sejuta kenangan tidak hanya bersama Lisa namun juga Ririn.
Aku mengernyitkan dahi ku setelah melihat warung yang selalu aku kunjungi saat jam istirahat dulu sudah tidak ada lagi di sana.
Aku pun bertanya pada warga sekitar katanya Bu Siti sudah tidak berjualan lagi sejak setengah tahun yang lalu. Aku kemudian pergi ke rumahnya dan lagi-lagi aku tidak mendapati sosoknya. Kata tetangga dia sudah pindah dari situ entah kemana. Aku menghembuskan nafas kasar.
“Sabar Ran, suatu saat pasti lu bisa ketemu sama anak lu dan mamanya.”
Aku memandang wajah Lisa yang berusaha menghibur ku. Namun yang ada aku malah dibuat tertawa oleh ekspresinya yang sok imut.
“Wkwkwk..***k cocok banget muka lu kaya gitu.”
Ekspresi Lisa langsung berubah kecut. Dia melipat tangannya di dada sambil membuang muka.
Karena rencana kami bertemu dengan Bu Siti zonk maka kami memutuskan untuk menyewa sebuah hotel. Tujuannya sudah jelas ingin bersilaturahmi kelamin setelah lama adik ku tidak bertamu ke rumah lendir miliknya.
Lisa tampaknya sudah kebelet ingin bertemu dengan junior ku yang gagah berani. Terlihat saat akan memasuki kamar hotel dia berkali-kali mencuri kesempatan meremas tongkat ku yang mengeras akibat ulahnya.
Di dalam sana kami beradu mekanik dan mengeluarkan seluruh kemampuan kami. Dia tampak begitu mahir, aku sedikit kewalahan menghadapi staminanya yang kuat.
Sial, kalau dibandingkan dengan Anes pun Lisa lebih jago. Kalau saja aku belum keluar dua kali pada hari itu aku pasti bisa menang dengan mudah.
Kami melakukan dalam berbagai posisi dimana pun. Lisa binal sekali tapi aku suka. Mirip seperti Icha yang dulu bukan sekarang.
Akhirnya pertempuran berakhir dengan skor 2-1. Lisa meraih dua kali orgasme sedangkan aku sekali ku tumpahkan di dalam rahimnya.
Setelah selesai kami sempat ngobrol di atas ranjang masih sambil telanjang bulat dan hanya dicover dengan sebuah selimut tebal. Aku merasa dejavu kala itu.
Aku menceritakan tentang kejadian yang terjadi pada ku di Bandung. Yang membuat ku nyaman bercerita dengan Lisa karena dia tidak pernah menjudge atas kesalahan yang aku lakukan justru memberi nasihat sesuai porsi dan sudut pandangnya. Kalau dia mencela, itu hanya sebatas candaan.
“Hmm…jadi lu jatuh cinta sama mangsa lu sendiri ya? Terus sekarang apa yang mau lu lakuin? Kalo misalnya kakak lu tetep minta dinikahin gimana?”
“Gak tau deh Lis. Nikah sama kakak kandung sendiri itu adalah hal yang mustahil. Dulu gue janjiin dia karena gue emang jatuh cinta sama dia tanpa tau gimana caranya buat mewujudkan janji gue.”
“Kayaknya lu adalah cowok paling mudah jatuh cinta yang pernah gue kenal deh.”
Aku melirik dirinya sesaat. Apa yang dia bilang itu benar. Aku pun tidak mengelak.
“Kalo perasaan lu sama gue?” tanya Lisa lagi.
“Maksudnya?”
“Apa lu masih cinta sama gue kaya yang pernah lu bilang dulu?”
“Cinta?! Gue rasa enggak deh, tapi gue sayang sama lu sebagai seorang sahabat.”
Lisa membuang muka ke samping. Entah kenapa dia tidak mau menatap ku saat itu.
“Jadi lu TTM yah?”
Aku mengernyitkan dahi. “TTM?”
“Temen tapi mesum,” ujar Lisa sambil tertawa renyah serta kembali menatap ku.
Dapat ku lihat genangan air yang ada di matanya. Lisa menangis? Tapi kenapa? Ahh…mungkin air mata haru atau bahagia. Aku tidak boleh menghancurkan suasana ini dengan menanyakannya.
Aku timpali tawanya dengan menggelitik pinggang polosnya hingga dia memekik kegelian sampai jatuh terlentang. Aku otomatis menindih dirinya. Dia lalu memeluk ku erat, kepala ku berada di samping kepalanya.
Aku merasakan pelukan itu begitu dalam. Ku dengar Lisa terisak menahan tangis. Kepala ku angkat sehingga pandangan mata kita saling bertemu.
“Ran, mungkin ini akan jadi yang terakhir kalinya kita bersama. Apapun yang terjadi nantinya gue harap kita bisa jadi pribadi yang lebih baik. Jangan lupain gue di hati lu ya!”
“Gak akan. Lu adalah cewek spesial yang udah punya tempat khusus di hati gue. Semoga lu bahagia dengan jalan pilihan lu sendiri.”
Kami berdua sama-sama memejamkan mata hingga entah siapa yang memulai bibir kami sudah saling menempel dan tertaut.
Itu adalah ciuman terakhir kita.
Hari ini adalah hari wisuda kak Ranty. Semalam aku menginap di hotel yang sama setelah aku mengantar Lisa kembali ke kost pacarnya. Aku berangkat ke gedung tempat acara itu digelar yang masih berada di area kampus.
Di sana aku melihat ibu ku berdiri sendirian di salah satu tiang gedung sambil celingak-celinguk. Maka aku hampiri dia.
“Mah, kok sendirian? Kak Ranty sama papah mana?” tanya ku penasaran.
“Tadi mamah disuruh berangkat duluan. Katanya mereka berdua nyusul, tapi sampai sekarang belum keliatan batang hidungnya.”
Aneh sekali, kenapa mereka tidak berangkat bersama-sama saja? Atau jangan-jangan kak Ranty masih marah dengan ibu ku dan tidak mau berangkat bersamanya.
Atau jangan-jangan…
“Ehh…itu dia mereka!” kata ibu ku menunjuk ke arah dua orang yang menghampiri kami.
“Loh Randy! Kamu kapan sampe di Jakarta?” tanya ayah ku seraya memeluk ku dalam.
“Kemarin pah.”
“Kok gak ngabarin papah kalo kamu udah balik?”
“Hehehe…biar surprise aja pah.”
Ayah ku kemudian mengajak ku berbicara. Kak Ranty saat itu entah mengapa terlihat canggung dengan wajah merona merah. Dia terlihat enggan melihat ku. Tubuhnya yang dibalut baju wisuda dan toga seperti lebih tinggi dari biasanya.
Acara pun hampir dimulai tapi aku tidak menemukan dirinya di barisan para calon wisudawan. Aku pun mencarinya sampai ke gedung utama kampusnya.
Beberapa mahasiswa yang mengenakan toga tampak keluar dari sebuah ruangan bertuliskan ‘Ruang Dekan’. Aku pun bertanya pada salah satu mahasiswa.
“Maaf kak. Tau Ranty gak ya?”
“Maksudnya Ranty Putri?”
“Iya betul,” balas ku mantap.
“Tadi kalo gak salah dia masuk ruang rektor deh,” ungkapnya sambil menunjuk sebuah ruangan.
“Oh ya terima kasih.” Setelah itu aku pun pergi menuju ruangan yang dimaksud.
Baru saja sampai di depan pintu tiba-tiba pintu itu terbuka dan keluarlah kak Ranty dan seorang lelaki paruh baya dari dalam sana. Mata kak Ranty tampak berkaca-kaca.
Melihat ku ada di sana, kak Ranty langsung menggandeng tangan ku serta tersenyum pada pria itu.
“Pak kenalin, ini pacar ku,” sebut kak Ranty memperkenalkan diri.
“Yang, ini om-ehh…pak Gunawan. Dia ini rektor kampus ini sekaligus dosen pembimbing skripsi ku.” Kak Ranty sedikit keceplosan memanggil pria itu.
Dia lalu mengulurkan tangannya kepada ku dan kami berjabatan tangan.
“Jadi kamu pacarnya Ranty?”
“Iya pak,” jawab ku sekenanya.
Lelaki itu lalu memegang kedua bahu ku sambil menatap ku dalam.
“Jaga dia baik-baik ya.”
Aku mengernyitkan dahi ku mendengar ucapannya. Kenapa dia mengatakannya seolah dia adalah pemilik kak Ranty dan dia akan menitipkannya kepada ku?
“Maksudnya?”
Dia terkesiap langsung menggelengkan kepalanya.
“Bukan apa-apa kok. Ayo ke gedung aula, acaranya mau dimulai.”
Kami bertiga kemudian berjalan menuju aula. Aku dapat merasakan keanehan di antara mereka berdua. Kak Ranty seperti tidak nyaman dengan situasi seperti ini.
Acara pun digelar dengan lancar. Kakak ku mendapat predikat cumlaude dan jadi salah satu lulusan terbaik. Aku bangga dengannya. Dari dulu dia memang terkenal pintar tidak seperti aku yang punya IQ jongkok.
Setelah acara selesai aku dan kakak ku pamit pergi untuk merayakan gelar sarjana yang baru saja ia dapatkan. Dia sendiri yang mengajak ku, katanya ada hal yang ingin dia sampaikan. Dia mengganti pakaian terlebih dahulu.
Saat itu kami pergi ke tempat dimana kenangan-kenangan indah kami lalui dahulu. Dimana pertama kali ia mengambil keperjakaan ku, dimana aku menyatakan perasaan ku kepadanya. Dimana aku menyiapkan surprise ulang tahunnya. Semua tempat kami datangi tanpa terlewat satu pun.
Hingga tak terasa senja sudah menyapa saat kita berada di pinggir pantai. Kami duduk berdua sambil menikmati hembusan angin yang menerpa tubuh kita.
“Ran!” Aku menoleh kepadanya.
“Kamu belum lupa kan dengan janji mu dulu?” Ku telan saliva ku dengan susah payah. Sejujurnya aku tidak tahu harus menjawab apa.
“Kakak akan ikut kamu ke Bandung,” ucapnya membuat ku tertegun. Dia tersenyum manis kepada ku.
“Kakak yakin? Kakak kan lulusan terbaik. Kakak bisa dapet pekerjaan yang jauh lebih baik di sini.”
Perkataan ku membuatnya menggembungkan pipinya. Aku langsung meralat perkataan ku melihat perubahan ekspresinya.
“Maksudnya, Randy ingin yang terbaik buat kakak. Di Bandung belum tentu kakak dapat pekerjaan yang bagus.”
“Gak papa. Asalkan sama kamu, kakak rela kerja kecil-kecilan. Bersama kamu adalah yang terbaik buat kakak.”
Kak Ranty menyandarkan kepalanya di pundak ku.
“Kakak ingin terus sama kamu selamanya. Tau gak?! Selama setahun ini kakak gak punya gairah hidup. Apalagi waktu kamu hilang gitu aja. Rasanya kakak mau mati.”
“Ssstttt…kakak gak boleh bilang gitu. Kalo kakak mau hidup sama Randy, Randy bakalan seneng banget. Tapi Randy gak bisa menjamin hidup bergelimang harta.”
“It’s okay Ran! Bagi kakak, ada kamu di samping kakak udah lebih dari cukup kok.”
Kami berdua tersenyum sambil menikmati matahari terbenam. Meskipun dalam hati aku masih bingung untuk menentukan nasib ku nanti.
Randy dan Ranty memutuskan untuk menginap di hotel yang Randy pesan kemarin. Ranty sudah membayangkan malam panjang yang akan mereka lalui malam ini.
“Kakak mandi dulu ya Ran. Mau ikut?” tawar Ranty sambil mengeluarkan senyum manja.
“Hahaha…entar mandinya kelamaan, bisa masuk angin kaya dulu kita ehmm…”
Ranty yang mendengarnya tersipu malu. Dia ingat malam saat mereka melakukannya sambil berendam di bak mandi. Esoknya dia demam tinggi dan harus dibawa ke rumah sakit.
“Ya udah tunggu yah,” ucap Ranty lalu pergi masuk ke dalam.
Sambil menunggu Ranty selesai mandi, Randy menggulir ponselnya. Dia mengirimkan pesan kepada Icha menanyakan tentang kabar anaknya. Baru dua hari tidak bertemu namun dia sudah merindukan si kecil.
Saat sedang membuka galeri foto dirinya bersama Aira tiba-tiba ponsel milik Ranty bergetar. Randy pun mengecek sesaat. Dahinya mengernyit saat membaca pesan dari kontak bernama ‘papa’.
“Kamu dimana sayang? Papa kangen.”
Sejenak Randy berpikir, sejak kapan ayah dan kakaknya sedekat itu? Dulu memang mereka dekat tapi tidak sampai panggil sayang apalagi kangen.
Keheranan Randy tidak berhenti sampai di situ ketika muncul notifikasi baru dari kontak bernama ‘om gun’.
“Kamu lagi sama pacarmu ya?”
Dalam hati Randy berkata, “apa urusannya dia kalo kak Ranty sama pacarnya?”
Ingin ia balas pesan itu namun dia tidak tahu pola sandi ponsel milik kakaknya itu. Ada 5 pesan lain dari kontak yang berbeda yang belum sempat Randy baca karena Ranty sudah keburu keluar dari kamar mandi.
Ranty hanya mengenakan handuk yang melilit tubuhnya dan rambutnya. Bagian bawahnya sangat pendek bahkan kalau Ranty menunduk sedikit maka bagian terlarangnya pasti kelihatan.
Randy tidak tahan untuk berdiam diri di atas ranjang. Ia hampiri Ranty yang mengerlingkan matanya ke arah adik kandungnya.
“Kakak cantik, mulus banget kaya prosotan tk…” celetuk Randy sambil menciumi leher hingga bahu Ranty yang jenjang.
Ranty hanya memiringkan kepalanya agar adiknya bisa puas bermain-main di area situ.
“Semua ini milik kamu Ran. Setiap jengkal tubuh kakak sepenuhnya milik mu.”
Mendengar itu Randy semakin buas menyerang Ranty. Ia angkat tubuh mungil itu lalu ia jatuhkan di atas ranjang yang empuk.
Karena hentakkan itu, membuat lilitan handuknya terlepas dan menampakkan tubuh yang sangat mempesona.
Gairah Randy semakin terpancing melihat keadaan kekasih sekaligus kakaknya itu. Dia ciumi setiap sudut kulit mulus Ranty. Bau harumnya sabun merebak ke dalam indera penciuman Randy.
Tak kuasa menahannya lagi, Randy pun melepaskan seluruh pakaian yang ia kenakan hingga keduanya telanjang bulat. Ranty tertegun melihat tubuh Randy yang kian berotot. Benar-benar pemandangan yang sangat eksotik.
“Ouhhh…pejantan kakak sudah dewasa,” ujar Ranty mengagumi setiap lekuk tubuh adiknya itu.
“Emangnya dulu belum dewasa kak?” Randy terkekeh sejenak dibalas dengan manyunan bibir Ranty.
Sebelum masuk ke menu utama, Randy terlebih dahulu mengoral kewanitaan kakaknya membuat si empunya mendesah kenikmatan.
Hingga Ranty mendapatkan pelepasannya yang pertama, Randy lalu memposisikan kejantanannya di depan kewanitaan Ranty.
Blesss…
Tongkat perkasa Randy masuk dengan mudah ke dalam lubang lendir yang telah lama tidak ia sambangi.
“Ouhhh…Rhannn…kakakkk…nikmhattt…”
“Therusss…Rhannn…genjot kakak lakukan sesuka kamu…kakak milik mu…”
“Ouhhh…Rhannn…milik mu yang terbaik, tidak ada duanya…”
“Ouhhh…kakak bisa gila kalo kamu terus gini Rhannn…kakak gak bisa hidup tanpa mu…”
Berbagai racauan keluar dari mulut Ranty. Tapi kenapa dia membandingkan milik Randy dengan yang lain? Apakah dia membandingkan dengan milik Reza dulu atau dia sudah pernah bermain dengan pria lain saat dirinya ada di Bandung?
Berbagai pernyataan berkecamuk di dalam hati Randy. Bagaimana kalau benar iya? Bagaimana kalau tubuh Ranty sudah pernah dijamah lelaki lain disaat dirinya ada jauh di sana.
Hingga tak terasa mereka berdua mencapai klimaks yang dahsyat. Randy menumpahkan spermanya di perut Ranty karena sebelum pelepasan Ranty mencegah adiknya keluar di dalam dirinya.
Tentu saja hal itu membuat Randy kecewa. Kenikmatan yang seharusnya ia dapatkan secara maksimal harus berkurang drastis.
Ranty yang melihat raut wajah kecewa adiknya itu pun berkata, “maaf ya Ran, kakak lagi masa subur. Kakak gak mau ambil resiko hamil. Kakak udah gak pernah KB lagi. Liat nih sperma mu banyak banget, kental pula. Pasti deh langsung jadi kalo masuk ke rahim kakak.”
Randy hanya mendehem lalu mengangguk, menutupi rasa kecewa di hatinya. Ranty lalu bangkit dan membersihkan diri di kamar mandi. Dia kemudian kembali dengan keadaan masih telanjang bulat menghampiri Randy yang sudah tidur menyamping.
Wanita itu masuk ke dalam selimut dan memeluk Randy dari belakang hingga payudaranya menempel erat di punggung Randy.
“Maaf Ran,” ucap Ranty lirih.
Keduanya pun mulai tertidur.
Di tengah lelapnya tidur, Ranty terusik dengan panggilan yang ada di ponselnya. Sejenak ia lihat siapa yang meneleponnya. Ranty menahan nafas lalu buru-buru masuk ke kamar mandi agar Randy tidak mendengar saat ia menerimanya.
“Halo om, maaf Ranty baru pegang hp. Ada apa om Gun telpon malam-malam?!” Suara Ranty agak Pelan.
“Kamu habis main yah sama pacar kamu? Om jadi cemburu nih.”
Ranty duduk di atas toilet duduk. Dia menggigit bibir bawahnya seraya menekuk keempat jari tangannya ke depan dan menatap kuku-kukunya.
“Emm…om bukannya kita udah bicarain masalah ini tadi yah.”
“Iya om tau. Tapi gak tau kenapa kok berat banget rasanya buat melepas kamu. Om masih cinta sama kamu Ranty.”
“Tapi lebih cinta sama istri om daripada sama aku, buktinya om gak berani ceraikan istri om demi aku,” rajuk Ranty.
“Bukan gitu Ranty sayang. Kamu kan tau posisi om ini, tadi di ruangan om kita udah bahas masalah ini, kan?”
Ranty menghembuskan nafas dalam sebelum menimpali ucapan Gunawan.
“Ya udah om. Mungkin memang hubungan kita cuma sampai di sini aja. Ranty udah mutusin mau ikut pacar Ranty ke Bandung.”
“Iya om tau. Om pengin ketemu kamu untuk yang terakhir kalinya. Bisa kan?”
“Emm…kapan om?”
“Sekarang.”
“Hah?!”
“Om ada di kamar 106, di hotel tempat kamu dan pacar mu menginap.”
“Darimana om tau aku ada di sini?”
“Itu gak penting om tau darimana. Sekarang om tunggu ya kamu di sini.”
Tuttt…tuttt…
Telepon langsung terputus begitu saja. Ranty mendadak cemas. Bagaimana bisa dia meninggalkan Randy untuk menemui pria lain?
Ranty lalu keluar dan mengecek Randy. Lelaki itu bernafas dengan tenang pertanda ia tertidur pulas. Itu artinya Ranty aman untuk pergi meninggalkan dia sebentar.
Setelah berpakaian dan membenahi poni rambut bobnya, Ranty langsung pergi ke kamar 106 tempat dimana Gunawan menunggu dirinya.
“Sayang, ayo masuk!” ajak Gunawan seraya menarik tangan Ranty untuk masuk ke dalam kamarnya.
“Kamu tadi habis main yah sama pacar mu?”
Ranty dapat melihat raut kecemburuan dari Gunawan. Dia tersenyum menatap dada tegap pria itu tanpa mengangguk ataupun menggeleng.
Hal itu membuat Gunawan gemas. Ia cubit kedua pipi Ranty lalu menggoyangkan ke kanan dan ke kiri.
“Sebenernya ada apa om manggil Ranty ke sini?”
“Malam ini temenin om yah. Untuk yang terakhir kalinya. Kasih kenang-kenangan yang indah buat akhir dari hubungan kita.”
Ranty dengan cepat menggelengkan kepalanya.
“Gak om. Pacar ku ada di kamar lain. Ranty takut dia bangun dan nyariin Ranty,” tolak Ranty seraya berbalik pergi sebelum dicekal oleh Gunawan.
Dengan sedikit kasar ia tarik dan jatuhkan tubuh Ranty ke atas ranjang. “Achhh…!!!”
Gunawan kemudian naik di atas tubuh Ranty langsung menciumi wajah dan leher Ranty yang sudah menjadi candunya selama hampir setengah tahun.
“Enghhh…achhh…sshhh…” Ranty tidak dapat berbuat apa-apa selain pasrah menerima pejantan yang selama ini mencukupi seluruh kebutuhan dirinya.
Perlahan gairah seksual Ranty kembali muncul. Dia mulai membalas setiap ciuman dan hisapan yang pria itu lakukan terhadap bibirnya. Mereka bertukar air liur dengan ganasnya.
Gunawan satu per satu melepas seluruh pakaian yang ia dan Ranty kenakan hingga keduanya sudah telanjang bulat.
Pria itu melihat bahwa liang senggama Ranty sudah basah, jadi tidak perlu pemanasan lebih lama lagi karena dirinya sudah tidak tahan untuk memasuki inti tubuh dari wanita idamannya itu.
Saat tongkat keras milik Gunawan hendak menyodok vagina Ranty, wanita itu menahannya.
“Tunggu om, belum pake kondom,” cegah Ranty.
“Untuk kali ini gak usah pake kondom yah. Om pengin ngerasain kulit kontol om gesekan langsung sama memek kamu sayang.”
“Tapi…” Sepertinya Gunawan tahu apa yang wanita itu khawatirkan.
“Om janji gak akan keluarkan di dalam,” ujarnya sambil menunjukkan dua jarinya membentuk ‘peace’.
Ranty berpikir sejenak namun akhirnya ia mengangguk pelan tanda setuju. Dengan girang Gunawan kembali mengarahkan tongkat saktinya ke liang lendir milik Ranty tanpa pengaman.
Blesss…
Kelamin mereka akhirnya bersatu. Namun Gunawan merasakan sebuah kelonggaran di vagina Ranty bila dibandingkan saat mereka bersenggama sebelumnya.
Apakah karena dia tidak memakai kondom atau pacarnya yang mempunyai kejantanan lebih besar dari miliknya?
Tidak terkecuali Ranty. Ia juga merasakan kehampaan tidak seperti biasanya. Namun ia tetap mencoba untuk menikmati semua perlakuan dari lelaki itu demi memuaskan nafsunya untuk yang terakhir kalinya.
Mereka kemudian memulai pertempuran panas di malam itu. Keringat membanjiri tubuh sepasang anak manusia yang tengah diselimuti hawa nafsu.
Ranty sebenarnya sudah sangat lelah karena melewati dua ronde yang cukup menguras tenaga bersama Randy. Ranty memilih untuk bergerak pasif. Gunawan tidak senang akan hal itu.
Dia kemudian mencabut miliknya dan mengajak Ranty untuk menuju balkon. Di sana ada sofa hitam yang terbuat dari kulit.
Gunawan duduk serta merentangkan tangannya di sepanjang sandaran sofa. Dia melirik Ranty sambil menunggu inisiatif dari wanita itu.
Ranty yang sudah dikuasai oleh nafsu langsung naik ke pangkuan Gunawan. Dengan liukan manja Ranty menggosok-gosokan payudaranya di dada lelaki itu.
Tanpa menunggu lama Ranty mengarahkan ular berbisa milik Gunawan ke dalam goa lendir miliknya.
“Ouhhh…” desah mereka secara bersamaan.
Kini giliran Ranty yang aktif menggoyangkan pinggulnya. Bunyi kecipakan terdengar akibat beradunya dua kelamin berlawanan jenis itu.
Gunawan dengan santai hanya menonton pertunjukkan yang disajikan oleh Ranty. Dia nyalakan rokok yang sudah ada di meja kecil di sampingnya beserta korek apinya.
Ia hisap rokok itu dalam-dalam lalu ia hembuskan ke sembarang arah. Dia sodorkan benda panjang itu kepada Ranty yang langsung diterima olehnya.
Ranty menghisapnya sembari pinggulnya naik turun di atas pangkuan Gunawan. Ranty terlihat menikmati asap tembakau yang masuk ke dalam paru-parunya sebelum ia hembuskan ke luar. Mereka bergantian saling menghisap rokok itu sampai habis.
Posisi pun berganti, Ranty berpegangan pada pembatas besi selagi Gunawan memompanya dari belakang.
Ranty berjinjit sedangkan punggungnya ia lengkungkan ke atas sembari menerima ciuman Gunawan secara terbalik. Bau asap rokok masih terasa di mulut keduanya.
Pemandangan kota Jakarta dari atas balkon hotel terlihat indah, apalagi ada dua insan yang saling berbagi kenikmatan membuat malam itu nyaris sempurna.
Merasa lelah dengan posisi itu, Gunawan lalu membaringkan Ranty di atas sofa. Kembali ia masukkan rudal yang belum kehilangan kekuatan sedikitpun ke dalam milik Ranty.
Dua kelamin itu kembali beradu. Ranty mendesah tidak karuan. Ia lingkarkan tangan dan kakinya di tubuh Gunawan. Dengan sisa-sisa tenaganya ia layani pria itu.
“Ouhhh…terus om. Ranty mau nyampe…”
Ranty meminta untuk disodok lebih keras. Walaupun ukuran kejantanan Gunawan tidak sebesar dan sepanjang milik Randy namun cukup tahan lama yang membuat Ranty mendapatkan kenikmatan yang luar biasa.
Serrr… serrr… serrr…
Ranty mendapatkan orgasme yang ketiga pada malam ini. Dua dari Randy dan satu dari Gunawan.
Pria itu semakin cepat menghujamkan penisnya di vagina Ranty karena ia merasa sudah hampir mencapai puncak.
“Ouhhh…Ranty sayang, om mau keluar nihhh…achhh…!!!”
Ranty mencoba mendorong tubuh Gunawan agar batangnya lepas dari lubang miliknya, namun pria itu justru semakin mempererat pelukannya kepada Ranty.
“Om…lepas…om, jangan keluarin di dalam…please…!!!”
Perkataan Ranty tidak diindahkan oleh Gunawan.
“Ouhhh…Ranty! Biarin om keluar di dalam kamu yah. Untuk kali ini aja…”
“Gak om. Nanti Ranty hamil, gak mau!”
“Please! Om udah pengin keluarin benih om di rahim kamu sayang.”
“Ehemmm…om…!!!”
Crottt…crottt…crottt…
Terlambat sudah Ranty mencegahnya. Kejantanan Gunawan menyemburkan bermili-mili benih ke dalam rahim Ranty. Kepalang basah Ranty malah mendorong bokong Gunawan agar milik pria itu masuk lebih dalam menggunakan kakinya.
Setelah pertempuran panas itu selesai mereka sama-sama memakai pakaiannya lagi. Ranty sedikit kesal dengan Gunawan karena ia mengingkari janjinya di awal.
“Ranty balik dulu om.”
Saat berbalik tangan mungil itu ditahan oleh Gunawan membuat pemiliknya kembali menoleh.
Diciumnya bibir Ranty dalam-dalam seperti sebuah ciuman terakhir mereka. Ranty memejamkan mata merasa ciuman itu penuh makna.
“Jaga diri baik-baik yah. Kalo kamu dikasarin sama pacar mu, jangan sungkan-sungkan bilang sama om. Nanti om yang akan hajar dia.”
“Makasih om, tapi aku yakin pacar ku bukan orang yang seperti itu.”
Ranty pun membalikkan badannya untuk pergi dari kamar Gunawan menuju kamar Randy.
“Huft… sepertinya aku harus minum pil KB lagi nih. Sebelum terlambat,” batin Ranty.
Wanita itu masuk ke dalam kamar Randy dengan mengendap-endap. Tampaknya adik kesayangannya itu masih tertidur pulas hanya posisinya berganti dari miring menjadi terlentang. Ranty bisa bernafas lega.
Dia kemudian masuk ke dalam selimut yang membalut tubuh Randy dan memeluk serta merebahkan kepalanya di dada bidang pria itu.
“Maafin kakak Ran, kakak janji mulai saat ini tubuh kakak sepenuhnya milik mu. Kakak gak akan melakukannya lagi dengan orang lain.”
Ekstra Part 2 End